NEED A WIFE
Part 1
"Fiuh!"
Pria dengan kacamata hitam dan helm rapat itu membuang nafas dengan kasar ketika tiba di lampu merah. Berulang kali mata hitamnya melirik jarum jam di pergelangan tangan kanan. Demi menghilangkan kecemasan, siulan dia perdendangkan, manggut-manggut. Meski tetap saja wajahnya terlihat tegang.
Motor Nmax warna merah itu akhirnya kembali melesat meninggalkan lampu yang dalam hitungan detik saja akan berubah merah lagi. Bak pembalap moto GP dia menyalip beberapa kendaraan yang menghalangi lajunya. Mengabaikan decit klakson yang menunjukkan kekesalan akibat disalip dari kiri, terlihat membahayakan.
Kecepatan pembalap dadakan itu kini melambat tatkala memasuki area parkir sebuah gedung yang dihiasi janur kuning dan bunga yang sangat indah di setiap sudutnya. Hilir mudik kendaraan dan tawa ceria terlihat menambah suasana menyenangkan di tempat tersebut.
"Telat, Boss? Kirain pingsan di jalan," goda pria berpakaian batik yang sejak tadi mengawasi kedatangan pria bermotor merah tersebut.
Tak ada balasan dari pria yang kini tengah merapikan kemeja batik yang tadi tertutup jaket hitam tersebut. Sibuk menata rambut dan juga menyemprotkan minyak wangi.
"Ya elah, yang di dalam kan cuma mantan... ngapain masih mau tebar pesona?"
Lagi, rekan dari pria itu menggoda diikuti gelak tawa dua orang lainnya.
"Siapa tahu ada yang mau ngisi kekosongan gue dari para tamu," jawabnya dengan senyuman yang manis.
Keempatnya tertawa geli sambil saling mendorong pundak, tak ubahnya anak baru gede yang sedang saling ejek.
Seno, pria yang menghadiri pernikahan mantan istrinya hari ini... terlihat tegar ketika memasuki ruang aula di mana resepsi berlangsung.
Kekaguman tampak dari sorot matanya tatkala melihat senyuman sang mantan di pelaminan, berpose mesra dengan suami barunya. Sedikit mengingatkannya pada adegan yang sama di masa lalu, saat bersanding dengannya.
Bedanya, dulu hanya pelaminan sederhana. Lokasi acara pun di rumah sang mempelai wanita, beda dengan sekarang di sebuah gedung nan megah.
Jelas, pekerjaan Seno dan suami baru mantan istrinya tidaklah sama. Kala itu ia hanya seorang guru honorer dengan gaji alakadarnya. Baru wisuda. Sedangkan mempelai pria yang sekarang, konon pekerjaannya di perminyakan. Bisa dibayangkan rupiahnya mungkin tak berseri. Jauh dengan dirinya yang baru diangkat jadi PNS.
"Cantik ya?" goda rekan Seno lagi seolah tak bosan mengejek sahabatnya itu.
"Iya, Indri memang sangat cantik. Dan cantik itu mahal, nggak kebeli sama gue," jawabnya pasrah.
"Ah, kok jadi melow? Harus kelihatan setrong donk, Bro."
Seno hanya tersenyum pahit, berjalan mengular untuk bersalaman dengan kedua mempelai.
Dua mata yang kini tampak indah dengan bulu palsu tersebut terus mengikuti arah Seno. Intan, menatap sang mantan yang sebenarnya sulit dia lupakan. Karena harta, dia memilih berpisah dengan pria yang dipacarinya dari sejak SMA. Kecewa, karena sang suami hanya guru honorer bergaji ratusan ribu dalam sebulan.
Tidak cukup, pasti!
Biaya hidup yang kian mahal membuat uang ratusan ribu hanya cukup satu dua hari saja.
Tak sepenuhnya benar juga, bahwa biaya hidup itu murah karena yang mahal adalah gaya hidup. Terutama untuk orang seperti Seno, yang menggantungkan rezeki dengan mengabdi pada dunia pendidikan yang menjadikannya harus melakukan banyak verifikasi agar dapat menjadi ASN. Perjalanannya terlalu panjang mengingat dia harus memenuhi kebutuhan ibu dan dua adiknya dan tentu istri tercintanya. Menjadi tulang punggung untuk dua keluarga.
Kini, keduanya kembali bertatapan setelah tiga tahun tak bersua. Hanya sekedar saling mengetahui kabar, bahwa Indri telah kepincut oleh duda kaya beranak dua. Sedangkan Seno, baru diangkat jadi ASN dua tahun pasca perceraiannya dengan Indri.
"Selamat, ya." Seno mengulurkan tangan, terlihat tegar dan santai.
Sementara Indri sesekali melirik ke arah suaminya yang tahu persis bahwa pria yang tadi bersalaman adalah sang mantan. Untuk menyenangkan sang suami, janda Seno langsung membisikkan kata cinta. Lalu menatap dalam manik mata pria yang dipacarinya sejak masih berstatus sebagai istri itu. Keduanya saling tersenyum manis.
Gerak bibir Seno menunjukkan seringaian hampa. Antara miris dan juga ada nyeri yang muncul begitu saja.
"Gue makan dulu ya," ujar Seno pada rekan-rekannya.
Cara terbaik menutupi luka memang dengan makan, apalagi makanan lezat yang banyak.
Langkahnya menuju stand iga bakar di pojok aula. Lalu meminta 1 porsi.
"Saya satu ya," ujar seorang gadis di samping Seno.
"Tinggal satu, Mbak. Buat mas ini."
"Yah, please donk. Saya buru-buru turun dari mobil biar dapat ini," rengeknya manja.
"Ada apa, Dek?" Tanya seorang pria dewasa yang menyusul gadis manis tadi.
"Iga bakarnya kehabisan 'kan. Abang sih lama aja tadi," keluhnya dengan suara yang hampir sengau.
Seno tersenyum lalu menyerahkan piring miliknya.
"Ambil aja. Saya bisa cari yang lain," ujar Seno dengan pasrah.
Tentu saja, mantan istrinya di pelaminan dengan pria selingkuhannya dia pasrah juga.
"Serius nih?" Gadis yang mungkin berusia delapan belas tahun itu mencari ketulusan di pupil mata Seno.
"Iya. Tenang aja, De." Seno tersenyum dan mengangguk sopan pada Kakak sang gadis.
"Makasih ya, Kak." Gadis manis itu berbinar.
"Dah! Jangan ngomel lagi. Abang mau salaman dulu sama pengantin."
Gadis itu sibuk mencari tempat duduk untuk menikmati iga bakar. Dengan lahap dia menikmati makanan yang akan dijadikan Seno sebagai pelarian. Duduk di pojokan sambil sesekali membersihkan bibir dengan tisu.
Setelah selesai makan, dia keluar mencari kran air untuk mencuci tangan. Tak dinyana bertemu dengan Seno yang tengah menerima panggilan telepon.
Pandangan pria yang berprofesi sebagai guru itu beralih ke gadis yang bersenandung sambil membilas tangan.
Cantik. Gadis itu memang cantik.
"Eh, Kakak yang tadi ya?" Tanya sang gadis yang menoleh ke samping.
Seno hanya mengangguk sungkan, mematikan panggilan telepon dan berniat kembali memasuki aula.
"Kak, makasih ya iga bakarnya. Jujur, aku ikut kondangan gini cuma berburu kuliner," kekeh gadis manis itu.
Dua netra itu akhirnya bertemu. Meski sang pria hanya tertegun sementara sang gadis merekah ceria. Seno dapat melihat pesona gadis muda dihadapannya. Selain periang, dia juga tampak sekali mudah akrab. Yang terpenting adalah wajahnya cukup cantik.
Rasa cemburu pada Indri yang sedari tadi mengusiknya perlahan sirna dengan kekaguman pada gadis lincah yang asik menceritakan kesenangannya makan iga bakar, juga makanan yang biasa tersaji di acara pernikahan.
"Abang aku bilang aku ini eror. Tapi yang namanya suka, gimana ya?" celotehnya dengan tanpa canggung.
"Nama kamu siapa?" Tanya Seno masih memposisikan sebagai orang lebih dewasa. Meski hatinya sedikit berdesir melihat bahasa tubuh gadis tersebut.
"Oh iya, namaku Dara. Kebetulan abangku temen mempelai pria. Kalau Kakak?"
Seno menelan ludah, hampir saja menjawab jujur bahwa dia mantan suami Indri si Mempelai Wanita.
"Teman mempelai wanita," jawabnya datar.
"Namanya?"
"Seno Abhiseka."
"Wiih namanya keren ya. Kaya India gitu, kalau aku nama panjangnya Dara Aulia Putri."
"Nama yang manis, semanis orangnya," balas Seno dengan senyuman hangat.
Dara terkesiap, bibirnya spontan ia gigit sambil menatap Seno yang juga tengah menatapnya.
"Kapan-kapan kalau ada jodoh bertemu lagi, saya akan ajak kamu makan di iga bakar paling hits di Kebayoran," ujar Seno sambil mengedipkan sebelah mata.
Tak menyadari bahwa gadis manis dihadapannya tengah menggigil terpesona.
"Kejar, Dara. Lumayan buat gebetan," gumam gadis yang masih seorang pelajar SMA tersebut.
Dengan cepat Dara mencari Seno yang mulai tak terlihat di antara para tamu. Mata bulatnya terus bergerilya ke arah kumpulan pria, mencari sosok berbaju batik cokelat tua.
Rupanya Seno sudah akan naik ke pelaminan untuk pamitan pulang. Dara tak menyia-nyiakan kesempatan. Berlari mendekati, kemudian menyentuh lengan sang pria.
Seno menoleh terkejut, menatap si Manis yang berdiri di sampingnya. Pemandangan itu tak luput dari tatapan mantan istri Seno di pelaminan.
"Ey, kita ketemu lagi. Jadi harus ajak aku makan iga bakar dong di Kebayoran," kekeh Dara dengan kedipan mata yang nakal.
Seno terkekeh, sudut matanya menangkap pandangan Indri ke arahnya.
"Serius? Abang kamu marah nggak kalau kita jalan? Baru kenal pula," tantang Seno dengan gestur manis. Membuat Indri sedikit memasang wajah cemburu.
"Ya diajak aja Abang akunya."
"Cerdas." Seno terkekeh sambil menarik Dara untuk menemaninya bersalaman dengan sang mantan.
Bahkan ketika diminta foto bersama, Seno mengajak Dara di sisinya. Menarik pinggangnya agar mendekat. Membuat gadis itu menoleh ke wajah pria yang tinggi. Menjadikan dia harus mendongak.
Pun Seno, menatap Dara dengan senyuman mesra saat jepretan demi jepretan kamera memberondongnya. Tentu bukan tanpa tujuan, karena sang mempelai pasti akan melihat hasil foto tersebut. Indri pasti akan melihat Seno bertatapan mesra dengan gadis yang digandengnya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment