*LELAKI ES*
4
Han mengantarku pulang ke rumahnya. Di perjalanan ia membisu saat kubertanya kapan ia mencuri cium dariku? Ia diam dan serius sekali mengendarai motornya, seperti sedang mengejar waktu. Setelah sampai, ia langsung pergi lagi. ‘Huf, dia bersikap dingin lagi, dasar! Kalau besok-besok aku minta cium dan nggak dikasih lagi? Awas aja, aku yang akan nyosor duluan. Huh! Kibas poni.’ Ririn tak tahu malu ... agh! Aku mengacak rambut sendiri.
Tak lama kemudian mama tiba. Ia mengenakan kebaya dan jilbab yang rapi. Tampaknya baru saja dari hajatan. Papa memarkirkan motor di teras samping rumah.
“Halo, Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanya mama. “Di hajatan tadi ramai yang cerita tentang perampokan di pasar. Mama langsung ingat kamu.”
“Alhamdulilah nggak apa-apa, Ma.” Lalu sambil berjalan ke dalam rumah, kuceritakan semua yang kami alami di pasar tadi. Mama menatapku dengan serius dan terkadang menggeleng-gelengkan kepalanya. Wanita ayu itu menarik kursi untukku sambil tetap mendengarkan dengan antusias. Tentu saja bagian minta cium tidak kuceritakan. Terakhir, ia mengusap kepalaku dengan lembut.
“Ya, udah, nggak apa-apa. Yang penting, semua yang kamu dan Han lakukan harus dengan perhitungan yang matang.”
Syukurlah mama tidak menyalahkanku. Aku tersenyum menatapnya. Sepasang manik mata memancarkan kelembutan yang sudah lama tidak kudapatkan.
“Kamu istirahat saja dulu, mama mau ganti baju ... atau mau minta mama melakukan sesuatu?”
Hmm, mungkin ini saatnya aku melakukan misi. Pertama-tama mencari tahu tentang masa lalu suamiku yang super dingin itu.
“Pengen liat album foto ‘jadul’-nya Han, dong, Ma!” pintaku.
“Oh ... boleh.” Mama sedikit tertawa. “Sini!” ajaknya. Aku mengekor mama menuju sebuah bufet. Ia membuka salah satu loker dan memberikan beberapa album foto.
“Mama salin bentar, nanti ke sini lagi,” ucapnya.
Aku mengangguk.
Sambil memijat tangan kanan yang masih sakit, aku membalik tiap lembar album kenangan itu. Foto bayi-bayi mungil sampai balita tertera. Sayang aku tidak bisa membedakan antara Han dan adik-adiknya, mereka sangat mirip. Nah, kalau foto yang sudah bersekolah, aku bisa mengenali Han.
Aku terkikik saat membandingkan semua fotonya. Suamiku itu jarang sekali tersenyum. Mungkin tegang kali ya di depan kamera?
Mama tiba dan mengajakku ke halaman samping yang asri, hawanya sejuk karena pohon yang rindang. Kami membawa album-album foto itu bersama.
Perlahan mama menceritakan tiap foto yang membawanya ke masa lalu itu dengan runut dan suara yang lembut.
“Han tumbuh dengan didikan militer ayahnya. Ditambah lagi kedua adiknya cowok semua. Jadilah mereka kompak main bertiga aja. Sampai gede, ngumpulnya ya itu-itu aja. Punya temen juga cowok semua. Paling temen cewek tetangga sini yang suka main ke rumah.”
“Han nggak pernah punya pacar, Ma?” Aku penasaran.
“Waktu SMA, sih, kayaknya pernah, ya? Tapi cinta-cinta monyet gitu.”
Aku manggut-manggut. Jadi, Han normal, dong. Dia begitu karena lingkungan keluarga yang didominasi pria.
“Han berhenti dekat dengan perempuan saat pacar Martin meninggal tertembak,” ujar mama menyebutkan nama adik laki-laki Han.
“Tertembak?”
“Waktu itu mereka lagi jalan-jalan ke pantai, sama Han dan teman mereka yang lain. Beberapa orang menyebut nama Han dengan bawa senjata, mungkin ada penjahat yang dendam sama dia. Terjadi tembak-menembak sampai cewek itu kena. Setelah kejadian kami baru tau kalau penjahat itu mengira pacar Martin adalah pacar Han.”
Mama menarik napas dalam. “Melihat kesedihan adiknya, Han pun ikut terluka. Sejak itu ia nggak pernah dekat sama cewek mana pun. Bahkan saat adik-adiknya sudah bisa melupakan kejadian itu dan punya pacar lagi, Han masih juga sendiri.”
‘Nggak diragukan lagi suamiku benar-benar lelaki, kalau begitu. Ceritanya sedih tapi aku mendengarnya dengan perasaan senang karena lega. Ah, nggak empati sekali aku ini?’
“Sampai umurnya 30, kami menjodohkan Han dengan banyak gadis, tapi semua ditolaknya.”
“Benarkah?” Wah, ternyata trauma itu sangat mendalam di hati Han.
“Ya, mama dan papa sempat khawatir jangan-jangan Han nggak mau menikah selamanya. Mungkin dia masih merasa bersalah pada cewek yang meninggal itu. Padahal keluarga mereka sudah memaafkan dan hubungan kami cukup akrab.”
‘Terus, kok dia mau nikah sama aku? Jeng jeng! Jangan-jangan cuma karena kewajiban menuruti perintah orang tua, lagi? Mande ... kasihan sekali putrimu ini. Padahal aku sudah sangat terpesona padanya.
“Dia langsung mau saat kami menyebutkan nama Ririn,” ujar mama seraya terseyum.
‘Tuh, kan? Dia hanya menjalankan kewajiban biar nggak jadi bujang tua? Aih, sedihnya.
Mama terlihat membolak-balik halaman album. Lalu, ia berhenti di satu foto dan menunjuknya.
“Kamu tau siapa anak ini?”
Aku mendekat dan mengamati. Itu foto balita cewek. Aku menggeleng cepat dan memandang mama minta penjelasan.
“Ini Ririn ...,” ucap mama sedikit terkekeh.
“Masa? Ririn nggak inget pernah foto bareng Han?” selain Han ada juga kedua adiknya dalam foto itu.
“Kami pernah datang waktu Mande-mu meninggal, Sayang,” Mama mengusap kepalaku. “Saat itu usiamu empat tahun, kamu nggak inget, ya?”
Aku menggeleng lagi. Kemudian mengamati foto itu lebih lama.
“Jadi waktu Ririn umur empat tahun, Han sudah setinggi ini?” tanyaku takjub. Beda umur kami jauh atau badannya yang bongsor, ya?
“Ah ... iya, Han waktu itu sudah kelas lima SD.” Mama sedikit tergelak.
Jadi begitu? Berarti Han pasti ingat momen ini, dong, ya? Berarti dia udah lama kenal aku? Pastinya dia punya kenangan tentang kami, sementara nggak ada yang kuingat sama sekali. Huh, curang.
Kabarnya, sih, papaku dan papa Han bersahabat. Tapi tempat tugas memisahkan. Mungkin sesekali masih bertemu dan saat itu aku masih kecil. Karena sejak yang bisa kuingat, keluarga kami tidak pernah bertemu kecuali saat melamar waktu itu.
Aku dan papa hidup berdua sampai papa menikah lagi, lalu aku memilih hidup sendiri.
Sekarang ... aku seperti punya mama lagi.
“Lama banget Ririn nunggu buat bisa ngerasain punya mama lagi,” ucapku dengan mata ditutupi kaca-kaca.
“Benar, Nak. Mama sekarang adalah mamamu juga,” ucap mama sambil menggenggam tanganku, lalu aku tak bisa menahan untuk tidak memeluknya.
***
Malam itu Han belum juga pulang. Aku menunggu di kamar sambil ... biasa lah, ‘chat’ dengan teman di grup. Dengan berapi-api aku mengabarkan pada mereka bahwa Han-ku normal.
[Sekarang tinggal menunggu bukti, dong, ya? Berapa lama kalian nikah? Empat hari? Oke masih bisa dimaafkan, lah ....] ketik Risa.
[Oke!] jawabku dengan ... sedikit ragu sambil menggigit bibir. Mampukah aku menaklukkan dinding es itu? Kadang kalau lagi nyusun rencana kayaknya udah berani ... aja, tapi pas di depan orangnya ... alamak gemeter kaki ini, langsung keringet dingin.
[Harus genit, ya, genit! Ingat!] tulis Tina.
[Jangan kasih cewek lain lebih genit dari kita sebagai istri!] balas Yeoni.
[Hidup, istri sah!]
[Hidup!]
‘Well, semangat sudah menggebu, nih. Tapi apalah daya kalo ‘laki’-nya nggak ada? Emang aku harus genit ke cicak-cicak di dinding kamar ini?’
Pintu diketuk, tapi bukan suara suamiku yang menyapa. Mama muncul dengan seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk.
“Ini, Mbok,” ucap mama pada wanita itu “Mama turun dulu, ya,” lanjutnya.
Lho?
“Mbok ini siapa?” tanyaku heran.
“Saya tadi disuruh Nak Han buat mijet istrinya, katanya habis berantem sama penjahat, takut ada yang kecetit, gitu,” jawab mbok itu sambil tersenyum.
Hah? Ah, Han, aku mengulum senyum, sulit melukiskan perasaan ini.
‘Nggak apa-apa, deh, orangnya nggak pulang malam ini, asal dia inget sama aku.’ Aku tersenyum lagi sambil bersiap-siap dipijat Si Mbok ini.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah mandi dan rapi. Tapi Han belum juga pulang. Aku turun menyapa mama yang sedang memasak. Detik kemudian membantunya dengan kemampuan yang pas-pasan ini.
Selesai masak, mama menarikku ke kamarnya.
“Mama dari dulu pengen ... banget ngurusin rambut anak cewek. Anak mama kan cowok semua.”
Ia mendudukkanku di depan meja riasnya.
“Rambu Ririn hitam dan lebat, dikepang dua pasti cantik,” ujarnya.
Aku diam saja. Jujur seumur hidup belum pernah ngerasain rambut disisir ibu sendiri. Mataku menghangat, ada yang memaksa keluar lewat celah mata, tapi sebisanya kutahan.
Mama membagi dua rambutku dan meraihnya sedikit demi sedikit dari sekitar kepala bagian kanan.
“Ini namanya kepang seribu.” Mama tertawa senang. Jemarinya lincah sekali. Terbayang berapa tahun ia menahan diri untuk tak melakukan hal ini.
Tangan mama pindah ke kepala bagian kiri, lalu kurasakan di bagian tengah ia menyatukan rambutku. Bagian bawahnya sedikit lebar, sebab dari depan sini tampak terlihat sedikit di antara leher.
Mama mengikat ujungnya, lalu aku merapikan anak rambut. Wanita di belakangku kemudian pindah ke depan dan menyuruhku sedikit berdandan.
“Kalau make up-in, mama nggak bisa, Ririn sendiri aja!” ucapnya seraya tersenyum.
Selesai ....
“Cantik sekali!” ujar mama. “Eh, satu lagi, mama pengen kamu pakai baju ini!” Wanita itu menuju lemari dan mengambil satu baju berwarna putih. “Mama pernah beli tapi nggak tau mau dikasih siapa, suka aja,” katanya sambil tersenyum.
Aku mengenakannya di kamar mandi. Bajunya berenda di bagian kerah, cukup lebar sampai memperlihatkan pundakku. Roknya menutupi sampai ke bawah lutut.
“Cantik sekali ...,” puji mama setelah aku keluar. “Tapi bajunya dipakai di rumah saja, ya ... yuk, turun!” ajak mama kemudian.
Setelah makan bertiga dengan papa, aku menyiram bunga di halaman depan, sementara mama merapikan tanamannya. Saat itu suara motor terdengar, lalu berhenti di depan pagar. Suara Han terdengar bersama kedua adiknya.
Aku berdebar, menantikan reaksi suami dingin itu saat melihatku. ‘Gimana nggak berdebar-debar? Secara penampilanku ini lain dari biasanya, gitu, loh. Rambutku seperti gadis-gadis Eropa zaman dulu. Bajunya juga bagus ... banget. Pasti kali ini Han terkesima dan nggak sabar menyentuhku. Aku terkikik.
“Assalamulaikum!”
“Whao ... cantik banget, Kak! Pasti kerjaan mama nih, ya?” Adik Han yang memujiku. Ia lalu mendekati mama dan mencium pipi wanita itu.
Aku menanti pujian dari Han sambil menunduk dan mengulum senyum. ‘Tapi ... lama banget nggak keluar suara?’
“Cantik, nggak?” Akhirnya kuberanikan diri bertanya dengan mata sedikit berkedip-kedip walaupun sedang tidak kelilipan.
“Lumayan,” jawabnya datar, kemudian berlalu masuk ke rumah.
What? Lumayan itu kalo aku ngasih nilai kesiwa berarti C? Masa sudah abis-abisan gini, lumayan, sih? Pelit amat.
Melalui jendela kaca, kulihat kakak beradik itu menuju meja makan. Beberapa menit setelah menyiram bunga aku mendekati wastafel.
Han masih di meja makan saat aku mencuci piring. Posisiku membelakanginya. Sebentar-sebentar aku menoleh ke arahnya, berharap Han sedang tertangkap basah sedang menatapku. Tapi ... onde mande, tidak sekali pun matanya menatapku. Pengen menyelam ke air cucian piring ini deh, rasanya. Biarlah aku menghilang bersama busa sabun cuci karena harga diriku dicampakkan. Hiks!
Tiba-tiba aku ada ide. Kuraih gawai di saku baju dan memasang kamera depan. Lalu, menggeser sedikit badan dan meletakkan gawai di depanku, semoga Han tidak menyadari benda ini. Setelah itu aku menggeser tubuh dan melanjutkan mencuci piring dengan hati-hati, supaya gawaiku tidak terkena cipratan air.
Sambil mencuci dengan perlahan aku memperhatikan layar gawai yang menyorot tepat ke wajah suamiku di belakang sana. ‘Hohoho ... lihat matamu itu, Sayang ... bibirmu bisa saja bilang lumayan, tapi matamu jelas tak bisa berbohong, kau tak berhenti menatapku sambil makan kacang!’ Aku puas, Esmeralda ... puas ... sekali, sambil tertawa lebar seperti Mak Lampir, tapi di dalam hati.
Lalu ... dua atau mungkin tiga menit kemudian sepertinya Han menyadari gawaiku. Matanya membulat dengan mulut ternganga. Tepat saat itu aku membalikkan badan dan mengedipkan sebelah mata padanya.
‘Ting!’
Han tersedak kacang dan cepat-cepat mencari air minum. Hahaha ... berhasil! Sedikit demi sedikit aku mulai mengenalmu, suamiku. Hmm ... tunggu saja pulang nanti, akan kukeluarkan jurus untuk menggodamu. Jika tak mempan jurus rayuan, akan kukeluarkan jurus karate. Hahaha, aku tertawa jahat.
“Sayang, kita pulang siang ini, ‘kan?” tanyaku sambil mengerling. ‘Ririn ... pede banget sih kamu manggil dia sayang sayang segala? Dia aja nggak pernah? Biar aja, memang aku sayang beneran, kok!’ Dua sisi hatiku saling bersahutan.
Han mengangguk sambil mengelap dagunya yang basah. Sepertinya ia tersedak dua kali, tadi kacang, sekarang air. Mungkin karena aku memanggilnya ‘sayang.’ Aku terkikik.
_Bersambung....._
No comments:
Post a Comment