Monday, March 16, 2020

Tada 15

*TADA AISHITERU*
❤🙍‍♂❤
nomor 15 (END) 

Shinji memenuhi janjinya. Mereka menikah di Karibia. Sebuah pernikahan yang sakral dan sederhana di pinggir pantai yang hanya dihadiri keluarga dan sahabat dekat saja. Ia bahagia, Renata juga.

Setelah seminggu menghabiskan bulan madu di pulau eksotik tersebut, mereka memutuskan pulang ke Jepang dan menetap di sana.

Dan Shinji benar-benar merasa bahagia luar biasa. Ia tak pernah merasa hidupnya begitu lengkap dan sesempurna itu. Renata memperlakukannya dengan sangat baik. Begitupula sebaliknya, Shinji merasakan cintanya pada perempuan tersebut semakin bertambah.

***

Shinji memasuki ruang kerjanya dan menemukan Renata di sana.
Perempuan itu tengah menatap serius ke layar komputer di meja, sesekali diselingi senyum.

"Sedang melihat apa?" Shinji menyapa sembari mendekati kursi tempat Renata berada, lalu duduk di sandaran lengan di sisinya.

Ia menggamit bahu istrinya, mengusapnya beberapa kali sambil mendaratkan ciuman dalam di puncak kepalanya.

Renata tersenyum lalu menunjuk layar monitor.
"Hasan baru saja mengirimkan video Noah padaku. Hari ini adalah hari pertama ia masuk sekolah. Lihatlah, ia lucu sekali." Renata berucap antusias sambil terus menunjuk layar komputer. Tampak di sana seorang bocah laki-laki berusia sekitar 7  tahun tengah asyik melompat dan bernyanyi-nyanyi di halaman sekolah.

Noah, anak Hasan.

Hubungan mereka jauh lebih baik sekarang. Renata dan Shinji rajin berkomunikasi dengan keluarga kecil Hasan.
Dan Hasan rajin mengirimkan video perkembangan Noah pada mereka, tak terhitung jumlahnya. Shinji kerapkali memergoki Renata menonton ulang semua video-video Noah dari awal hingga akhir.

Dan Shinji bisa melihat jelas, betapa kedua mata Renata begitu mendamba.
Mendamba bocah kecil di antara mereka.

Sudah 6 tahun mereka menikah dan sampai saat ini belum juga dikaruniai momongan. Berbagai cara sudah mereka tempuh. Dari dokter terbaik, hingga rumah sakit terbaik.
Dari Intrauterine insemination, Zygote Intrafallopian Transfer dan Tubal Embryo transfer, sampai Fertilisasi in Vitro. Tak ada yang membuahkan hasil.

Terkadang Shinji ingin menyerah. Bukan karena lelah, bukan karena biaya. Ia hanya kasihan pada Renata yang harus keluar masuk Rumah Sakit, diperiksa ini dan itu, dan harus mendapat tindakan medis ini dan itu.
Shinji tak tega.

"Bagaimana dengan tawaranku? Tentang mengadopsi anak."
Kalimat Renata membuat atmosfir menjadi seketika serius.

Ini sudah yang kedua kalinya Renata mengutarakan niat untuk mengadopsi anak.
Dan reaksi Shinji tak jauh berbeda. Napas berat ia hembuskan dari hidung, lalu lelaki itu bangkit.
"Tidak." Ia menjawab ketus seraya melangkahkan kakinya mendekati jendela yang terbuka lalu membuang pandangannya ke luar sana.

"Dan kenapa tidak?" Renata bangkit, menatap punggung Shinji dengan emosi tertahan.

Seolah menyadari tatapan istrinya, lelaki itu berbalik dan membuat pandangan mereka beradu. 
"Ren, bisakah kau hentikan ide konyolmu ini. Kita tidak akan pernah mengadopsi anak, titik."

"Ini sebuah langkah yang positif, Shinji. Kita bisa menciptakan sebuah keluarga yang utuh. Ada ayah, ibu, dan anak. Kita takkan kesepian ketika kelak kita menua. Dan siapa tahu, dengan mengadopsi anak, aku bisa hamil."

"Kita takkan kesepian. Kita akan saling menjaga ketika kita menua."

"Shinji___"

"Ren, tidak bisakah kita menikmati momen kebahagiaan kita hanya dengan adanya kau dan aku? Tidak bisakah kau melupakan sejenak soal anak, lalu hidup bahagia dengan diri kita yang sekarang?" Shinji menata Renata dengan dalam. "Maaf, tapi aku lelah mendengarmu merengek soal anak."

Kedua mata Renata basah. "Kau tak mengerti!" Ia nyaris terisak.

"KAU YANG TAK MENGERTI!" Shinji membentak. Emosinya meluap.

"Aku merebutmu dari Hasan bukan karena semata-mata aku mendambakan keturunan darimu, tapi karena aku ingin kau! Aku mencintaimu, utuh! Aku bahagia dengan apa adanya dirimu! Dengan segala kekuranganmu! Tidak bisakah kau berpikiran sama denganku? Tidak bisakah kau bahagia hanya dengan adanya diriku?" Ia berteriak, lalu beranjak. Keluar dari ruangan dengan langkah panjang, setelah sebelumnya sempat membanting pintu.

Lelaki itu menuju garasi dengan raut muka kesal. Terpikir olehnya untuk keluar sejenak, mengemudi entah ke mana, sekadar mencari udara segar.
Tangannya baru saja menarik handle pintu mobil ketika perasaannya kembali ragu.

Tidak.

Sekesal apapun dirinya pada Renata, Ia takkan sanggup meninggalkan perempuan itu sendirian.

Mendesah lelah, ia kembali menutup pintu mobil dengan kasar lalu berbalik. Menyusuri ruangan dengan langkah panjang menuju ruang kerja, tempat di mana istrinya berada.
Dan di sana, tampak Renata tengah berdiri di depan meja kerjanya dengan berderai air mata dan tampak rapuh.
Seolah menunggu untuk dipeluk, disayang, ditenangkan jiwa dan raganya.

Dan Shinji seketika menyerah.

Pria itu berjalan pelan menghampirinya, membawa sosok itu ke dekapannya. 
"Maaf karena tadi aku membentakmu," bisiknya.

Ia membelai punggungnya lembut dan mendaratkan ciuman di puncak kepala.
Renata tak menjawab. Hanya menumpahkan isak tangis di dada lelaki itu.

***

Shinji melirik seekor anjing samoyed yang berada di kursi penumpang di sisinya. Anjing cantik yang memiliki mata berwarna coklat almond, serta bulu putih tebal yang menutupi telinga itu diam dengan patuh di kandangnya.

Anjing itu sengaja ia pesan dari Siberia langsung dan ingin ia berikan pada Renata sebagai kejutan. Berharap dengan adanya anjing lucu itu, Renata tak lagi kesepian.

"Kau akan segera bertemu dengan pemilikmu," ucap Shinji antusias setelah sampai di rumah. Ia membawa kandang anjing itu dengan hati-hati, bersiap memberikan kejutan untuk istrinya.

Tak dapat menemukan Renata di ruang bersantai maupun taman di belakang rumah, ia memanggil namanya lembut sambil beranjak ke dapur.
Tak juga bertemu, ia bergerak ke kamar.

"Rena," panggilnya.

Dan pria itu terbelalak kaget ketika menemukan sosok itu tergeletak di lantai kamar, tepat di sisi kanan tempat tidur.

"Ya Tuhan, Renata!" Shinji meletakkan keranjang anjing di tangannya dengan asal, lalu berlari menghampiri istrinya.

"Ren!" Ia meraih sosok dengan panik. "Sayang, ada apa denganmu?" Ia menepuk pipinya dengan lembut, tapi Renata tetap terkulai tak sadarkan diri.
"Renata!" Ia mengangkat tubuh istrinya dan segera membawanya ke mobil. Dalam perjalanan ke Rumah Sakit, pria itu menangis.

***

Setelah Renata dirawat dan ditangani dokter terbaik pilihan Shinji, lagi-lagi pria itu menangis sesenggukan.
Tapi kali ini bukan tangisan panik karena keadaan Renata memburuk. Sebaliknya, tangisnya adalah ungkapan rasa haru.

Dokter mengatakan Renata mengandung, 3 minggu!

Sungguh, ini sebuah keajaiban yang luar biasa. 

***

Tidur Renata terganggu ketika ia rasakan cumbuan mesra di lehernya. Ciuman ada di mana-mana. Di kening, di pipi, di rahang dan tulang selangka.

Renata menggeliat pelan. Menahan kantuk, matanya menyipit guna mencari pelaku yang menyebabkan tidurnya terganggu.

"Sayang..." Ia mengerang ketika menemukan pria itu di sisinya.

Shinji hanya menggumam pendek, lalu kembali menciumi ceruk di leher istrinya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Renata lirih. Ia sempat melirik jam di dinding. Pukul sebelas malam.
"Aku lapar..." Shinji menjawab lirih sambil terus menciumi lehernya, dan juga dadanya.
Lapar, yang pria itu maksud adalah lapar yang lain.

Renata terkekeh lirih.
"Aku takkan mau bercinta denganmu," ucapnya.

"Kenapa tidak?" Shinji mendekatkan wajahnya ke wajah Renata.

"Nanti dia tergoncang." Perempuan itu mengelus perutnya yang membuncit. Usia kandungannya sekarang sudah 8 bulan.

"Aku akan pelan, dia takkan terguncang,” bisik Shinji. Renata merasakan pria itu ikut mengelus perutnya. Ia tertawa lirih.

Pelan? Bercinta dengan Shinji tidak akan pernah pelan. 
Selau saja cepat, panas dan menggelora.

"Tidak. Dia sudah makin besar, aku takut dia terguncang."
Dan mata Renata terpejam. Dalam hitungan detik, perempuan itu sudah kembali jatuh tertidur.

Shinji menatapnya bingung. Alih-alih marah, lelaki itu malah terkekeh lirih. Hanya dengan menatap wajah istrinya yang tertidur pulas dengan wajah bahagia, lapar dan dahaga yang ia rasakan terkadang lenyap begitu saja.

Yang penting Renata tambah gemuk dan sehat, batinnya.

Setelah kembali mencium kening Renata dengan lembut, Shinji menarik selimut, berdusal di sebelahnya.

Dan ia ikut tertidur.

***

Beberapa minggu kemudian, Renata melahirkan anak mereka dengan sehat dan selamat. Tidak main-main, Tuhan bahkan menganugerahi mereka anak kembar, laki-laki dan perempuan!

“Kau memang yang terbaik, Sayang,” ucap Shinji lembut seraya mencium kening istrinya yang masih terbaring lemas setelah proses kelahiran. Perempuan itu tersenyum.

“Mereka sehat?”

Shinji mengangguk. Ia duduk di samping ranjang Renata.
“Mereka sehat. Dan mereka luar biasa,” ucapnya seraya meraih tangan istrinya lalu mencium punggung tangannya dengan lembut.
“Honto ni arigatou, Ren. (Terima kasih banyak, Ren.) Kau benar-benar membuat hidupku bahagia luar biasa,” ucapnya lembut.

Renata menatap suaminya dengan mata menyipit.

“Kau menangis?” Ia bertanya lirih.

Shinji tersenyum.
“Aku terlampau bahagia,” jawabnya.

Renata ikut tersenyum. 
“Aku juga bahagia. Aku juga berterima kasih padamu. Kau pasti akan jadi ayah yang baik, tidak diragukan lagi,” ucapnya seraya menyentuh pipi Shinji dengan lembut.

Mereka berpandangan dan tersenyum. Shinji kembali mendaratkan ciuman di bibir Renata yang pucat. Sebuah ciuman pelan dan hati-hati. “Tada Aishiteru,” bisiknya lirih. Penuh cinta.

Dan segera Renata pun membisikkan kata-kata yang sama.

*S E L E S A I*

3/6, 9:29 AM] Mas Djudjuk: *TADA AISHITERU*
❤🙍‍♂❤
nomor 14

"Aku tidak berencana menikah lagi, Shinji. Aku nyaman dengan keadaanku yang sekarang." Renata kembali berujar. 

"Bohong," tukas Shinji. "Kau menolak lamaranku karena tak percaya padaku, kan? Karena takut aku bersandiwara lagi, kan?" 

Renata menghela napas. 
"Itu salah satunya," jawabnya. "Aku tak bisa lagi percaya padamu setelah apa yang kau lakukan padaku. Aku takut. Aku takut kau akan bersandiwara lagi, mempermainkanku, mengajakku ke dalam perangkap, lalu menghancurkanku. Aku tidak akan sanggup menghadapinya, Shinji. Aku tidak sanggup. Dan jika kau melakukannya lagi, aku akan mati, aku akan hancur," lanjutnya. Suaranya serak. Ada banyak beban di sana.

Shinji menyugar rambutnya asal, lalu kembali menatap wanita di hadapannya dengan penuh cinta.
"Ren, kau salah jika menganggapku senantiasa bersandiwara padamu. Waktu itu aku mendekatimu, merayumu, karena aku benar-benar mencintaimu. Apa yang kulakukan padamu waktu itu bukan dibuat-buat. Aku hanya sedikit kehilangan akal sehatku hingga menyakitimu. Aku dipenuhi rasa dendam. Sekarang, bagaimana caranya agar aku bisa membuatmu percaya padaku? Percaya bahwa kali ini aku tulus. Aku sudah berlutut dan memohon ampun darimu. Apa lagi yang harus kulakukan? Katakan padaku." 

Renata menggeleng. "Tak ada. Tak ada yang harus kau lakukan untukku," jawabnya.

"Apa aku harus melakukan cara norak untuk membuktikannya? Haruskah aku mati untukmu?"

"Shinji___" Renata mengerang.

"Jika aku mati, baru kau percaya kalau kali ini aku tulus?"

"Itu berlebihan."

"Oke, akan kulakukan." Shinji manggut-manggut.

Pria itu berbalik lalu bergerak dengan cepat menerobos taman dan pagar kemudian dengan langkah panjang ia berlari ke jalan raya. Ia melenggang begitu saja menuju tengah jalan tanpa menghiraukan kendaraan yang padat berlalu lalang.

Renata menjerit. Ia berlari mengejar Shinji, namun lelaki itu lebih cepat sampai di tengah jalan raya sebelum ia sempat mencegahnya.

Kini, sosok jangkung itu berdiri di sana, menatap dirinya dengan tatapan putus asa.

Renata merasakan jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika beberapa kali tubuh lelaki itu hampir tertabrak kendaraan yang melintas dengan cepat.

"Apa yang kau lakukan?! Minggir dari sana!" Renata berteriak.

"Aku tulus padamu dan inilah buktinya! Aku bahkan tak peduli jika aku mati di sini. Toh jika kau menolakku, aku tak berencana untuk hidup lagi!" Shinji menjawab dengan teriakan.

"Shinji, ini berlebihan!"

"Biarlah! Jika cara ini bisa membuatmu percaya, akan kulakukan!"

"Kita akan bicara lagi! Kumohon, jangan lakukan ini!"

"Anata ga inai sekai wa iranai! (Aku tak ingin berada di dunia ini tanpamu!)" Lelaki itu kembali berteriak.

"Kau bicara apa?! Minggir dari sana!" Renata juga berteriak.

Kendaraan terus berlalu lalang. Terdengar rem berdecit dan bunyi klakson bersahut-sahutan ketika para pengemudi kendaraan menyadari mereka nyaris saja menabrak seseorang.

Renata menatap Shinji dengan ngeri. Air matanya menitik. 
Ia merasa begitu takut. Ia takut menyaksikan salah satu kendaraan itu menabrak tubuh Shinji. Hingga akhirnya, ia memutuskan melakukannya.
Berlari dengan cepat, menerobos kendaraan yang berseliweran, lalu menghambur ke arah sosok itu.

Perempuan itu menghambur ke arahnya lalu segera memeluknya dengan erat.
"Kumohon jangan lakukan ini!" Ia berteriak seraya menenggelamkan wajahnya ke dada lelaki tersebut.

Shinji tercengang. Ia hanya tidak menyangka bahwa Renata akan menerobos padatnya lalu lintas hanya untuk menghampirinya. Tadinya ia mengira Renata hanya akan berteriak-teriak di pinggir jalan demi menghentikan aksi konyolnya.

Tapi ini? 

Perempuan itu bahkan tak mempedulikan nyawanya sendiri dengan berlari ke jalan raya untuk dirinya!

Tiba-tiba ketakutan luar biasa menghinggapi diri Shinji. Ia tidak takut menghadapi kematiannya sendiri. Tapi ia takut melihat Renata terluka. 

Tadi, ketika sosok itu berlari menghambur ke arahnya, beberapa kali ia melihat perempuan itu nyaris tertabrak mobil yang melaju dengan kencang.
Dan tak dapat ia bayangkan andaikan mobil-mobil itu menabrak perempuan itu, menghempaskan tubuh mungilnya dan ___

Oh Tuhan, Shinji merasakan tubuhnya gemetar hanya dengan membayangkan kejadian itu.

"Kumohon jangan lakukan ini." Renata terisak. Dan perempuan itu limbung. Ia terduduk lemas di aspal. Lengan tangan Shinji bergerak memeluk tubuhnya dengan erat, sementara lengan yang satunya terangkat untuk menghentikan beberapa kendaraan yang berlalu lalang dan nyaris menghantam mereka berdua. 

Rem berdecit lagi, klakson kembali bersahut-sahutan, dan ia mendengar beberapa orang mengomel kesal atas kelakuannya.

"Stop! Stop!" Ia berteriak. "Maaf, kami sedang bertengkar. Biasa, pertengkaran sepasang kekasih." Ia berucap sambil beberapa kali membungkukkan badannya dan meminta maaf ke arah beberapa orang yang mengendarai mobil dan berhenti hanya beberapa meter dari tempatnya berada.

Lelaki itu mengangkat tubuh Renata yang lunglai, mendekapnya erat, lalu beranjak dengan cepat ke pinggir jalan. Dan tanpa banyak bicara, ia membawa perempuan yang masih terlihat syok itu ke dalam mobilnya.

Renata duduk di samping kursi kemudi dengan berlinang air mata. Ia tampak terpukul. 
Sementara Shinji berlutut di sisinya lalu meraih kedua tangannya yang terasa dingin bagaikan es. Ia meremasnya dengan erat.

"Maafkan aku," desis Shinji sambil menghapus air mata Renata dengan lembut.
"Apa aku menakutimu?" desisnya lagi.

Renata tak bersuara. Air matanya kembali menitik. 

Shinji menarik napas panjang. Penuh penyesalan.
"Maafkan aku. Aku tidak berniat untuk menakutimu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku sanggup melakukan apapun untukmu. Kenapa kau harus membahayakan dirimu sendiri dengan menerobos mobil-mobil itu? Bagaimana jika kau tertabrak? Bagaimana jika kau terluka?" Suara Shinji terdengar marah. Tapi ia marah pada dirinya sendiri.

Renata sesenggukan.
"Aku yang seharusnya marah padamu. Kenapa kau harus berbuat konyol seperti itu? Bagaimana jika kau tertabrak? Bagaimana jika kau terluka? Kenapa kau harus melakukannya? Kenapa kau harus membahayakan dirimu sendiri hanya untuk diriku? Aku tidak butuh!" Perempuan itu berteriak.

"Karena kau tak percaya bahwa aku tulus mencintaimu!" jawab Shinji cepat.

"Shinjiteiru. Aku percaya. Bahkan jika kau bersandiwara sekalipun, aku akan tetap percaya padamu. Aku takkan pernah bisa berhenti untuk mencintaimu. Hanya saja, aku tak bisa jika harus kembali bersamamu."

"Kenapa?"

"Karena aku bukan perempuan sempurna untukmu. Jika kita menikah, aku takkan pernah bisa memberimu keturunan!" Emosi Renata meledak. Pertahanan perempuan itu runtuh. Tangisnya pecah lagi. "Kalau kita menikah dan aku tak mampu memberikanmu anak, kau bagaimana?!"

Shinji tertegun. Ia menatap perempuan di hadapannya dengan mata nyaris tak berkedip.
Astaga, bagaimana ia bisa lupa? 

Bagaimana ia bisa lupa penderitaan Renata soal ini?
Bagaimana ia bisa lupa bahwa Renata trauma, bahwa ia tersiksa dengan keadaan rahimnya yang tak sempurna.

Shinji beringsut. Ia memegang kedua bahu Renata, mendaratkan sebuah ciuman hangat di keningnya lalu membawa ia ke pelukannya.

Lirih ia berbisik serak, "Maaf karena telah membuatmu menangis lagi."

***

Renata menggeliat sesaat. Ketika ia membuka mata, ia terperanjat ketika menyadari bahwa dirinya masih berada di mobil Shinji dan lelaki itu pun masih berada di sana, di belakang kursi kemudi sambil menatap ke arahnya.

Ia menelengkan kepalanya dan tersenyum lembut. "Ohayou (Selamat pagi)," sapanya.

Renata menatap sekelilingnya dengan bingung. Lebih bingung lagi karena ia menyadari bahwa mobil mereka terparkir di depan kontrakannya.

"Bagaimana aku bisa di sini?" Ia bertanya dengan heran.

"Well, semalam aku mengantarkanmu pulang. Tapi kau ketiduran di mobil. Aku ingin membangunkanmu tapi aku tak tega. Aku ingin menggendongmu masuk ke rumah, tapi aku menyadari bahwa aku tak punya kunci. Sangat tidak sopan 'kan kalau aku menggeledahmu dalam keadaan tertidur hanya untuk mencari kunci?" kilah Shinji.

Renata melongo. "Jadi, kau membiarkanku tertidur di sini sampai pagi dan kau... menungguiku?" ucapnya tak percaya.

Shinji mengangguk. "Tepat sekali," jawabnya.

Perempuan itu mendesah tak mengerti. Ia melirik ke arah jam digital di dashboard mobil. Jam 06.10. Segera perempuan mungil itu terlonjak.

"Astaga, aku harus bekerja! Bagaimana ini? Aku harus berada di sana tepat jam 6 pagi. Aku bisa dipecat jika seperti ini." Perempuan itu menggerutu. Ia celingukan mencari tas-nya. Begitu melihatnya di kursi belakang, ia segera menyambarnya. Baru saja ingin membuka pintu mobil tapi Shinji menahan tangannya.

"Apa kau lupa kalau akulah atasanmu?" tanya Shinji kalem.
Renata menaikkan alisnya.

"Aku atasanmu. Tak masalah kalau hari ini kau tak bekerja. Aku akan memberimu ijin. Jelas?" Shinji kembali berucap, masih dengan nada yang sama.

Renata menggaruk-garuk tengkuknya, salah tingkah. "Ya, oke," jawabnya kemudian.

"Kau tak ingin mengundangku masuk setelah apa yang kulakukan semalaman untukmu? Aku menungguimu tidur lho. Kakiku pegal sekali. Dan sepertinya aku butuh secangkir teh." Shinji berterus terang. Renata tak segera merespon, tapi akhirnya ia mengajaknya masuk ke rumah.

"Boleh aku ke kamar mandi?" tanya Shinji.

"Silahkan," jawab Renata seraya meletakkan tas-nya ke atas meja kecil di ruang tamu.

"Dan sepertinya aku juga ingin menumpang mandi."

"Mandi? Di sini?" Perempuan itu terdengar kaget.

Shinji mengangguk.

"Aku harus segera mandi agar segar kembali. Ada masalah?"

Renata menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Tidak. Tapi, kamar mandiku terlalu kecil. Aku tidak yakin kau akan merasa nyaman."

Shinji mengangkat bahu. "Tak masalah. Airnya bersih, kan?"

Renata mengangguk.

"Pintunya bisa ditutup?"

Perempuan itu terkekeh.
"Tentu saja, kau pikir aku akan mandi dengan pintu terbuka?"

Shinji mengerutkan bibir. "Siapa tahu?" jawabnya.

Renata mencibir.
"Kau tamu yang cerewet. Kau merengek-rengek minta mampir, minta dibuatkan teh hangat, dan sekarang menumpang mandi?"

"Sarapan sekalian juga boleh. Aku lapar sekali," sahut Shinji.

Renata melongo, sementara Shinji hanya menyeringai.
"Jujur aku memang merasa lapar," tegasnya.

"Oke, tapi aku hanya bisa membuatkan mie instan," jawab Renata kemudian.

Shinji manggut-manggut.
"Aku percaya apapun yang kau masak, pasti enak." Pria itu tersenyum lembut.

Renata mencebikkan bibir.
"Rayuanmu tidak akan mempan. Segeralah mandi, kita perlu gantian."

"Oke." Shinji beranjak menuju kamar mandi setelah Renata menyodorkan sebuah handuk bersih ke arahnya.

Segera setelah itu, Renata pun membuatkannya teh hangat dan juga mie goreng. Awalnya Renata tak menyadarinya. Tapi lama kelamaan, ia merasakan ada sesuatu yang aneh dengan jemarinya. Hingga akhirnya ia menyadari: ada sebuah cincin berlian tersemat di jari manisnya!

Renata menyipitkan matanya menatap cincin tersebut. Selama ini ia mengenakan cincin perak sederhana yang senantiasa tersemat di jari manisnya sejak ia bercerai dengan Hasan. Tapi ini? Ini ... bukan cincinnya!

Renata menelengkan kepalanya dan terus menatap cincin itu dengan seksama.
Sesaat kemudian ia berbalik dan melangkahkan kakinya ke kamar mandi dengan tak sabar.
"Buka pintunya!" Ia menggedor pintu kamar mandi.

"Ada apa?" Terdengar suara protes dari dalam.

"Buka pintunya! Kita harus bicara?"

"Tidak bisa menungguku sampai selesai mandi?"

"Tidak!" Renata menjerit sebal.

Beberapa detik kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Shinji muncul dari sana nyaris tak berpakain. Ia bertelanjang dada, sementara handuk kecil melilit bagian bawah tubuhnya. Tetes-tetes air bahkan masih nampak di tubuhnya. Aroma sabun menyebar dan sebagian rambutnya basah. Wajahnya terlihat segar sekarang.

Renata ternganga. Astaga, menyuruhnya keluar adalah sebuah kesalahan.

"Sebentar, pakai dulu bajumu. Kau nyaris bugil." Renata berkata canggung.

"Tidak mau. Aku memang belum selesai mandi, kenapa aku harus pakai baju? Kau yang menggedor pintu dan menyuruhku keluar dengan tak sabaran." Lelaki itu protes. 

Renata menggigit bibirnya jengkel, kepalang basah.
"Apa ini?" Akhirnya Ia bertanya sambil menunjukkan cincin di jari manisnya.

"Cincin," jawab Shinji pendek.

"Aku tahu ini cincin. Maksudku, bagaimana ini bisa berada di sini?" Renata geram.

"Aku yang memakaikannya, semalam, ketika kau tertidur."

"Lalu, cincinku ke mana?"

"Aku membuangnya." Shinji menjawab enteng.

"Hah?!" Perempuan itu terbelalak.

"Cincin ini lebih cocok denganmu. Kau tidak cocok mengenakan cincin perak jelek yang tak ada artinya."

"Shinji!"

"Biarkan aku selesai mandi dulu. Kita akan bicara lagi nanti."

"Tidak, aku ingin kau menjelaskannya sekarang!" Kalimat Renata meninggi.

Shinji mendesah pelan. Kemudian ia memutar tubuh perempuan itu melalui kedua bahunya lalu membimbingnya untuk duduk di sebuah kursi dari kayu, di dekat pintu kamar mandi.
Ia tegap menatapnya dengan tangan bersedekap.

"Shinjiteiru. Bukankah kau bilang begitu padaku? Kau percaya padaku, kan? Kau percaya bahwa aku benar-benar tulus mencintaimu. Itu artinya, tak ada alasan lagi kau menolakku. Kita saling mencintai, dan kita akan menikah. Bukankah itu jelas?" Shinji kembali menatap Renata dengan tatapan penuh cinta. "Cincin yang ada di jemarimu adalah cincin lamaran dariku."

Renata menelan ludah.
"Bukankah semalam aku sudah bilang padamu. Aku tak bisa menikah denganmu karena---"

"Karena rahimmu bermasalah?"

Renata mengangguk lemah.

"Kalau begitu, setelah kita menikah, ikutlah bersamaku. Ke Jepang."

"Untuk apa? Mempertemukanku dengan mantan calon istrimu itu?"

Shinji memutar bola matanya dengan kesal. "Kami memang sempat bertengkar hebat. Tapi sekarang hubungan kami sudah membaik. Sekarang ia menetap di Inggris. Dan kudengar ia mulai berkencan lagi."

Renata tertegun sejenak. "Lalu untuk apa? Mempertemukanku dengan orang tuamu? Mereka pasti melabrakku. Kau membatalkan pernikahanmu karena aku, aku pernah menyakitimu, aku miskin, dan sudah bisa dipastikan..."

Shinji mendesis. "Kau pikir kita hidup di jaman feodal? Kau terlalu banyak nonton drama. Orang tuaku tidak seperti itu. Mereka open-minded. Mereka menghargai segala keputusanku, termasuk dalam hal berumah tangga."

"Lalu, kenapa kau ingin aku ikut ke Jepang?" Renata tetap bertanya jengkel. 

"Banyak dokter ahli di sana. Dan aku yakin mereka bisa membantu menyelesaikan masalahmu. Peralatan kedokteran jaman sekarang sudah sangat maju. Dan pasti ada cara untuk mendapatkan momongan."

Renata merasakan matanya berkaca-kaca. 

"Dan bagaimana jika mereka tak berhasil?" Ia bertanya lirih.

Shinji tersenyum.
"Aku akan tetap mencintaimu, seumur hidupku. Dan aku janji kita akan tetap bersama-sama, sampai tua," jawabnya lembut.

Renata mendesah. "Shinji, kau tak mengerti."

"Aku sangat mengerti. Kau yang tidak bisa mengerti. Ketika kau bilang kau percaya padaku, harusnya kau juga percaya bahwa aku akan mencintaimu dengan kondisi apapun dirimu. Kau berubah, tapi cintaku tidak. Aku sudah membuktikannya bertahun-tahun, kan? Jadi kumohon, bukalah hatimu untuk itu." Shinji bergerak, berlutut di hadapan perempuan itu lalu menggenggam erat tangannya. 

Renata terdiam. Kedua matanya tampak berkaca-kaca.

"Ren...." Shinji memanggil nama perempuan itu dengan lembut, penuh kehangatan. "Anak adalah anugerah. Tapi keberadaanmu di sisiku juga anugerah. Memang terdengar menakutkan bahwa kita tidak akan punya keturunan, tidak punya seseorang yang punya darah yang sama dengan kita. Itu ... benar-benar terdengar menakutkan. Aku memang takut tak punya anak, tapi aku lebih takut menghabiskan masa tua tanpa kau di sisiku," ucapnya, pelan.

Renata kembali menelan ludah, bibirnya bergetar.

"Jika kita bisa punya anak, kita akan bersyukur. Jikalau tidakpun, mari kita menghabiskan masa tua kita, bersama-sama, berdua. Saling mencintai, saling menjaga, saling menguatkan. Oke?" Shinji mengecup punggung tangan Renata. Dan perempuan itu merasakan kristal-kristal bening keluar dari matanya. Ia menangis, terharu.

"Shinji..." panggil Renata lirih.

"Hm?"

"Kelak, jangan bicara dalam bahasa Jepang dengan kalimat yang terlalu panjang. Aku tak mengerti." Perempuan itu tampak cemberut.

Shinji tertawa lirih. Kata-kata 'kelak' itu yang membuat dadanya serasa membuncah bahagia. 
Kelak, yang menandakan bahwa di masa depan, mereka akan bersama.

Lelaki itu mengangguk. Ia mencium tangan Renata, jemari-jemarinya, punggung tangannya, telapak tangannya. "Intinya adalah, kita akan menikah. Dalam waktu dekat ini. Oke?" Ia menatap Renata dengan keyakinan luar biasa. 

Renata hanya menatap lelaki tersebut tanpa bersuara.

"Aku membutuhkan jawaban 'ya', Ren."

Renata mengangguk pelan.

"Ya?"

"Ya." Perempuan itu menjawab dengan rona merah di pipinya.

Shinji tersenyum.

"Kau ingin menikah di mana?"

"Karibia." Renata menjawab sekenanya.

Shinji tergelak.

"Wow, itu pilihan yang sempurna. Sebuah pulau yang eksotik. Oke, aku akan segera menyuruh orang untuk menyiapkan segalanya di sana."

Perempuan di hadapannya membelalak.
"Tidak. Aku hanya bercanda. Di sini atau di Jepang akan lebih baik. Karibia terlalu jauh," ucapnya sedikit gugup.

Mata Shinji menyipit dan bibirnya mengerut. 
"Kau sudah terlanjur mengucapkannya dan aku juga sudah terlanjur mendengarnya. Kalimatmu tak bisa dicabut lagi."

"Itu___"

"Akan kukabulkan."

"Tapi___"

"I'll do it. Akan kulakukan apapun untukmu. Apapun itu," desis Shinji, tegas.

Renata merasakan pipinya kembali merona merah. Shinji bangkit, menarik bahunya, lalu merengkuh tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya. "Aku mencintaimu," bisiknya lembut di telinga.

Ia merasakan perempuan yang tengah berada di pelukannya mengangguk pelan. 

Dan lirih ia mendengar Renata berbisik, "Aku juga mencintaimu, Shinji."

"Ngomong-ngomong, lanjutkanlah acara mandimu," ucap Renata kemudian.
Shinji menarik diri dari pelukannya, lalu menatap ke arah kamar mandi dan ke arah Renata secara bergantian.

Renata hanya menatapnya bingung.
"Apa yang kau lakukan?"

Bibir Shinji mengerut sesaat. "Aku hanya sedang menduga-duga, apakah kamar mandi itu cukup untuk dua orang?"

Perempuan di hadapannya mendelik. Eh?

Dan belum sempat ia mengatakan apapun, Shinji mendaratkan sebuah ciuman lembut di bibirnya. 
"Ayo kita mandi bersama." Ia berbisik seraya mengangkat tubuh mungil Renata, membawanya ke kamar mandi, lalu segera menutup pintu kamar mandi tersebut dengan tumitya.

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER