MIMPI LESTARI 04
(Tien Kumalasari)
"Tidak bu, jangan begitu, baiklah.. nanti kalau senggang saya pasti pulang. Ma'af ini sedang di jalan bu, nanti saya telpon ibu."
Lalu Nugroho menutup ponselnya, memacu lagi mobilnya, dengan wajah muram.
"Ada apa mas?"
"Tidak ada apa-apa.. ibu menyuruh aku pulang."
"Mungkin ibu kangen sama mas."
"Minggu kemarin aku sudah pulang."
"Apa salahnya setiap liburan menemui orang tua?"
"Iya sih, tapi terkadang kan kita juga butuh yang lain. Kalau terhadap orang tua sih kita tak mungkin melupakan atau tak memperhatikan. Bagiku orang tua tetap nomor satu."
"Bagus lah mas, kalau begitu mas harus segera menemui ibu.. supaya ibu tidak merasa dikesampingkan."
"Iya.. aduuh.. yang calon ibu nih.."
"Itu benar mas, aku sendiri kalau sudah ibu yang berpesan, nggak sampai hati untuk tidak memenuhi. Bukankah seorang ibu juga punya beban untuk membesarkan dan mendidik anaknya? Biasanya seorang bapak terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan seakan menyerahkan semua beban kepada ibu. Beban mencukupi kebutuhan, beban membesarkan anak. Coba saja kalau si anak itu salah langkah, kebanyakan sang ibu lah yang disalahkan. Iya kan? Jadi jangan sampai kita menyakiti hati ibu."
Nugroho menatap Tari dengan tersenyum manis.
Tari mengalihkan pandangannya kedepan, senyuman itu selalu seperti pisau menancap diulu hatinya, tajam dan menggetarkan.
"Kamu calon ibu yang baik, itulah sebabnya aku menyukainya."
Tari berdehem.
"Itu benar."
"Terimakasih.. "
"Kok cuma terimakasih?"
"Habisnya aku harus bagaimana dong?"
Nugroho menepuk-nepuk pipinya, seperti ada sebuah permohonan dengan sikap itu.
"Nggak mau. Bukan muhrim !!"
Nugroho tertawa.
"Anak baik... syukurlah, memang gadis seperti inilah yang aku cari."
Tari tak menjawab. Tapi ada senyum merekah, ada bahagia membuncah. Benarkah Nugroho menyukainya? Mencintainya? Tari masih merasa ragu. Perasaan itu harus dikendalikannya supaya tidak terlalu sakit apabila semua tak sesuai harap dan mimpinya.
***
Hari-hari Lestari selalu terisi dengan rona-rona bahagia. Ini sungguh diluar dugaan. Keisengannya bersama Asty membuatnya menemukan laki-laki yang sangat menarik dan juga baik. Ada mimpi-mimpi terukir disana, mimpi tentang kehidupan yang penuh warna-warna indah bersama Nugroho. Tari semakin yakin, inilah cintanya.
Pada suatu hari Tari menerima telepon dari ibunya.
"Ya ibu, ada apa? Ibu sehat kan?"
"Sehat sekali Tari. Ibu berterimakasih sekali, kamu sudah mengirimkan mesin jahit yang baru buat ibu."
Tari terkejut. Memngirimkan mesin jahit? Mesin jahit itu kan tidak murah, bisa jutaan, bagaimana bisa dia membelikan ibu mesin jahit?
"Itu mesin jahit yang bagus, ibu tidak lelah selalu menggerak-gerakkan kaki, karena semuanya bisa berjalan dengan listrik. Terimakasih banyak Tari, pasti itu mahal bukan?"
"Ibu..."
"Sebenarnya ibu akan melarang seandainya kamu bilang dulu pada ibu bahwa kamu akan membelikannya. Sayang uang kamu, bukankah kamu juga punya kebutuhan? Kamu juga harus bisa menabung Tari, tidak semua penghasilan kamu untuk keluarga kamu."
Tari tetap tertegun. Pikirannya melayang kepada Nugroho. Pasti dia yang membelikannya.
"Tari, sekarang ibu bisa menjahit lebih cepat dari biasanya, dan bisa mengurangi lelah ibu. Terimakasih banyak ya nduk."
"Semoga ibu selalu sehat ya," akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Tari.
Begitu selesai bebincang dengan ibunya, ia langsung menelpon Nugroho.
"Ada apa nih, tumben siang-siang menelpon? Sudah kangen sekali ya sama masmu yang ganteng ini?"
"Mas, mas Nug belikan ibu mesin jahit ya ?"
"Oh, ibu bilang begitu ?"
"Ibu mengira aku yang membelikannya. Aku bingung dan aku belum menjawabnya. Dari mas Nug kan ?"
"Tari, ibu itu sudah lelah, dengan mesin jahit yang baru, beban ibu akan lebih ringan."
"Ya ampun mas, itu kan mahal.. bagaimana aku harus menggantinya?"
"Siapa yang minta ganti? Memangnya aku jualan ?"
"Mas jangan bercanda.."
"Aku tidak bercanda. Dengar Tari, perhatian aku sama ibu kamu adalah bentuk perhatian dan rasa sayang aku sama kamu. Biar saja ibu menganggap itu pemberian dari kamu, agar ibu punya kebanggaan atas kamu."
"Itu kebanggaan semu."
"Tari, apa kamu menganggap aku sebagai orang lain?"
"Entahlah mas.. aku kesel sama mas."
"Aduuh, gimana sih kamu Tari. Orang begini gantengnya kok bisa buat kamu kesel."
"Mas jangan bercanda."
"Tari, mulai sekarang, beban kamu adalah beban aku."
"Memangnya mas itu siapanya aku?"
"Aku ini calon suami kamu.,"
Tari terdiam. Seriuskah apa yang dikatakan Nugroho? Dia kan suka bercanda?
***
Hari itu Suci harus mendaftar ke sekolah SMA pilihannya. Tari menyempatkan diiri menelpon adiknya.
"Suci, mbak senang kamu sudah mendaftar kesekolah negri, sudah tau berapa kamu harus bayar? Diterima kan? Kamu anak pintar, pasti diterima. mBak harus dikabari supaya bisa siap-siap."
"mBak Tari tidak usah memikirkan so'al biaya itu," jawab Suci enteng.
"Apa maksudmu ? Kamu dapat bea siswa?"
"Bukan, Suci sudah punya uangnya."
"Sudah punya dari mana? Ibu, bapak? Jangan mengganggu bapak sama ibu, ada kebutuhan lain untuk sekolah adik-adik kamu. Mereka juga butuh biaya."
"Tidak mbak, aku sudah punya sendiri."
"Apa ?"
"Mas Nugroho yang memberi."
Tari kembali tertegun. Beberapa hari yang lalu membeli mesin jahit untuk ibu, dan sekarang memberi uang untuk sekolah Suci.
"Apa mbak akan pulang Minggu ini ?"
"Mm.. apa? Belum bisa ngomong, kalau tidak ada pekerjaan lain mbak pasti pulang."
"Ya sudah mbak, saya mau membantu ibu dulu."\
Tari menutup pembicaraan itu dengan perasaan tak menentu.Ia harus marah pada Nugroho? Harus berterimakasih atau harus apa? Ini sungguh membuatnya risau. Apa yang dilakukan Nugroho membuatnya merasa berhutang, dan itu beban yang berat baginya.
Tapi ketika dia bertemu Nugroho dan ingin memprotes apa yang telah dilakukannya, Nugroho menutup bibirnya dengan jari telunjuk.
"Jangan protes dan jangan bicara apapun, oke?"
"Mas..."
"Aku sudah tau apa yang akan kamu bicarakan dan aku tak mau mendengar."
"Mas Nugroho kok gitu.."
"Terkadang gitu, terkadang gini..." candanya
"Jelek !!"
"Lho, orang ganteng kayak begini dibilang jelek ?"
"Emang jelek !"
"Oh... kasihan aku ini..." katanya sambil pura-pura mewek, dan kali ini Tari benar-benar mencubit lengannya.
"Aaauuuww.... sakit tau.."
"Biarin !"
Apa yang harus dikatakannya? Itu kemauan Nugroho, bukan dia yang minta. Walau tak enak perasanannya Nugroho selalu berdalih bahwa ia harus ikut memikul bebannya karena dia adalah calon isterinya. Aduhai, seperti indah kata-kata itu. Tapi kan Nugroho belum pernah melamarnya? Tari tetap saja merasa ragu. Uang, mungkin bagi Nugroho bukan hal yang berarti, karena dia anak keluarga kaya dan mempiliki kedudukan disebuah perusahaan. Tapi cinta, benarkah dia memiliki cinta tulus seperti selalu dikatakannya? Entah mengapa masih saja ada keraguan dihati Lestari.
Tapi hari-hari yang dijalaninya sangat terasa indah. Tari benar-benar mencintai Nugroho. Pria ganteng yang baik hati dan penuh pengertian. Ini adalah anugerah, dan Tari menikmatinya dengan rasa syukur.
***
"Jadi mesin jahit ibu bukan kamu yang membelikan?"
"Bukan bu, Tari mana punya uang sebanyak itu?"
"Kamu belum lama kenal sama dia kan?"
"Belum setahun bu."
"Mengapa dia begitu baik sama kita?"
"Tari sudah berkali-kali menolak pemberiannya, tapi dia selalu memaksa. Ya sudahlah bu, diterima saja."
"Tapi kamu harus hati-hati lho nduk, jaga diri baik-baik. Kamu seorang wanita, jangan sampai gugur pertahanan kamu hanya karena sebuah kebaikan yang bertubi-tubi."
"Iya bu, Tari tau bagaimana harus menjaga diri."
"Berhutang kebaikan itu sungguh berat. Tapi kalau memang nak Nugroho benar-benar mencintai kamu, ibu harap dia segera melamar kamu."
"Ya itu benar, tak baik jalan kesana kemari belum juga ada ikatan," sambung bapaknya Tari.
"Sebaiknya kamu segera bicara sama nak Nugroho. Dari pada nanti terjadi pergunjingan diantara para tetangga."
"Iya bu, nanti Tari akan bicara. Tapi hari ini dia sedang pulang kerumah orang tuanya. Berbulan-bulan dia tidak pulang."
"Memamgnya orang tua nak Nugroho itu dimana rumahnya?"
"Di Magelang bu."
"Oo.. lumayan jauh ya.."
"Makanya dia jarang pulang, sampai terkadang ditegur sama ibunya. Maklum bu, dia itu anak tunggal."
"Dia memang baik, selama ini selalu memperhatikan keluarga kita, bahkan membiayai sekolah adik-adikmu. Tapi tetap saja tidak baik kalau tidak segera ada ikatan diantara kalian."
"Atau begini saja, besok kamu ajak dia kemari, biar bapak sama ibu yang bicara sama dia."
"Iya pak, nanti kalau dia sudah pulang Tari bicara sama dia."
***
Namun berhari-hari lamanya Tari tak bisa menemui Nugroho. Hari Senin setelah Tari bertemu keluarganya di kampung, Tari sudah menghubungi Nugroho, tapi Nugroho hanya menjawab singkat, "Ma'af Tari, ini lagi banyak pekerjaan. Nanti aku hubungi kamu."
Baiklah, Tari menunggu dan menunggu, tapi Nugroho belum juga menghubungi sampai sehari berikutnya. Tari masih menunggu, dan kemudian karena tak sabar Tari mencoba menghubungi lagi. Jawabannya.. 'nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan'
Tari merasa kesal dan putus asa.
Siang hari itu sa'at istirahat siang, Tari menghubungi lagi Nugroho, tapi jawabannya tetap sama. Sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan.
Tari pergi ke kantin dan makan siang disana. Wajahnya kusut dan muram. Beri bu pertanyaan memenuhi benaknya. Ada apa dengan Nugroho? Sudah bosankah sama dirinya? Atau menyesalkah dia karena harus mengeluarkan banyak uang untuk keluarganya? Tari menumpukan kepalanya pada kedua tangan yang diletakkannya diatas meja. Ia belum memesan apapun.
"Boleh aku temani?"
Sapaan itu mengejutkannya. Tari mendongak, menatap siapa yang menyapa.
"Mas Janto ?"
"Aku temani ya?"
"Silahkan mas."
"Sudah pesan ?"
"Belum."
"Mau pesan apa?"
"Aku nasi soto saja, sama es jeruk."
"Aku sama.." kata Janto yang kemudian melambaikan tangannya kepada pelayan, lalu memesan apa yang mereka inginkan.
"Kamu lagi sakit?"
"Tidak."
"Tapi wajahmu kusut begitu?"
"Lelah mas.."
"Lagi banyak pekerjaan ? Iya sih, akhir-akhir ini banyak pesanan dan kamu sibuk membuat surat-surat perjanjian dan transaksi.."
"Iya."
"Tapi kayaknya beda deh, ini bukan karena pekerjaan. Kamu lagi sedih? Marahan sama pacar?"
"Ih, mas Janto ada-ada saja."
"Aku sudah tau, pacarmu yang sering menjemput kamu itu kan?"
"Bukan, hanya teman."
"Teman tapi mesra?"
"Ada-ada saja ah."
Sementra itu pesanan mereka sudah datang. Mereka sibuk melahap nasi soto yang menghangatkan,
"Sebenarnya nggak bagus lho, makan panas begini, lalu minumnya pakai es." kata Janto.
"Ya nggak apa-apa, sekali-sekali."
Tiba-tiba saja Tari sadar bahwa sedang menirukan kata-kata Nugroho ketika minta ampela ati sa'at makan nasi liwet. 'Awas kolesterol lho mas'. Jawabnya, 'nggak apa-apa sekali-sekali'
Mengapa ia harus mengucapkan itu, membuatnya teringat saja sama dia, padahal hatinya lagi kesal. Dan wajah Tari kembali bersungut.
"Tapi segar bukan?"
"Mm.. ya.. segar/"
"Biasanya yang dilarang itu justru enak."
Tari tersenyum, meneguk es jeruk yang menurutnya segar, walau hatinya sedang gerah.
"Tampaknya lagi ada sesuatu nih, sama pacar," Janto kembali menebak-nebak.
"Nggak mas, lagi capek, bener kok."
"Ya sudah, barangkali kamu butuh hiburan, nanti pulangnya bareng aku yuk, kita jalan-jalan."
"Capek pulang kerja mau jalan-jalan?"
"Terkadang kita butuh sesuatu yang lain. Pulang kerja, masuk mal, biar tidak beli sesuatu tapi melihat yang indah, yang bagus, perasaan kita jadi lebih enteng."
Tari tidak setuju dengan pendapat itu.
"Pulang kerja, mandi, tidur, itu yang benar. Bukan jalan-jalan."
"Teorinya memang begitu, tapi yuk kita coba."
"Dan tiba-tiba Tari termakan oleh kata-kata Janto.
***
Sore itu Tari benar-benar ikut dimobil Janto, mengelilingi kota Solo sa'at petang, melihat hiruk pikuk keramaian dan menikmatinya sambil bicara tentang hal-hal enteng. Seperti ketika mereka sekolah disekolah yang sama, dan kenakalan-kenakalan Janto yang suka mengganggu dirinya.
"Aku tidak mengira mas Janto bisa menjadi orang hebat seperti sekarang."
"Orang hebat? Hebat apanya, aku juga hanya buruh perusahaan."
"Yang punya kedudukan."
"Apa artinya kedudukan ? Terkadaang aku bosan dengan rutinitas yang sama, yang tak pernah selesai karena selalu saja ada yang harus dilakukan."
"Kalau begitu mas Janto harus sering refreshing supaya tidak jenuh pada pekerjaan."
"Malesnya aku itu.. karena tidak ada yang menemani."
"Mengapa tidak mencari yang mau menemani?"
"Aku tuh orangnya susah."
"Susah bagaimana ?"
"Terkadang aku ingin sekali menyukai seseorang, tapi belum pernah ada yang cocog."
"Nanti kalau sudah sa'atnya pasti ketemu mas."
Beberapa sa'at lamanya mereka terdiam, karena Janto seperti tak menanggapi apa yang dikatakan Tari.
"Tiba-tiba lapar lagi aku."
"Ini masih sore lho."
"Ayo ke warung bakso saja. Tidak begitu mengenyangkan."
Dan Taripun menuruti apa keinginan Janto. Memang benar, jalan-jalan sore membuatnya sedikit melupakan kekesalannya. Bakso? Itu kan kesukaannya?.
Mobil Janto sudah diparkir, mereka berjalan memasuki warung yang masih agak sepi. Ada beberapa pengunjung sedang duduk disana. Tari mengikuti langkah Janto, tapi dia tertegun, ketika tiba-tiba dilihatnya Nugroho ada disana. Tari berhenti dan menarik tangan Janto agar urung masuk kedalam. Nugroho tidak sendiri, ada seorang gadis bersamanya, yang tak sempat dilihat wajahnya karena membelakangi pintu.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment