TERNODA 6
Dalam rongrongan galau hati yang makin menyeruak, aku menengadah di atas sajadah. Lagi, rasa hangat tanpa sadar merambahi pipi. Tetes demi tetes air mata bergulir jatuh membersamai istighfar. Ingin aku memekik keras, namun tenggorokanku seakan tersekat benda berat.
Wajah Kang Anam terus membayang dan kenangan tentangnya bertumpuk dalam tempurung kepalaku. Mulai dari kenangan beberapa kali tak sengaja berpapasan sembari saling senyum saat kami masih sama-sama menjadi santri.
Aku yang diam-diam mencuri pandang dari balik tirai ketika dia berdiskusi dengan Abah yai. Aku yang sempat khawatir Abah yai akan menjodohkan Kang Anam dengan Ning Anah, putri Abah yai. Sampai peristiwa di dalam kamar mandi itu yang membuatku terpuruk. Jantungku yang hampir meledak ketika Bu nyai menyampaikan jika Kang Anam ingin meminangku.
Berlanjut dengan pengakuan Kang Anam tadi malam. Lalu air mataku banjir lagi mengingat aku yang begitu emosi membocorkan aibnya di depan Syifa dan Bapak.
Aku ... Sungguh keterlaluan.
"Assalamualaikum."
Suara para santri membuyarkan lamunan. Segera kuusap pipiku yang basah dan merapikan wajahku yang berantakan.
"Waalaikumsalam."
"Ustazah Nailil, mau dibantuin bersih-bersih nggak?" ucap salah seorang Mbak santri saat aku sudah berdiri di depan pintu.
"Oh, ndak usah, Mbak. Makasih ya."
Mereka undur diri setelah kukatakan tak apa-apa jika aku sendirian di rumah. Mereka memang santri yang perhatian. Beruntungnya aku dan Kang Anam diminta tinggal di rumah Bu nyai belakang pesantren dan tetap mengabdi di sini. Jadi kami bisa ketularan berkah para kyai.
Setiap ada suara mobil aku melongok ke jendela, barangkali itu Kang Anam. Ternyata tidak, mereka Kang-kang ndalem yang juga sedang melaksanakan amanah dari Abah Faqih. Aku semakin resah karena Kang Anam tak kunjung pulang.
Sudah jam 1 siang. Dan sudah puluhan chat dan panggilan terkirim. Tapi tak ada satupun yang centang biru. Pikiranku jadi kalut dan ngelantur kemana-mana. Takut jika Kang Anam takkan pulang. Selama itu kah mengantar Bapak sama Bu'e?
Gumpalan - gumpalan air meluncur bebas lagi tanpa dikomando. Seharian ini aku sudah kebanyakan menangis hingga kelopak mata bengkak dan hidung memerah.
[Kang, kapan pulang?]
[Kang, maafkan aku.]
[😭😭😭😓😓😓 Kang Anaaaam.]
[Kang, maafkan aku yang tak bisa menjaga lisanku.]
[Kang, aku mencintaimu.]
[Kang, aku cinta sampean sejak dulu. Sungguh 😔]
[Kang Khoirul Anam.]
[Kang, mau di masakin apa?]
[Kang, sudah mau sore. Kok belum pulang.]
Aku mengirim beberapa chat lagi tapi tetap tak ada satupun yang dibaca. Allah, berikan kesempatan padaku untuk memperbaiki kesalahan. Semoga suamiku pulang dalam keadaan baik-baik saja.
Detik kemudian aku menyadari kedunguanku. Kenapa tak kutelepon saja Bu'e atau Syifa? Sudah sampaikah mereka? Atau mungkin mampir-mampir hingga jam segini belum memberi kabar?
"Hallo, assalamu'alaikum."
Setelah beberapa detik terdengar jawaban salam dari Bapak.
"Bapak, Kang Anam masih di situ?"
"Baru saja pulang. Tadi tak minta bantu betulkan saluran air. Terus panen jambu depan rumah. Sampai atas pohon malah kehujanan. Tak suruh ganti bajune Bapak ndak mau."
Aku menghela napas. Ada rasa lega juga khawatir. Lega karena Kang Anam sudah dalam perjalanan pulang. Khawatir karena katanya Bapak dia habis kehujanan.
"Kehujanan sampai basah kuyub ndak, Pak?" tanyaku panik.
"Ya lumayan. Wong tadi posisi di atas pohon dan hujannya langsung "bres" lebat."
"Owalah, di sini tapi ndak hujan. Ya sudah, Pak. Assalamu ...."
"Eh, Na ... Muna," potong Bapak saat aku mau menutup telepon.
"Iya, Pak."
"Yang tadi jangan diulangi lagi yo?"
Aku terdiam. Mataku penuh dengan kaca-kaca lagi.
"I-iya, Pak. Muna khilaf."
"Semua orang pasti punya salah. Tapi ndak pantes kalau dibanding-bandingkan dengan orang lain. Sekarang kamu bukan tanggung jawab Bapak, tapi suamimu. Jadilah istri sholihah, Na."
"Iya, Pak," ujarku tertahan.
"Insyallah pilihan Abah yai ndak salah, Nduk. Untung tadi ibukmu ndak dengar. Cuma Bapak sama Syifa. Kalau dengar kan bisa bahaya. Wong kamu tahu sendiri ibukmu itu bagaimana. Dah lah, yang tenang saja. Mosok pengantin baru sudah ada masalah. Apapun itu disyukuri. Kamu diminta Bu nyai tinggal di sana. Mengabdi di sana. Bapak seneeeeng banget ilmumu manfaat, Nduk."
"Hiks, nggeh, Pak. Maafkan Muna," jawabku sambil terisak."
"Iyo. Sing penting nggak diulangi lagi."
"Iya, Pak. Assalamualaikum."
Aku menutup telepon dengan tangan gemetar dan air mata berderai. Bersyukur sekali punya orang tua seperti Bapak.
Aku segera bangkit. Kang Anam sebentar lagi pulang. Aku harus menyiapkan makan malam spesial untuknya. Mengingat tadi pagi aku sudah gagal menjadi istri yang baik. Boro-boro masak untuknya, membuat kopi saja Bapak yang kudahulukan. Ya Allah, Istri macam apa aku ini.
=======
Beberapa jenis masakan sudah terhidang. Sayur bayam, lele goreng, udang tepung dan mendoan. Ada sambal trasi beserta pete turut menyemarakkan. Aku tersenyum puas. Lalu kembali melihat jam dinding. Kenapa belum terdengar mobil terparkir.
Setelah salat asar aku mondar mandir di ruang tamu sambil sesekali melongok ke pintu dan jendela. Belum ada tanda-tanda Kang Anam pulang.
Kuperiksa ponsel, puluhan chat tadi belum juga dibaca. Berkali-kali kutelepon juga tak diangkat. Aku semakin kalut dan resah. Langit senja segera berubah petang. Suara lantunan ayat suci juga sudah mengalun merdu dari musola pesantren untuk menyambut maghrib. Kuambil air wudlu dan menuju mushola pesantren putri.
=======
"Suamimu sudah pulang, Na?" tanya Bu nyai selepas salat maghrib di musola santri putri.
"Belum, Bu nyai."
"Tadi tak telepon tak suruh belikan benih jagung manis. Kok sampai sekarang belum pulang ya."
"Oh, nggeh."
"Hapenya ndak aktif, ta?"
"Aktif, Bu nyai. Tapi sms saya belum dibalas."
"Oh ya wes. Ditunggu wae."
"Njih, Bu nyai."
Tanda tanya dari raut wajah Bu nyai semakin membuat hatiku mendung dan menjerit-jerit. Mulutku tak henti menggemakan salawat dan doa hingga menuju rumah, sehabis salat isya di musola, sampai pulang lagi.
Kulakukan panggilan berkali-kali tapi hapenya sudah tak aktif. Ya Allah, di mana suamiku?
Aku menunggunya di ruang tamu dengan perasaan gelisah. Tak kupedulikan perutku yang keroncongan karena sedari siang tak sesuap pun nasi yang masuk. Aku terus menatap jarum jam dan ponsel.
Mungkin sekarang lebih baik memanaskan makanan di dapur. Agar jika Kang Anam pulang bisa langsung makan.
Sudah pukul 8 malam. Aku hampir putus asa dan melangkah gontai menuju dapur sambil menenangkan gemuruh dalam dadaku. Udara semakin dingin. Aku khawatir sampai seperti orang linglung. Takut jika Kang Anam menggigil apalagi tadi dia sempat kehujanan.
Selain khawatir, pikiranku sibuk bagaimana bersikap jika nanti dia datang. Mencium punggung tangannya, atau langsung memeluknya dan meminta maaf, ataukah langsung menciumnya sambil membisikkan kata-kata cinta? Entahlah, aku begitu runsing.
Sayup-sayup kudengar suara deru mobil memecah sunyi. Semakin lama semakin dekat, lalu pelan memasuki halaman rumah. Kuhentikan langkah dan jantungku langsung berdebar-debar.
Kang Anamkah itu? Aku segera berlari menuju jendela. Barulah aku sadar ternyata aku belum berdandan.
Benar, itu Kang Anam. Hatiku bersorak. Terimakasih, ya Allah.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Aku segera membuka pintu dan menyunggingkan senyum semanis mungkin. Lelakiku tampak kerepotan membawa beberapa kresek besar dan satu kardus masuk ke rumah. Benar, bajunya terlihat basah dan wajahnya tampak sangat kuyu.
"Kok baru pulang, Mas?" tanyaku sambil mengambil alih dua kresek yang ada di tangannya.
Kang Anam tak menjawab. Mungkin dia sangat kelelahan. Dia masuk ke kamar setelah meletakkan satu kardus di ruang tengah. Sedang aku terus mengekornya.
Dia letakkan kontak mobil dan peci di atas meja rias. Aku langsung mendahului dan mengambilkannya kemeja serta sarung dari dalam lemari. Tapi dia tak acuh. Tanpa menatapku dan menggamit kemeja serta sarung yang lain. Aku menghela napas sambil meletakkan kembali sarung dan kemeja di tanganku ke lemari.
"Tadi kehujanan, Kang?"
Kang Anam masih terdiam dan aku terus memandangnya menuju kamar mandi. Hatiku jadi teriris-iris melihat sikapnya yang dingin. Masih marahkah dia?
Lidahku juga kelu. Semua kalimat cinta dan permintaan maaf yang tadi sudah kususun menguap entah kemana. Aku seperti kehilangan kepercayaan diri dan bodoh. Tapi aku masih harus ikhtiar untuk mendapat maafnya.
Beberapa menit kemudian, Kang Anam selesai mandi. Bau sampo dan sabun menguar dari tubuhnya yang terbalut kemeja warna abu dan sarung polos hitam. Pesona dari sosok tinggi tegap itu membuatku menggeletar.
"Kang, sudah makan?"
Dia masih tak menjawab. Fix, Kang Anam masih marah.
Dia menuju dapur dan tampak mencari sesuatu.
"Mau minum?"
Aku bergegas mengambilkan gelas dan menuang air putih. Tapi dia mengambil gelas dan menuang air putih sendiri. Gelagatnya memang seperti sengaja tak menganggapku ada yang terus berseliweran di sampingnya.
Dia hanya menoleh sedikit ketika mendengar cacing-cacing dalam perutku memberontak dan menimbulkan kegaduhan. Aku sungguh lapar.
"Kang, belum makan, 'kan?"
Dia mengambil piring tanpa sepatah kata, padahal tahu aku juga sedang mengambilkan piring untuknya. Aku tetap membesarkan hatiku dan duduk di kursi yang berhadapan dengannya.
Dia masih tak acuh ketika kutuang nasi ke dalam piringnya. Masih seperti tadi, ia menolak kulayani. Bahkan kini mengambil piring baru lagi dan menyingkirkan piring berisi nasi dariku. Aku masih bersabar dan menahan air mataku meski hatiku sangat sakit.
Dipandanginya beberapa lauk di depannya. Tatapannya jatuh pada piring yang berisi ikan lele. Dengan semangat kuambil piring tersebut dan menjulurkan ke arahnya. Urung, ikan lele itu tak jadi dipungut hanya gara-gara aku yang mencoba perhatian. Gusti, hatiku makin merana. Jadi, kubiarkan ia semaunya. jika aku cari perhatian, bisa-bisa nanti dia tak jadi makan. Melihatnya mau makan masakanku saja aku sudah senang. Akhirnya kami makan bersama tanpa suara. Ruang makan jadi semakin sunyi. Hanya bunyi sendok dan piring kami yang saling beradu.
Selesai makan dia menuju kamar. Aku terus mengamatinya dalam diam dan hati tercabik.
Aku tertegun saat melihatnya kembali keluar kamar dengan membawa bantal dan selimut menuju ruang tengah.
Air mataku jatuh lagi. Bingung harus bagaimana. Dengan sisa kekuatan aku menghampiri Kang Anam yang sudah mulai terpejam membelakangi. Aku duduk melantai di bawah sofa di mana tubuhnya terbaring. Memandangi punggungnya sambil menghiba.
"Kang."
Seharian ini aku benar-benar sudah menjadi orang paling cengeng. Tak kuat jika didiamkan begini.
"Kang. Maafkan aku ... Huhuhu."
Tangisku seketika pecah.
"Kaaang."
Kucoba menyentuh lengannya.
"Hiks, maafkan aku yang egois dan tak bisa menjaga aib suami. Hiks ... Hiks."
"Kang Anaaam, marah saja, Kang tapi jangan diam begini. Huhuhu."
"A-ku su-sudah me-melupakan keja-dian di ... Hiks ... ka-kamar mandi itu. Beneraaaaan."
Aku terus menceracau dan tergugu di sampingnya.
"Aku ... Aku ... Menyesal ngomong begitu tadi pagi sama Bapak, Kang. Beneraaaan, hu ... Hu ... Hu."
"Aku mungkin cuma masih syok tahu kalau laki-laki yang ngintip itu ... sam ... pean, hiks. Lelaki yang aku cintai dari dulu ternyata yang ngintiiiip. Hu ... Hu ... Hu."
Hatiku makin perih tahu Kang Anam masih terdiam dan menutup matanya dengan lengannya. Aku yakin dia belum tidur dan mendengarku dengan jelas.
Aku tertunduk dan terisak hebat hingga air mata dan ingusku keluar semua.
"Kang, aku mencintaimu dari dulu. Sungguh. Aku selalu terpukau saat melihatmu menyampaikan pidato. Di malam muwadda'ah juga. Huaaaaa ... Hiks ... Hiks."
"Kang, aku mencintaimu ... Aku mencintaimu ... Aku mencintaimu sejak dulu. Hiks."
Ah, sudahlah percuma meraung-raung seperti ini. Sekuat tenaga kuhentikan tangisku dan mengelap ingus serta air mata dengan jilbab.
Di saat aku mendongak, aku melihat wajah dengan tatapan sendu itu kini menatap wajahku. Sangat dekat. Membuatku gelagapan dan salah tingkah.
"Bilang apa tadi? Coba ulangi !"
Akhirnya dia bersuara.
"Aku menyesal."
Kang Anam tersenyum hingga lesung di pipinya terlihat sedikit. Samar dan manis.
"Bukan yang itu."
"Aku sudah melupakan kejadian di kamar mandi itu."
"Bukan."
"Aku minta maaf."
Dia mulai gemas.
"Nailil Muna!"
Hening.
Jarum jam serasa berhenti berdetak.
"Aku mencintaimu sejak du ...."
Jika boneka beruang di atas sofa itu hidup pasti kini sudah menutup matanya melihat sepasang sejoli kini sedang dimabuk cinta. Jika lemari, meja, kursi, dinding, jam dinding, pilar punya mata semua. Pasti mereka pun sudah menutup mata mereka berjamaah.
Sudah tak tergambarkan lagi betapa lega dan bahagianya hatiku. Kubiarkan bibirku basah olehnya. Seketika Kang Anam bangkit, membawa tubuhku ke peraduan. Kami tinggalkan sofa itu sendirian.
Bersama kami langitkan doa dan bersiap tenggelam dalam lautan cinta.
Aku membingkai wajah manisnya yang hangat.
"Kang, sampean sakit?"
"Iya, tadi habis kehujanan."
"Istirahatlah dulu."
"Kalau aku nggak mau bagaimana? Apa yang akan kamu lakukan?"
Hening. Aku memandangnya dengan penuh cinta dan haru.
"Aku akan menyerahkan jiwa raga."
Kang Anam tersenyum sambil mengelus pipiku.
Tamat
No comments:
Post a Comment