Monday, June 22, 2020

MIMPI LESTARI 03

Monday, May 25, 2020

MIMPI LESTARI 03

(Tien Kumalasari)

Tari melangkah pelan, menatap laki-laki setengah tua yang duduk dikursi tamu didepan kamarnya.

"Selamat sore, " sapa Tari.

Laki-laki itu berdiri dan mengulurkan tangannya dengan sopan, Tari menyambutnya sambil tersenyum.

"Bapak mencari siapa?"

"Saya ayahnya Asty,"

Tari tertegun.

"Oh, ayahnya Asty? Ma'af bapak, apakah bapak sudah lama menunggu?"

"Tidak, baru saja."

"Asty kebetulan lembur hari ini, mungkin sebentar lagi pulang."

"Iya, saya sudah menelpon dia nak."

"Baiklah, saya masuk dulu ya pak,"

Tari masuk kekamarnya, dan ketika keluar lagi ia membawakan minuman kemasan yang kemudian diletakkan dimeja tamunya.

"Bapak silahkan diminum dulu."

"Terimakasih nak."

Ketika masuk lagi kedalam untuk mandi dan berganti pakaian, Tari bertanya-tanya, mengapa bapaknya Asty datang kemari. Jangan-jangan untuk menjemput Asty.

Dan perkiraan itu hampir benar ketika keluar dari kamar mandi Tari mendengar suara Asty yang sudah datang dan ketemu bapaknya.

"Ya nggak bisa sekarang dong pak, Asty kan punya tanggung jawab pekerjaan juga," kata Asty.

"Kalau begitu kapan, bapak meninggalkan ibumu yang sakit, dan minta agar bapak segera menjemput kamu."

"Setidaknya Asty harus kekantor dulu nanti hari Senin, menyelesaikan dan menyerahkan semua tugas, baru Asty bisa pergi." 

"Lha kalau Senin ya bapak harus nginep dua hari jadinya."

"Mau bagaimana lagi, Asty tidak bisa langsung pergi pak, Asty harus menyerahkan semua tugas Asty dulu. Kemarin saja Asty sudah ditegur gara-gara pamit mendadak."

"Ya sudah, bapak akan menunggu  sampai Senin, bapak mau menginap di hotel saja kalau begitu."
*** 

"Besok jadi pulang Tari?" tanya Asty malam itu.

"Iya, kan aku sudah janji sama ibu bahwa mau pulang Minggu besok."

"Aku ikut kamu ya?"

Tari terkejut bukan alang kepalang. Besok Nugroho mau mengantarnya, bagaimana kalau Asty ikut?

"Ya..? Boleh kan ?"

"Asty, bukannya aku nggak ngebolehin, tapi kan bapak ada disini, kamu harus menemani bapak dong. Masa ada bapak menginap dihotel.. kamu malah mau ngeluyur kerumahku. Apa lagi aku kan pulangnya belum tentu siang atau sore, dan bisa jadi malam. Dan kalau ibu meminta aku menginap... bagaimana?"

Asty menghela nafas panjang.  Ia tampak tidak bersemangat untuk menemui bapaknya.

"Bapak terlalu memaksakan kehendak.Tidak perduli walau aku sudah bilang bahwa aku harus mempertanggungjawabkan semua tugasku."

"Tapi kan ada alasannya, aku dengar ibumu sakit, kan?"

"Iya sih..."

"Ya sudah, jangan mengecewakan bapak, apalagi ibu sakit. Jadi besok kamu temani bapak, ajak jalan-jalan atau apa, kasihan menunggu kamu sampai Senin.

"Tapi aku sedih berpisah sama kamu Tari. KIta sudah seperti saudara."

"Iya Asty, aku juga begitu, rasanya seperti mimpi harus berpisah sama kamu, apalagi tinggal sehari besok kita bersama, Seninnya kamu sudah harus pergi," kata Tari sedih.

"Aku pengin nangis Tari.." kata Asty lalu mendekati ranjang Tari, kemudian memeluknya erat.

Keduanya tenggelam dalam kesedihan, karena tinggal dua  malam saja bisa bersama.  Itu tak terduga. 

"Kalau tidak karena sudah berjanji pada ibu, aku pasti menemani kamu seharian besok."

"Tidak apa-apa Tari, kamu sendiri bilang bahwa orang tua harus diutamakan bukan?  Besok pagi-pagi sekali aku akan menemui bapak, akan aku ajak jalan-jalan. Supaya bapak juga tidak kesal karena harus menunggui aku sampai Senin Siang."

"Bagus Asty."

Tari ingin mengatakan tentang Nugroho, tapi kemudian diurungkannya, karena melihat Asty sudah kembali keranjangnya lalu merebahkan tubuhnya. Tampak lelah.

***

Pagi itu ketika Tari terbangun, dilihatnya Asty sudah rapi. Tmpaknya dia sudah siap untuk pergi. Tari mengucek matanya.

"Sudah mandi?"

"Ya sudahlah,  sudah wangi begini.." 

"Hm.. ma'af aku kesiangan."

"Tidak, ini masih pagi, jam setengah enam kurang , belum terlambat untuk sholat subuh."

"Mau pergi sekarang?"

"Iya, dikota ini enaknya jalan-jalan pagi. Aku mau mengajak bapak makan nasi liwet atau cabuk rambak di Nonongan. Biasanya bapak suka."

"Baiklah, titip salam buat bapak ya."

"Ya, nanti aku sampaikan, aku pergi dulu ya. Mau di oleh-olehin apa? Nasi liwet? Kamu biasanya doyan banget."

"Ya nggak lah, kalau aku pulangnya sore atau malam, pasti basi dong. Sudah, jalan sana.. hati-hati ya."

"Ya, kamu juga nanti harus hati-hati, jam berapa mau berangkat?"

"Nanti lah, gampang, cuma dekat saja."

"Ya sudah buruan, mandi lalu sholat." kata Asty kemudian beranjak keluar dari kamar.

Tari menghela nafas, lagi-lagi ia urung mengatakan tentang Nugroho.

"Ya sudahlah, barangkali ini tak begitu penting untuk Asty," gumamnya lalu pergi kekamar mandi.

***

Baru jam setengah delapan ketika tiba-tiba dilihatnya Nugroho memarkir mobilnya didepan pagar rumah kost itu. Kamar Tari terletak paling depan diantara deretan kamar lainnya, sehingga dia dengan leluasa bisa melihat kejalan, dari jendela kamar.

Berdebar hatinya ketika membuka pintu kamar dan menyambut Nugroho yang sudah turun dari mobil. Entah mengapa debar itu selalu muncul setiap kali melihatnya. 

"Kok pagi sekali mas?"

"Kamu sudah mandi kan?"

"Ya sudah, aku kan sudah rapi. Silahkan duduk sebentar," kata Tari  mempersilahkan.

Nugroho tersenyum, menatap Tari lekat-lekat. Itu membuat jantung Tari berdegup lebih kencang. Ia mengalihkan pandangannya ke kebun yang ada didepan kamarnya,.

"Ada apa sih?"

"Mengapa mas Nug menatap aku seperti itu?"

"Habisnya kamu cantik."

"Ah, bisa aja," katanya lalu melangkah  masuk kedalam kamarnya. Berdendang hatinya, dan kuncup-kuncup bunga seakan bermekaran memenuhi relung dadanya. Kaca hias dikamarnya menjadi sasaran pelampiasan kebahagiaannya. Ia berputar.. miring kiri.. miring kanan.. senyum.. merengut.. meringis.. ahaai.. benrkah aku cantik? Diambilnya sisir untuk merapikan rambutnya, lalu kembali tersenyum dikaca itu, kemudian mengambil tas tangannya dan keluar dari kamar.

"Hm..." Nugroho menatapnya dengan mata berbinar, hati Tari semakin berdebar. 

"Ayo mas, kita berangkat sekarang?"
*** 
Ternyata Nugroho mengajaknya makan pagi dulu. Ia mengajaknya ke Nonongan untuk makan nasi liwet. Sudah agak siang sih, tapi untunglah masih ada beberapa yang berjualan. Nugroho menarik tangan Tari untuk duduk di tikar yang disediakan. 

"Hm, nikmat ya, makan nasi liwet berdua bersama pacar..?"

"Pacar ?" 

"Aku anggap saja pacar. Keberatan ?"

Tari tersenyum, lalu menggeleng. Memang dia tidak keberatan. Senang malah, eh lebih dari itu, bahagia, masih ditambahin bangettt/... Aduhai..

"Aku pakai ampela ati ya bu," kata Nugroho kepada penjualnya.

"Ih, kolesterol tinggi tuh."

"Nggak apa-apa kalau sesekali."

"Aku biasa saja, pakai ayam suwir.."

Nyatanya sampai selesai makan kenikmatan itu masih terasa. Bukan hanya karena makanannya, tapi karena kebersamaan yang dirasakannya.

"Katanya mau beli oleh-oleh, dimana belinya?"

"Kalilarangan saja mas, barangkali ada yang aku cari."

"Siap, tuan puteri.."

"Iih, kok tuan puteri sih, jadi nggak enak..."

"Kalau kurang enak nanti ditambahin bumbunya.." seloroh Nugroho.

"Pintarnya cari kata-kata sih.."

"Kalau dekat gadis cantik aku selalu pintar berkata-kata."

"O, jadi sudah biasa ya? Berapa banyak gadis cantik yang sudah dikata-katain dengan manis begitu?"

Nugroho tiba-tiba tertawa keras.

"Kok  tertawa sih?"

"Itu kan kata-kata bernada cemburu? Tapi aku suka, cemburu itu berarti cinta, ya kan?"

Aduh, Tari ingin mencubit lengan kekar yang sedang memegang kemudi, tapi diurungkannya, takut dikira genit.

"Iya kan, hayo ngaku..."

"Eh itu..." tiba-tiba Tari berteriak.

"Ada apa?"

Tari tak jadi mengatakannya, membiarkan mobil terus meluncur. Hampir saja dia membuka kaca mobil dan berteriak memanggil, karena melihat Asty bersama bapaknya sedang berjalan.

"Ada apa sih ?"

"Nggak, nggak jadi.."

"Apa yang nggak jadi?"

"Aku salah, seperti melihat teman, ternyata bukan," jawab Tari sekenanya.
***
Ditoko penjual oleh-oleh itu Tari ingin hanya membelikan beberapa bungkus kue-kue, karena singkong keju yang dicarinya tak ada, tapi tanpa disangka Nugroho memilih beberapa macam makanan yang kemudian langsung dibayarnya berikut yang sudah dipilihnya.

"Mas... kok gitu.."

"Biar saja, sudah.. jangan bawel.."

Mereka keluar dari toko oleh-oleh dengan dua tas besar berisi makanan. Tari agak sungkan karena Nugroho membayar semuanya. 

"Mas Nugroho gitu sih, malu aku.. janji bawa oleh-oleh utnuk ibu, tapi yang membelikan mas Nugroho."

"Memangnya kenapa kalau aku yang membawa oleh-oleh untuk calon mertuaku?"

Tari tertegun, sejauh itukah pemikiran Nugroho? Benarkah dia akan menjadikannya isteri? Dalam perjalanan kerumah orang tuanya itu Tari lebih banyak diam. Ia sungguh merasa gugup dengan semua yang dikatakan Nugroho. Tadi bilang pacar, sekarang malah menganggap oirang tuanya sebagai calon mertua? Seperti mimpi rasanya mendengar semua itu.

"Mengapa diam ?"

"Mas Nugroho bicaranya ngaco kan?"

"Ngaco? Tentang aku bilang calon mertua itu?"

"Mas belum tau siapa aku, belum tau bagaimana orang tuaku, keluargaku, bagaimana begitu cepat mas mengatakannya?"

"Karena aku yakin pada pilihanku."

"Itu terlalu tergesa-gesa."

"Kamu tidak suka?"

"Bukan tidak suka, hanya menganggap pernyataan itu seperti sebuah gurauan. So'alnya mas belum begitu mengenal aku dan keluargaku."

"Baiklah, sebentar lagi aku akan mengenalnya bukan?"

"Jangan terburu-buru mengatakan itu, nanti kalau mas kecewa, aku akan merasakan sakit."
***
Kedatangan Lestari disambul dengan suka cita oleh kedua orang tua dan adik-adiknya. 

"Syukurlah kamu sudah datang, dari tadi adik-adikmu sudah menanyakan terus, soalnya Minggu kemarin kamu tidak pulang."

"Iya bu, tapi kan sekarang sudah pulang."

Tari tersenyum melihat adik-adiknya berrebut membawa kedua bungkusan yang dibawa Nugroho kebelakang.

"Bapak, ibu, ini mas Nugroho, teman Tari," kata Tari memperkenalkan Nugroho kepada ayah ibunya.

"Oh.. nak Nugroho?"

Nugroho mendekat, menyalami dan mencium tangan kedua orang tua Tari.

"Eeh.. sini dulu kaliaan, beri salam untuk tamu kita.." teriak Tari kepada adik-adiknya.

Dan mereka berebut keluar lalu menyalami tangan Nugroko satu persatu, kemudian kembali menghambur kebelakang.

Tari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Itulah mas, adik-adikku..."

"Tidak apa-apa, biasa anak-anak begitu."kata Nugroho sambil tersenyum senang.

"Silahkan duduk nak."

"Terimakasih pak.."

 Nugroho duduk. Mengamati suasana bahagia diantara keluarga itu, dirumah sederhana dengan segala perabotan yang sederhana juga. 

Sepasang kursi tamu dengan anyaman rotan yang sudah lusuh, ada pot tanaman diudut ruangan, lalu disudut sebelah sana ada mesin jahit yang sudah kuna juga, dengan beberapa kain tersampir dimeja sebelahnya. 

Salah seorang adik Tari keluar membawa nampan berisi gelas-gelas minuman, yang diletakkannya dimeja didepan Nugroho.

"Silahkan diminum nak," kata ibunya Tari.

"Terimakasih bu, itu tadi adiknya Tari?"

"Iya, adiknya yang nomor dua, sudah kelas 3 SMP, mau masuk SMA," kata Tari yang kemudian masuk kedalam rumah.

"Inilah nak, rumah orang kampung, tidak seperti rumah-rumah orang kota," kata bapaknya Tari.

"Bagus pak, tenang suasananya. Itu ibu suka menjahit?"

"Iya nak, untuk mencukupi kebutuhan. Penghasilan bapak di bengkel tidak seberapa." kata bapaknya Tari.

Nugroho mengangguk-angguk.

"Terkadang harus lembur ibu itu nak, habisnya mesin jahitnya sudah seumur ibunya Tari itu, jadi kalau sedang rewel.. pekerjaannya jadi tersendat," kata sang bapak lagi.

"Ini kan perjuangan hidup demi sekolah anak-anak, jadi biar susah ibu harus melakoninya," sambung ibunya.

Nugroho tersenyum. Ia merasa salut kepada keluarga sederhana yang mati-matian berjuang demi pendidikan anak-anaknya. Bahkan Lestari juga ikut memikul beban itu.

Setelah puas bercanda dengan adik-adiknya Lestari kembali menemui Nugroho didepan. Ketika siang, kepada Nugroho juga disuguhkan makan siang bersama. 

"Ini masakan kampung nak, ma'af kalau tidak berkenan. Hanya pepes ikan, sayur asem, sambal, dan karak."

"Enak sekali bu, saya suka semuanya."

Dan nyatanya Nugroho makan dengan lahap, membuat senang yang punya rumah.

Nugroho yang tak pernah mempunyai saudara kandung merasa bahwa suasana itu sangat hangat dan mengesankan.

"Bahagia ya, punya banyak saudara?" katanya kepada Lestari.

"Ya beginilah mas, keadaan keluarga saya. "

"Ini keluarga yang bahagia. Senang melihatnya. Aku tak pernah merasakan sebahagia ini. Aku tak punya saudara."

"Tapi kalau sudah berantem juga rame mas."

"Tidak apa-apa kalau terkadang ada selisih, yang penting saling mengasihi dan melindungi."

"Benar mas."

"Siapa nama adik kamu yang mau lulus SMP itu ?"

"Suci mas."

Oh, Suci ya? Dia yang paling besar setelah kamu?"

"Iya, kami terpaut beberapa tahun."

Ketika kemudian Tari dan Nugroho berpamit, diam-diam Nugroho mendekati Suci dan berbisik-bisik, entah apa yang dikatakannya, tapi Suci kemudian mengangguk-angguk dan mengucapkan terimakasih.Lalu Nugroho juga memberikan sebuah catatan kecil yang ditulisnya.

"Apa sih mas..?" tanya Tari.

"Bukan apa-apa, ayo pulang.."

Lestari  mencium tangan bapak ibunya, diikuti Nugroho, dan adik-adik Lestaripun satu persatu menyalami Tari dan Nugroho. Ramai sekali. Rasanya enggan bagi Nugroho untuk meninggalkan mereka.

Tapi baru saja mobil Nugroho meluncur, ponsel Nugroho berdering.

"Dari ibu.." kata Nugroho.

Tari membiarkan Nugroho menerima telpon itu, dan melihat bahwa Nugroho tampak tak senang.
***
Bersambung

 

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER