*TADA AISHITERU*
oleh : Wiwin Setyobekti
❤ 🙍♂ ❤
nomor.. 1
*AdultRomance*
Cerita ini mengandung unsur Toxic Relationship.
Di mana kau tetap mencintai seseorang, walau ia telah memperlakukanmu dengan buruk, menghancurkan hatimu berkeping-keping.
----------
~ Mari kita hidup saling menyakiti, agar kita impas.~
-----------
Renata menatap suaminya dengan tatapan putus asa. Air matanya terus menitik. Sementara Hasan hanya mampu duduk membisu di pinggir tempat tidur tanpa berani menatap kembali ke arah istrinya.
Hampir 10 menit mereka berdiam diri setelah sempat bertengkar dengan hebat.
“Kenapa kau lakukan ini padaku?” tanya Renata kemudian. Suaranya lirih, tak bernyawa.
“Kenapa kau tega melakukan ini padaku, Mas?” Ia meratap.
“Aku khilaf.” Hasan membuka suara. Kalimatnya terdengar parau.
Renata tersenyum sinis. “Khilaf? Kau berselingkuh dariku, meniduri wanita lain, dan sekarang wanita itu mengandung anakmu, lalu kau bilang kau khilaf? Semudah itukah?” Ia terkekeh, jijik.
Hasan mengarahkan pandangan ke arah istrinya. Kedua mata lelaki itu tampak berkaca-kaca.
“Aku bersalah, Ren. Hukumlah aku sekehendak hatimu, tapi percayalah, hanya kau satu-satunya perempuan yang aku cintai.” Ia berucap dengan putus asa.
Bibir Renata berdecih.
“Mencintaiku? Lalu kenapa kau tega mengkhianatiku?” Tatapannya tajam, menembus langsung ke mata Hasan.
“Aku tidak ingin mengkhianatimu. Aku hanya ... Aku hanya menginginkan seorang anak.” Kalimat lelaki itu terdengar ragu-ragu.
“Lalu?”
“Lalu ... ?” Hasan menelan ludah. Sungguh ia tak tahu harus bagaimana berkata-kata di hadapan istrinya.
Selama ini ia dikenal sebagai pebisnis ulung yang mampu memenangkan setiap tender dengan kecerdasan serta kemampuannya merangkai setiap kata, tanpa cela. Tapi kali ini, kemampuan itu seakan sirna entah ke mana.
“Apa kau ingin bilang padaku bahwa kau menidurinya hanya untuk mendapatkan anak darinya?” Renata kembali menghujaninya dengan pertanyaan. Pria di depannya tak menjawab, tapi perlahan kepalanya mengangguk.
Renata menumpukan kedua sikunya di lutut lalu menutup mukanya dengan telapak tangan.
“Aku tidak mencintainya, sungguh. Percayalah padaku, Ren,” ucap Hasan lagi, benar-benar terlihat putus asa.
Renata mendongak. Perempuan cantik bermata bening itu menatap lelaki di hadapannya dengan marah.
“Mas, aku tahu bahwa aku bukan perempuan sempurna yang bisa memberimu keturunan. Tapi bukan berarti kau boleh mengkhianatiku dengan meniduri wanita lain hingga hamil!” Ia kembali berteriak.
Hasan beranjak, bersimpuh di hadapan istrinya dan memegang tangan Renata dengan erat.
“Aku tahu, Ren. Aku memang bersalah padamu. Setelah bayi itu lahir, aku takkan berhubungan lagi dengannya. Dan anak itu, tentu saja aku akan merawatnya dengan baik.”
“Jadi kau tak berniat menikahi wanita itu?” Renata menatap suaminya dengan tak mengerti. Lelaki itu menggeleng.
“Bedebah kau!” Perempuan itu menepis tangan suaminya dengan kasar.
Ia bangkit, beranjak meraih tas koper lalu mulai mengemasi beberapa bajunya. Ia masukkan baju-baju itu begitu saja ke dalam koper tanpa menghiraukan pandangan suaminya.
“Apa yang kau lakukan?” Hasan bertanya bingung.
“Aku tak bisa berada di sini lagi. Aku akan ke rumah ibu. Aku perlu waktu untuk menenangkan diri,” jawabnya tanpa melihat ke arah suaminya.
“Tidak, Ren. Jangan pergi.” Hasan memohon. “Hukumlah aku sekehendak hatimu, tapi kumohon, jangan tinggalkan aku!” Lelaki itu berusaha menghalau tangan Renata yang sibuk melemparkan baju-bajunya ke koper.
Dan Renata tak peduli. Bahkan ketika suaminya menangis dan bersimpuh di kakinya, perempuan itu tetap beranjak meninggalkan lelaki yang hampir 9 tahun ini telah menjadi suaminya.
Ia merasa hancur. Dan ia memutuskan pergi.
***
Ketika Renata sampai di rumah orang tuanya, perempuan cantik itu menceritakan pada mereka perihal masalah rumah tangganya tanpa ia tutup-tutupi sedikitpun.
Ayah Renata yang merupakan pensiunan pegawai Bank terduduk lemas di kursi kayu kesayangannya. Sementara ibunya yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa, hanya mampu menangis.
“Jadi, apa rencanamu selanjutnya, Ren? Apa kau akan bercerai darinya?” tanya Ibu setelah keadaan tenang dan Renata membiarkan perempuan itu menangis selama beberapa saat.
“Entahlah, Bu. Aku belum tahu. Aku masih perlu waktu untuk menenangkan diri,” jawabnya lirih.
“Hasan pasti akan ke sini. Dan jika itu terjadi, bilang saja aku tak mau bertemu dengannya. Aku belum siap,” lanjut Renata seraya beranjak menuju kamarnya. Kamar lama yang dulu ia tempati ketika ia masih remaja.
Tempat itu tak banyak berubah. Wallpaper bergambar dedaunan masih terawat dengan bagus. Dekorasi kamar yang bernuansa hijau pun tetap menyejukkan matanya. Kamar itu seolah-olah baru saja ia tempati kemarin. Meskipun kenyataannya sudah beberapa tahun ini ia tak pernah menempatinya.
Sejak menikah dengan Hasan, Renata memang tak pernah lagi tidur di rumah orang tuanya. Kalaupun datang berkunjung, mereka tak pernah menginap.
Maklum, Hasan adalah lelaki mapan yang berkecukupan. Ketika Renata menikah dengannya, lelaki itu sudah punya segalanya. Pekerjaan yang bagus, gaji yang cukup besar, rumah mewah di kawasan elit, mobil mewah, apapun yang Renata mau, Hasan pasti mampu memenuhinya.
Dan itu adalah salah satu alasan Renata jatuh hati setengah mati padanya, selain karena wajahnya yang tampan serta perilakunya yang baik dan menyenangkan.
Renata bertemu pertama kali dengan Hasan di sebuah pesta ulang tahun yang diselenggarakan salah satu temannya. Waktu itu Renata masih kuliah semester satu, sementara Hasan sudah merintis bisnis yang sukses.
Melihat sosoknya yang begitu kalem dan bersahaja, Renata langsung merasa kagum padanya. Begitu pula sebaliknya, Hasan pun terpesona dengan wajah cantik Renata dan pembawaannya yang senantiasa ceria dan periang.
Dari perkenalan singkat itu, mereka semakin dekat dan akhirnya memutuskan berpacaran.
Dengan keadaannya yang sudah mapan, Hasan memberanikan diri menemui orang tua Renata dan berniat menikahinya. Awalnya orang tua Renata menolak. Berharap bahwa Renata menyelesaikan kuliah terlebih dahulu baru kemudian menikah.
Tapi, perempuan itu tak menggubris. Ia memutuskan untuk berhenti kuliah demi bisa menjadi istri yang baik bagi Hasan.
Ia membayangkan bahwa ia akan menjalani kehidupan pernikahan yang senantiasa bahagia, hidup berdampingan dengan Hasan sampai maut memisahkan. Tapi, pengakuan lelaki itu beberapa waktu yang lalu benar-benar membuat jantungnya tertusuk.
Dengan terang-terangan dan penuh rasa menyesal, Hasan mengaku bahwa ia terlibat hubungan dengan wanita lain dan wanita bernama Anggi itu sekarang mengandung anaknya.
Sekuat apapun Hasan meyakinkan bahwa ia tak pernah mencintai wanita itu, bahwa apa yang ia lakukan karena ia mendambakan anak, tetap saja Renata terluka.
Memang, meski sudah menikah lama, Hasan dan Renata belum juga diberi momongan. Sebenarnya Renata pernah hamil dua kali, tapi ia selalu mengalami keguguran. Dokter bilang, kandungannya lemah.
Walaupun begitu, selama ini Hasan tak pernah berhenti untuk memberikan support dan kekuatan pada perempuan itu agar senantiasa sabar. Ia bilang, Ia akan mencintai Renata apapun kondisinya. Nyatanya, lelaki itu malah berkhianat.
Air mata perempuan itu kembali menitik ketika mengingat semuanya. Mengingat bagaimana Hasan memperlakukannya dengan manis, tapi sekarang menghancurkan hatinya berkeping-keping!
***
Hasan berkali-kali datang ke rumah orang tua Renata untuk mencoba bertemu dengannya. Tapi, berkali-kali pula Renata menolak bertemu. Ia belum siap. Atau lebih tepatnya, ia takut. Ia terlalu takut menerima kenyataan bahwa rumah tangganya sudah hancur dan perceraian ada di depan mata.
Wanita bernama Anggi itu sudah hamil, dan tentu saja, anak dalam kandungan perempuan itu membutuhkan seorang ayah. Dan Renata tidak akan pernah sanggup untuk berbagi suami dengannnya atau bahkan dengan perempuan manapun!
“Ren, ada tamu untukmu,” suara lembut Mbak Yuli membuat Renata terjaga dari lamunannya. Mbak Yuli adalah kakak ipar Renata, istri dari Mas Aldi, kakak lelaki satu-satunya.
Selama ini mereka dan kedua puteri mereka memang tinggal serumah dengan Ayah dan Ibu.
Sebenarnya Mas Aldi pernah berniat untuk membeli sebuah rumah sendiri. Tapi Ibu melarang karena ia akan merasa sangat kesepian jika hanya berdua saja dengan Ayah. Hingga akhirnya, Mas Aldi menuruti kemauan Ibu dengan memboyong seluruh keluarganya ke sini.
“Mas Hasan?” tanya Renata.
Mbak Yuli menggeleng. “Perempuan,” jawabnya kemudian.
Renata mengernyitkan dahi. Dengan penasaran, ia melangkah menuju ruang tamu. Dan tampak olehnya, seorang perempuan cantik berambut sebahu tengah duduk dengan kikuk di salah satu kursi ruang tamu. Tubuh Renata membeku seketika. Tangannya terkepal menahan amarah.
Dia Anggi, perempuan yang telah dihamili suaminya!
Renata pernah bertemu beberapa kali dengannya di pesta yang diadakan teman bisnis suaminya. Waktu itu ia mengaku sebagai teman lama Hasan.
“Untuk apa kau ke sini?” tanya Renata ketus.
“Apa Mas Hasan yang menyuruhmu?” lanjutnya lagi dengan sorot mata tajam ke arah perempuan itu.
Anggi menggeleng.
“Tidak. Aku yang berinisiatif datang ke sini sendiri. Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu,” jawabnya.
Gigi Renata bergemerutuk. “Tunggu sebentar, aku akan ganti baju dulu. Kita akan bicara, tapi tidak di sini. Kita akan bicara di luar.” Kemudian ia beranjak kembali ke kamarnya.
Beberapa saat kemudian ia sudah kembali dengan mengenakan celana jeans dan blouse warna cerah yang sesuai dengan kulitnya yang bersih. Kemudian ia mengajak Anggi keluar. Mereka ke sebuah coffee shop yang berada sekitar 3 kilometer dari rumah orang tua Renata untuk berbicara.
“Bicaralah, langsung ke intinya saja. Waktuku tak banyak,” ucap Renata dengan nada kasar tanpa melihat ke arah perempuan cantik yang duduk di depannya.
Entah karena Hasan hanya menginginkan anak, atau entah karena ia memang terpesona pada Anggi, faktanya, ia memang cantik.
Tubuhnya tinggi semampai, tak terlalu kurus, tak bisa juga dikatakan gemuk. Rambutnya lebat sebahu, dicat warna coklat tua. Terlihat cocok dengan kulitnya yang bersih. Make up nya tak menor. Tapi matanya bagus, bibirnya juga.
Dan pastinya, rahimnya sehat.
Renata sempat meradang. Iri, marah, semua bercampur jadi satu. Rasanya memang wajar jika Hasan terpesona padan perempuan ini.
“Aku ingin minta maaf secara pribadi padamu,” jawab Anggi lirih.
Renata menatapnya dengan tatapan berkilat. “Untuk apa? Untuk perselingkuhanmu dengan suamiku? Ah, omong kosong,” sahutnya.
“Aku salah. Tak seharusnya aku mendekati lelaki yang sudah menikah atau bahkan mempunyai hubungan yang spesial dengannya. Tapi, semua di luar dugaan. Tadinya aku memang mendekatinya hanya untuk iseng. Tapi lama-lama aku merasakan perasaan berbeda padanya. Dia lelaki yang sangat baik. Dan aku sangat senang bisa bersamanya. Hasan tidak pernah mendekatiku. Akulah yang mendekatinya terlebih dulu.”
Rahang Renata kaku. Ini sinting! Bagaimana mungkin ia mau saja berbicara perempuan yang telah membuat keluarganya berantakan?
“Aku mencintai Hasan dengan tulus. Aku bahkan tak keberatan jika harus menjadi isteri kedua.” Anggi kembali melanjutkan kalimatnya.
Renata menatapnya dengan tajam. Sempat terpikir olehnya untuk meraih kopi yang berada di hadapannya lalu menyiramkannya ke muka perempuan tersebut. Tapi, buat apa? Untuk meredam amarahnya sementara? Itu takkan ada gunanya.
“Aku dan anak dalam kandunganku tidak akan pernah bisa hidup tanpa Hasan. Aku lebih baik mati jika tidak bisa bersamanya.” Anggi terisak.
Renata menggigit bibirnya dengan kesal. “Apakah kau menemuiku hanya untuk menceritakan lelucon semacam ini? Kita sama-sama wanita, bagaimana mungkin kau tega melakukan hal semacam ini padaku? Jika kau tahu dia adalah lelaki yang sudah menikah, bagaimana mungkin kau tetap mendekatinya? Kegilaan macam apa ini?” Ia nyaris berteriak.
“Maafkan aku, Ren. Aku memang bersalah.” Anggi sesenggukan.
Renata kembali tertawa hambar. “Kau pikir hanya dengan meminta maaf bisa menyelesaikan masalah?” desisnya.
“Entahlah, aku benar-benar tak tahu harus bagaimana. Hasan bilang dia tak mau menikahiku dan aku lebih baik mati jika ia melakukannya.” Ucapan Anggi terdengar begitu serius hingga membuat Renata sempat tercengang.
“Aku benar-benar tak bisa hidup tanpa dia. Kumohon bantu aku. Aku tak tahu harus bagaimana lagi?” Bahu Anggi terguncang. Entah kenapa, tiba-tiba Renata menjadi iba. Perempuan itu menelan ludah. Hatinya remuk.
“Itu bukan urusanku lagi. Selesaikanlah sendiri masalah di antara kalian. Aku akan segera bercerai dengannya dan aku tak punya hubungan apa-apa lagi dengan lelaki itu. Dan aku juga tak punya hubungan apa-apa denganmu. Jadi, kelak jangan pernah menemuiku lagi.” Renata bangkit. Ia beranjak meninggalkan Anggi yang masih menangis.
Perempuan itu melangkahkan kakinya dengan sempoyongan menyusuri jalanan yang ramai. Ia biarkan kakinya melangkah sekenanya. Ia tak ingat untuk berjalan menuju halte bus. Ia juga tak ingat untuk menghentikan taksi yang berseliweran. Ia hanya melangkah saja, tanpa tujuan. Ia merasakan air matanya menitik. Dan ia sempat terisak di jalanan.
Salah siapa ini sebenarnya?
Salahkah dia karena tak mampu memberikan Hasan keturunan?
Salahkah Hasan yang tak mampu menjaga komitmen dan kesetiaannya?
Atau, salahkan Anggi yang mencintai lelaki yang telah beristri?
Ah, entahlah. Renata tak tahu.
Perempuan itu terus melangkah. Tak tentu arah. Sampai akhirnya ia capek menangis, dadanya sesak, dan ia ambruk tak sadarkan diri.
***
Ketika Renata membuka mata, ia sudah berada di sebuah kamar perawatan di Rumah Sakit. Dari keterangan perawat yang mengunjunginya, Renata dibawa ke sana oleh seorang pria dalam keadaan pingsan.
“Di mana orang yang telah menolong saya, Suster?” tanya Renata lagi. Mengabaikan kepalanya yang terasa berdenyut, ia berusaha untuk duduk.
“Setelah menyelesaikan administrasi, dia langsung memohon diri, Bu,” jawab suster tersebut. Ia tanggap mendekati Renata dan mencegah perempuan itu untuk bangkit. “Ibu harus banyak istirahat dulu. Tetaplah berbaring,” perintahnya lembut.
“Apa dia tak menyebutkan namanya? Apa dia tak meninggalkan kartu nama atau sekedar nomor ponsel?” Renata kembali bertanya dan patuh pada suster untuk tetap berbaring.
“Dia tak memberitahu namanya. Dia hanya membawa anda ke sini lalu membayar sebagian biaya rumah sakit anda.” Suster itu menjawab sambil menggeleng.
Renata melongo. “Dia sudah membayar biaya rumah sakit?”
Suster itu menangguk.
Masih merasa bingung dengan apa yang terjadi, pintu kamar terbuka dan Mas Aldi muncul dari balik pintu bersama Mbak Yuli.
“Kau membuat kami cemas, Ren.” Mas Aldi segera menghambur ke arah Renata dengan ratu muka cemas. “Kau baik-baik saja?”
“Bagaimana Mas Aldi bisa tahu kalau aku di sini?” tanya Renata heran.
“Seseorang memberitahu kami kalau kau pingsan di pinggir jalan dan dibawa ke rumah sakit.” Mbak Yuli menyahut seraya menyentuh kening Renata dengan lembut.
“Seseorang? Siapa?” tanya Renata makin penasaran.
“Entahlah, dia belum sempat menyebutkan namanya. Dia menelponku melalui ponselmu dan mengatakan kalau kau pingsan dan ia membawamu ke sini,” jawab kakaknya. Renata terdiam. Siapa yang telah menolongnya? Siapa yang telah membawanya kemari?
“Siapa yang menelpon? Pria atau wanita?”
“Pria,” jawab Mas Aldi.
“Apakah dia Mas Hasan?” Renata menerka. Kakak lelakinya itu mengangkat bahu.
“Sepertinya bukan. Aku kenal suara Hasan. Tadi aku ke bagian administrasi dan ternyata penyelamatmu itu juga telah membayar sebagian tagihan perawatanmu,” jawabnya.
Renata kembali tertegun.
“Ah sudahlah, yang penting kau tak apa-apa. Anggap saja kau beruntung karena telah bertemu orang baik. Dokter bilang kau hanya kelelahan dan sedikit stress. Dengan istirahat sepertinya besok sudah boleh pulang,” ucap Mas Aldi lagi lagi.
Renata kembali tertegun. Dan hatinya tetap bertanya-tanya tentang sosok yang telah menyelamatkan dirinya.
No comments:
Post a Comment