LELAKI ES
PENULIS: RIKA YENITA
part 1
“Aku menikah dengan kulkas berjalan!” tulisku di sebuah grup alumni teman kuliah khusus cewek.
Hanya hitungan detik komentar datang meledekku, diiringi ‘emot ngakak guling-guling’ di akhir tiap kalimat yang mereka tuliskan.
Sebagian besar sobat-sobatku itu sudah menikah semua. Wajar jika kata-kata yang mereka tuliskan terkesan nakal.
“Kamu perlu belajar banyak dariku, Rin! Lihat anakku sudah tiga,” tulis Tina.
Hei apa korelasinya antara sifat dingin suami dengan punya anak tiga? Aku mengernyit.
“Mungkin kamu yang terlalu kaku, makanya kalau di rumah, dandan dan pakai baju seksi, dong!” Kali ini Risa yang mengetik balasan.
Aku baru dua hari menikah, mana mungkin dengan sangat percaya dirinya pakai baju seksi di depan lelaki yang baru saja kukenal. Ya, kami memang dijodohkan. Alasan orang tua suamiku karena anak mereka telah mencapai umur dewasa dan mapan. Lalu, orang tuaku menerima, karena seumur hidup putrinya ini belum pernah sekali pun pacaran. Tentu mereka takut aku jadi perawan tua. Se-simple itu pernikahan kami terjadi.
“Berarti kalian belum ML?” tanya Tina.
“Belum, lah,” jawabku jujur.
Emoticon ngakak memenuhi layar handphone-ku. Apa itu kedengaran lucu? Kenapa aku malah khawatir dan bingung? Ayolah teman, sayang kalian tidak ada di sini dan melihat bagaimana wajahku, andai saja itu terjadi, aku jamin kalian tidak akan tertawa.
“Mungkin karena pekerjaan suamimu yang sering berinteraksi dengan penjahat kriminal, sehingga terbawa dalam kehidupan sehari-hari, Rin. Nggak apa-apa, kalian hanya belum terbiasa saja!” tulis Yeoni.
Dari sekian puluh chat, kalimat ini kurasa yang paling bijak. Thank you, Beib Yeon! Mungkin ada benarnya. Tapi, andai kalian tahu, dia itu benar-benar dingin, kaku, dan ... sangat tidak romantis. Ah, aku memijat pelipis, bingung.
Aktivitasku terhenti saat pintu rumah terbuka. Suamiku pulang. Aku menyambut kedatangan pria tinggi itu dengan meraih tas selempangnya. Hari ini dia tak pakai seragam. Itu berarti tugasnya di luar kantor cukup berat. Kutahan untuk tidak bertanya dan mengambilkannya air minum.
“Kamu mau mandi air hangat?” tanyaku.
“Nggak,” jawabnya sambil memegang gelas yang telah kosong.
“Atau mau makan dulu?”
“Hmm ... nanti saja.”
Hening ... aku sedang mencari pertanyaan lain agar suasana sedikit mencair, tapi mendadak otakku buntu. Tidak bisakah kau yang berinisiatif membuka percakapan, Suamiku?
“Aku ke kamar, dulu.” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Lalu ia meninggalkanku duduk di sofa ini, sendiri. Menyebalkan! Mencoba menghibur diri dengan memilih acara televisi, entah kenapa iklan semua. Aku melempar remote.
Baiklah, mungkin nasihat Risa harus kupertimbangkan, istri harus agresif. Kususul Han ke kamar.
“Aku masuk, ya?” sapaku di pintu.
Han sedang berdiri membelakangiku, tampak sedang melepas pakaiannya. Kulitnya yang bersih terlihat sempurna dengan bentuk bahu yang lebar dan lengan terlihat kuat. Ia berbalik menatapku, bagian depan tubuhnya ternyata lebih menarik.
Glek.
Aku memegangi dada, tiba-tiba jantungku berdebar tak biasa. Sungguh indah ciptaanMu, Tuhan!
Han mengenakan kaos lalu menuju tempat tidur. Ia berbaring di sana.
“Ehm, Han ... dua hari lagi aku ulang tahun, lho!” Aku coba mendekatinya walau kaki ini terasa kaku.
“Kamu mau hadiah apa?” Ia menatapku. Wow, aku meleleh, Mande!
“Aku minta puisi dan bunga,” jawabku, malu sebenarnya mengatakan ini. Tapi ... aku sangat menginginkannya lebih dari apa pun.
Han diam sambil menggigit bibir. Itu makin membuatnya terlihat seksi. Kapan bibir itu mampir di bibirku? Astaga! Ririn! Aku menggelengkan kepala menepis pikiran mesum ini.
“Boleh ganti yang lain?” Ia menatapku lagi.
Apa? Ia tak bisa memberikan hadiah sesederhana itu? Ah, menyebalkan. Aku berlalu meninggalkannya, kesal. Tapi berharap ia memanggil dan berkata ‘oke, akan kuberikan!’
Tapi sampai aku melewati pintu kamar, tidak ada kalimat itu! Dasar, Han! Bantal kursi menjadi sasaran kekesalanku. Kupukul dan gigit sekuat tenaga! Ugh!
***
Setelah memasak untuk sarapan dan menghabiskan hidangan dalam kebisuan, akhirnya aku siap berangkat ke kantor. Aku mengajar mata pelajaran pendidikan jasmani SMA. Sekolahnya di ujung desa, sekitar 10 km dari rumah kami. Selama ini aku biasa berangkat sendiri dengan sepeda motor.
Seragam olah raga seperti biasa kukenakan. Aku sering dipanggil si tomboy karena pekerjaan ini. Ah, mereka tidak tahu kalau hatiku ‘pinkywati.’
“Aku antar, ya?” tawar Han, ia juga bersiap berangkat kerja.
“Makasih, aku sudah biasa pergi sendiri, kok,” aku tersenyum, senang dengan perhatian kecil itu. Terlepas dari apakah itu tawaran yang serius atau sekedar basa basi.
“Oke, berangkatlah lebih dulu!” ucap Han.
Aku menghidupkan motor setelah mencium punggung tangannya dengan kaku. Aku yakin ia juga sama.
***
Setelah mengajar, aku mengerjakan tugas dari atasan untuk membuat soal. Ada seorang guru baru yang bekerja sama denganku. Namanya Riko. Sejak pagi tadi ia lumayan sering menghampiriku menanyakan tentang hal ini. Aku katakan nanti ketika jam terakhir tiba, dan di sinilah kami sekarang. Di ruang komputer.
“Boleh aku add akun kamu?” tanya Riko.
“Boleh,” jawabku sambil memberikan nama akunku.
“Wah ... ternyata kamu suka puisi, ya?”
“Hanya penikmat, tidak bisa bikin sendiri.” Aku tertawa.
Riko tampak mengetik sesuatu di layar monitor. Kukira itu soal, ternyata puisi.
“Bagus, nggak?” tanyanya setelah selesai mengetik dalam hitungan kurang dari lima menit.
“Waw, ini keren ... dan romantis!” Aku tak menyangka.
Tiba-tiba gawaiku bergetar. Ternyata Han menelepon.
“Kamu sudah pulang?” tanyanya.
“Belum,” jawabku.
Riko membaca puisinya, tiba-tiba, dasar aneh.
“Itu suara siapa?”
“Teman,” jawabku.
“Berapa orang?”
“Satu orang.”
“Pulang jam berapa?”
“Sekitar satu jam lagi.”
“Oke.”
Telepon ditutup. Untuk apa menelepon kalau hanya menanyakan hal sepele seperti itu? Huh! Aku kembali berkutat dengan keyboard dan buku-buku.
Entah sudah berapa menit berlalu, seorang murid menghampiri kami dan memberi tahu jika ada yang menungguku di lobi. Bertepatan dengan itu bel pulang berbunyi. Aku penasaran, lalu bergegas keluar bersama Riko. Tas sudah kujinjing.
“Han?” Aku terkejut melihatnya di sini.
“Aku jemput kamu!” ujarnya.
“Lho ... terus motorku?”
“Setelah antar kamu nanti aku urus!”
Han menarik tanganku dan membukakan pintu mobil. Aku duduk dengan bingung. Sama dengan tatapan mata Riko dari jauh yang sulit kuartikan.
Han membuka pintu dan duduk di belakang kemudi. Tanpa banyak kata ia memutar mobil dan melaju dengan kecepatan sedang. Sesekali aku meliriknya, tapi wajahnya yang serius membuatku urung bertanya.
_bersambung_
No comments:
Post a Comment