Sekitar dua abad yang lalu Karl Marx (1818-1883) menyatakan bahwasanya yang menentukan perang dan damai di antara manusia di dunia ini adalah perebutan mencari makan alias persoalan mengisi perut.
Segala permasalahan di dunia ini, berpusat kepada perut. Semua orang ingin kenyang, dan tak mau lapar, lalu merebut makanan. Maka terjadilah pertentangan, pertikaian yang tidak dapat dielakkan.
Dan satu setengah abad yang lalu datang pula seorang lagi yang bernama Sigmund Freud (1844-1900), menyatakan bahwa bukan urusan perut yang menjadi sebab timbulnya pertentangan dan perebutan di dalam dunia, melainkan faraj (alat kemaluan) lah yang menjadi penyebab, yaitu pemenuhan hasrat seksual yang tak terkendali.
Keduanya Karl Marx dan Sigmund Freud adalah para peneliti dalam masalah-masalah sosial. Mereka mengerahkan perhatian mereka untuk mencari sebab kericuhan ekonomi dan sosial di benua Eropa, dan mereka telah menyampaikan kesimpulan seperti di atas.
Tetapi nun jauh sebelum Manc dan Freud mengeluarkan fahamnya -750 tahun silam- Ulama Islam legendaris yaitu imam Ghazali telah menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang sangat menentukan keberlangsungan hidup manusia yaitu syahwat perut dan syahwat faraj kemaluan.
Pandangan imam Ghazali di atas justru berlawanan dengan kedua ilmuwan Barat tadi, kalau menurut mereka, syahwat perut dan faraj adalah penyebab tirabulnya kericuhan di dunia ini, karena landasan mereka yang sangat materialistis. Sebaliknya, imam Ghazali memandang kedua syahwat tersebut adalah potensi yang dimiliki manusia untuk mempertahankan keberlangsungan hidup mereka, karena syahwat-syahwat tersebut merupakan anugerah Allah SWT kepada manusia, bahkan semua makhluk. Apa jadinya jika manusia tidak mempunyai syahwat perut, sementara syahwat perutlah yang mendorong manusia agar tetap hidup dan tumbuh. Dan bagaimana pula jika manusiatidak mempunyai syahwat faraj, tidak ada hasrat untuk menikah dan kawin, sementara syahwat farajlahyang mendorong manusia untuk memiliki keturunan sehingga terjadi regenerasi?
Namun harus diingat, potensi yang ada jika tidak di kelola dengan baik maka keburukanlah yang di dapat. Di sini peran akal harus bermain. Akal yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain harus mampu menimbang, mengukur dan menakar baik dan buruk. Kalau peran akal sudah tidak bermain maka benarlah apa yang disimpulkan oleh si Marx dan Freud. Manusia tak lebih sama dengan binatang, bahkan lebih parah dari binatang. Saling memakan dan bebas menggauli betina mana saja.
Tapi apakah dengan adanya akal sudah cukup? Apa yang menjadi tolok Ukur bagi akal dalam menimbang baik dan buruk? Maka dari itu diutuslah Nabi dan Rasul untuk menyampaikan pengajaran dari Allah SWT. Karena Allah yang menciptakan manusia maka Dia pulalah yang paling tahu apa yang terbaik untuk manusia. Disampaikanlah kepada manusia lewat perantara Rasul bagaimana cara memenuhi syahwat perut yang benar, mana yang halal dan mana yang haram. Demikian pula diajarkan bagaimana cara memenuhi syahwat faraj, mana yang boleh dinikahi, mana yang tidak, dan seterusnya.
Akal yang diisi muatan agama inilah, yang sejatinya mampu untuk mengelola potensi-potensi tersebut menjadi kekuatan. Akal yang sehat yang berisi ajaran agama tidak akan tega menyikut, menindas, melukai atau bahkan membunuh saudaranya hanya karena inginmemenuhi syahwat perut. Melainkan dia akan berpikir bagaimana agar orang lain bisa memenuhi syahwat perutnya dengan baik dan halal. Tidak sekali pun terpikir olehnya untuk menggauli istri orang lain, anak orang lain atau bahkan saudara kandung dan anaknya sendiri hanya karena ingin memenuhi syahwat farajnya. Melainkan dia akan berpikir bagaimana kejahatan yang diakibatkan syahwat faraj yang diumbar bisa dihapuskan.
Di sini kiranya salah satu fungsi dan hikmah ibadah puasa yang disyari’atkan oleh Allah S WT atas manusia. Puasa yaitu menahan diri, mengajari manusia untuk mengendalikan syahwat perut dan syahwat faraj sebagai potensi yang ada dalam dirinya. Meski makanan terhidang dihadapannya, makanan itu halal dan sehat, tetapi selama azan maghrib belum berkumandang ia tidak boleh menyantapnya. lstrinya yang dinikahinya secara sah, sesuai dengan tuntunan agama, tidak boleh ia gauli ketika ia sedang berpuasa. Dia harus mampu mengendalikan kedua potensinya itu. Selama satu bulan penuh manusia berlatih mengendalikan syahwat-syahwatnya itu tak lain agar ia menjadi makhluk Allah yang mulia. Seperti cerita Superman (manusia super) yang mampu mengendalikan potensi yang ada dalam dirinya, sehingga ia menjadi kekuatan yang dapat membantu orang yang lemah.
Sumber : Buletin Mimbar Jum’at No. 37 Th. XXII - 12 September 2008
No comments:
Post a Comment