Sunday, March 15, 2020

Tada 02

*TADA AISHITERU*
❤🙍‍♂❤
nomor 2

Mas Aldi baru saja pulang bersama dengan Mbak Yuli ketika Hasan datang ke ruangan tempat Renata dirawat. Lelaki tampan berpostur tinggi itu segera menghambur ke arah istrinya dengan raut muka cemas. 

“Kau baik-baik saja, Sayang? Katakan padaku di mana yang sakit? Kau sudah membaik ‘kan sekarang?” Hasan menggenggam jemari Renata dengan lembut. 

Perempuan itu merasa bahagia melihat kedatangan Hasan yang mengkhawatirkannya. Bagaimanapun juga sosok lelaki yang tengah ada di hadapannya sekarang ini adalah lelaki terbaik yang pernah ia kenal selama ini. 

Tapi, begitu mengingat pengkhianatannya dengan Anggi, darah Renata serasa mendidih! 

Tidak, ia belum pernah bisa menerima kenyataan pahit itu.

“Bagaimana kau bisa tahu aku di sini?” tanya Renata dengan sedikit ketus. Tapi ia tak menarik tangannya dari genggaman Hasan.

“Mas Aldi yang memberitahuku dan aku langsung kesini.” Hasan mengecup punggung tangan Renata dengan lembut, seperti yang selalu ia lakukan selama ini ketika mereka hanya berduaan saja.

Renata terdiam. Dan sudah bisa dipastikan bahwa orang yang menolongnya kemarin bukanlah Hasan.
  
“Istirahatlah di rumah. Pulanglah bersamaku, Sayang,” ucap Hasan dengan tatapan lembut, seperti layaknya Hasan yang selama ini Renata kenal. 

“Mas, tolong beri aku waktu. Aku ingin istirahat dan menenangkan diri.” Renata berujar lirih. 

Hasan menatap istrinya dengan putus asa. 
“Baiklah. Istirahatlah dulu, aku akan menemanimu.” Hasan kembali mencium tangan Renata lalu memijit-mijit kakinya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Tak ada pembicaraan yang berarti di antara mereka karena Renata enggan membuka suara. Hingga akhirnya perempuan itu tertidur, entah untuk berapa lama. Dan ketika ia membuka mata, ia takjub karena menyaksikan Hasan masih duduk menungguinya dengan sabar dan penuh perhatian. 

“Kau sudah bangun, Sayang? Perlu sesuatu?” tanya lelaki itu dengan senyuman seraya membelai pipi Renata dengan lembut. Perempuan itu tak segera menjawab. Hatinya merutuk. 

Kenapa lelaki ini masih begitu baik padanya setelah apa yang dilakukannya dengan Anggi? 
Akankah Renata bisa lepas dari bayang-bayang Hasan jika lelaki itu senantiasa penuh perhatian dan cinta seperti ini?

“Istirahatlah lagi agar kau segera baikan. Aku akan menjagamu,” tambah Hasan lagi. Renata menatap lelaki itu dengan dalam.

“Mas—“ panggilnya lirih. “Ayo kita bercerai saja.” Kalimat itu meluncur dengan ratapan. 

Hasan terlihat terkejut.  “Bicara apa kau ini?” Bibirnya bergetar. 

“Kita bercerai, itu solusi yang terbaik,” jawab Renata lagi. Hasan menatap perempuan di depannya dengan dalam. Tak ada sepatah kata keluar dari bibirnya. 

Ia menunduk lalu kembali membelai lembut jemari-jemari Renata, kemudian memijit-mijit kakinya dengan perlahan tanpa mengatakan apapun. Dan tanpa ia sadari, air matanya menitik. Betapa ia merasa sebagai lelaki terkutuk yang telah menyakiti hati istrinya, mengkhianati cintanya. 

Renata terhenyak menyaksikan suaminya menangis. Tenggorokannya tercekat. Dan tanpa dapat ia bendung, air matanya pun menitik membasahi pipinya yang pucat. 

Keduanya menangis, lama, tanpa mampu mengatakan apapun.

Hasan menangisi ketidak setiaannya pada sang istri.
Sementara Renata menangisi dirinya sendiri. Ia memang tak sempurna, tak mampu memberi keturunan, tapi tak bisakah ia menjadi perempuan satu-satunya?

***

Keesokan harinya, Renata sudah diperbolehkan pulang meskipun sebenarnya dokter sedikit keberatan. Ia pulang dijemput Mas Aldi tanpa memberitahu Hasan. 

“Kau tak ingin memberitahu Hasan kalau kau akan pulang?” tanya Mas Aldi ketika mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Renata tak menjawab. 

“Sebaiknya beritahulah dia. Supaya dia tak kelabakan mencemaskanmu,” ucap Kakaknya lagi.

“Iya, Mas. Nanti akan kutelpon,” jawab Renata pendek. Ia kembali terdiam.

“Mas, kau bisa bantu mencarikanku pekerjaan?” tanya perempuan itu kemudian. Mas Aldi yang duduk di belakang kemudi mengernyitkan dahinya keheranan seraya menatap adiknya yang duduk dengan rapuh di kursi penumpang.

“Pekerjaan? Untuk apa?” Keningnya berkerut. 

“Aku sudah memutuskan untuk bercerai. Jadi, aku harus punya pekerjaan untuk bertahan hidup,” jawab Renata.

“Apa kau yakin dengan keputusanmu?”

Perempuan itu mengangguk.

“Kau tak ingin membicarakannya dengan Hasan?” Mas Aldi kembali bertanya yang selanjutnya dijawab dengan gelengan oleh Renata.

“Aku ingin bercerai dengannya. Jadi, aku ingin mulai menata ulang kehidupanku dan berusaha untuk mandiri,” ucapnya. Terdengar helaan napas dari Mas Aldi. 

“Ini sulit, Ren. Apalagi, kau hanya lulusan es-em-a, tentunya mencari pekerjaan tak akan mudah. Kalau hanya sekedar menjaga toko, banyak. Tapi, apa kau siap bekerja semacam itu?”

“Apa saja, aku mau. Setidaknya, aku benar-benar bisa belajar untuk mandiri.” Renata kembali menjawab mantap. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa menyesal. 
Kenapa ia harus menikah muda? Kenapa ia tak melanjutkan kuliahnya sampai selesai? 

Ah, penyesalan selalu datang terlambat. Ia takkan mengira bahwa semua akan seperti ini. Tadinya ia mengira bahwa ia tak perlu lagi sekolah tinggi-tinggi karena toh jika ia menikah dengan Hasan, ia takkan perlu lagi mencemaskan tentang nasib masa depannya yang tentu sudah sangat cemerlang. 

Tapi, kenyataan berbicara lain.

***

Hampir pukul 8 malam ketika Renata hanya duduk termenung di teras rumah orang tuanya. Mas Aldi keluar kota bersama Mbak Yuli dan kedua anaknya. Mereka berangkat tadi pagi. Sementara Ayah dan Ibunya, seperti biasa mereka menghabiskan waktu mereka berduaan di depan televisi. Entah tontonan apa yang paling mereka suka. 

Perhatiannya teralih ke arah ponsel yang berdering. Ia mengintip sekilas ke layar ponsel, nomor dengan nama ‘Suamiku’ memanggil. Renata sempat berpikir menolak panggilan tersebut namun akhirnya urung. 

“Halo.” Ia menjawab ragu.

“Sayang, kenapa kau tak memberitahuku kalau kau sudah pulang dari rumah sakit?” Hasan langsung memberondongnya dengan pertanyaan.

“Maaf, tapi sepertinya lebih nyaman seperti itu,” jawab Renata.

“Apa kau sudah membaik? Kau tak merasa sakit lagi?”

“Aku sudah membaik, Mas. Kau tak perlu mencemaskanku.” 

“Apa kau memperbolehkanku datang ke situ? Aku ingin melihat sendiri keadaanmu.”

“Tak perlu. Percayalah, aku baik-baik saja. Dan tentang pembicaraan kita kemarin siang, aku serius. Kita tak punya solusi lain selain perceraian.”

Hasan terdiam sejenak. Seolah sedang memikirkan sesuatu.

“Aku tak mau bercerai denganmu, Ren. Aku akan mencoba menyelesaikan masalahku dengan Anggi. Tentang bayi dalam kandungannya. Setelah itu, baru kita pikirkan langkah selanjutnya. Oke?” Suara Hasan sarat akan permohonan. 

Renata mendesah. Merasa malas untuk bertengkar kembali.
“Aku ingin istirahat, bisakah kau tutup telponnya?” pinta perempuan tersebut.

“Baiklah, tidurlah dengan nyenyak, Sayang. Aku mencintaimu.”

Pembicaraan terputus.

Renata menyandarkan punggungnya di kursi kayu dengan lengan terkulai. Betapa ia tak mengerti dengan jalan pikiran Hasan. Apa yang ia inginkan? 
Ia tak berniat menikahi Anggi? Lalu bayinya? Bagaimana dengan bayi dalam kandungannya?

Perempuan itu tersentak ketika ponselnya kembali berdering. Ia melihat ke arah layar dan tampak nomor yang tak ia kenal sedang memanggil. Butuh waktu beberapa detik untuk berpikir hingga akhirnya ia memutuskan untuk menerima panggilan tersebut. 

“Selamat malam.” Renata menyapa terlebih dahulu. 

“Selamat malam. Dengan saudara Renata?” Terdengar suara laki-laki dari seberang sana.

“Ya.” Renata menjawab ragu. 

"Oh, syukurlah. Bagaimana keadaan anda?" 

Renata mengernyitkan dahinya. 
“Maaf, anda siapa?”

“Tadi saya berencana menjenguk anda di Rumah Sakit, tapi mereka bilang anda sudah pulang sejak tadi pagi.”

Renata terdiam sesaat. Kedua matanya melebar.
“Apakah anda ___?”

“Ya, saya yang membawa anda ke Rumah Sakit ketika anda tak sadarkan diri beberapa waktu yang lalu.”

Renata membelalak. 

“Oh, benarkah? Syukurlah anda mau menelpon. Saya benar-benar ingin berterima kasih pada anda karena telah menolong saya. Bagimana anda tahu nomer telpon ini?”

“Ketika saya membawa anda ke rumah sakit, saya memeriksa data pribadi berikut ponsel anda. Jadi saya tahu. Maaf, saya tidak bermaksud lancang.”

“Ah, tidak. Terima kasih sudah menyelamatkanku. Boleh saya tahu anda siapa?”

“Itu tidak penting. Yang jelas, saya lega anda sudah membaik.”

“Saya ingin mengucapkan terima kasih. Bisa kita bertemu?” 

Sesaat tak ada jawaban dari seberang sana. 

“Suatu saat kita pasti bertemu.”

“Tapi___”

Pembicaraan terputus. 

Renata mendesah. Bingung dan kecewa. 

***

Biasanya Mbak Yuli yang akan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Tapi karena dia dan Mas Aldi masih di luar kota, akhirnya Renata yang melakukannya. Tadinya ia berniat berbelanja di pasar saja. Tapi setelah berpikir sejenak, ia memutuskan untuk pergi ke sebuah Mall yang berada sekitar 15 kilometer dari rumah. Ia memang tak punya banyak uang untuk belanja gila-gilaan. Tapi, sedikit berjalan-jalan dan menikmati suasana baru sepertinya bukan ide yang buruk. Yang akan ia lakukan hanya belanja seperlunya saja, melihat-lihat sejenak, lalu pulang.

Ia berniat mampir sebentar ke sebuah Coffee Shop dan sedang membenahi barang-barang belanjaannya ketika suara itu mengalihkan perhatiannya.

“Perlu bantuan?” 

Renata menoleh ke arah datangnya suara tersebut. Kedua matanya menyipit sesaat demi melihat sosok itu secara seksama. Dan sekian detik kemudia ia terbelalak. 

Seorang lelaki jangkung berpakaian rapi tengah melangkah dan tersenyum manis ke arahnya.  Matanya tajam memikat, senyumnya menawan. 
Wajah yang tak bercukur membuat bulu halus di dagu dan tulang rahang terkesan eksotis. Pas dengan sorot mata yang ia pancarkan. 

Renata mematung di tempatnya selama beberapa saat. Sebenarnya ia sempat merasa ragu. Tapi, ya, ia masih ingat sosok itu meskipun beberapa tahun telah berlalu. 

“Shinji?” Tanpa sadar ia menggumam. Lelaki itu berhenti di hadapan Renata, tersenyum lalu mengangguk. 

“Syukurlah kau masih ingat padaku. Ohisashiburidesune. Ogenkidesuka, Rena?” Ia menyapa ramah.

Renata masih sempat terbengong sebelum membuka suara. 

“Hai, genkidesu,” jawabnya kemudian dengan terbata. Ia tak bisa berbahasa jepang, tapi jika sekadar ungkapan sapaan, ia bisa menjawab. 

Lelaki bernama Shinji itu beranjak meraih tas belanjaan dari tangan Renata dengan maksud untuk membantunya. 

“Apakah kau buru-buru?” tanya Shinji tanpa menghiraukan Renata yang masih tampak bingung menatapnya. 

“Renata?” Panggilan itu membuat Renata mengerjapkan mata.  

“Eh?” Ia tampak salah tingkah.

Shinji tersenyum lagi. “Apa kau buru-buru? Jika kau tak keberatan, aku ingin mengajakmu minum kopi. Lama kita tak bertemu dan aku ingin mengobrol banyak hal denganmu. Itupun jika kau mau, bagaimana?”

Renata tak segera menjawab. Tapi akhirnya ia tersenyum dan mengiyakan ajakan Shinji. Mereka pergi dan minum kopi di kedai yang berada tak jauh dari mereka dan masih berada di kawasan mall. Shinji membantu Renata membawakan tas-tas belanjaannya. 

“Aku benar-benar tak menyangka bahwa ini benar-benar kau, Shinji,” ucap Renata dengan antusias. Ia mulai bisa mengatur keadaan hingga lebih rileks menghadapi lelaki di hadapannya.

Shinji tertawa.
“Dan aku benar-benar tak menyangka bahwa  kau  masih ingat padaku,” jawabnya. 

Renata tertawa. 
“Tentu saja. Bagaimana mungkin aku melupakanmu, kita ‘kan teman SMA. Yaah, meskipun hanya sekitar satu tahun.”

“Tepatnya 9 bulan,” Shinji mengoreksi. Perempuan di depannya tertawa. 
“Kudengar kau melanjutkan sekolah dan bekerja di Jepang. Kapan kau kembali ke sini?” Ia bertanya kemudian.

Mata Shinji menyipit dengan indah. “Baru beberapa hari yang lalu,” ucapnya kemudian. “Urusan pekerjaan,” lanjutnya. 

Renata tersenyum. “So, welcome back,” ujarnya antusias. 

“Oh, kudengar kau sudah menikah. Kau tak bersama suamimu, kan? Dia bisa menghajarku karena mengajak istri orang lain berduaan seperti ini.” Shinji menatap sekeliling dengan agak ragu. 

Renata tertawa. “Tidak. Dia tidak ikut bersamaku. Tenang saja. Tapi, bukankah kau sudah lama di Jepang. Bagaimana kau tahu kalau aku sudah menikah?”

“Beberapa waktu yang lalu aku bertemu teman lama dan ia mengatakan kau sudah menikah,” jawab Shinji.
“Sudah punya momongan?”

Renata mengeleng.

“Kenapa? Menunda punya momongan?”

“Tidak juga. Aku hanya ingin menikmati masa-masa bulan madu lebih lama,” jawab Renata sambil tergelak. Lelaki tampan di depannya juga ikut tertawa.

“Kau sendiri? Sudah menikah?”

Shinji menggeleng. 

“Kenapa? Belum laku juga?”

Pria itu mengangkat bahu. 
“Dulu ketika masih di SMA, seseorang pernah membuatku patah hati hingga aku trauma untuk  menjalin berhubungan kembali,” jawabnya lirih. 

Renata terdiam. Senyum di bibirnya segera menghilang. Ia tahu maksud perkataan Shinji.

Merasa aneh dengan perubahan wajah perempuan itu, Shinji tertawa.
“Aku bercanda, Ren. Kau tak perlu setegang itu. Ah, sudahlah.  Itu sudah lama berlalu, kan? Tak seharusnya aku membicarakannya lagi. Yang jelas, aku belum menikah karena aku belum menemukan orang yang cocok sampai saat ini. Dan percayalah, aku juga masih normal,” jawabnya. Dan Renata pun kembali tersenyum, agak kaku.

“Untuk apa kau kembali ke sini?”

“Bekerja,” jawab Shinji singkat seraya menyeruput kopi dari cangkirnya dengan perlahan. 

“Kau bekerja di mana?”

“Konsultan gizi. Kantor kami beberapa kilometer dari sini.”

Renata manggut-manggut. 

“Jika kau punya masalah dengan asupan gizi dan kesehatan, kau bisa konsultasikan denganku. Jangan khawatir, antar teman pasti diskon.” Shinji mengerlingkan mata.

Renata terkekeh. “Well, thank you. I’ll think about it,” jawabnya. 

“Tapi itu benar, Ren. Kau perlu mengkonsultasikan tentang kesehatanmu. Jika tidak, bisa saja kau pingsan lagi di pinggir jalan seperti beberapa hari yang lalu,” balas Shinji.

Renata tertawa. Tapi sejurus kemudian ia tersentak. “Bagaimana ___“ Ia menatap Shinji dengan bingung. “Bagaiman kau tahu tentang kejadian itu?” Sontak Ia bertanya dengan heran. 

Shinji hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Renata.

“Apakah mungkin kau yang___?”

Dan lelaki itu langsung mengangguk. 
“Ya, akulah orang yang menolongmu dan membawamu ke Rumah Sakit ketika kau tak sadarkan diri di pinggir jalan,” jawabnya kemudian hingga membuat Renata nyaris memekik kaget. 

“Astaga, kenapa kau tak bilang kalau kau-lah yang menolongku? Kau bahkan sempat menelponku, kan?” Renata terlihat kesal. 
 
Shinji hanya tertawa dengan ulahnya. 
“Maaf, aku tidak bermaksud mempermainkanmu. Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk bertemu denganmu.”

“Tapi, bagaimana ceritanya kau bisa menolongku?”

Pria berhidung mancung itu menarik napas. “Well, anggap saja ini takdir. Aku bahkan baru saja menginjakkan kakiku di sini dan hendak menuju hotel. Tapi di tengah jalan, taksi yang kutumpangi dihentikan beberapa orang. Mereka bilang seseorang sedang pingsan dan harus dibawa ke rumah sakit secepatnya. Tadinya aku enggan, tapi ketika aku turun dari taksi dan melihat siapa gerangan yang sedang tak sadarkan diri, astaga, itu kau, Ren. Dan begitulah, sisanya kau tahu sendiri.” Ia menjelaskan.

“Kenapa kau tak mengunjungiku?”

“Aku ingin, tapi pekerjaan tak bisa di tinggal. Di samping itu, aku disibukkan dengan tempat tinggal. Aku harus ke sana kemari untuk mencari apartemen yang cocok. Begitu aku longgar, aku segera ke sana mengunjungimu. Tapi ternyata kau sudah pulang.”

“Lalu kenapa kau bermain teka-teki tanpa menyebutkan namamu?” Renata terdengar kesal.

Shinji kembali tertawa. “Kejutan,” jawabnya pendek. 

Renata menarik napas gemas. “Ah, aku tak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu. Kau benar-benar menyelamatkan hidupku.”

“Kau ingin membalas budi padaku?”

“Tentu saja,” ujar Renata yakin.
“Kalau begitu, jadilah temanku.” Shinji menjawab sambil menatap mata Renata dengan lekat. 

Perempuan itu tertawa. “Shinji, bukankah kita adalah teman sejak dulu?”

Shinji mengangkat bahu.
“Bukan begitu. Maksudku, aku perlu seseorang untuk jadi pemandu.”

Yang diajak bicara mengernyitkan dahinya, heran. 

“Rena, kau ’kan tahu aku lama tak ke sini. Bahkan, nyaris seluruh keluargaku berada di Jepang. Aku tak punya banyak teman. Dan lingkungan di sini jadi lumayan asing buatku. Jadi, aku butuh___”

“Aku mau. Kau bisa menelponku jika kelak kau butuh bantuan dariku,” potong Renata cepat. 

Kedua mata Shinji mengerjap.
“Serius?” Ia bertanya dengan antusias. 
Renata mengangguk.
“Suamimu takkan marah, kan?”

Perempuan itu menggeleng. “Kau sudah punya nomor telponku, kan? Kalau begitu, simpanlah baik-baik. Kalau kau butuh apa-apa, kau tinggal menghubungiku,” jawab perempuan tersebut. 

Shinji tersenyum. 
“Arigatou,” ucapnya dengan tulus. Renata hanya tersenyum lalu mengangguk, dengan tulus pula. 

***

Bersambung ....

Ohisashiburidesune : Lama tak berjumpa.
Ogenkidesuka : Apa kabar?
Arigatou : Terima kasih
Hai, genkidesu : Ya, baik-baik saja.

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER