TERNODA
Part 1
Dari pelaminan hingga masuk ke kamar pengantin, aku tak berhenti berdebar-debar. Bukan debar bahagia seperti pengantin pada umumnya. Tapi dari tadi aku berpikir keras bagaimana caranya jujur pada Kang Anam, suamiku bahwa ... aku sudah pernah ternoda.
Aku merutuki kebodohanku. Kenapa waktu Kang Anam datang bersama keluarganya untuk melamarku dua bulan lalu, lidahku terasa sulit sekali untuk jujur. Kini nasi sudah menjadi bubur. Kang santri mantan rois atau ketua pondok pilihan bu nyai itu kini sudah menjadi suamiku. Suami dari santri putri yang dulu pernah ternoda. Tak ada jalan lain selain jujur padanya? Aku akan rela jika Kang Anam jijik menyentuhku jika mengetahuinya. Yang penting, aku sudah berusaha jujur padanya. Meski sedikit terlambat.
"Alhamdulillah, Nduk. Bu nyai perhatian banget sama kamu. Sampai nyarikan jodoh. Apalagi, Nak Anam itu soleh, juga sama-sama alumni Nurul Quran sama kayak kamu."
Sekuat tenaga kusuguhkan senyum termanis untuk bue. Rasa gelisah dan resah seakan menindih jiwa jika teringat malam sebelum muwadda'ah. Kejadian di dalam kamar mandi itu. Ingin menangis aku rasanya.
Angan-anganku semenjak dulu bahwa yang boleh menikmati tubuhku hanyalah suamiku pupus sudah. Aku sudah ternoda. Ingin marah tapi pada siapa? Jika lelaki itu pun aku tak tahu. Dia langsung hilang begitu saja setelah menyesap manis dan meninggalkanku yang sudah menjadi sepah.
"Nduk. Kok malah ngalamun. Itu Nak Anam sudah datang sama keluarganya. Mbok dandan yang ayu."
Dari balik tirai aku mengintip lelaki itu tersenyum bersama pae dan pakdhe di ruang tamu. Aku tertegun dan terpesona padanya. Dulu, aku sering melihatnya saat ada acara-acara di pesantren. Dia begitu cemerlang dan cekatan. Bu nyai juga sering membicarakan Kang Anam pada para khadamah. Termasuk aku.
Tak kusangka akulah yang dipilih bu nyai menjadi pasangan mantan Rois hitam manis itu. Tatapan elangnya, dada bidangnya, rambut ikalnya, kulitnya yang sawo matang, alis tebalnya, dan hidung bangirnya benar-benar membuat hatiku menggeletar hingga tak sanggup menampik pinangan lelaki yang sempat masyhur di pondok itu.
Sungguh, kasihan sekali kau, Kang Anam. Kini memperistri gadis yang telah ternoda.
Rentetan demi rentetan kejadian biadab hingga acara lamaran dan ijab qobul pagi tadi terus mengusik ketenanganku.
Aku terpekur di sisi ranjang sambil memandangi ranjang yang penuh dengan bunga mawar. Aroma khas pengantin begitu kuat di setiap sudut kamar. Aku menunggu suamiku yang masih sibuk bersama tamu-tamunya dengan hati berguncang. Aku bingung harus kuceritakan mulai dari mana. Tak terasa bulir bening berhamburan dan meluncur bebas dari sudut-sudut mata.
Aku sudah mandi dari jam lima sore tadi. Setelah salat maghrib kuganti lagi dress maroonku dengan dress dusty pink. Aku juga sudah keramas dan wangi dari ujung kaki hingga ujung rambut. Semua ini kupersembahkan untuk menyambutnya. Sungguh aku tidak siap jika nanti Kang Anam menolak untuk menyentuhku.
"Assalamualaikum."
"Wa-waalaikumsalam."
Aku terperangah ketika suara itu terdengar dari balik pintu. Tak lama kemudian sosok tinggi gagah itu muncul dan menutup pintu kamar pelan. Jantungku langsung berdebam. Bagai dihantam ombak lautan. Dia tersenyum manis. Pesonanya menggerogoti dinding-dinding hatiku.
"Kang A-nam."
"Dik Nay."
Aku menyambut tangannya dan mengecupnya pelan. Lembut, dia menempelkan bibirnya pada keningku.
"Terimakasih sudah mau menjadi istriku."
"Kang."
"Iya."
"Terimakasih juga mau menjadi suamiku."
Air mataku meluncur lagi tanpa komando.
"Kok nangis."
Kang Anam membingkai wajahku. Harum napasnya membuatku berdebar-debar. Detik demi detik bibir itu semakin dekat.
"Kang."
Kang Anam membuka matanya dan menatapku heran.
"A-aku i-ingin menceritakan se-suatu," ucapku tertahan.
"Apa, sayang?" tatapan mata Kang Anam begitu menggelora. Hampir saja aku terbuai olehnya. Itu tidak boleh terjadi sebelum semuanya jelas. Agar tak ada penyesalan di kemudian hari.
"Ceritakanlah."
"Apa kau siap mendengar?"
"Insyallah, siap."
"Bagaimana jika itu membuatmu jijik padaku?"
"Bagaimana mungkin?"
Aku menangis lagi. Kang Anam langsung membawaku ke dadanya.
"Kenapa kau sampai seperti ini? Sudah lama aku menginginkanmu menjadi istriku, Nay. Bu nyai sering membicarakanmu saat aku disuruh mengantarnya ke acara pengajian. Abah yai juga begitu. Selalu memuji kebaikan dan keikhlasanmu sebagai khadamahnya."
"Aku tak sebaik dan sesuci yang kau kira, Kang."
"Hei ... Memangnya aku juga manusia suci. Tentu saja aku juga berlumur dosa."
"Tapi ini kejadian yang paling aku sesalkan dalam hidup."
Hening.
Beberapa detik hanya suara isak tangisku yang terdengar. Kang Anam menatapku dalam. Mengusap pipiku yang basah.
"Jangan merasa hanya kau yang punya rahasia besar dalam hidup. Ceritakanlah. Aku akan mendengarkan dan berjanji takkan meninggalkanmu."
"Be-benarkah?"
"Iya."
Kang Anam membopongku ke atas ranjang. Menyuruhku bersandar di dadanya yang bidang baru memintaku untuk bercerita. Bismillah ....
Bersambung
No comments:
Post a Comment