*LELAKI ES*
3
Kotak berpita itu masih menarik perhatianku saat gawai di atas meja berkedip-kedip. Risa mengirim sebuah gambar hasil capture profil facebookku.
[Bukan Ririn banget deh, ganti PP model begini!] ketik Risa.
[Kamu kenapa, Rin?] tanya Yeoni.
[FBmu ada yang nge-hack, ya?] Tina ikut menimpali.
[Iye ... di hack laki gue!] balasku sambil berjalan ke ruang tengah. Semoga dengan mengalihkan pandangan pada kotak, yang seolah punya mata dan melotot itu, aku bisa melupakan sejenak apa isinya.
Risa dan Tina menertawaiku. Sementara Yeoni bertanya.
[Kok, bisa? Ceritain, dong!]
Lalu kuceritakan kisah dari mulai bermain basket sampai video yang diunggah Riko.
[Han bilang aku genit!] Aku cemberut, sedih mengingatnya.
[Kenapa, coba, dia ganti PP pakai foto balita kribo itu? Bukannya foto kami berdua, atau foto dia sendiri ... Biar kayak orang-orang yang baru nikah gitu. Biar semua pada tau, aku miliknya dan dia milikku, jangan ganggu dia karena dia istriku. Ini enggak! Dia tuh nggak romantis banget tau nggak, sih? Nyebelin!] Aku mengetik sambil memajukan bibir. Masih kesal.
[Iya, memang, tapi lucu juga, sih! Wkwkwk] jawab Risa. Tina pun ikut-ikutan mengetik emot tertawa.
Sepertinya mereka sangat setuju bila Han memang seorang yang tidak romantis. Huh, aku jadi penasaran seromantis apa suami mereka?
[Jangan suudzon, dulu, dong, Rin! Dia bukan nggak romantis. Tapi ... coba pikir deh. Orang yang punya pekerjaan seperti dia cenderung menutup diri di dunia sosmed. Itu buat apa? Buat keamanan orang-orang terdekatnya. Han punya banyak musuh di luar sana, dia pasti nggak akan pasang PP kalian berdua. Itu semua buat ngelindungi kamu, Rin!]
Aku menatap layar gawai dengan takjub. Luar biasa pemikiran sahabatku ini.
[Masa?] Bibirku sedikit tertarik mendengar asumsi Yeoni. Jujur saja aku berharap itu benar.
[Percaya, deh sama aku ....] balas Yeoni.
Aku mengirimnya emot cium bertubi-tubi untuk Yeoni. Ah, mudah-mudahan saja itu benar.
Aku menunggu Han sampai malam sambil menonton televisi di ruang tengah. Dress polkadot warna hitam putih kukenakan. Di luar aku sudah sering memakai pakaian olah raga. Wajar aku ingin terlihat ‘girly’ di rumah. Aku juga berdandan. Nasib baik jika impian mereguk surga malam ini kesampaian. Aku terkikik geli.
Sampai tengah malam Han belum juga pulang dan mataku sudah sangat berat. Aku menguap berkali-kali dan akhirnya menyerah pada kantuk yang tak tertahankan.
Sepertinya semalam aku tertidur sangat nyenyak sampai-sampai tak bermimpi apa pun. Saat membuka mata dan mengumpulkan keping ingatan, aku tiba-tiba tersentak dan mengambil posisi duduk. Meraba tempat berbaring yang empuk dan selimut yang menutupi tubuh. Aku berada di kamar, bukan di sofa!
Han sedang duduk membelakangiku di kursi dekat jendela. Sebuah cangkir tersaji di atas meja di sebelahnya.
“Han?”
“Kamu sudah bangun?”
Wajahnya cerah sepertinya sudah mandi, pakaiannya pun sudah rapi.
“Maaf semalam aku ketiduran,” kataku.
Han hanya tersenyum tipis dan membuang pandangan ke arah jendela.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Bagaimana bisa aku sampai ke tempat tidur ini? Hmm ... pasti Han yang menggendongku, kan? Aah ... bodohnya kenapa semalam aku ketiduran. Momen yang kunantikan jadi terlewat. Aku memukul-mukul kepala sendiri.
“Makasih, ya udah mindahin aku ke kamar ini.” Aku menunduk dan mengulum senyum. Malu sekaligus ... apa ya namanya? Terlalu senang? Sambil membayangkan bagaimana tubuh Han yang tinggi mengangkat diriku yang mungil dan tengah tertidur. Mungkin saat itu aku sangat imut dengan rambut tergerai dan lekuk-lekuk tubuh terlihat jelas. Pasti Han terkesima melihat kecantikanku. Aku mengulum senyum untuk ke sekian kali. Ternyata Han perhatian juga ....
“Kamu jalan sendiri kok sambil merem,” jawab Han sambil berlalu dengan wajah datar dan tak menatapku sama sekali.
“Apa? Mana mungkin? Mama papaku nggak pernah bilang aku bisa berjalan sambil tidur!” Ah, memalukan sekali kalau itu sampai terjadi. Pakai bilang terima kasih segala lagi, akunya. Ugh!
“Ya, wajar lah nggak tau, kamu kan tidur di kamar sendiri!” Han berjalan dengan santai mendekati pintu.
“Nggak mungkin!”
“Satu lagi, kamu tu ngoroknya kenceng banget.” Setelah mengatakan itu tubuhnya hilang di balik pintu.
“Agh ... Mande! Masa sih?” Aku ‘misuh-misuh’ di atas kasur. Bayangan wajah imutku saat tidur berganti dengan mulut menganga dan suara dengkur yang keras. Ririn! Kamu memalukan. Aku membenamkan kepala di atas bantal.
‘Pantas saja suaimu ‘illfeel’ nyentuh kamu, boro-boro ngajak ML .... Sangat-sangat nggak anggun kamu!’ Aku mengumpati diri berkali-kali.
“Hei, katanya mau ke rumahku, ayo siap-siap.” Han berdiri di pintu sambil tersenyum, suaranya juga terdengar lembut. Jangan-jangan dia ngintip aku dan merasa kasihan, lagi?
“Baiklah ....” Aku beringsut turun dari ranjang dan menuju kamar mandi.
***
Rumah Han besar bercat putih. Halamannya luas ditumbuhi rumput gajah, aneka bunga digantung di dinding dan di susun dalam pot dekat pagar. Ada juga yang merambat. Terlihat pemiliknya rajin mengurus taman ini. Nuansanya klasik zaman dulu, peninggalan Belanda. Kata mereka –waktu melamarku dulu— buyutnya Han orang Belanda, mungkin itu yang menyebabkan Han jangkung. Begitu pula kedua adik laki-lakinya yang menyambut kami di meja makan.
“Halo, Han!” Kedua adik Han melambaikan tangan dari jauh kemudian berdiri melebarkan kedua tangannya.
Mereka berambut cepak. Entah dari mana hari Sabtu ini mengenakan seragam. Ya, keduanya juga abdi negara seperti Han, hanya saja warna seragamnya beda. Ketiganya berpelukan, terlihat akur, mewakili akurnya instansi mereka di negara ini. Adem melihatnya.
Papa Han turun melawati tangga menyambut kami, lalu Mamanya muncul dari arah dapur. Keduanya memeluk dan mencium keningku. Mereka sangat hangat. Kenapa anaknya dingin, ya?
“Mama sudah masak masakan spesial buat anak sulung Mama dan menantu paling cantik di keluarga ini!” Pujian wanita ayu khas Jawa itu membuat senyumku melebar, rasanya pipi menghangat. Andai Han yang mengucapkan aku pasti sudah guling-guling di lantai saking bahagianya.
“Ayo kita makan!” ajak papa Han yang mirip sekali dengan ketiga putranya, hanya saja warna rambut sedikit pirang.
Di meja makan, Han dan kedua saudaranya sering sekali bercanda. Aku berkali-kali melihat Han tersenyum memperlihatkan giginya. Ah, aku suka senyum itu yang sangat jarang kudapatkan saat berdua dengannya.
“Ririn ulang tahun hari ini,” ujar Han pada anggota keluarganya.
“Oh, ya? Selamat ulang tahun, Sayang, kok nggak bilang, sih? Mama bisa buatkan kue spesial buat istrimu!”
Kami hanya tersenyum.
“Selamat ulang tahun, Kak!” ucap kedua adiknya dan papa juga menyelamatiku.
Setelah makan siang, Han mengajakku ke halaman samping rumah. Ada meja bulat dengan dua kursi. Ia tiba belakangan sambil membawa kotak berpita yang aku lihat di kamar kemarin. Ternyata benar itu untukku, apa ya isinya?
“Selamat ulang tahun, bukalah!” ujarnya datar.
Ucapan yang sangat biasa, huh, dasar Han, tidak pernah bisa romantis!
Aku membuka dengan hati berdebar. Ada apa di dalam kotak ini. Beberapa detik kemudian ... Apa ini? Buku semua? Mungkin ada kali tiga lusin.
Ku bolak-balik setiap buku, ternyata ini kumpulan puisi semua. Oh ... Han, bukan seperti ini yang aku inginkan. Aku ingin puisi buatanmu sendiri, satu lembar saja cukup! Aku mengeluh dalam hati, tapi tak menampakkannya, takut Han kecewa. Setidaknya dia sudah berusaha. Aku tersenyum kecut.
“Maukah bacakan satu puisi?” Akan kuanggap itu dari hatimu untukku.
“Ehm ... baiklah,” jawab Han dengan ekspresi sama dengan saat aku melihat lalat.
Han memilih buku, lalu berdiri. Detik kemudian ia membaca judulnya. Suaranya ... keras, sih ... tapi? Astaga, Han, kita tidak sedang lagi di lapangan memperingati upacara hari kemerdekaan. Sumpah demi apa? Lelaki ini membaca judul dengan nada pemimpin upacara memberi aba-aba penghormatan: ‘kepada inspektur upacara, hormaaat, grak!’ ... begitu kira-kira. Aku menunduk sambil menggigit bibir. Selanjutnya ia membacakan isi puisinya seperti sedang membaca teks pembukaan UUD 1945. Sangat sempurna.
Aku bertepuk tangan dengan tidak ikhlas sambil tersenyum terpaksa. Sangat salah meminta han menulis puisi dan membacakannya untukku. Isi puisi yang romantis tidak sampai ke pendengarnya.
Dari balik kaca jendela, kedua adiknya dan Mama ikut bertepuk tangan dan memberikan jempol pada Han. Suamiku itu tersenyum sambil menggaruk kepalanya. Sepertinya dia sendiri ragu jika pembacaan puisinya layak mendapatkan tepukan yang ‘gemuroh.’ Ah, Han-ku ini ....
Lelaki itu duduk. “Maaf, ya, aku nggak bisa nulis sama baca puisi. Aku udah minta kamu ganti hadiahnya tapi kamu nggak mau,” ujarnya menatapku.
“Nggak apa-apa, kok.” Aku tersenyum. “Bunganya mana?”
Wajah Han sepertinya terkejut, apa dia lupa?
“Ini halaman mama banyak bunganya, kamu pilih aja, nanti aku petikkin!” ujarnya kemudian.
“Han!” Aku cemberut. “Kamu nih bener-bener nggak romantis, deh!” Menyebalkan.
Han diam sejenak, lalu ia menoleh padaku. “Ya udah, ayo aku belikan, kamu pilih sendiri.”
Setidaknya itu cukup menghiburku. Baiklah ....
“Jangan pakai gaun, ganti celana panjang aja, di sini daerahnya rawan kejahatan,” ujar Han. Aku mengangguk.
***
Kami mengendarai motor milik adik Han. Kali ini jaketnya tidak terlalu tebal, tapi aku sedang malas buat ‘nempel-nempel.’
Kami tiba di area pertokoan. Han menghentikan motornya di depan toko bunga. Halaman depan toko penuh aneka bunga demikian juga bagian dalamnya yang dilindungi dinding kaca.
Aku memilih di halaman, Han memperhatikan dari belakang. Sebenarnya aku tidak terlalu suka bunga. Memintanya dari Han agar ada sesuatu yang beda dari bunga yang biasa itu. Kalau memilih sendiri rasanya jadi biasa saja, tidak spesial. Tapi ... lumayan lah dari pada tidak sama sekali.
Kami terkejut saat mendengar suara tembakan di seberang jalan. Pecahan kaca menyusul di antara rentetan suara tembakan. Itu toko emas! Kaca etalasenya pecah oleh dua orang yang membawa senjata.
Han berdiri di depanku dan melindungi dengan sebelah tangannya.
“Tunggu di sini, jangan ke mana-mana!” Wajahnya tegang menahan bahuku hingga aku berjongkok di antara etalase kayu dan pot bunga. Banyak orang yang melakukan hal sama.
Kulihat Han mengeluarkan pistol dari balik jaketnya dan menyelinap di antara dinding bangunan. Dari sini aku bisa melihat kawanan perampok itu ada empat orang, dua orang lagi di atas motor.
Dadaku berdegup kencang, khawatir terjadi apa-apa pada suamiku. Apalagi kami belum sempat malam pertama? Lho? Apa-apaan aku ini? Tapi sumpah, aku khawatir sekali. Merasa tidak berguna sebagai istri jika hanya berdiam diri di sini. Buat apa bertahun-tahun ikut karate sampai meraih sabuk hitam. Aku harus menolong suamiku!
Han sedang membidik seseorang yang memasukkan emas-emas itu ke dalam tas. Pemilik toko terdiam di depan todongan senjata oleh perampok yang satu lagi. Dua orang di atas motor berjaga sambil sesekali menembak ke arah sembarang. Semua orang tiarap, bersembunyi takut terkena peluru perampok itu.
Han menembak penjahatnya. Hanya dalam hitungan detik ia mendapat balasan yang bertubi-tubi, tas dari toko emas terlempar ke perampok di atas motor, sambil melayangkan tembakan ke berbagai arah mereka melaju. Han maju menyerang dua orang lagi yang dengan cekatan menyusul teman mereka.
“Dor, dor, dor!” Suara tembakan terdengar lagi. Aku berlari dari tempat persembunyian, membaca keadaan.
Han berhasil mengenai kaki perampoknya, ia berlari mendekat membidik. Sayangnya satu orang lagi yang di atas motor sedang mengincar Han. Tangannya terulur memegang senjata. Aku harus cepat, selagi orang itu konsentrasi membidik suamiku, aku berlari secepat kilat mendekatinya, dan dengan sekuat tenaga kulayangkan tendangan ke arah kepalanya yang bertopeng.
“Dash!” Ia terhuyung ke kiri. Aku mengincar pistol di tangannya. Han sigap menembak penjahat yang satu lagi. Kena! Kini orang-orang mulai berani tegak berdiri dan berlari ke arah kami, sementara aku masih sekuat tenaga menahan tubuh lelaki yang hendak meraih pistolnya lagi. Gawat! Tenaganya terlalu kuat! Aku menjerit saat tanganku terpelintir.
Lelaki itu tiba-tiba terjerembap. Kaki Han tepat berada di atas punggungnya dan dengan ujung pistol menukik tepat ke arah kepala perampok itu. Fiuh, aku selamat. Orang-orang mulai ramai, tak lama kemudian suara sirine mobil polisi terdengar. Dua orang perampok yang sudah kabur harus dikejar.
Han menarikku berdiri.
“Aku sudah bilang, jangan ke mana-mana, kenapa masih nekat?” Ia meneriakiku dengan wajah memerah. Tetes-tetes keringat berjatuhan dari ujung rambut berponinya.
“Kamu tu kalo dibilangin, nurut! Jangan bandel! Ini tu bahaya ngerti nggak?” Han menarikku menjauh dari kerumunan orang-orang, lalu berjalan cepat mendekati motor kami.
Aku hanya takut kamu kenapa-kenapa, Han. Ingin sekali mengatakan itu tapi bibirku kelu. Hanya mata ini berkaca-kaca mendengar bentakannya.
Kami sudah sampai di dekat motor. Ia berbalik menatapku, lekat. Kedua alisnya bertaut, wajahnya serius sekali.
“Kamu nggak apa-apa, ‘kan?” Han meraih pucuk kepala dan menyentuhnya perlahan. Aku hanya diam dengan perasaan yang aneh.
“Jangan kayak gitu lagi, ya! Jantungku hampir copot ngeliat kamu tadi tau, nggak?” ujarnya sambil mengusap pipiku, dahi, membetulkan anak rambutku yang berantakan ke belakang telinga. Juga menghapus keringat yang membasahi wajah ini.
Han, apa ini? Hatiku mencelus, seperti ada suara ‘nyes’ di dalam dada. Aku tak berhenti menikmati wajahnya yang berjarak sangat dekat saat ini.
“Han?”
“Ya?”
“Boleh minta cium, nggak?” Onde Mande lancang sekali mulut ini!
Han menjentikkan jarinya ke arah jidatku sambil tersenyum. Maniiis ... banget.
“Udah pernah!” katanya.
“Hah? Kapan? Kok aku nggak ngerasa, sih?”
“Ayo kuantar pulang, aku mau pergi lagi!” katanya.
“Han, jawab!” Aku memukul punggungnya.
Ia malah menarik tanganku untuk melingkari pinggangnya.
“Han!”
_Bersambung....._
No comments:
Post a Comment