Monday, March 16, 2020

365 hari (1)

365 Hari

Part 1

Acara resepsi pernikahan kamk dilakukan secara meriah,  mengingat lelaki yang mendampingiku adalah seorang yang sukses dalam karirnya. Semua orang yang hadir mungkin akan takjub melihat pesta yang baru saja selesai beberapa jam lalu.  Bahkan,  wanita yang telah melahirkan aku saja tidak percaya kalau putrinya bisa dilamar dengan orang yang taraf ekonominya sudah terbilang mapan.

"Maaf,  biar aku yang tidur di bawah," ucapnya pelan,  menarik bantal yang masih wangi harumnya aroma bunga mawar. 

Tidur terpisah.  Kami baru saja menikah secara sah dihadapan penghulu tadi pagi,  pesta pun baru usai beberapa jam yang lalu dan sekarang disaat malam pertama yang seharusnya menjadi malam bahagia kami justru tidur terpisah. Hendra memilih tidur di lantai dengan alas permadani daripada di samping wanita yang sejak tadi pagi telah sah menjadi istrinya. 

"Ehmm... Yang pengantin baru. Sudah mendekati waktu makan siang baru turun," goda Atika,  adik Hendra yang lebih dulu menikah darinya. 

"Huss! Kebiasaan kamu,  sudah sana siapkan makan siang aja daripada ganggu kakakmu," tegur Umi pada wanita berleher jenjang tersebut. Atika cuma senyum-senyum menanggapi teguran sang ibu. 

Ah,  inilah yang kukhawatirkan.  Keluarga Hendra memang sepertinya sangat kompak dalam segala hal, hingga masalah menggoda aku dan Hendra pun mereka kompak. Meja makan jadi seperti tempat yang tidak menyenangkan. Satu persatu dari mereka yang berada bersama kami melontarkan gurauannya tentang malam pengantin. 

"Maaf kan keluargaku, sudah membuatmu tidak nyaman," 

Aku hanya tersenyum,  coba menutupi kekesalanku. Setidaknya,  inilah resiko yang harus kutanggung. Semua orang berpikir malam pertama antara aku dan Hendra sangat menyenangkan. Padahal,  tidurpun kami terpisah. 

Beruntung lelaki itu sudah memiliki rumah sendiri. Setelah seminggu pernikahan 'pura-pura' tersebut kami pun memilih pindah ke rumah Hendra. Rumah tersebut tidak terlalu besar,  tapi cukup nyaman dan asri dengan berbagai tanaman bunga dan rumput yang menghijau disekitarnya. 

"Shiren sangat suka bunga mawar. Itu sebabnya aku sengaja menanamnya disekitar rumah dengan harapan ketika kami menikah nanti bunga-bunga itu sudah bermekaran dan menjadi taman yang indah," ucap lelaki itu pelan dan nyaris hanya terdengar seperti angin di telingaku. 

Aku menghela napas pelan dan menarik kembali jemari yang tadi sempat hampir menyentuh bunga berwarna putih tersebut. 

"Eh tapi kalau kami suka gak apa kok di petik. Asal jangan di babat saja pohonnya," guraunya menarik koper dari bagasi mobil dan membawanya ke dalam. Aku mengikuti langkah lelaki itu. 

"Kamar kita ada di lantai dua.  Tapi tenang saja, selama kita hanya berdua di rumah ini aku akan tidur di kamar tamu yang ada di bawah," jelasnya lagi. 

Aku tersenyum,  setidaknya lelaki itu mengingat perjanjian dan kesepakatan yang sudah kami buat kalau dia tidak akan menyentuh tubuh ini sampai batas yang telah ditentukan. 

Batas waktu?!

Ya,  Hendra meminta aku menjadi istri atu lebih tepatnya istri pura-pura hingga tahun depan. Kontrak kerja yang singkat, lebih pendek dari kontrak kerjaku di kantor. 

"Hai pengantin baruuu," sapa suara perempuan yang tanpa melihat kearah asal suara itu aku sudah tahu siapa dia. 

"Apaan sih kamu," sahut Mas Hendra seperti tidak nyaman dengan godaan Shiren. 

"Selamat ya, maaf aku gak datang di resepsi kalian. Si papih minta diantar berobat, biasaaa…" jelasnya dengan suara di buat semanja mungkin. 

"Kukira lelaki itu sudah tewas," 

"Apaan sih kamu.  Biar begitu dia sangat berguna bagi kita, Sayang," tatapan genit Shiren seperti mengisyaratkan sesuatu. 

 Aku segera beranjak dari hadapan mereka,  setidaknya menjauh dari pasangan yang memang saling mencintai tersebut. Menaiki anak tangga satu demi satu sambil membawa koper berisi pakaian yang sengaja kubawa dari rumah. Hanya 365 hari, tidak akan lama untuk berada berdua dengan lelaki itu di rumah ini. 

Dering phone cell berbunyi, Tania. Aku menghela napas sebentar sebelum mengangkatnya. 

"Hai pengantin baruuu," sapanya dari ujung sana. Sama saja dengan Shiren, sapaan penuh menggoda. 

"Hai," sahutku pelan. 

"Kenapa kok suaranya lemes gitu. Hmm…berada ronde emang Jeng semalam? Hehe," 

"Ih apaan sih Lu Tan," sanggahku menggerutu. 

"Iya... Iya... Maaf. Gue cuma bercanda. Habis masih kaget denger Lu nikah dengan si Hendra. Kok bisa ya?"

"Gue gitu loh... Apa sih yang gak bisa gue wujudin kalau udah niat," 

"Iya... Iya,  tau deh yang jago ngegaet cowok ganteng. Hehe... "

Aku tertawa menanggapi godaan Tania. 

"Lu, bisa buatkan aku minum gak?  Haus nih," tiba-tiba saja suara Hendra sudah tepat berada di kamarku,  lebih tepatnya kamar kami. 

"Iya Hen,  sebentar." 

"Huss,  sama suami itu jangan langsung nama. Panggil dong dengan sapaan sayang... Beib, Pap, Yank... "

"Ah berisik lu. Sorry ya,  suami gue minta dilayani. Dahhh jomblo," balasku sambil menutup handphone dan melemparnya ke atas kasur. Skak Mat,  godaan Tania kupatahkan dengan satu kata. Jomblo. Haha

Langkahku pelan menuruni anak tangga. Hendra sudah turun lebih dulu dan menemani Shiren yang sedang merapihkan rambut dan make upnya. Keringat sebesar biji jagung terlihat membasahi dahi Hendra. Tanpa bertanya pun aku sudah tahu apa yang telah mereka lakukan.

"Kalian mau minum apa?" tanyaku ketika melewati keduanya. 

"Yang bikin seger aja Lu," sahut Shiren tanpa melihat kearahku. 

Oke,  minuman dingin untuk dua orang yang selesai 'bertempur' memang sepertinya menyegarkan. Hendra memang sudah menyiapkan rumah ini lengkap dengan isinya, seperti isi kulkas yang juga penuh dengan makanan dan minuman. Atau mungkin,  memang ini adalah rumah mereka berdua sebelum aku datang. 

**** 

Aku segera mempercepat langkah menuju tempat pemberhentian bus. Sial!!!  Hari dimana aku harus datang untuk panggilan interview malah bangun kesiangan. Kalau saja semalam Tania tidak datang ke rumah untuk curhat mengenai hubungannya yang kandas dengan si Roby mungkin aku malas menemani cewek itu. Dia sih enak, hari ini tidak masuk kerja karena cuti. 

Perjalanan yang tidak menyenangkan karena macet yang cukup parah. Harusnya tadi aku naik ojek online saja tapi sial juga karena lupa mencharger handpone semalam sehingga batereinya low. 

Lima menit lagi jadwal interview dimulai,  turun dari Bus aku langsung mengambil langkah seribu masuk gedung. Masuk ke dalam lift menuju lantai yang tercetak jelas di surat undangan. 

"Selamat pagi. Maaf saya telat," aku membuat pengakuan dosa sekaligus permintaan maaf,  berharap ini tidak menjadi alasan para personalia membatalkan interview hari ini. 

"Kamu juga dapat undangan interview hari ini?" tanya seorang wanita bertubuh sintal yang berdiri paling depan diantara barisan beberapa orang wanita yang berpakaian dengan warna senada seperti yang sedang kukenakan,  hitam putih. 

Aku mengangguk pelan mengiyakan. 

"Silahkan masuk barisan. Saya bisa maklum kalau kamu telat, pasti kejebak macet kan?" 

Aku tersenyum dan langsung masuk barisan. Semua yang akan di interview hari ini wanita. Cantik, muda dan ada kesempatan untuk diterima. Mereka berdandan dengan riasan super tebal,  sedangkan aku hanya bermodalkan bedak dan lipstik yang kupinjam dari Tania. 

Semenjak remaja memang tidak biasa dan nyaris tidak pernah berdandan. Mungkin karena itulah tidak pernah aku diterima bekerja di perusahaan manapun. Tidak seperti Tania,  sejak lulus sekolah ini adalah tempat ketiganya bekerja. 

"Di coba ajalah Lu,  kamu kan pinter. Cocok kayanya jadi sekretaris manager keuangan," suport Tania ketika aku ragu untuk melamar ke tempatnya bekerja. 

"Ini kan untuk posisi sekretaris Tan. Gue mana cocok dan mungkin gak bakal dilirik juga,  kurang cantik dan ituloh gak bisa dandan," sanggahku pesimis. 

"Itumah masalah belakangan. Aku kenal kok sama manager itu,  Hendra namanya. Dia orangnya baik dan malah gak suka sama cewek yang genit-genit," jelasnya lagi. 

"Ah kayanya gak bakal diterima aku," ucapku lagi meragu. 

"Dicoba dulu aja Lu,  siapa tau berjodoh.  Kamu katanya kepingin kerja dan bosan jualan kaya beginian," tangannya mengibaskan rencengan minuman dingin yang terbungkus dalam bentuk sachetan. 

Yah,  sejak setahun lalu aku memang membuka usaha di rumah. Menjual minuman dan makanan yang diminati anak kecil. Tidak terlalu banyak keuntungan yang bisa di dapat tapi setidaknya bisa membuat aku sedikit mandiri dengan tidak meminta pada orangtua. 

Sejak lulus sekolah aku bukan tidak pernah mencoba melamar pekerjaan. Puluhan sudah perusahaan aku datangi untuk tapi tidak ada satupun yang mau menerimaku sebagai karyawannya. Macam-macam alasan,  dari mulai tinggi badan sampai nilai hasil tes yang tidak sesuai target. 

"Mungkin kamu harus ketemu jodoh dulu Lu baru dapat pekerjaan," ucap ibu ketika aku selalu mengeluh masalah pekerjaan. 

Aku yakin wanita itu hanya ingin menghibur anaknya supaya tidak putus asa saja. Padahal dalam hati bisa saja dia juga menginginkan aku bekerja dan menggantikan posisinya sebagai tulang punggung keluarga.  Sejak ayah meninggal,  dia lah yang mengambil tanggung jawab tersebut. Menghidupi tiga orang anak bukanlah hal yang mudah ditambah lagi penghasilan ibu kutahu tidak seberapa.  Hanya guru honorer merangkap tukang jahit di rumah. 

Urutan ke sepuluh. Nomor terakhir karena datang paling akhir. Rasanya sesuatu yang adil,  jadi tak perlulah aku protes mengenai nomor urutan ini. 

Semua tidak seperti yang kubayangkan,  proses wawancara tiap orangnya bisa menghabiskan waktu hingga setengah jam. Belum sempat nomor urutanku,  wanita bertubuh sintal tadi keluar dari ruangannya. 

"Interview dilanjut nanti setelah makan siang," seorang wanita muda cantik berbalut blezer warna cerah memberitahu kami yang hanya tinggal empat orang saja. 

Aku menghembuskan napas berat ke udara. Setelah makan siang itu pertanda masih satu jam lagi.  Melelahkan sekali rasanya menunggu enam puluh menit,  ditambah sembilan puluh menit lagi karena masih ada nomor urut tujuh sampai sembilan. 

Aku menuju keluar ruangan,  menuruni gedung dengan harapan bisa membeli makan dengan uang yang ada di kantong saat ini. Baru saja keluar dari gedung ketika mobil sedan berwarna merah berhenti tepat di depanku. Kaca mobil dibuka dan kepala wanita bertubuh sintal itu keluar dari dalam. 

"Mau kemana?" tanyanya. Kepalaku menoleh ke kiri dan kanan sebelum menjawab,  khawatir dia bertanya pada oranglain. 

"Beli makan dulu," jawabku setelah yakin bahwa tidak ada oranglain selain aku di tempat ini. 

"Eh kebetulan. Ikut yuk,  saya juga mau beli makan kok," ajaknya. Aku terheran,  bingung dengan ajakan wanita itu. 

"Gak apa. Ikut aja,  nanti kita bakal jadi teman kok," ucapnya ramah. 

Entah mengapa aku menuruti ajakan wanita itu. Selain cantik ternyata dia wanita yang baik,  ramah dan royal.  Bagaimana bisa aku yang belum dia kenal sudah diajaknya makan bersama. 

Dalam perjalanan,  dia banyak bertanya mengenai kehidupanku. Mulai dari diri pribadi hingga keluarga. Apa yang ditanyakannya pun sebisa mungkin kuceritakan sedetail mungkin. 

Hingga di tempat makan,  sebuah kafe yang boleh di bilang elite itu pun dia masih terus menanyakan tentang kehidupanku.  Apakah ini interview? Rasanya bukan,  karena tidak ada sama sekali pertanyaan mengenai pekerjaan. Semua pertanyaan lebih menjurus tentang kehidupanku.  

"Oke Luna,  kamu bisa langsung pulang saja ke rumah," perempuan bernama Shiren tersebut berkata ketika mobilnya sudah kembali lagi ke kantor. 

"Tapi saya belum di interview Bu. Masa langsung pulang," 

Shiren tertawa pelan, "tadi kita sudah ngobrol banyak dan rasanya itu sudah cukup untuk saya mengetahui siapa kamu," jelasnya. 

Aku terheran. 

"See you next time ya Luna. Kami akan kabari untuk lulus tidaknya kamu dalam interview hari ini," ucapnya lagi menutup pintu mobil setelah aku berada di luar. 

Ah sungguh membingungkan. Interview yang aneh karena dilakukan di sebuah kafe dan sambil di traktir makan pula. Aku tidak terlalu memikirkan masalah pekerjaan itu setelah interview tersebut.  Tapi,  sebuah kabar baik itu datang tiga hari setelah kejadian itu berlalu. 

"Selamat bergabung di perusahaan kami dan kami berharap hari senin Anda bisa datang tepat waktu," suara seorang wanita di ujung telpon menutup pembicaraan.

Aku memeluk ibu dan menangis karena tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengar. Setelah sekian lama akhirnya ada perusahaan yang mau menerimaku sebagai karyawannya dan sepertinya ramalan ibu tentang jodoh itu salah. Terbukti,  aku dipanggil bekerja sebelum jodohku datang melamar. 

Bersambung.....

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER