BAGAI REMBUBULAN 15
(Tien Kumalasari)
Susan menatap priya gagah itu, lalu mengangguk hormat.
“Ya, om.” Jawabnya sambil terus mengingat-ingat.
“Kamu tidak mengenal aku? Aku pernah melihat kamu dirumah sakit, ketika membezoek bu Diana.”
Susan baru teringat, dia laki-laki yang tiba-tiba saja dipeluk mamanya, lalu marah-marah. Aduh, Susan malu mengingatnya, mamanya kok tidak tahu malu begitu.
Laki-laki itu memang Indra. Agar heran melihat sikap anaknya Lusi yang begitu santun dan tidak tampak liar seperti mamanya.
“Saya ingat om, ma’afkan mama saya.”
Susan sudah merasa lemas, pasti dia akan ditolaknya bekerja disitu karena dia tampak tak suka pada mamanya.
Indra menatap map yang dibawa Susan, dan menduga-duga.
“Kamu mau melamar pekerjaan?”
“Sedianya.. ya.. tapi.. “
“Tapi apa, ayo masuklah keruanganku,” kata Indra sambil berjalan kearah ruangannya yang beberapa meter ada didepannya. Susan mengikuti dengan hati berdebar. Rasa malu karena sikap mamanya membuatnya minder. Ia terus menundukkan kepala.
“Duduklah,” Indra mempersilahkan ketika sudah sampai diruangannya.
Indra menatap Susan yang selalu menundukkan kepalanya.
“Angkat kepalamu Susan.”
Susan mengangkat kepalanya. Citra buruk ibunya akan menghancurkannya, termasuk cita-citanya. Wajahnya tampak sedih.
“Kamu calon menantu keluarga kaya raya, mengapa mencari pekerjaan?”
“Itu kemauan mama, saya tidak.”
“Tidak apa?”
“Saya tidak suka.”
“Karena kamu sudah punya pacar?”
“Belum. Saya tidak suka mengemis cintanya Aliando. Saya tidak mau dijodohkan.”
“Hm.. tapi mama kamu sangat bersemangat untuk itu.”
“Saya sedih memikirkan mama. Ma’afkan sikap mama yang memalukan,” bisiknya lirih. Dan tiba-tiba titiklah air matanya.
“Jangan menangis, ada apa?”
“Tidak apa-apa, saya permisi om.” Kata Susan yang tiba-tiba sudah berdiri.
“Lho, kamu mau kemana?”
“Saya mau pulang saja, selamat pagi,” katanya sambil membetulkan kursi yang tadi diduduki.
“Duduklah kembali, bukankah kamu mau melamar pekerjaan?”
“Ya.. tapi..”
“Duduk dan serahkan lamaran kamu.”
Susan tertegun, ditariknya kursinya kembali, lalu meletakkan map berisi lamaran kehadapan Indra.
“Ceritakan tentang diri kamu.”
Susan kembali menundukkan kepalanya.
“Sejak kecil saya hidup bersama Anjas, dan nenek di Solo, sedangkan mama ada di Surabaya. Hanya kadang-kadang saja ke Solo mengurusi sekolah kami, sedangkan semua yang membiayai nenek. Papa sudah meninggal ketika saya masih bayi.. “
“Kehidupan yang serba baik setelah nenek meninggal kemudian juga menyusut. Mama tinggal di Solo menemani kami sampai sekarang. Saya bisa menyelesaikan pendidikan saya di pergurun tinggi swasta, tapi Anjas yang bisa masuk negeri justru tidak berhasil. Mungkin karena pergaulan, atau mungkin mama terlalu memanjakannya. Dia menjadi liar dan tak terkendali.”
“Lalu mama ketemu tante Diana, yang sahabat nenek saya almarhum. Dulu mungkin pernah janjian ingin berbesan. Mama mendorong-dorong saya. Tadinya saya menurut, tapi melihat keangkuhan Liando, serta mengetahui bahwa Liando mencintai gadis lain, saya lebih baik mundur, walau mama marah-marah.”
“Saya berusaha mencari pekerjaan. Seorang teman menawarkan, saya datang ke kantornya, ternyata itu perusahaan Liando, saya mencabut lamaran saya.”
“Mengapa?”
“Saya tidak suka Liando. Menurut saya dia sudah merendahkan saya, mengira saya mengemis cinta dia, lalu dia tampak seperti sombong, saya tidak mau bekerja untuk dia.”
“Lalu saya melamar kemari, tidak mengira bertemu om, saya ingin mengundurkan diri, malu karena om tahu bagaimana karakter mama saya.”
“Karakter seseorang tidak selalu sama dengan orang tuanya. Kamu boleh bekerja disini dengan masa percobaan tiga bulan. Kamu menjadi sekretaris saya, untuk menggantikan sekretaris saya terdahulu yang resign karena mengikuti suaminya kekota lain.”
Wajah Susan berseri. Benarkah dia diterima ? Susan menatap Indra, tak percaya apa yang dikatakannya.
“Kamu boleh mulai minggu depan.”
Susan ingin bersorak kegirangan. Matanya kembali berkaca-kaca.
“Terimakasih pak, saya akan melakukan tugas saya dengan sebaik-baiknya.”
Indra menatapnya terharu. Ini Susan, bukan Lusi, jauh sekali bedanya, dan Indra berharap semuanya akan baik-baik saja.
***
“mBakyu, saya ingin bicara..”
“Oh ya jeng Lusi, silahkan. Kok sendiri, Susan mana ?” tanya bu Diana ketika menerima kedatangan Lusi tanpa Susan.
“Saya datang sendiri mbakyu, karena ingin membicarakan hal yang penting.”
“Oh, ya.. katakan saja jeng, ada apa?”
“So’al pembicaraan kita dulu, ma’af lho mbakyu, bukannya saya memaksa, tapi sepertinya sudah agak lama dan belum ada pembicaraan lebih lanjut.”
“Maksud jeng, ini tentang Aliando dan Susan?”
“Benar mbakyu, sudah terlalu lama Susan menunggu, kasihan dia.”
“Maksud jeng Lusi, minta agar pernikahan mereka disegerakan?”
“Begitulah mbakyu, sepertinya tak ada lagi yang ditunggu.
“Begini jeng, benar saya pernah mengusulkan itu, dan Liando juga sudah mengatakan bahwa akan menuruti semua kemauan saya. Tapi mengenai pernikahan itu saya harus berbicara dulu sama Liando, apakah dia sudah siap.”
“Saya menunggu berita secepatnya ya mbakyu.”
“Iya jeng, segera akan saya kabari, nanti saya akan bicara sama Liando dulu.”
***
“Bagaimana Naya? Sudah lebih baik ?” tanya Indra sepulang dari kantor.
“Sudah bisa bangun, dan makan diruang makan, tapi masih dibuatkan bubur sama mbak Darmi.”
“Syukurlah, jadi tidak usah kerumah sakit. Kecapekan saja barangkali,” kata Indra yang kemudian menuju kekamar Naya. Dilihatnya Naya duduk dikursi, memegang ponsel, tampaknya sedang berbincang dengan seseorang melalui pesan singkat.
“Naya, apa bapak mengganggu?”
“Tidak, sedang menanyakan jadual kuliah. Bapak baru pulang?”
“Iya, bagaimana keadaan kamu?” tanyanya sambil memegangi kepala anaknya.
“Baik pak. Besok mau kuliah.”
“Kalau belum sehat benar ya tidak usah tergesa masuk kuliah. Nanti ambruk lagi.”
“Sudah baik kok pak.”
“Ya sudah, obatnya terus diminum kan?”
“Iya. Ini mau mandi, risih tiga hari nggak mandi.”
“Kalau mandi pakai air hangat lho.. jangan dulu pakai air dingin,” kata Indra sambil keluar dari kamar.
“Tadi bilang, besok sudah mau ke kampus.” Kata Seruni yang menunggu Indra diruang tengah.
“Ya, biar saja kalau memang sudah merasa sehat.”
“Tehnya mas, sama pisang goreng.”
“Wah.. iya...,” kata Indra sambil menyeruput tehnya dan mengambil sepotong pisang goreng yang masih hangat.
“Aku sudah dapat sekretaris baru.”
“Oh ya, cepat amat?”
“Tiba-tiba saja dapat dan cocog.”
“Oh ya? Pasti cantik.”
Indra tertawa.
“Cantik, pintar kayaknya.”
“Syukurlah..”
“Dia anaknya Lusi.”
“Apa?” Anaknya Lusi ? Maksud mas... Susan?”
“Iya.”
“Mengapa mas cari perkara? Bisa heboh kalau kita berdekatan dengan keluarganya Lusi.”
“Tidak, dia berbeda.”
“Masa?”
“Aku sudah mewawancarainya.”
“Bagaimana dengan mamanya?”
“Mamanya .. entahlah, tapi Susan tidak suka sama mamanya.”
“Semoga tidak menjadi heboh karena mamanya tidak suka sama kita.”
“Menurutku Susan sebenarnya anak baik. Pengaruh mamanya membuatnya kelihatan buruk. Sebaliknya, Anjas, sudah keterlaluan. Bener-bener sudah rusak dia.”
“Bagaimana dengan perjodohan itu?”
“Susan tidak mau. Bahkan sebelumnya dia melamar disebuah perusahaan atas saran temannya. Ketika tahu bahwa itu milik Liando, dia mengundurkan diri. Nggak jadi ngelamar.”
“Oh ya? Padahal Lusi tampaknya sangat menggebu-gebu untuk bisa menjadi besan mbak Diana.”
“Entah nanti bagaimana jadinya.”
***
“Selamat siang ibu..” kata Dayu sambil membawa rantang pesanan untuk bu Diana.
“Siang, Dayu, kamu tidak kuliah?”
“Hanya pagi tadi bu, sudah pulang. Nanti sore lagi.”
“Masak apa ibu kamu hari ini?”
“Terik daging, sup ayam sama perkedel.”
“Waah.. seger.. ayo kamu ikut makan Dayu.”
“Tidak bu, Dayu sudah makan. Saya serahkan simbok kebelakang ya,” kata Dayu sambil langsung kebelakang.
“mBok, ini masakannya. Mana tempatnya, biar saya pindahkan dan ditata sekalian.”
“Owalah, biar simbok saja mbak Dayu. Sudah susah-susah membawa kok masih disuruh menata.”
“Tidak apa-apa mbok, kan simbok lagi nyetrika.”
“Nggak, sudah selesai. Aduh, baunya.. sedap sekali. Bu Tikno pintar sekali memasak ya, setiap hari ibu makan banyak, apalagi mas Liando.”
“Masa sih mbok?”
“Iya, benar. Mbak Dayu tahu nggak, waktu ada syukuran disini, semua orang memuji masakan bu Tikno lho.”
“Simbok, ada-ada saja.”
“Itu benar, iih, mbak Dayu sukanya merendah. Sudah, ini biar simbok saja, sekaliyan bekasnya simbok cuci.”
“Nggak usah dicuci mbok, biar saya saja.”
“Ee.. jangan, nanti bajunya bau karena kecipratan kotoran bekas sayur. Sudah, duduk didepan saja, nanti simbok bawa kedepan sudah bersih.”
“Ya sudah mbok, terimakasih ya.”
Ketika Dayu berlalu, tiba-tiba simbok berfikir,
“Alangkah baiknya kalau mas Aliando menjadi jodohnya mbak Dayu. Sudah cantik, rendah hati, sangat santun. Tidak seperti bu Lusi yang sebentar-sebentar bilang calon besan.. calon menantu.. huuh.. nggak suka aku.”
“Ibu mau makan sekarang?” tanya Dayu.
“Tidak, sebentar lagi Liando pulang, kita makan bareng saja.”
“Kalau begitu Dayu pijitin ibu ya?” kata Dayu sambil memijit-mijit bahu bu Diana.
“Hm, tanganmu mantap Dayu, enak.”
“Baiklah, kalau begitu setiap Dayu kesini, ibu akan Dayu pijitin seperti ini.”
“Kamu anak baik, ibu senang setiap kali kamu datang, sepertinya dunia menjadi tidak sepi.”
“Padahal Dayu kan tidak bisa berkicau.”
Bu Diana tertawa.
“Rasa sepi itu bukan karena tidak ada suara, tapi karena suasana hati. O ya, kamu nanti masih kuliah lagi?”
“Iya bu, agak sore.”
“Kalau begitu menunggu Liando saja biar diantar, jangan pergi sendiri.”
“Iya bu, lagian kalau sendiri sekarang Dayu takut.”
“Banyak orang jahat ya?”
“Kemarin kan pernah mau diculik ? Sekarang jadi takut sendirian.”
“Haa? Diculik? Dimana?”
“Di kampus, beberapa hari yang lalu.”
“Penculiknya tertangkap?”
“Dihajar sama mas Adit dan teman-teman kampus.”
“Penculiknya anak kampus juga?”
“Bekas anak kampus. Anjas bu.”
“Apa? Anjas itu apa anaknya jeng Lusi?”
“Iya mama.. Anjas anaknya bu Lusi,” kata Liando yang tiba-tiba muncul.
“Liando, kamu juga tahu ?”
“Liando kebetulan masih berada di kantor, agak terlambat menjemput Dayu. Jadi tidak tahu.”
“Memangnya Anjas itu nakal? Kata mamanya, dia hanya membantu temannya. Iya, jeng Lusi pernah cerita kalau anaknya dipukuli orang karena membantu temannya yang dikeroyok anak nakal.”
“Bohong itu ma. Pelakunya Anjas, dibantu teman-temannya.”
“Yaaah, mengapa ya jeng Lusi mengarang cerita bohong?”
“Mengapa mama mencari calon besan yang suka bohong?”
“Ah, mama kan juga tidak tahu sebelumnya. Jadi mikir mama sekarang.”
“Mama, segala sesuatu tidak usah difikirkan mama terlalu berat. Biasa saja. Kalau mama suka, lakukan saja, kalau nggak, ya ditolak, janganlah semua masalah menjadi beban.”
“Bagaimana dengan kamu?”
“Aliando? Aliando kan sudah bilang akan menuruti semua kemauan mama. Yang penting bagi Aliando bahwa mama harus bahagia.”
“Iya aku tahu.”
“Jadi maksud mama bagaimana ?”
“Diterusin apa enggak ya? Tadi jeng Lusi minta jawaban segera.”
“Menurut mama bagaimana? Tampaknya Susan juga nggak suka sama Liando.”
“Masa ?”
“Iya ma. Yang menggebu-gebu itu kan mamanya. Jadi bagaimana, atau biarkan saja Liando memilih gadis yang Liando cintai?” tanya LIando memancing reaksi mamanya, sambil mencium tangan mamanya.
Aliando menatap Dayu, sambil memincingkan sebelah matanya. Dayu tetap memijit pundak bu Diana, menatap Aliando dan memetkan lidahnya.”
“Ayo kita makan saja dulu, Aliandleo pasti sudah lapar tuh. mBoook, makan siang sudah siap?”
“Sudah bu,” teriak simbok dari belakang.
“Ayo.. ayo.. Dayu harus ikut makan lho.”
“Dayu sudah makan bu, Dayu temenin saja ibu sama Liando,” kata Dayu sambil mendorong bu Diana keruang makan.
***
Sore itu ada Dayu kembali ke kampus, Liando mengantarkannya. Dijalan Liando senyum-senyum sendiri, teringat pembicaraannya dengan mamanya tentang bu Lusi.
“Kok senyum-senyum sendiri sih, takut aku..”
“Hii.. masa sih sama orang ganteng begini takut?”
“Biar ganteng kalau senyam senyum sendiri yang nglihatnya juga serem ih.”
“Enak aja!” kata Liando sambil mencubit pipi Dayu.
“Aku teringat kata-kata mama tadi,” lanjutnya.
“Yang mana ?”
“Tampaknya mama mulai kurang suka sama bu Lusi.”
“Entahlah. Mungkin ya. Tapi biasanya kalau sudah janji itu susah diingkari.”
“Bukan janji sih.. hanya dulu masing-masih punya keinginan. Kalau nggak cocog bagaimana? Kan cuma bilang nggak cocog, sebetulnya, dan selesai.”
“Itu kan menurut kamu..”
“Apa kamu tidak ingin?”
“Ingin apa?”
“Ingin aku dong.”
Dayu tersenyum, tapi pura-pura tak mendengar.
“Heiii.. halloowww... pura-pura nggak dengar kan?”
“Apa sih.. Eh.. tunggu.. tunggu..”
“Ada apa?”
“Berhenti sebentar, minggir nDo, tolong.”
Liando menghentikan mobilnya dan meminggirkannya.
“Ada apa?”
“Itu, kakek tukang koran itu..”
“Kamu mau beli?”
“Ya.. aku mau beli.. sepertinya aku mengenal dia.”
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment