Thursday, June 18, 2020

TERNODA 05

TERNODA 

Tak bisa kugambarkan di mana aku dan apa yang kulihat sekarang. Yang jelas indera penciumanku lebih bekerja. Menangkap bau asing yang menenangkan. Semacam bau apel, mawar, lemon, dan mint menjadi satu. Entahlah. Bau unik dan mewah itu langsung menundukkan ruang imajinasiku, membuatku semakin ingin dekat dan menuntun tangan ini untuk menggapai agar bau itu semakin dekat.

Bersamaan dengan itu tubuhku serasa ditarik dan merasakan kehangatan. Mataku mengerjap merasai sentuhan demi sentuhan, semakin erat  disertai aroma wangi yang menenangkan. 

Lagi, mataku mengerjap pelan.  Ternyata aroma itu berasal dari tubuh seseorang yang kini mendekapku, dan sebaliknya. Oh tidak! Bagaimana ceritanya lenganku juga melingkar di pinggangnya. Telat, Nay! Bagaimana kamu bisa lepas dari cengkeraman makhluk mengerikan ini? Makhluk mesum tak tahu diri ini. 

Sial, aku tak bisa bergerak karena ... karena apa? Malu? Ya, malu. Bukankah tadi malam aku ngambek? Kenapa sekarang menjelang subuh jadi mesra begini. 

Hati-hati kucoba pura-pura menggeliat dengan masih memejamkan mata agar terlepas dari lengan besar itu. 

"Hoaaaam." 

Sial lagi. Aku kalah cepat dan kalah kuat. Kang Anam kembali menarik tubuhku. Jadi tak ada solusi lain selain pura-pura ... tidur. 

Detik kemudian lelaki mesum itu menggeliat, menarik wajahku sampai kurasakan hangat napasnya.

Dia mencium keningku, pipiku, dan bi ... bir. Ini orang memang pandai mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ini tak bisa dibiarkan. Aku harus segera mengambil tindakan. 

Bukk. 

Bukk. 

Kutinju dadanya berkali-kali. 

"Aw." 

"Lepas!" 

Kang Anam terperanjat. Aku langsung menarik diri dan duduk di pinggir tempat tidur. Tanpa kata. Aku benar-benar masih marah. Marah campur berdebar-debar. Maksudku berdebar-debar karena terlanjur kecewa dengannya. Kecewa dengan lelaki yang menikahiku karena nafsu. 

"Jangan sentuh aku! Aku masih belum memaafkan sampean. Aku ingin punya suami yang menikahiku karena cinta, bukan nafsu," ucapku sambil memakai jilbab kembali dan melangkah cepat ke kamar mandi tanpa menoleh ke arahnya.

"Iya, Nay." 

Hanya itu? Ya Allah, aku benar-benar sebal.  

====== 

"Wah, Mbak Muna rambutnya basah. Hihihi," ledek Syifa sambil melirik ujung rambutku yang memang basah menjuntai dari balik jilbab saat menuju ruang makan. 

Syifa, adikku yang baru kelas 3 MTs itu memang sangat kritis dan suka meledek. 

Kucoba menghindar sebisa mungkin pada santri mesum yang kini masih menderas Alquran di kamar selepas salat subuh di musola depan rumah. 

Aku menatap sinis pada anak baru gede yang sok-sokkan meledek itu. 

"Eh, dasar anak kecil. Mbak keramas karena gatel dan gerah. Jangan mikir yang macam-macam ya?" 

"Ah, masaaa? Wakakaka." 

Ya Allah, ini anak kok ya ikut-ikutan menguji kesabaran. 

"Duh, anak jaman sekarang sudah banyak yang kebablasan. Mesti akibat tontonan yang gak sehat. Jangan sampai kamu ikut-ikutan berotak mesum ya, Dek?" 

Sengaja kunaikkan suaraku beberapa oktaf agar didengar jelas oleh lelaki yang kini mendekat ke arah kami. Aku masih enggan menatap wajahnya. 

"Muna, Syifa kalian ki kenapa toh, pagi-pagi kok sudah ribut aja. Syifa sini bantuin bue. Kamu, Muna mbok buatin wedang buat suamimu. Malah santai-santai di meja makan," tukas Bue gemas pada kami berdua. Bue sama Bapak memang terbiasa memanggilku Muna. 

"Masak apa, Bue?" kini lelaki itu bersuara sambil menarik kursi dan duduk di hadapanku. Aku membuang muka. Aku tak sudi membalas tatapan dan senyuman sok mesra itu. 

Lebih baik nimbrung bue di dapur daripada harus dekat-dekat sama dia. 

"Nggak kok, Le. Cuma manasin sop daging sisa pengajian tadi malam." 

"Oh, nggeh," sahut Kang Anam dari ruang makan. 

Ada Bapak juga nyusul duduk di sana. Sepertinya baru selesai ngaji di musola. Mereka langsung terlibat percakapan dan terlihat begitu akrab. Lelaki itu benar-benar pandai merebut hati orang-orang terdekatku. 

"Kang Anam. Mbk Muna itu beruntung lho dapat Kang Anam," sahut Syifa di tengah obrolan Kang Anam dan bapak. 

Anak itu, apa-apaan? Beruntung apa? 

"Hehehe, enggaklah, Dek. Kang Anam lah yang beruntung dapat Mbakmu. Cantik, rajin, pinter ngaji, pinter masak lagi," tukas Kang Anam sambil mengacak kepala adikku yang tertutup jilbab. 

Reflek kepalaku menoleh ke arah mereka. Tapi bola mataku meleset dan malah bertemu dengan bola mata Kang Anam. Secepat mungkin aku melengos dari lelaki yang melayangkan senyum sampai terlihat ada sedikit lesung di pipinya. Lesung yang dulu sangat digilai para santri putri. 

"Ya deh, sama-sama beruntung. Kayak Bapak sama Bue. Bapak dulu juga santri teladan seperti Kang Anam. Bue juga kayak Mbak Muna." 

Spontan aku mencebik. Kang Anam sama Bapak jelas beda. 

"Beda laaaah. Bapak tu gak pernah lihat hal-hal yang berbau porno," ucapku bernada jengkel sambil meletakkan kopi yang masih mengepul di depan Bapak dan Kang Anam.

"Uhuk, uhuk." 

Reflek Kang Anam terbatuk. Mungkin dia merasa aku telah menyindirnya. Terlihat dari wajahmu yang berubah mendung. 

Dan entah kenapa suasana mendadak tegang. Senyum Syifa lenyap, wajahnya seakan menodong penjelasan lebih lanjut dari mulutku. 

 Bapak juga terdiam. Sepertinya tak mau mencampuri urusan rumah tangga anaknya.   Kang Anam? Wajahnya kini memerah sambil tersenyum kecut. Sedang aku, mencoba biasa seakan tak terjadi apa-apa. Padahal jika disuruh jujur, aku sedikit menyesal dengan ucapanku. Ada perasaan sedih dan takut menindih jiwa.
 
Hening. 

Kulirik Kang Anam tercenung. 

"Nay, bisakah kau ambilkan hapeku di kamar?" ucapnya gelisah. Sinar matanya membuatku merasa bersalah. 

Bapak masih diam dan sibuk dengan kopinya. Aku tak bisa menebak apa yang ada dipikirannya. Semoga beliau tidak berprasangka buruk terhadap ucapanku barusan. 

"Saatnya facebookan, aaaah." 

Syifa beranjak. Ada nada tak enak dari kalimatnya. Mungkin dia tahu ini urusan orang dewasa jadi tak mau ikut larut terlalu jauh. 

Kang Anam menghela napas. Tak sesemangat lagi seperti tadi. Kopi yang asapnya berangsur memudar di depannya tak lagi membuatnya tertarik. 

"Muna, tadi disuruh #&$&%#  apa &#$&# suamimu?" 

Bagaimana ini? Apa aku salah? 

"Munaaa." 

Aku terhenyak. Suara Bapak membuyarkan lamunanku. 

"Iya, Pak?" 

"Tadi disuruh ambil apa sama suamimu?" 

"Ndak apa-apa, Pak biar saya ambil sendiri hapenya," ucap Kang Anam sembari melangkah menuju kamar. Ponsel itu tak berhenti menjerit-jerit. 

Hati nuraniku menuntunku untuk mengekornya. Aku tak tahu sejak kapan lututku berubah lemas begini. Jantung juga rasanya seperti diremas-remas. 

Ragu, kudekati pintu kamar. Masih terdengar nada dering dari ponsel Kang Anam sebelum empunya menempelkannya ke telinga. 

"Halo, assalamu'alaikum." 

"Njeh, Bu nyai." 

"Tidak apa-apa, Bu nyai." 

"Saya malah senang." 

Satu hal yang kusadari, aku seperti orang bodoh menempel di tembok kamar seperti cicak, mendengarkan dan menunggu Kang Anam selesai menelepon. Bu nyai? Ada apa pagi-pagi begini menelepon. Bukan, bukan itu yang penting. Yang lebih penting sekarang, kenapa aku merasa Kang Anam tiba-tiba berubah menakutkan. 

"Saestu tidak masalah, Bu nyai. Saya malah senang." 

"Enggeh." 

"Wa'alaikumsalam." 

Kang Anam akhirnya meletakkan ponselnya di atas kasur dan perlahan memutar bola matanya yang sendu ke arahku. Marahkah dia? 

Aku gelagapan dan jantung berdebar kencang saat dia melangkah ke arah di mana aku berdiri. Semakin dekat dan membuatku tak bisa berkutik karena kini tangannya ia rapatkan ke tembok. Tubuhku terkunci. 

"K-kang." 

"Ma-mau apa sa-sampean?" 

Lidahku tiba-tiba berubah kaku. 

Hening. 

Sempat kutatap mata Kang Anam lalu menunduk lagi karena terlalu menakutkan dan sulit diterjemahkan. Napasnya terdengar berat dan aroma yang tadi tengah malam kuhirup kini membuatku tak tenang. 

"Nay, kau mungkin berpikiran aku ini lelaki mesum dan bejat. Kau mungkin masih merasa terhina dengan kelakuan kejiku. Seandainya kau tahu betapa dahsyatnya ikhtiarku dalam bertaubat, kau mungkin takkan tega berkata seperti tadi." 

"Kau boleh tak percaya betapa tersiksanya dan menyesalnya aku telah melakukan hal keji itu. Tapi kini aku suamimu, dan berhak menasehatimu, Nay. Bahwa membuka aib suami itu sangat berdosa. Sampean santri quran tentu tahu, Nay. Hunna libasullakum, wa antum libasullahunn. Kau pakaianku, dan aku pakaianmu. Kita wajib menutupi aib masing-masing." 

Ya Allah, bagaimana ini. Tenggorokanku tercekat, seperti ada ribuan duri menyangkut di sana. 

"Kau benar, Nay. Aku  menikahimu karena nafsu. Karena aku takut tak bisa menjaga nafsu dan birahiku maka aku menikah. Bukankah memang itu salah satu tujuan dalam pernikahan selain sebagai penyempurna agama, sunnah Rasul, memperoleh keturunan dengan jalan yang halal, dan ... Ah, kau sudah tahu sendiri, Nay. Kau adalah santri quran, santrinya Abah Faqih. 

Nay, naluri manusia itu dipenuhi  dengan hawa nafsu, maka lebih baik untuk dipenuhi dengan jalan yang baik dan benar yaitu melalui penikahan.

Nay, kau pasti sudah hafal di luar kepala bunyi surah An-Nahl ayat 72, Allah SWT telah berfirman, yang artinya: 'Dan Allah menjadikan bagimu pasangan dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?' 

Kau pasti juga tahu sebuah hadist. Rasulullah SAW bersabda, 'Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.  HR. Muslim No. 1.400.' 

Nay, seandainya kau tahu, setelah kejadian itu, setiap hari aku mengumpulkan keberanian untuk jujur kepada Abah yai Faqih atas kesalahan yang kuperbuat. Kau tahu apa jawabannya? 

Beliau bersedia menutup mulut kepada siapapun tentang aibku asal aku mau bertaubat. Beliau bangga ada santri yang mau mengakui kesalahan secara langsung dan mau bertaubat. 

Lalu, beliau bersedia mengantarku ke rumahmu karena beliau faham aku sudah mencintaimu sejak lama. Tapi aku bodoh, kenapa tergiur melakukan hal biadab itu. Ah, sudahlah. Aku memang tak tahu diri."

Kang Anam sedikit mundur. 

"Tak apa jika kau jijik dan tak mau kusentuh. Tapi tahan mulutmu untuk tidak menyebarkan aib orang lain. Kau boleh membenciku dan menaruh dendam padaku. Tapi kau tak berhak menyakitiku." 

Tes. Air yang sedari tadi menggenang memenuhi mata kini jatuh sempurna. Anehnya tenggorokanku semakin terasa tercekat dan serasa ada ribuan belati menghujani jantung. Sakit. 

Ada perasaan malu yang begitu dahsyat pada Allah dan Abah Faqih. Abah, santrimu ini benar-benar tak tahu malu dan tak takut dosa. Aku merasa tak pantas disebut santrimu, Bah. Engkau sangat menyayangi santri seperti anakmu sendiri. Terimakasih telah menjadi wasilah jodoh seperti Kang Anam. Hatiku melolong panjang. Rasanya ingin menghambur ke pelukan Kang Anam. Tapi aku begitu malu dan pedih. 

Kang Anam ... Hiks. 

"Aku pergi dulu mengantar Bue, Bapak, dan Syifa pulang.  Tetaplah di rumah. Sampean masih belum stabil gara-gara suami durjana sepertiku ini." 

Aku masih mematung di kamar dengan perasaan kacau balau. Air mata masih berlomba berjatuhan. Aku tersungkur dan menyesal tiada tara. Sampai terdengar deru mesin mobil dari pelataran rumah pun, kakiku masih belum bisa digerakkan. Bu nyai pasti meminjamkan mobilnya untuk Kang Anam agar bisa mengantar Bue dan Bapak pulang. 

"Huhuhuhu, Kang Anaaam." 

Aku menepuk-nepuk dadaku sendiri merasai sakit yang begitu hebat. 

"Mbak Muna. Mbaaaaak." 

Dari luar terdengar suara Syifa sambil mengetuk pintu beberapa kali. Tapi tak kugubris. Aku hanya ingin menangis. 

"Huhuhu...." 

"Mbaaaak. Aku sama Bapak dan Bue mau pulang." 

"Huhuhu, Kang Anaaaam. Aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu." 

Aku menceracau seperti orang gila. 

"Mbak kenapa sih?" 

"Huhuhu." 

"Aku pulang dulu ya, Mbak. Assalamu'alaikum." 

Akhirnya Syifa menyerah dan suaranya menghilang bersamaan dengan deru mesin mobil meninggalkan pelataran rumah. 

Tiba-tiba aku merasakan kerinduan hebat pada suamiku. Kang Anam, cepat pulang! 

#Bersambung.

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER