Friday, May 22, 2020
LESTARI PUNYA MIMPI 02
(Tien Kumalasari)
Lestari terpaku ditempatnya, demikian juga laki-laki itu.
"Lestari?"
"Mas Nugroho ?"
Senyuman Nugroho tampak memukau. Laki-laki itu pernah dilihatnya. Dia, laki-laki yang dilihatnya bersama Asty disupermarket itu. Laki-laki ganteng yang membuat Asty jatuh bangun beneran, bukan hanya kiasan.
"Kita pernah ketemu ya?" kata Nugroho sambil mengulurkan tangannya. Tari menyambutnya dengan gemetar.
"Silahkan duduk," Nugroho menarik kursi didepannya dan mempersilahkannya duduk.
Tari menata batinnya. Apa yang akan dikatakan Asty kalau dirinya menemukan pria ganteng yang ketemu ketika mereka berbelanja.
"Senang bertemu Lestari," kata si ganteng itu.
Tari mengangkat kepalanya dan tersenyum manis.
"Mau pesan apa?"
"Terserah mas Nugroho saja."
"Ini daftar menunya, silahkan memilih dan menulis sendiri.."
"Ini sudah menjelang sore, jam makan sudah lewat. Pesan nasi? Tidak, Tari memilih selat Solo, dan minum es kopyor kesukaanya. Lalu daftar menu dan catatan pesanan itu disodorkannya pada Nugroho.
"Kalau begitu aku memilih menu yang sama saja, kata Nugroho sambil mengganti angka satu porsi dengan angka dua, lalu melambaikan tangannya kearah pelayan agar mengambil pesanannya.
Tari tersenyum. Ini sungguh sesuatu yang aneh. Bertemu dengan seseorang yang sama sekali tak diduganya. Orang segnteng Roy Marten dimasa mudanya, mencari jodoh ? Serius? Jangan-jangan dia juga cuma iseng seperti dirinya pada awal bertelpon.
"Teman kamu yang menabrak aku sampai jatuh itu siapa?" pertanyaan itu mengejutkannya.
"Dia.. Asty, ingin kenalan sama dia?"
"Nggak, bukan itu, ingatanku akan kamu adalah ketika menolongnya bangun. Tapi aku lupa wajahnya, yang aku ingat adalah wajahmu."
"Aku ?"
"Iya, wajah tak acuh ketika melihatku, tampaknya kamu sombong."
"Masa?" lalu Tari tertawa, mana mungkin dia beramah tamah dengan seseorang yang belum dikenalnya?
"Itu menarik, dan aku berharap suatu hari bertemu lagi sama kamu."
"Oh ya?"
"Dan itu kesampaian."
Tari tersenyum senang. Laki-laki ganteng ini memang menarik. Ia selalu berkata dengan manis, dan selalu mengulaskan senyum yang menawan. Aduhai. Jatuh cintakah Tari pada pandangan pertama?
"Kamu tidak ingin bertanya mengapa aku mencari jodoh di halaman iklan?"
Tari menatap Nugroho. Mata tajam itu mengingatkannya pada mata Janto. Tajam dan memikat.
"Aku patah hati dan sakit."
"Ini pelarian?"
"Bukan, aku benar-benar mencari jodoh. tapi bukan dari gadis yang pernah aku kenal."
"Ouwh."
"Kamu menarik hatiku, dari pembicaraan kita di telepon, kemudian setelah kita bertemu."
Pelayan datang menyajikan pesanan, lalu Nugroho meraih gelas dan menyedotnya perlahan setelah mengaduknya. Minuman berwarna merah dengan kelapa kopyor didalamnya sangat menerbitkan selera untuk segera mencecapnya.
"Silahkan.." katanya pada Tari, kemudian menyedot lagi minumannya dengan nikmat. Tari mengikutinya sambil meresapi kata-kata Nugroho barusan. Benarkah dia tertarik pada bicaranya, lalu pada dirinya setelah bertemu?
"Apa kesan kamu setelah kita bertemu?"
Tari merasa heran. Ditelpon dia bisa lancar berbicara, tapi setelah bertemu dia seperti orang bodoh. Tak bisa banyak mengeluarkan kata-kata.
"Bagaimana ?"
"Apa ?"
"Kesan kamu setelah bertemu bagaimana ?"
"Baik.."
"Baik itu bagaimana?"
"Ya baik," kata Tari sambil mengaduk minumannya dan menyendok kelapa kopyor beberapa kali, lalu mengunyahnya perlahan, seperti mengunyah manisnya pertemuan disore itu.
"Baik itu bagaimana? Jelaskan dong," kata Nugroho mendesak.
"Aku.. senang.. "
"Hm.. hanya itu?"
Tari merasa grogi, ia harus mengatakan apa, masa harus mengatakan bahwa dia langsung jatuh cinta?
"Pokoknya senang, semoga ..." Tari tak melanjutkan kata-katanya.
"Semoga apa?"
"Kamu iseng kan ?"Tari balas bertanya.
"Iseng? Tidak aku serius, aku suka bisa bertemu kamu, aku ingin pertemuan ini berlanjut."
Tari mengangkat wajahnya, menatap priya yang baru saja mengucapkan kata-kata yang mendebarkannya.
"Itu benar. Kalau kamu tidak keberatan."
Pertemuan itu berakhir dengan manis, walau Tari masih tampak gugup menghadapinya. Menjelang senja mereka baru beranjak dari rumah makan itu, Nugroho mengantarkan Tari ketempat kost dengan mobilnya.
***
"Wah, sampai jam segini? Bagaimana pertemuan itu? Bagaimana orangnya? Menarik? Ganteng seperti yang kamu bayangkan?" Asty memberondongnya dengan pertanyaan.
Tari hanya tersenyum. Ia enggan mengatakan bahwa dia adalah laki-laki yang ditabraknya di supermarket itu. Entah mengapa Tari belum ingin berterus terang.
"Gantengkah dia?" Tari mengulang pertanyaannya.
"Ganteng banget."
"Wauuw.. aku senang mendengarnya. Semoga bisa menjadi jodohmu kalau memang kamu suka."
"Semoga dia laki-laki yang baik."
"Aku akan mendo'akan kamu."
"Tapi wajahmu tidak tampak gembira sore ini. Ada apa?" tanya Tari ketika menatap wajah sahabatnya.
"Baru saja ayahku menelpon."
"Oh, senang harusnya. Pasti kangen karena sebulan lebih kamu tidak pulang."
"Tidak cuma itu. Bapak minta agar aku pulang dan tidak usah bekerja lagi."
Tari terkejut.
"Tampaknya aku dijodohkan dengan seseorang. "
"Wah, itu menyenangkan."
"Kamu tuh..."
"Kalau Allah menghendaki, jodoh itu akan datang sendiri. Ya kan?"
"Belum tentu aku suka."
"Apapun caranya, kalau itu memang jodoh kamu, ya pasti akan terjadi."
"Susah menentang kehendak bapakku. Aku belum tau bagaimana, tapi bulan depan ini aku benar-benar harus resign."
"Ya ampun, belum setahun kita bersama, sedih aku."kata Tari pilu.
"Mau bagaimana lagi, " kata Asty seakan pasrah.
***
Tapi malam itu Tari tak dapat tidur. Terbayang selalu pertemuan sore tadi dengan Nugroho. Begitu tak terduga, dan begitu manis. Tari benar-benar tak menyangka, bahwa dialah laki-laki yang pernah dilihatnya di supermarket bersama Asty.
Ia belum memberitahukannya pada Asty. Entah mengapa, ia ingin merahasiakannya.
"Belum tidur juga?"
Tari terkejut, rupanya Asty pun belum tidur.
"Asty, aku kira kamu sudah mimpi jadi pengantin.." seloroh Tari.
"Perasaanku benar-benar tak enak. Bagaimana mungkin dijaman sekarang ada anak dijodoh-jodohin."
"Itu karena kamu nggak bisa cari sendiri."
"Ah, Tari.. mentang-mentang kamu sudah dapat, lalu ngeledekin aku terus."
"Sudah dapat apa... baru pendekatan, belum tentu cocok satu sama lain.."
"Tapi tampaknya kamu mikirin dia terus."
"Darimana kamu tahu Asty?"
"Dari tadi kamu belum tidur dan tampak gelisah."
"Aku lagi mikir orang tuaku.." kata Tari berbohong.
"Memangnya kenapa orang tua kamu?"
"Nggak apa-apa sih, besok aku pulang, kata ibu adik-adikku suka singkong keju, dan aku belum sempat beli tadi."
"Ya .. cuma karena singkong keju saja nggak bisa tidur.."
"Iya.. aku lagi mikir juga, ibu tuh kalau aku bertanya pengin apa.. pasti jawabnya nggak pengin apa-apa deh. Aku bermaksud beli sesuatu, tapi apa.."
"O.. itu, beli saja apa yang kira-kira ibu butuhkan.."
"Itulah, aku lagi mikir.. Keluargaku itu keluarga sederhana Asty, bukan seperti keluargamu yang kaya raya."
"Ah, bukan kaya raya begitu Tari, kebetulan saja bapak tuh punya pensiun, jadi cukuplah untuk hidup hanya bersama ibu, sedangkan aku kan sudah bekerja. Tapi yaah, tak ada sebulan lagi aku sudah pergi dari sini."
"Karena sudah ada jodoh yang menunggu kamu. Berbahagialah kamu Asty."
"Do'akan saja, calonku itu ganteng tampan seperti Pangeran dari negeri Atas Angin."
Tari terbahak mendengarnya.
"Negeri Atas Angin itu dimana?"
"Nggak tau aku asal ngomong aja."
"Negeri Angin itu dimana, sedangkan itu atasnya... gimana ngebayanginya .."
"Aku pasti kangen sama kamu Tari.."
"Apalagi aku, sa'at pulang kerja biasanya ngobrol sama kamu, belanja sama kamu, masak bersama kamu. Nanti kalau kamu tak ada lagi disini.. aku pasti akan sedih."
"Sesekali aku pasti akan mampir kemari untuk bertemu kamu."
***
"Tari..." sebuah panggilan mengejutkannya. Tari yang siap-siap melangkah pergi menoleh kebelakang, dilihatnya Harjanto setengah berlari mengejarnya.
"Ada apa mas?"
"Mau ngomong sebentar."
"Ya.. omong aja.."
"Itu.. teman kamu, kenapa tiba-tiba mau resign?"
"Oh, iya.. disuruh pulang sama orang tuanya."
"Sebenarnya nggak boleh resign tiba-tiba begitu."
"Kan masih bulan depan."
"Bulan depan itu tinggal seminggu."
"Oh iya.."
"Tapi dia memaksa. "
"Nggak diijinin?"
"Nggak akan diberi surat keterangan. Habisnya resign tiba-tiba."
"Dia itu anak orang kaya, aku kira tidak begitu butuh pekerjaan. Dia melamar kemari karena bosan dirumah saja. Bukan seperti aku, yang butuh uang untuk menyambung hidup."
"Oh, begitu. Padahal dia itu pintar. Pimpinan kita suka pada pekerjaannya."
"Iya sih, tapi mau bagaimanalagi? Orang tuanya yang menyuruhnya berhenti. Sebenarnya sayang, aku juga merasa kehilangan, kalau dia pulang aku jadi tidak punya teman sekamar."
"Kalau ingin lebih irit, carilah teman lain yang bisa patungan menyewa kamarnya."
"Iya, sedang aku pikirkan."
"Ini kamu sudah mau pulang?"
"Iya, Asty lembur, aku disuruh pulang duluan."
"Mau aku antar?"
"Nggak mas, ngrepotin."
"Nggak apa-apa, kan kita sejurusan."
Namun ketika Tari berjalan di parkiran, seseorang membunyikan klakson mobil, lalu membuka jendelanya, sesosok wajah melongok dari sana. Tari terkejut, itu mas Nug.
"Ayo Tari, naiklah."
"Nggak usah mas, kelihatannya aku dijemput."
"Oh, pacar kamu?"
"Bukan, hanya teman, terimakasih ya mas," kata Tari sambil bergegas mendekati mobil Nugroho.
"Mas, kok sampai kemari?"
"Sekalian pulang, kebetulan melihat kamu. Tampaknya ada yang mau mengantar ya? Apa aku mengganggu?"
"Tidak, itu manager personalia, kebetulan mau pulang."
"Ayo naik, " Nugroho turun dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Tari.
Sebelum mobil Nugroho berjalan, Harjanto melintas dan membunyikan klakson.
***
"Besok libur kan ?" tanya Nugroho dalam perjalanan mengantar Tari.
"Iya, kan hari Minggu."
"Mau jalan jalan sama aku? Besok aku samperin."
"Ma'af mas, besok aku harus pulang, sudah janji sama ibu."
"Oh, dimana rumahnya?"
"Daerah Kartosuro, jauh."
"Besok aku antar ya?"
"Jangan mas, rumahku jauh.."
"Tidak apa-apa, mumpung liburan."
"Tapi aku malu mas."
"Mengapa malu?"
"Rumahku jelek, rumah orang kampung."
"Memangnya kenapa kalau rumahnya jelek."
"Aku malu mas."
"Jangan begitu, aku tidak melihat bagaimana rumah kamu. Aku melihat kamu."
"Memangnya aku kenapa?"
"Kamu cantik, baik, rajin, sangat memperhatikan keluarga, itu aku suka. Jarang ada orang seperti kamu."
Tari berdebar dipuji cantik. Rasanya ia ingin segera sampai dikamar kostnya dan berdiri didepan kaca. Secantik apakah dirinya?
"Masa sih? Aku kira semua orang akan bersikap sama. Siapa yang tidak sayang keluarga?"
"Ada.. Pokoknya besok mau pulang jam berapa?"
"Tapi aku harus mampir-mampir dulu."
"Nggak apa-apa, mampir kemana?"
"Cuma beli oleh-oleh buat adik-adik."
"Bagus itu, aku antar. Jam berapa berangkat?"
Semua yang dikatakan Nugroho sangat menggelitik hati Tari. Laki-laki ganteng, baik, penuh perhatian. Apakah Tari jatuh cinta beneran? Tapi apakah Nugroho juga mencintainya? Sebuah kebaikan sebaiknya tidak disalah artikan. Mungkin Nugroho lebih merasa kasihan kepadanya daripada menyukainya. Ketika bertemu kemarin Tari sudah mengatakan semua keadaannya, keadaan keluarganya, sehingga Nugroho bisa menetukan sikap, apakah bisa melanjutkan hubungan itu atau tidak. Tapi nyatanya dia mau menjemputnya ke kantor walau tidak diminta, bahkan ingin mengantarkannya pulang kerumah orang tuanya. Hati Tari berdebar, apakah Nugroho tertarik?Suka, atau justru cinta? Tidak, Tari menepis perasaan itu. Kali ini Nugroho hanya ingin tau seperti apa keluarganya, pantaskah Tari menjadi pendampingnya. Begitu lebih tepat. Lalu Tari mengibaskan perasaan bahagianya. Rupanya belum sa'atnya dia merasa sudah mendapatkan laki-laki yang mengagumkannya ini.
Ketika hampir sampai didepan rumah kostnya, Tari memintanya berhenti.
"Mengapa disini?"
"Nggak apa-apa, disini saja."
Nugroho membukakan pintunya, dan Tari keluar. Ada tatapan mata yang menggetarkan hatinya. Aduhai, jangan dulu mengartikan itu cinta, walau hati Tari menggelora.
Ketika mobil itu berlalu, Tari melangkah perlahan menuju rumah kostnya yang hanya beberapa meter didepannya. Sesungguhnya Tari tak ingin Asty melihatnya bersama Nugroho. Tari lupa bahwa Asty masih ada dikantor, lembur. Lalu Tari bergegas menuju kamarnya, tapi tiba-tiba Tari terkejut melihat seorang laki-laki duduk disana.
Bersambung
No comments:
Post a Comment