TERNODA
Part 04
Aku ikut menyidang dan mendengarkan Abah yai memberi nasihat para santri yang tersandung kasus dengan seksama.
"Begini, wahai para santriku. Jika kau ingin ilmu cepat meresap dalam otakmu. Maka sebisa mungkin jangan kau kotori dirimu sendiri. Maksudnya mengotori diri sendiri adalah dengan makan makanan haram. Makan jajan temannya tanpa izin. Minta temannya nalangi belanjaan, janji sampai pondok dibayar ternyata tidak dibayar, pura-pura lupa."
Abah yai terkekeh karena sudah hafal kasus seperti ini dari laporan pengurus keamanan. Kebanyakan dari mereka hutang malas membayar akhirnya lupa.
"Lalu melihat sesuatu yang di haramkan. Misalnya hal yang berbau porno. Saya pernah membaca artikel. Ada sebuah penelitian mengatakan bahwa kalau kita sering melihat hal-hal berbau porno maka otak kita bisa rusak melebihi mobil yang ditabrak truk sampai hancur. Heeeem ... ngono, Cung? Jadi update informasi itu ya perlu."
Deg. Seketika peluhku langsung mengalir di area punggung dan dada. Aku memang tidak pernah menonton yang begitu-begitu lewat internet, malah langsung, secara LIVE. Astaghfirullah.
"Suatu ketika kalian pasti akan punya istri dan anak, insyallah. Kalian lelaki. Insan sejati itu ya yang pernah salah tapi berani mengakui kesalahan.
Ketika berani melecehkan perempuan atau berbuat sesuatu yang keji pada perempuan, maka tinggal tunggu waktu saja. Entah di dunia atau di akhirat pasti akan mendapat balasan. Lebih mengerikan lagi kalau kita mendapat karma. Entah nanti ibumu, atau istrimu, atau anak perempuan kalian juga akan dilecehkan orang."
Allah. Aku benar-benar merasa tertampar sekaligus ketakutan.
Tak bisa kubayangkan jika nanti anakku dilecehkan orang akibat perbuatanku. Aku harus bertindak sekarang juga. Sehabis acara sidang ini, aku harus bicara pada Abah yai.
"Ingat cerita Imam Syafi'i? Kenapa beliau bisa menjadi orang yang begitu alim dan cerdas?"
Para santri masih tertunduk dan tak ada yang berani bersuara termasuk aku.
"Salah satunya karena beliau terlahir dari orang-orang yang sangat jujur dan menjaga kesucian. Ayah beliau bernama Idris. Kisahnya dimulai ketika Idris berjalan menyusuri sungai dan melihat buah delima hanyut dibawa air. Ia ambil buah itu dan langsung memakannya. Ketika buah itu tinggal separuh, baru terpikirakan oleh Idris apakah buah yang ia makan halal?
Maka ia mencari tahu pemilik buah itu dan akhirnya menemukan sebuah kebun delima lalu meminta kepada sang pemilik agar dihalalkan.
Sang pemilik kebun tidak serta merta menghalalkan buah yang sudah dimakan Idris melainkan memberi Idris sebuah syarat. Yaitu menjaga dan membersihkan kebun selama sebulan.
Idris menyetujui syarat dari Sang Pemilik kebun demi menjaga perutnya dari barang haram.
Satu bulan kemudian Idris lapor kepada Sang pemilik kebun bahwa ia telah selesai menjalankan syarat itu. Namun Sang Pemilik kebun belum puas. Beliau meminta Idris menikahi putrinya yang tuli, bisu, buta, dan lumpuh.
Demi halal, Idris pun menyetujui. Ia dinikahkan dengan putri pemilik kebun delima tersebut.
Setelah akad nikah berlangsung, tuan pemilik kebun memerintahkan Idris menemui putrinya yang bernama Ruqoyyah di kamarnya.
Idris kaget bukan kepalang karena Ruqoyyah jauh dari apa yang dikatakan ayahnya. Lalu ayah Ruqoyyah menjelaskan. Bahwa yang ia maksud tuli adalah anak gadisnya tak pernah mendengar hal-hal yang keji. Yang ia maksud buta adalah Ruqoyyah tak pernah melihat hal-hal yang berbau maksiat. Yang ia maksud bisu adalah Ruqoyyah tak pernah berbicara sesuatu yang mungkar.
Idris langsung tersungkur dan bersyukur. Betapa Allah maha baik padanya. Usahanya untuk bertaubat tak sia-sia.
Ternyata sang pemilik kebun tidak rela melepas Idris begitu saja; Seorang pemuda yang jujur dan menjaga diri dari makanan yang tidak halal. Ia ambil Idris sebagai menantu, yang kelak memberinya cucu bernama Syafi’i, seorang ulama besar, guru dan panutan bagi jutaan kaum muslimin di dunia.
Jadi, bisa kita simpulkan bahwa, kalau kita ingin memiliki anak yang baik, soleh, solihah maka dimulai dari kita sendiri. Memantaskan diri agar mendapat pasangan yang baik. Karena pendidikan anak itu dimulai ketika mencari pasangan.
Seperti halnya ilmu, dia juga sangat mencintai orang-orang yang suci. Maka dia cepat akan melekat pada orang-orang menjaga kesucian.
ومن طهر قلبه فيه العلم حل, ومن لم يرفع منه نجاسته ودعه العلم وارتحل
Siapa yang hatinya bersih, maka ilmu akan betah menetap di dalamnya. Siapa yang tidak berusaha mengusir kotoran hati, ilmu akan meninggalkannya dan pergi."
Para santri masih tertunduk, begitu juga aku. Pikiranku sibuk merangkai kata. Bagaimana caranya aku jujur pada Abah yai perihal insiden itu.
"Sekarang dari kalian yang pernah nonton tontonan haram. Diam-diam keluar dari pesantren ke warnet tanpa izin siapa? Silahkan mengaku dan taubat. Tulis di kertas siapa yang sudah melanggar peraturan. Nanti yang baca pengakuan kalian cuma aku," ucap Abah yai.
Keputusan Abah yai sangat bijaksana. Karena kalau disuruh mengaku ramai-ramai tak ada yang bakal berani jujur. Mereka tak bisa menanggung malu.
"Baik. Silahkan ditulis! Kalau tidak jujur dan tidak mau bertaubat. Tunggu waktunya saja. Ilmu kalian tidak berkah juga akan mendapat karma," lanjut Abah yai berwibawa.
Sebenarnya aku ingin juga menulis tapi itu akan membuat para santri curiga. Dan akan menertawakanku sebagai Rois. Jadi aku akan mengaku langsung saja pada Abah yai.
========
"Maafkan saya, Abah yai. Saya menyesal dan saya sudah bertaubat," ucapku tertunduk setelah jujur dan menjelaskan semua pada Abah yai. Kuusap dahiku berkali-kali yang sudah basah sejak tadi sebelum memulai cerita. Hanya ada aku dan Abah yai di ruangan ini.
Aku begitu lega dengan sikap Abah yai yang tenang dan bersedia menjaga aib para santri asal mau jujur dan bertaubat termasuk aku.
"Maafkan saya, Abah yai," ucapku lagi.
"Lakukan terus!" tukas Abah yai.
Aku tersentak. Maksudnya? Mengintip lagi? Aku plonga-plongo.
"Lanjutkan taubatmu! Istighfar terus menerus salat taubat dan salat hajat."
"Iya, Bah. Saya siap."
"Nanti malam kuantar kau ke rumah Nailil Muna untuk mengkhitbahnya. Pernikahan harus dilaksanakan secepatnya. Kalau tidak pikiranmu nanti bisa tambah ngawur."
Dadaku bergetar hebat. Khitbah?
"Tapi, bagaimana kalau Nailil Muna tidak mau menerima saya, Bah?"
Abah yai malah terkekeh.
"Wong dia juga suka sama kamu kok."
Lho, dari mana Abah yai tahu? Batinku bertanya-tanya. Jantungku spontan berdetak lebih cepat.
"Soal Nailil Muna beres. Sudah diatur sama Ummimu."
Aku terperangah lagi. Bu nyai? Sebegitu perhatiankah beliau padaku? Subhanallah, walhamdulillah.
=============
Begitulah ceritanya kenapa aku bisa menikahi Nailil Muna. Karena Abah dan Bu nyai sudah kadung menyayangiku sebagai santri. Selama aku menjadi Rois selalu memberi pelayanan total dan tak pernah mengecewakan. Berkah para kyai lah aku mendapat anugerah Nailil Muna.
Karena mengingat nasehat Abah yai itulah aku menjadi tidak gentar ketika Nailil ngambek. Aku terus meminta maaf dan memeluknya sampai ia tertidur. Padahal aku tahu dia sangat tersiksa di balik selimut sepanjang malam. Pasti sangat kegerahan.
Jadi saat sudah terlelap kubuka sedikit selimutnya. Menyibak rambutnya dan mengusap pelipisnya yang basah. Dia menggeliat saat kutaruh kepalanya pada lenganku. Sampai jam tiga malam aku tidak bisa tidur karena resah menahan gejolak. Tapi aku bahagia saat Nailil tenggelam dan bernapas di ketiakku, di dadaku.
Bersambung.....
No comments:
Post a Comment