MIMPI LESTARI 01
(Tien Kumalasari)
Lestari menunggu giliran wawancara diperusahaan dimana dia melamar. Agak grogi juga melihat sesama pelamar yang rata-rata cantik dan berpenampilan menarik. Lestari harus bekerja membantu orang tuanya karena masih harus membiayai sekolah adik-adiknya. Ia mencoba melamar disebuah perusahaan swasta karena orang tuanya tidak lagi mampu membiayai kuliahnya yang baru setengah jalan. Tidak apa-apa bagi Lestari, yang penting adik-adiknya harus sekolah. Ia tak sampai hati melihat ayahnya yang bekerja di bengkel dan ibunya yang penjahit kemudian harus memeras keringat untuk biaya kuliahnya. Karena itulah dia mengalah. Ia harus bekerja, agar adik-adiknya tak sampai putus sekolah.
Ketika giliran dia harus masuk dilihatnya seorang laki-laki muda duduk disebuah kursi. Lestari dipersilahkan duduk, dan sepasang mata tajamnya serasa menghunjam jantungnya. Ia seperti pernah mengenal laki-laki itu. Sambil menunggu Lestari mengingat-ingat. Tapi sebelum ingatannya sempat menangkap siapa dia, sebuah sapa mengejutkannya.
"Kamu Lestari kan?"
Iyalah Lestari, kan ada nama saya disurat lamaran itu. pikir Lestari sambil menunduk. Tak tahan mata itu terus menatapnya tanpa berkedip.
"Kamu lupa sama aku?"
Sekarang Lestari mengangkat kepalanya, memandangi dan mencoba lagi mengingat-ingat.
Kita pernah satu sekolah di SMA, aku kelas tiga, kamu kelas satu.
Lestari masih menatap lekat. Wajah itu memang seperti pernah dikenalnya, tapi beum ingat juga dimana. Kakak kelasku? Pikirnya lagi.
"Kamu pernah jatuh pingsan sa'at upacara bendera, lalu aku menggendong kamu masuk ke UKS. Belum ingat juga?"
Terbelalak mata Lestari.
"Mas Janto? katanya hampir berteriak.
Lestari sekarang ingat, Harjanto kakak kelasnya yang suka usil mengganggunya. Ia ingat ketika Janto membawa seekor ulat diatas daun, lalu didekatkannya pada wajahnya, padahal dia sangat geli melihat ulat. Lestari menjerit-jerit dan Janto tertawa-tawa senang. Tapi Janto sangat baik, setelah membuatnya takut dia tak segan meminta ma'af.
"Ma'af ya, aku membuat kamu takut."
Lestari cemberut waktu itu, dan Janto terus meminta ma'af.
"Ma'af ya.. kalau tidak kamu ma'afkan aku tak mau pergi dari sini," katanya.
"Iya..iya..! kata Lestari kesal.
Sekarang Janto si usil itu duduk dihadapannya, menjadi manager personalia. Menatapnya sambil tersenyum-senyum ketika melihatnya kebingungan sebelum dia benar-benar mengingatnya.
"Sekarang kamu ingat?"
"Iya, lupa so'alnya penampilan kamu sekarang lain. Sudah jadi orang gedean, walau badan kamu tetap kecil," seloroh Lestari.
Janto tertawa. Benar, Janto memang berperawaan kecil, tapi tinggi. Wajahnya masih tetap tampan. Dulu sering menjadi rebutan diantara teman satu sekolahan, tapi Lestari tak pernah mengacuhkannya. Dianggapnya Janto itu usil dan seenaknya.
Janto tertawa mendengar kata-kata Tari.
"Iya nih, badanku tak pernah bisa gede, padahal makanku banyak lho."
"Cacingan 'kali," canda Tari yang mulai berani walau dihadapannya adalah manager yang semula membuat hatinya kebat-kebit.
"Enak aja !!"
"Emang iya."
"Sekarang kamu tinggal dimana?"
"Bapak sama ibu masih di kampung, tapi kalau aku diterima kerja akan kost saja didaerah yang dekat dengan tempat kerjaku."
"Kamu anak sulung ya, seingatku begitu."
"Benar, adikku empat dan masih sekolah, aku harus mengalah. Berhenti kuliah demi membantu orang tua. Mereka tak kuat membiayai kuliahku juga."
"Anak baik. Pasti kedua orang tuamu bangga memiliki kamu yang penuh pengertian."
"Ah, menurutku biasa saja. Apa anehnya seorang anak membantu orang tua?"
"Iya sih, tapi kan tidak semua begitu."
"Gimana nih, kapan mulai wawancara, diluar masih ada yang nungguin lho," tegur Tari.
"Oh, benarkah? Baiklah, kamu pulang saja dulu, nanti aku kabari," kata Janto.
"Lha kapan aku wawancaranya?"
"Tadi kan sudah?"
"Sudah?" tanya Tari heran.
"Kan kita sudah berbincang beberapa sa'at tadi, itu wawancara kita. Kamu tinggal menunggu berita dari aku.
"Oh.." Lestari masih tak mengerti.
"Ya sudah, kamu boleh keluar, katanya masih ada yang menunggu," kata Janto sambil tertawa melihat Tari kebingungan.
Dan Lestari pun keluar dari ruangan itu masih dengan perasaan tak mengerti.
***
Lestari baru mengerti ketika ia mendapatkan pesan singkat dari Janto, bahwa minggu depan dia boleh masuk bekerja. Agak heran sih, tapi Lestari bersyukur bisa diterima bekerja. Mungkin karena Janto mengenalnya, atau karena memang keberuntungannya, entahlah.
Ibunya memeluk haru mendengar Lestari sudah mendapat pekerjaan. Ada perasaan kecewa karena tak bisa membiayai kuliah Tari sampai selesai, tapi apa dayanya, memang keadaan ekonomi keluarganya sangat memprihatinkan.
Lestari kemudian sibuk mencari tempat kost yang dekat dengan kantornya, supaya tidak kebanyakan mengeluarkan transport, karena bapak ibunya tinggal dipinggiran kota.
Dan tanpa disangka ia bertemu dengan seorang gadis yang sedang bersama-sama mencari tempat kost, dan kebetulannya lagi adalah dia akan menjadi rekan kerja, karena diterima di perusahaan yang sama.
"Kita belum kenalan, namaku Asti," kata gadis itu.
"Namaku Lestari."
"Tampaknya tempat kost itu lumayan bagus. Bagaimana kalau kita memilih yang satu kemar untuk berdua?" tanya Asti setelah melihat-lihat tempat kost itu.
"Aku setuju, itu akan lebih menghemat uang kita," jawab Lestari.
Akhirnya mereka tinggal ditempat kost yang sama, dan dikamar yang sama pula. Rumah Asty jauh dikota lain, bukan seperti Tari yang hanya ada dipinggiran kota.
Dengan gembira Lestari mulai bekerja. Dia ditempatkan di bagian administrasi, dan Asti ditempatkan di bagian logisik.
***
"Lestari, bapak terharu mendengar kamu sudah mulai bekerja. Bapak minta ma'af karena tidak mampu menyekolahkan kamu sampai selesai," kata pak Marno ayah Lestari.
"Mengapa bapak berkata begitu? Lestari memang sudah lama ingin bekerja. Sekolah itu bisa dilanjutkan nanti pak, jangan menyesali semua ini. Yang penting adik-adik bisa terus bersekolah."
"Terimakasih ya nduk."
"Ah, bapak, tidak usah berterimakasih, ini kewajiban seorang anak. Bapak juga tidak usah terlalu memikirkannya.
Pak Marno memeluk anaknya dengan terharu. Ada kebanggaan tersirat dimatanya ketika nenyadari betapa besar perhatian anak sulungnya kepada keluarganya.
"Semoga kamu mendapatkan kehidupan yang labih baik dari kedua orang tuamu ini Tari."
"Aamiin, bukankah orang tua juga akan selalu mendo'akan anaknya? Restu bapak dan ibu sangat penting dalam perjalanan hidup."
"Kamu sudah dewasa.."
"Iya, bukan sa'atnya merengek untuk dibelikan baju baru, atau minta mainan seperti milik teman-temannya, iya kan pak ?"
"Iya .. iya," kata pak Marno sambil tersenyum.
"Tari akan pulang setiap libur."
"Pastinya, karena kalau tidak bapak ibu dan adik-adik kamu pasti kangen."
"Kita tidak berjauhan, Tari hanya ingin supaya dekat dengan kantor sehingga tidak banyak kehilangan uang untuk transport."
"Semoga apa yang kamu cita-citakan berhasil," kata ibunya yang sedari tadi diam menyaksikan perbincangan Tari dan ayahnya. Sang ibu juga terharu, dan sesekali mengusap air matanya. Walau tak begitu jauh, pasti sedih tidak setiap hari melihat sosok anak sulungnya yang sesungguhnya pintar dan rajin ini.
Lestari pun memeluk ibunya dengan kasih sayang.
***
"Tari, kamu sudah punya pacar?" tanya Asty pada suatu malam ketika menjelang tidur.
"Pacar ?" Tari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kamu itu cantik, mengapa belum punya pacar ?"
"Memangnya ukuran punya pacar itu dari cantik dan tidak nya seseorang?"
"Biasanya gadis cantik cepat punya pacar."
"Nggak juga Asty, aku belum memikirkannya. Kamu sendiri ..?"
"Kamu kan tau, aku tak pernah kemana-mana kecuali bekerja. Jadi mana mungkin aku pacaran?"
"Nah, kamu juga cantik tapi belum punya pacar .."
"Ayuk kita cari pacar.." kata Asty mengejutkan Lestari.
"Haa.. Bagaimana mencari pacar? Kamu ada-ada saja Asti."
"Kalau begitu ayo cari jodoh."
Lestari tertawa.
"Ada-ada saja kamu ini.. "
"Kita ini sudah cukup tua untuk mendapatkan jodoh. Lihat saja, banyak teman seumuranku sudah pada anak satu atau dua."
"Tidak usah iri pada mereka, jodoh itu akan datang apabila Allah sudah memberikanNya. Sabarlah Asty."
"Kalau kita tidak berusaha, mana mungkin bisa dapat? Kita hanya tinggal dirumah kost ini, lalu ke kantor, lalu kembali lagi kesini dan tidur."
"Memangnya kenapa?"
"Kalau begini terus, kapan dapat jodohnya?"
"Kalau Allah menghendaki, jalan itu pasti ada,"kata Tari sambil membalikkan badannya memeluk guling dan memejamkan matanya."
"Tari.." tampaknya Asty masih ingin bicara.
"Asty, sudahlah, ayo tidur, aku sudah mengantuk."
Tari tetap memejamkan matanya, tapi tiba-tiba dia sadar bahwa apa ya ng dikatakan Asty itu benar. Mereka sudah cukup tua untuk mendapatkan pacar atau calon suami.
***
Ketika mereka sedang berbelanja sore itu, Asty berbisik pelan.
"Lihat, didepan ada cowok ganteng."
"Issh... kamu ni As.." kata Tari, tapi tak urung matanya menatap juga kearah laki-laki ganteng yang sedang berjalan sendirian.
"Hayo... kamu ni malu-malu tapi mau kan?" goda Asty.
"Jangan malu-maluin ah," tegur Tari.
"Lha itulah kamu, malu-malu tapi mau," kata Asty sambil menggandeng Tari mendekati pria itu.
"Asty...." tegur Tari.
Lalu dengan tanpa diduga Tari menabrak laki-laki ganteng yang sedang mengamati sesuatu disebuah etalase, kemudian Asty terjatuh.
Tari memekik terkejut.
"Asty, kamu kenapa ?"
Laki-laki itu serta merta menunduk dan membantu Asty berdiri.
"Ma'af ya, " kata Asty sambil menatap laki-laki itu.
"Tidak apa-apa mbak, ada yang sakit ?"
"Nggak, nggak apa-apa, ma'af.." kata Asty.
Lestari menarik tangan Asty menjauhi laki-laki itu.
"Iihh.. kamu tuh sudah gila?"
Asty hanya tertawa, lalu membiarkan Tari menariknya jauh-jauh dari laki-laki itu.
"Huh, laki-laki sombong, aku kira dia kemudian mengajak kita kenalan, ternyata cuma begitu saja."
"Jangan berkhayal yang tidak-tidak, masa hanya karena kamu menabraknya lalu dia mengajak kamu kenalan? Ayo ketempat sayuran, katanya pengin masak sendiri malam ini."
"Tapi dia tadi tuh benar-benar ganteng kan?"
"Ganteng juga kenapa, siapa tau punya orang," gerutu Tari sambil memilih beberapa sayuran yang dibutuhkannya.
***
Malam hari itu selesai makan malam dari hasil memasak bersama, Asty membuka buka koran dikursi depan kamarnya.
Tari sedang mengabarkan keadaan rumahnya, karena kemarin mendengar ibunya sakit.
"Bagaimana keadaan ibu sekarang?" tanya Tari di telepon.
"Baik Tari, ibu hanya masuk angin."
"Ibu harus hati-hati, jangan sampai kecapean."
"Dua hari yang lalu sempat menjahit sampai malam, karena ada langganan yang minta agar bajunya buru-buru diselesaikan, ada undangan hari Minggunya."
"Ibu jangan sampai memforsir tenaga begitu. Kalau memang tidak sanggup ya katakan saja tidak bisa, biar dia mencari penjahit lain."
"Nggak enak nduk, namanya sudah langganan. Dia itu kalau bukan ibu yang menjahit bajunya katanya kurang puas."
"Tapi kalau kemudian ibu jadi sakit, apa dia bertanggung jawab ?"
"Namanya orang bekerja Tari, pasti ada resikonya. Ibu tidak ingin mengecewakan langganan. Kalau dia kemudian tidak mau lagi menjahitkan bajunya ke ibu, kan ibu yang rugi."
"Ibu benar, tapi lain kali jaga kesehatan ya, besok Minggu Tari pulang, ibu mau dibawakan apa?"
"Nggak usah bawa apa-apa , kamu pulang saja ibu sudah senang."
"Ah, ibu pasti begitu deh. "
"Bawain singkong keju saja seperti kemarin, adik-adik mu sama bapak suka tuh."
"Baiklah bu, nanti Tari bawakan, sudah itu saja?"
Tiba-tiba terdengar teriakan Asty sambil mendekat kearahnya.
"Tari... lihat!! Aku dapat! Oh, ma'af, lagi teleponan ya?"
"Sudah ibu, sampai Minggu besok ya." kata Lestari lalu menutup ponselnya.
"Ada aoa sih?"
"Lihat, ada dua cowok mencari jodoh."
"Ya ampuun, kamu tuh... kirain ada apa."
"Dengar Tari, ini bagus, yuk kita hubungi mereka. Ini ada dua, kamu yang atas ini, aku yang bawah."
Tari tersenyum. Tiba-tiba ia tertarik pada ajakan Asty.Ini ide yang dianggapnya gila, tapi ia tergoda ingin mencobanya.
"Baiklah, iseng-iseng saja ya," kata Tari.
Lalu Asty memberikan satu nomor telepon yang tertera dikoran itu, satu lagi untuk dirinya.
"Ini sudah malam, nggak enak menelpon," kata Tari.
"Baiklah, besok pagi saja."
***
Dan Tari benar-benar menelponnya. Ada saling tanya jawab ketika saling menelpon, yang ternyata Tari suka melakukannya. Dia ramah, dan suaranya merdu lho. Tari merasa suara itu seperti menggelitik telinganya lembut, dan membuatnya merinding.
"Suaranya bagus banget," gumamnya sambil tersenyum.
"Sudah janji ketemuan?" tanya Asty.
"Belum, suaranya bagus banget, semoga orangnya ganteng.
Asty tertawa.
"Siapa namanya?"
"Dia mengatakan namanya Nugroho, siapa ya kepanjangannya aku lupa."
"Nggak penting lah kalau nama, yang penting kan orangnya. Awas ya, kalau nanti kamu ketemuan, jangan sampai kamu terusin kalau orangnya jelek."
Tari membayangkan suara Nugroho, masa sih suara sebagus itu orangnya jelek? Jelek itu yang bagaimana sih, yang penting kan orangnya baik, setia, menyayangi sepenuh hati.
"Kamu bagaimana?" tanya Tari.
"Aku nggak cocog," kata Asty sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nggak cocog apanya?"
"Dia itu duda, anaknya tiga, yang dua masih balita. Tampaknya dia bukan mencari isteri tapi mencari baby sitter," geritu Asty.
Lestari tertawa tergelak-gelak mendengar kata-kata Asty.
"Ya udah, sama Nugroho itu saja, Bagaimana?"
"Nggak mau, tu sudah jatahmu, aku do'akan semoga berhasil," kata Asty.
"Hm, ya udah, jangan menyesal ya kalau ternyata dia ganteng."
"Nggak, aku percaya takdir. Bukankah kemarin kamu sendiri yang mengatakan bahwa kalau Allah menghendaki kita mendapatkan jodoh, pasti akan ada jalannya."
"Iya, tapi ini kan hanya iseng, belum tentu jadi sungguhan."
"Siapa tau jadi sungguhan."
"Hanya Allah yang tau. Do'akan yang terbaik untuk aku ya?"
"Pasti Tari."
***
Sejak sa'at itu hampir setiap hari Tari bertelpon dengan Nugroho. Akhirnya Nugroho bermaksud bertemu Tari disebuah rumah makan.
"Aku nanti memakai kaos biru, pakai topi putih ya," pesan Nugroho.
"Baiklah, aku juga akan memakai baju putih berkembang biru," jawab Tari.
Berdebar juga hati Tari ketika memasuki rumah makan dimana mereka janjian.
"Aduh, gimana nih, maksudnya hanya iseng kok kemudian jadi sungguhan," katanya dalam hati.
Tari melangkah memasuki rumah makan itu. Hari sudah menjelang sore, karena janjiannya setelah pulang kantor. Tak banyak orang duduk dirumah makan itu.
Tari menoleh kekiri dan kekanan. Mana laki-laki berkaos biru bertopi putih?'
Haaa... rupanya dia sudah duduk disana, agak kebelakang, dekat dengan taman bunga yang ada disisi rumah makan itu.
Tari mendekat, laki-laki itu belum menoleh kearahnya.
Jangan-jangan orang yang kebetulan memakai baju dan kaos sama seperti yang dikatakan Nugroho.Pikir Tari.
Tari berdehem, laki-laki itu menoleh, berdesir jantung Tari menatap laki-laki itu.
Bersambung
No comments:
Post a Comment