Wednesday, March 18, 2020

Lelaki Es (2)

LELAKI ES

2

Kebisuan di antara kami berlanjut sampai ke rumah. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya, tapi ... sangat tidak nyaman saling diam seperti ini.
Aku menyeduh teh dan mengantarkannya ke kamar di mana suamiku sedang berganti pakaian. Sial, kali ini waktuku kurang tepat untuk menyaksikan pemandangan indah seperti kemarin.
Han menerima cangkir dariku dan duduk di tepi ranjang. Hmm ... sepertinya memang harus aku yang memecah kesunyian terlebih dulu.
“Ehm, Han, kamu nggak lupa ‘kan besok lusa ulang tahunku?” Pertanyaan konyol. Aku menepuk kening sendiri.
“Iya,” jawabnya, dan ia ... tersenyum. Ah, syukurlah wajahnya tidak tegang seperti dalam mobil tadi. Aku lega.
Han masuk kamar mandi, sementara untuk menghilangkan bosan aku membuka aplikasi WA. Membuka percakapan dengan teman grup alumni kuliah dulu. Menceritakan tentang kejadian dari pagi tadi hingga saat Han yang tiba-tiba menjemputku ke sekolah.
Reaksi teman-temanku sungguh di luar dugaan. Mereka mengatakan itu pertanda baik. Jadi saat Han menawarkan akan mengantarku, jangan lagi tolak! Harus terima, bila perlu minta antar saja pakai motor.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Aduh, kamu itu, ya, Rin! Pakai otak jangan diirit irit kek beli sembako. Gunakan dengan maksimal!” balas Risa.
“Biar bisa nempel-nempel, gitu ... kalo di mobil kan nggak bisa? Helo trik dasar kek gini aja kamu nggak tau?” Kali ini Tina yang menjawab, kompak sekali dengan Risa.
Aku mengangguk-angguk sambil berharap hal itu bisa jadi nyata besok pagi.
“Jangan lupa, kamu harus pakai bra yang nggak ada busanya, ingat! Pakai baju yang tipis-tipis saja!” tambah Risa lagi.
Beberapa detik kemudian tiga gambar bra yang berbeda jenis dan warna menghiasi layar gawaiku. Apa-apaan mereka? Dasar.
Sohib-sohibku itu dengan semangat menjelaskan masing-masing kegunaannya. Tentu saja dengan kalimat-kalimat nakal seperti biasa. Kini, gambar-gambar itu semakin banyak dikirim oleh Risa. Astaga! Apa-apaan mereka?
Aku melempar gawai ke kasur. Tepat saat itu, Han duduk di sebelahku. Tampaknya ia kaget dengan lemparan benda di dekatnya itu. Salahku, tak menyadari kedatangannya.
Setelah melihatku, detik kemudian manik mata Han beralih pada gawai yang tergeletak di kasur dengan layar yang masih menyala. Di sana, gambar bra berwarna pink terpampang nyata tanpa cela lengkap dengan modelnya yang seksi. Ups! Han membulatkan mata memandangnya. Entah apa yang ada dalam pikiran Han, aku meraih benda laknat itu dan berjalan keluar kamar, malu!
***
Pagi yang cerah. Saat sudah siap dengan seragam olah raga yang tipis dan bra seperti yang disarankan teman-teman kemarin, aku menunggu Han mengatakan kalimat keramatnya.
“Mau aku antar?”
Ah, akhirnya kalimat itu keluar juga. Tanpa basa basi lagi aku langsung menjawab, ya!
“Tapi, bisa nggak kita berangkat naik motor saja? Soalnya aku suka mual naik mobil?” Alasan macam apa ini? Aku menepuk kening sendiri.
“Boleh!” ucap Han. Wow, aku berlonjak kegirangan, misi melelehkan es di kutub segera dimulai.
Han mengeluarkan motor ninjanya, dan itu makin membuatku berbinar. Bukankah akan lebih mudah ‘menempel’ padanya dengan bentuk jok seperti itu? Hohoho ... ini berkah.
Aku naik ke atas motor setelah Han memberikan helm. Perlahan motor melaju membelah jalanan. Ragu, kulingkarkan tangan ke pinggang suamiku itu. Dadaku berdebar-debar, ini pertama kalinya kami berada pada jarak yang sangat dekat. Lalu kini, aku berusaha menghapus jarak itu. Tanpa kuduga, tangan Han yang hangat menarik jemariku untuk lebih erat lagi berpegangan padanya. Hhh ... rasanya di atas angin. Aku mengulum senyum.
Tapi ... apa ini? Aku baru sadar kalau Han mengenakan jaket yang terlalu tebal. Wah bagaimana rencanaku bisa berhasil? Dengan ukuran dada pas-pasan seperti ini, bagaimana mungkin bisa menembus jaketnya yang sedemikian tebal? Paling maksimal ia hanya bisa merasakan ada yang menyentuh punggungnya tanpa tahu teksturnya! Ya! Itu yang terpenting. Tujuanku adalah membuatnya penasaran dengan keindahan tubuhku ini dan berharap malam pertama secepatnya terlaksana.
Kalau begini rencanaku gagal. Agh ... menyebalkan! Kenapa kamu harus pakai jaket setebal ini sih, Han? Kamu itu nggak peka banget tahu nggak? Atau kamu malas bersentuhan denganku? Atau aku memang tidak menarik? Segala bayangan indah berbagi kehangatan di atas motor musnah sudah. Ingin menangis sepanjang jalan. Rasanya seperti gagal belanja baju online, saat barang tiba ternyata tidak sesuai ekspektasi! Beli ukuran L, yang datang seukuran XS, kekecilan, tapi uang sudah ditransfer, dan nggak bisa dituker. Nyeri euy!
Han menurunkanku di depan kantor guru, bukan di tempat parkir kendaraan. Aku turun dan mencium punggung tangannya.
“Kamu nggak pakai jaket? Kan dingin?” Sepertinya dia terkejut melihatku.
“Ah ... nggak apa-apa, aku udah biasa, kok!” Aku tertawa hambar, tapi meringis dalam hati, tadi itu dingin sekali, Han. Semua ini kulakukan untukmu.
Detik kemudian Han meninggalkanku. Lalu dengan bersungut-sungut kutulis pesan pada teman-teman di grup.
“Kalian tau ide gila itu membuatku hampir mati kedinginan, dan nggak ‘ngefek’ apa-apa ke Han!”
“Kok bisa?” balas Yeoni.
“Dia pakai jaket tebel banget!” jawabku.
Emotikon ‘ngakak’ memenuhi layar gawaiku.
“Bukan jaket anti peluru yang sering dia pakai ‘kan?” ketik Risa.
“Tapi bisa jadi sih, mungkin dia menganggap dada Ririn itu peluru yang berbahaya! Wkwkwk.”
“Kalau pelurunya segede itu, kebayang nggak senapannya semana? Wkwkwk!”
Mereka sibuk menertawakanku.
“Rin, kalau misi ini gagal, kamu harus cari tahu masa lalu suamimu, kamu harus pastikan kalau dia benar-benar lelaki tulen!” tulis Tina.
“Dia tulen!” jawabku kesal.
“Tapi dia belum pernah menyentuhmu, apa itu normal? Cobalah ajak dia ke rumahnya, pastikan kamu ulik semua masa lalu suami kamu!” cetus Yeoni.
Agh, aku pusing. Mereka bicara yang bukan-bukan. Aku berlari ke lapangan. Beberapa siswa yang terlambat datang menjadi sasaran empuk kekesalanku. Tak ada yang berani melawan Ririn di sekolah ini. Aku cukup disegani walau tubuh ini tak setinggi mereka. Tidak hanya mengajar pendidikan jasmani, aku juga menguasai bela diri. Tahun lalu sekolah sempat geger karena ulahku berkelahi dengan murid yang berakhir di pengadilan. Untungnya aku menang, sebab aku yakin benar.
Setelah memberi hukuman pada mereka aku kenakan baju yang lebih tebal dan pergi ke lapangan basket. Olah raga adalah cara lain melupakan kekesalan. Saat itu beberapa siswa ada di luar lapangan, sementara aku sedang tidak ada jadwal. Jadi tidak ada beban meninggalkan kelas.
Tiba-tiba Riko sudah ada di lapangan dan merebut bolaku. Sepertinya aku mendapatkan lawan seimbang. Kudengar riuh suara siswa-siswa meneriaki kami, memberi semangat. Benar, aku lupa dengan gagalnya misi pagi ini.
Tenang saja, Rin, masih banyak waktu untuk menaklukkan hatinya. Jangan berhenti berusaha.
Aku berhenti main, peluh membasahi sekujur tubuh juga rambut. Riko tampak menemui seorang siswa lalu kembali mendekatiku dengan gawai di tangan, lalu menunjukkan sesuatu padaku.
“Nggak penting banget, sih, Rik!” Aku mengalihkan pandangan dari layar gawainya yang sedang memutar video rekaman pertandingan basket kami.
“Bagiku ini keren, maksudku, kamu keren, Rin!” pujinya.
Ada yang hangat menjalar di pipi. Ah, sayang pujian itu bukan keluar dari mulut Han. Semanis apa pun kalimat jika bukan dari bibir Han, tidak akan berarti bagiku, saat ini. Tuh, kan ... aku jadi ingat dia lagi. Aku bergegas melangkah meninggalkan Riko menuju ruang ganti.
***
Pulang kantor aku dijemput Han dengan mobil. Wajahnya sama dengan saat pertama ia menjemputku. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres, tapi aku enggan bertanya.
Tiba di rumah aku mengempaskan diri di sofa ruang tengah, lelah rasanya. Tiba-tiba lelaki itu duduk di sebelahku.
“Siapa Riko?” Han bertanya.
“Teman, kamu tau dari mana ada temanku bernama Riko?”
Han mengeluarkan gawai dan menyentuh layarnya. Jari-jarinya sungguh panjang dan lentik. Tidak terbayang jika ia sedang menggunakannya memegang senjata menangkap penjahat. Hangatnya saat ia menarik tanganku tadi pagi masih terasa.
“Ini!” Han memperlihatkan video main basket tadi yang dikirim ke beranda facebookku.
“Ya, itu aku tadi pagi, ah buat apa sih Riko menandaiku?” Aku memaksakan tawa mencoba memecah kekakuan. Ada yang tak biasa saat aku memandang wajah Han. Rahangnya terlihat mengeras, seperti ada yang ia tahan untuk dikatakan.
“Mana handphone-mu?”
Aku refleks memberikannya.
“Apa sandinya?”
Aku memberitahunya. Han tampak membuka aplikasi facebookku. Anehnya, aku tidak marah. Aku merasa berdebar menanti sesuatu yang romantis dilakukannya. Seperti di drama-drama Korea? Cowok yang cemburu secara diam-diam. Aku mengulum senyum.
Han tampak mengutak-atik gawaiku. Aku mendekat agar bisa melihat apa yang ia lakukan. Sayang keberanianku ini jika di tempat tidur selalu lenyap. Han menjauhkan diri agar aku tak bisa menatap gawaiku sendiri.
Anganku melayang, pasti suamiku ini sedang memamerkan hubungan kami agar cowok-cowok di luar sana tak ada yang berani menambahkanku menjadi teman apalagi mengirim video seperti tadi. Jujur permainan basket tadi menunjukkan kalau aku dan Riko benar-benar akrab. Han pasti cemburu. Aku terkekeh dalam hati.
Pasti saat ini ia sedang mengganti foto profilku dengan foto kami berdua. Supaya aku tidak diganggu cowok lain. So sweet sekali. Akhirnya ....
“Ini!” Han menyerahkan gawainya padaku, lalu melangkah ke kamar dengan santainya.
Aku cepat-cepat menatap layar, penasaran foto mana yang ia gunakan sebagai profil facebookku?
“Han!” Aku berteriak, tapi tubuh tingginya sudah tak terlihat di balik dinding kamar.
Aku bersungut-sungut. “Dasar es batu!” Lihat! dia mengganti foto profilku dengan gambar balita kribo dengan pipi bulat yang menghitam seperti baru kena setrum di film-film kartun. Bukan dengan foto romantis pernikahan kami.
“Han!” Aku berteriak sebal, mengacak-acak rambut sendiri.
Lelaki itu keluar dari kamar dan menatapku.
“Kenapa?” tanyaku sambil menatapnya dan gawai secara bergantian.
Han berjalan cuek ke arah pintu keluar rumah kami.
“Itu hukuman!”
“Aku nggak salah apa-apa!” sahutku kesal.
“Kamu genit!”
“Nggak!” Aku tidak terima.
Hening, kami sama-sama berdiri dalam diam. Tapi kupikir-pikir, di dalam video itu memang yang tampak hanya aku dan Riko. Tidak ada siswa-siswa yang meneriaki kami. Apa aku terlihat segenit itu? Iya kah? Aku jadi tidak enak.
“Aku pulang malam!” Han mengalihkan pembicaraan dan tak menatapku. Mungkin ia ingin kami tak membahas masalah ini lagi. Ia bersiap pergi.
“Jangan lupa hadiah ulang tahunku besok!”
“Aku sudah siapkan kadonya, tapi kalau kamu menemukannya, jangan dibuka sekarang, ya!”
Mataku berbinar. “Kita rayakan di rumahmu saja, ya?” pintaku.
Han diam beberapa detik. Ia menyugar rambutnya yang lebat dan tidak cepak seperti kebanyakan rekan seprofesi.
“Oke!” Kemudian ia berlalu.
Baiklah, Han, aku akan lanjutkan misi keduaku. Pesan dari teman-teman akan kulaksanakan di rumahmu besok. Sejenak aku lupakan foto profil facebook yang terganti dan video yang sudah dihapus serta hilangnya nama Riko dari daftar pertemanan. Aku menuju kamar untuk beristirahat.
Setelah berganti pakaian dengan dres bunga-bunga, aku berniat merebahkan diri ke kasur saat tiba-tiba mataku menangkap sebuah kotak besar dengan pita.
Aku mendekati dan merabanya. Mungkinkah ini kado ulang tahun yang baru saja dikatakannya? Hei ... aku hanya minta puisi tapi kenapa ia memberikan bungkusan sebesar ini? Apa ya isinya? Han tidak hanya dingin tapi juga misterius.
Aku penasaran tapi sudah berjanji pada Han untuk tidak membukanya. Kalau tak kutepati bisa-bisa kena hukum lagi? Bagaimana kalau sampai tidak jadi ke rumahnya besok? Aku kan mau melaksanakan misi lagi.
Tapi, tidak dibuka rasanya penasaran sekali. Tidak hanya besar, kado ini juga sangat ... berat!


_Bersambung..._

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER