TERNODA
Part 02
Bismillah, cerita itu harus tuntas malam ini juga. Namun sebelum itu, Kang Anam beringsut untuk mematikan lampu utama dan menghidupkan lampu tidur. Dia kembali merengkuhku dan menyandarkan kepalaku di dadanya. Menggenggam jemariku dan sesekali mengecup ubun-ubunku. Aku semakin gemetar dengan semua perlakuannya. Kuberanikan diri menatapnya. Wajah tegas itu semakin tampak memesona diterpa tinjauan cahaya bohlam yang remang-remang di langit-langit kamar.
Suara para rewang dan tetangga sayup-sayup menghilang. Para grup rebana dan tamu juga sudah pulang beberapa menit lalu. Saatnya semua orang berehat dari acara melelahkan seharian ini.
Aku menelan ludah berusaha menghempaskan rasa canggung.
"Kang."
"Hemm?"
Kang Anam mengecup pucuk-pucuk jariku. Membuat goncangan dalam dadaku bertambah kronis. Aku kehilangan arah lagi untuk memulai cerita menjijikkan itu.
"Nailil Muna. Kamu berkeringat. Lepaslah jilbabmu," pintanya dengan suara lirih dan tatapan yang sulit diartikan.
Tanpa menunggu lama. Dia melepas peniti di bawah daguku. Dan meletakkan jilbab itu sembarangan.
"Cantik seperti ini," ucapnya sambil melepas ikatan rambutku. Membelai rambut itu yang kini sudah terurai sebahu. Aku gelagapan.
"Kang, aku takut tapi ingin sekali cerita. Tolong, jangan sentuh aku dulu sebelum kuberitakan semua."
"Sudah malam, Nay. Sebaiknya ceritanya besok saja. Kau gemetaran dan juga lelah."
"Please, Kang."
Kang Anam menghela napas pelan. Kembali menyandarkan kepalaku pada dadanya.
"Bu nyai benar. Sampean orangnya ndak bisa tahan dengan satu masalah. Selalu kepikiran kalau belum terpecahkan. Baiklah, aku akan mendengar cerita itu."
"Bu nyai cerita apa saja tentangku, Kang ?"
"Banyak, Nay. Sejak Bu nyai tahu aku karep sama kamu, beliau ndak berhenti menceritakan kebaikanmu setiap ada kesempatan aku bertandang ke ndalem. Hehehe."
Aku tersenyum getir. Merasa malu dengan pernyataan Kang Anam. Dia hanya tahu aku dari luar saja, tapi tak tahu derita yang kutanggung.
"Baiklah, aku siap mendengar ceritamu. Tapi berjanjilah satu hal!"
"Apa?"
"Apapun masa lalu pahit kita tidak akan mengusik rumah tangga yang sudah terjalin ini."
Aku mengangguk.
"Aku khawatir sampean sendiri yang bakal ndak bisa menepati janji."
"Aku janji."
Ucapan Kang Anam bagai embun es. Berjatuhan di dinding-dinding hatiku.
Kuhirup napas dalam-dalam untuk mengumpulkan kekuatan. Lalu alam pikiran dan penghayatanku tersedot pada serangkaian persiapan haflah dan muwaddaah beberapa bulan lalu.
Kejadian itu berawal saat semua kamar mandi penuh oleh santriwati yang sedang persiapan haflah muwadda'ah. Ketua panitia sudah panik karena sebentar lagi menjelang maghrib. Sementara para mustakhrijat (santri putri yang akan diwisuda) belum selesai di make-up dan penerima tamu undangan belum juga berkumpul. Aku yang baru selesai menata prasmanan akhirnya disuruh persiapan ikut jadi penerima tamu.
"Mbak Nayla, cepetan yak! Habis mandi dan salat maghrib nanti langsung stand bye di depan?" ucap salah seorang panitia.
"Iya, Mbak. Kuusahakan."
"Jangan lupa, pakai gamis putih."
"Oke."
Aku menghela napas lagi. Mengingat aku yang begitu tergopoh-gopoh mencari kamar mandi kosong.
Alhamdulillah, ada satu kamar mandi kosong di pojok dapur. Rupanya tak ada yang mau menggunakan kamar mandi yang terhubung kamar mandi ndalem itu karena pintunya rusak. Kukatakan terhubung karena kamar mandi ini bersebelahan dengan kamar mandi ndalem. Temboknya jadi satu. Jadi, jika ada yang menggunakan kamar mandi ndalem, suara gemericik airnya akan terdengar jelas dari kamar mandi ini.
Satu suara teriakan sempat kudengar dari salah seorang santri putri sebelum aku masuk ke kamar mandi. Entah dia mengatakan apa. Aku tak sempat menghiraukan karena saking girangnya ada kamar mandi kosong. Paling-paling dia tadi mau memperingatkan soal pintu ini.
Sebenarnya aku agak ketar-ketir karena kondisi pintu kamar mandinya. Harus mengangkatnya untuk membuat kamar mandi tertutup sempurna.
Ketika masuk, suara gaduh dan gemericik air terdengar dari kamar mandi ndalem. Itu artinya ada seseorang di dalamnya.
Tanpa babibu, kulepas semua yang kukenakan dan langsung mengguyur sekujur tubuh dengan air. Aaah, segar. Rasa lelah dan penat langsung hilang.
Ketika rangkaian ritual mandi telah selesai, aku segera menggamit handuk yang tergantung di dinding atas. Bersamaan dengan itu, aku menangkap sepasang mata dari celah antara atap dan batas atas dinding dari kamar mandi ndalem terbelalak dan secepat kilat menghindar.
Spontan aku berteriak sambil berjongkok. Tapi suaraku kalah oleh suara riuh acara persiapan muwaddaah. Aku sungguh terpukul dan marah.
Aku bergegas dan dengan tergesa memakai pakaianku. Sarung, tunik, dan jilbab kupakai asal. Tak kuhiraukan tubuh dan rambut yang masih basah karena tak sempat memakai handuk. Aku terisak-isak dan sakit tanpa ada yang tahu. Ingin sekali berlari ke ndalem dan mengadukan semua ini pada bu nyai tapi aku terlanjur malu. Lelaki biadab itu, pasti sudah melihat semuanya.
"Begitulah, ceritanya, Kang. Entah siapa lelaki kurang ajar itu. Aku tak berani menuduh Gus Jauhar atau Gus Maksum. Meski kemungkinan terbesar adalah mereka. Siapa lagi yang bisa menggunakan kamar mandi ndalem? Kamar mandi Bu nyai yang menyatu dengan kamar mandi pojok dapur selain mereka? Hiks ... Hiks."
Kang Anam menyentuh bahuku yang berguncang. Tak ada sepatah kata keluar dari mulutnya. Aku yakin dia pasti sangat kecewa dan marah. Aku tak berani menatap wajahnya.
"Kang, aku sangat malu. Ingin sekali tahu siapa lelaki itu. Tapi aku tak punya kekuatan meski sangat yakin dia adalah salah satu dari putranya bu nyai. Dia pasti sudah melihat semuanya, mengingat aku yang baru sadar dan melihat kedua pasang netra itu ketika aktifitas mandiku selesai. Semua sudah terlambat, Kang. Huhuhu. Aku malu, Kang. Aku ndak mau sowan ke pondok lagi. Ndak mau, Kaaaang. Huhuhu."
"Heiii. Sudah, sudah."
Akhirnya Kang Anam membuka suara. Dia semakin mengeratkan pelukan.
"Aku benar-benar benci sama lelaki itu. Aku takkan pernah memaafkannya."
Kang Anam meregangkan pelukan. Membingkai wajahku dan menghapur air mata yang tak berhenti berjatuhan. Tatapan kami bertemu. Isakku seketika berhenti karena kedua mata Kang Anam dipenuhi kaca-kaca.
Hening. Aku hancur karena Kang Anam kembali terdiam.
"Kang Khoirul Anam. Maafkan aku."
"Akulah yang harus meminta maaf, Nay."
Wajahnya tiba-tiba tertunduk lesu.
"Demi Allah, aku menyesal," ucapnya tertahan. Dan aku masih tak mengerti.
"Lelaki itu adalah aku."
Bukan kepalang terkejutnya aku. Darahku serasa kembali mendidih. Mataku melebar dan mulutku terbuka.
"Apa?"
"Waktu itu aku kalap. Aku tak bisa berhenti menatapmu saat sedang mandi. Setan menguasaiku seketika. Mereka berlomba berbisik di telingaku untuk tak menyiakan kesempatan itu," jelasnya sambil tertunduk.
Aku masih tertegun tak percaya.
"Kang, jangan bercanda sampean!"
"Waktu itu bu nyai memintaku mengganti lampu kamar mandi dan memperbaiki gantungan baju. Aku naik ke atas keramik bak mandi dan tak sengaja melihatmu. Lalu kuteruskan perbuatan biadabku. Aku semakin tak bisa berhenti karena tahu itu kamu. Gadis yang selama mondok di Nurul Furqon selalu menyita perhatianku, Nay. Maafkan aku. Sungguh."
"PLAK!"
Reflek kutampar pipi Kang Anam. Sungguh, tak kusangka santri putra kebanggaan bu nyai bisa melakukan hal sekeji itu.
"Tampar aku sepuasmu, Nay! Tapi kumohon jangan membenciku."
Bulir bening kembali meluncur bebas di pipi.
"Setelah kejadian itu, aku bertaubat dengan sungguh-sungguh. Aku begitu tersiksa, Nay. Jadi, aku tak bisa menunggu lama untuk nembung sama bu nyai dan orang tuamu kalau aku sangat menginginkanmu. Ingin memperistrimu."
"Berapa kali sampean melakukan perbuatan biadab itu, Kang?"
Aku geram dan gemas sekali rasanya.
"Demi Allah baru satu kali. Dan itu kamu. Demi Allah, Nay. Aku tak pernah kalap melihat aurot perempuan selain kamu. Sumpah."
"Kenapa tak jujur dari awal? Sampean tak tahu betapa tersiksanya aku atas kejadian itu."
"Aku tak punya nyali untuk jujur, Nay. Takut kau akan menolakku menjadi suamimu."
Aku melengos dan dia terus menghiba-hiba hingga larut malam. Aku tak menghiraukan karena masih gondok luar biasa. Aku berbaring membelakanginya sambil menarik selimut sampai kepala.
"Nay ... Jangan siksa aku dengan diammu. Mending kau pukuli aku sekarang."
Aku mengibaskan tangannya yang hendak menyentuhku.
"Apa yang harus kulakukan lagi untuk menebus kesalahanku?" katanya sambil memelukku dari belakang.
"Aku sudah bertaubat, Nay. Sumpah."
Aku hanya bergeming.
"Aku sudah membaca puluhan ribu istighfar. Aku mandi dan salat taubat. Aku juga salat hajat berkali-kali setiap hari agar niat memperistrimu terwujud."
"Nay, maafkan aku. Nay please, maafkan aku."
"Nay, maaf."
"Maaf, Nay."
"Nay, cintaku bidadariku. Maafkan aku."
"Ya Allah, Nailil Muna."
"Nailil Muna."
Teruslah minta maaf sampai subuh, Kang. Kamu sungguh keterlaluan. Aku masih terpukul dan marah. Tapi nyatanya aku tak bisa membencimu.
Bersambung
No comments:
Post a Comment