Thursday, June 18, 2020

TERNODA 03

TERNODA 
Part 03 

Nailil Muna. Khadamah bu nyai yang selalu menjadi buah bibir para santri putra itu kini menjadi istriku. Tak heran beberapa dari mereka patah hati ketika mendengar aku dijodohkan dengannya. Perjodohan yang bagiku sebuah keajaiban. Ya, keajaiban doa. Aku bahagia bukan kepalang. 

Saking bahagianya sampai tak terpikirkan olehku jika Nailil Muna akan mengungkit insiden di dalam kamar mandi itu di malam pengantin kami. Dia terus terisak-isak saat mau memulai cerita itu. Gumpalan demi gumpalan air berlomba keluar dari kedua netranya. Dengan suara berat dan mata menerawang ia lalu menceritakan semuanya. 

Jantungku bagai dihantam palu godam ketika menatap matanya yang penuh amarah. Cerita yang meluncur dari bibirnya memaksaku mengingat kembali kejadian itu. 

"Nam, Anam. Tulung gantikan lampu kamar mandi sama gantungan baju yo. Nanti malam pengajian malah lampu kamar mandi rusak," pinta bu nyai padaku yang duduk di atas karpet ruang tamu. 

Menjelang maghrib aku sowan ke ndalem untuk koordinasi dengan Abah yai bahwa ruang transit untuk tamu VIP sudah siap. 

"Oh njeh, Bu nyai." 

Aku bergegas menuju kamar mandi yang dimaksud. 

"Eh, sek sebentar, Nam. Tak omong (bicara)  Mbak santri biar kamar mandi pojok nggak dipakai dulu soale ada awakmu," seloroh Bu nyai sambil tergopoh-gopoh menuju pintu dapur. Sedang aku mematung di ruang tengah, menunggu Bu nyai melanjutkan instruksi. 

"Wes (sudah), Nam." 

"Jadi saya langsung masuk ini, Bu nyai?" 

"Iyo, mlebu wae. (Masuk aja)."

"Oh njeh. (Oh, iya)."

Sambil membawa lampu yang masih anyar (baru) aku menuju kamar mandi ndalem (kamar mandinya Bu nyai). 

Ini adalah pertama kali aku ngambah (masuk)  kamar mandi Bu nyai. Ternyata tembok pembatas dengan kamar mandi sebelah lumayan pendek. Kalau aku naik ke atas dinding bak mandi pasti langsung bisa melihat isi kamar mandi sebelah. Pantas saja tadi Bu nyai mau woro-woro kamar mandi itu untuk tidak dipakai santri putri dulu. 

Dan ternyata dari sini aku bisa mendengar riuh rendah suara mbak-mbak santri ndalem dari dapur meski agak samar. Aku jadi berharap bisa mendengar suara Nailil Muna. Gadis ayu dan tinggi semampai itu. 

Aku mulai memasang paku pada gantungan baju dan memperbaikinya sampai kuat dan tak goyah sedikitpun. Lalu naik ke dinding bak mandi untuk mengganti lampu. Atap kamar mandi lumayan rendah jadi aku cukup mencari pancikan. Atau mungkin tubuhku yang memang cukup tinggi dan tanganku yang panjang untuk mencapai atap.

Setelah lampu terpasang dan menyala terang sempurna, kudengar suara perempuan setengah berteriak pada salah seorang temannya. 

"Mbak Naaaay, kamar mandi pojok jangan dipakai dulu! Ini perintah Bu nyai."

Aku tersenyum. Baru saja tadi kepikiran tentang khadamahnya Bu nyai itu langsung mendengar namanya disebut. Jadi membayangkan alangkah indahnya kalau sekarang Nailil Muna mandi di kamar mandi pojok. Meski hanya bersebelahan aku sudah senang. Nah, pikiranku mulai ngawur. 

Malapetaka itu terjadi ketika aku hendak turun dari banon kamar mandi. Kudengar derit pintu kamar mandi pojok ditutup oleh seseorang. 

Gusti. Jantungku langsung berdebar. Apakah itu Nailil Muna? Kenapa otakku langsung mengingat dan mengharap nama itu. 

Lalu aku dikuasai setan. Kakiku tak mau diajak turun dari banon bak mandi. Dan sedikit demi sedikit bola mataku memutar ke arah batas atas dinding pembatas kamar mandi. 

Dahi serta dadaku seketika basah oleh peluh. Ya Allah, maafkan hamba-Mu. Tak bisa menyiakan kesempatan ini. Setelah kulihat gadis itu benar Nailil Muna. Sedang melepas jilbabnya, bajunya, sarungnya, dan .... 

Gusti. Batinku menjerit-jerit. Tak pernah aku nekat dan mesum seperti ini. Aku menelan ludah berkali-kali dan menghirup napas dalam-dalam karena serasa kekurangan oksigen. 

Aku bahkan tak bisa berkedip menyaksikan pemandangan saru itu hingga selesai. Hingga sepasang mata itu spontan terbelalak bertemu dengan mataku. 

Edan! Mati kau, Anam! 

Aku tersentak dan langsung turun dari banon secepat mungkin. Sempat kudengar Nailil berteriak. Sudah terlanjur, Nay. Maafkan aku. 

Aku mengakui sore ini aku sudah menjadi santri biadab. Rois pondok jarkoni, bisa ngajar nggak biso ngelakoni (bisa mengajar nggak bisa melakukan sendiri) . Biasa menyidang kasus oknum santri yang diam-diam nonton film porno di warnet malah sekarang melihat yang real. 

'Anam, kau gila. Neraka ngawe-ngawe, Nam! (Neraka melambai-lambai)."  

Nuraniku memaki-maki. Membuat kepalaku pusing dan mataku panas. 

"Wes (sudah), Nam?" tanya Bu nyai yang masih sibuk dengan Abah yai di ruang tengah. 

"Njeh, sampun, ( iya, sudah),  Bu nyai." 

Aku benar-benar kacau dan khawatir. Bagaimana jika Nailil mengadukan ini pada Bu nyai. Tentu aku akan langsung tertangkap. 

Lalu, nuraniku sebagai lelaki berbisik. Aku sudah berani melakukan maka harus berani bertanggung jawab. Nailil Muna harus menjadi istriku. 

"Suwun yo, (terimakasih), Nam." 

"Njeh, Bu nyai." 

Saat aku hendak kembali ke pesantren, tiba-tiba Abah yai bersuara. 

"Naaam." 

"Nggeh, Bah." 

"Ojo ngalamun wae. Gak apik (nggak bagus)." 

Aku tersentak. Entah kenapa tatapan Abah yai seakan mau merogoh dan membaca isi otak dan hatiku. 

"Njeh, Bah." 

"Nanti habis haflah dirembuk (didiskusikan). Yo?" ucap Abah yai sambil tersenyum. Tatapan matanya itu seakan menggodaku. 

Waduh, mati aku. Apa Abah yai tahu apa yang kupikirkan?

"Njeh, Bah." 

Beliau terkekeh pelan. Tulangku seakan lolos satu persatu. Untuk berdiri dan berjalan saja terasa gemetar. Abah yai tak mungkin tahu apa yang sudah kulakukan, tapi tadi aku sempat linglung dan mungkin pandanganku kosong. Beliau memang jeli dengan ekspresi orang. Huft. 

Semenjak kejadian itu, aku terus bertaubat. Beristighfar sampai puluhan ribu, mandi dan salat taubat. Juga salat-salat sunah yang lain. Terus berdoa dengan sepenuh hati setelah salat fardlu dan tahajud, berharap Nailil Muna mau menjadi istriku. Piye maneh, rek. Aku udah lama cinta malah berani menodainya. Pasti saat ini Nailil sangat terpukul dan terluka. 

Malam-malam berikutnya aku tak bisa tidur. Terus terganggu dengan bayangan Nailil Muna di dalam kamar mandi. Apalagi Bu nyai seakan promosi Nailil Muna padaku. Lak, aku tambah sueneng. 

"Nailil Muna kui ayu yo, Nam?" tanyanya suatu hari. 

"Mbak ndalem sing paling rajin kui ya Nailil Muna." promo hari berikutnya. 

"Mengko lek awakmu (kamu) wes (sudah) nikah. Tak minta tetep ngabdi di pesantren yo, Nam? Ngajar di sini wae. Gak usah khawatir gak iso mangan. (Jangan khawatir nggak bisa makan)." 

"Njeh, Bu nyai." 

"Nailil Muna kui ya wes mateng kok. Harus segera nikah juga." 

Nah, apa maksudnya Bu nyai ini? Membuat mawar-mawar di dadaku bermekaran saja. 

Membuat penyakit cintaku naik ke stadium 4. 

Sampai pernah suatu subuh, Kang Zaini mengumpat. 

"Mblais, Anam! Ngompol kamu ya, Nam?" 

"Astaghfirullah." 

Aku langsung bangun dan membersihkan diri ke kamar mandi. Ternyata aku mimpi basah gara-gara memori di kamar mandi itu terputar otomatis dalam mimpi. Huft. 

Aku benar-benar berubah majnun gara-gara insiden itu dan kalimat-kalimat promosi Bu nyai. 

Lalu pernah suatu sore. 

"Kang, tolong ambilkan sampoku di lemari!" teriak Kang Wildan, ketua keamanan dari kamar mandi. 

"Yo." 

Aku pun menjulurkan benda yang di maksud dari celah pintu kamar mandi atas. 

"Lho, Nam. Ini bukan sampo tapi sirup flu. Yak opo sampean iki. Masak aku disuruh keramas pakai sirup flu," sentak Kang Wildan dari kamar mandi.  

"Astaghfirullah, ngapuro (maaf), Kang." 

"Anam nggapleki."  

Kontan para santri tertawa. 

Allah. Segininya aku akibat Nailil Muna. 

Puncak dari konflik ini aku diminta mendampingi Abah yai memberi siraman rohani bagi santri-santri yang ndablek (sulit diatur). Nasehat beliau benar-benar telah menamparku. 

"Cung, koe iki kepengen ilmune berkah?" tanya Abah yai pada para santri. Mereka tertunduk. 

"Njeh, Bah," jawab mereka bersamaan." 

"Mau tak kasih rahasianya biar ilmu cepat meresap?" 

"Njeh, Bah." 

Lagi, mereka menjawab kompak. 

"Begini ...." 

Bersambung.

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER