Monday, June 22, 2020

MIMPI LESTARI 05

MIMPI LESTARI 05
(Tien Kumalasari)

Janto heran, tapi mengikuti langkah Tari yang mengajaknya kembali ke mobil.
"Tari, ada apa?"
"Ayo kita cari bakso yang lain."
Janto membuka pintu mobil,Tari masuk lalu terduduk lemas disana.
Mobil Janto berjalan perlahan.
"Tari, ada apa?"
"Tidak ada apa-apa mas, ayo pulang saja."
"Kok pulang? Cari warung bakso yang lain saja ya, di Pasar Kembang?"
Tanpa menunggu jawaban Lestari Janto membawa mobilnya kearah Pasar Kembang. Ada warung bakso disana.
Tari diam saja, tidak sepatah katapun terucap karena dia sedang menahan jatuh air matanya.
Janto memarkir mobilnya lalu dibukakan pintu samping untuk Tari. Dituntunnya Tari masuk kedalam, karena gadis itu tampak lemas. Janto berfikir, tampaknya ada sesuatu yang luar biasa disana tadi.
Janto menarik sebuah kursi dan meminta Tari duduk, lalu Janto duduk dihadapannya.
Wajah Tari tampak pucat.
Janto memesan teh panas dan bakso untuk mereka berdua.
"Lestari.."
Tari mengangkat wajahnya. Ada air mata mengambang, dan membuat Janto iba. Diambilnya selembar tissue dan diulurkannya pada Tari.
"Ma'af ya mas," kata Tari bergetar, sambil mengusap air matanya.
"Apa yang harus dima'afkan? Aku justru minta ma'af, apa aku salah mengajakmu ke warung itu? Tapi kan tadinya kamu tidak menolak?Ada seseorang disana yang membuatmu takut ?"
Tari mengusap lagi air matanya yang nyaris meleleh. Sebisa mungkin ia menahan agar jangan menangis diwarung itu. Sesungguhnya ia ingin menjerit, ingin mengatakan pada dunia bahwa ia telah disakiti. Betapa kejam perlakuan terhadapnya. Apa salahku, apa dosaku? Itu jerit batinnya yang tak mampu keluar dari bibir tipisnya.
"Tari.. kalau kamu ingin berkeluh, aku siap membiarkan bahuku untuk kamu bersandar.." bisik Janto pelan. Itu kan sama seperti lirik sebuah lagu yang didendangkan dengan manis.  I'm strong, when I'm on your soulders. Lestari semakin ingin menangis keras.
"Ma'af mas.." isaknya.
"Tahan tangismu, pesanan kita sudah datang," Janto meraih lagi selembar tissue, Tari menerimanya untuk menutupi seluruh wajahnya.
Pelayan meletakkan pesanan mereka. Janto mendekatkan gelas teh hangat kehadapan Tari. 
"Minumlah dulu, Tari."
Tari meraih gelasnya, dan meneguknya perlahan. Rasa hangat menelusuri tenggorokannya yang terasa kering. Ia meneguknya lagi perlahan.  Janto menatapnya dengan iba. Ingin ia merengkuhnya dan menyandarkan kepalanya didadanya yang bidang.
"Ma'af ya mas," Tari mengucapkannya lagi, tapi ini tampak lebih tenang.

 
"Jangan ucapkan lagi kata ma'af itu, aku tidak apa-apa, aku justru takut bahwa akulah penyebabnya."
Tari menggeleng pelan, meneguk lagi minumannya.
"Mas, maukah mas Janto mengantarkan aku pulang?"
"Iya, pasti aku akan mengantarkan kamu pulang, masa aku biarkan kamu pulang sendiri?"
"Maksudku, pulang ke kampung."
"Kartosuro ?"
"Maukah mas?"
"Aku akan mengantarkan kamu, tenang saja. Tapi makan dulu baksonya ya? Aku masih ingat dulu waktu sekolah kamu suka sekali makan bakso diwarungnya pak Slamet."
Ingatan akan sekolah membuatnya tersenyum tipis. Masa itu, tak pernah ada beban menderanya, tak ada air mata terurai karena disakiti. Yang ada hanya belajar dan bersuka ria bersama teman. 
"Makan dulu Tari, keburu dingin."
Tari menarik mangkuknya agar lebih dekat, dan menyeruput kuahnya. Enak, tapi batinnya yang sakit membuatnya enggan memakan bakso yang sebenarnya adalah makanan favoritnya.
"Dimakan Tari, lupakan semua yang membuat kamu sakit. Kamu itu kuat, kamu jangan menyerah pada rasa sakit yang mendera kamu. Hadapi dia, kalahkan dia."
Tari lagi-lagi tersenyum tipis. Janto menyemangatinya seperti dia sedang menghadapi sebuah pertarungan. Eh ya, apa ini bukan pertarungan? Pertarungan antara melupakan dia atau merebutnya dari siapapun juga. Oh ya, siapa sebenarnya wanita itu? Berhari-hari Nugroho melupakan dia, tak memperdulikan dia walau berkali menghubunginya. Karena wanita itu? Kemudian Tari menyadari, dia hanya gadis kampung yang mungkin tak ada harganya dibandingkan wanita itu. Lalu ada lagi air mata setitik yang langsung diusapnya. Tari menghela nafas, berusaha melawan siksa batinnya.
"Enak baksonya, cobalah ," kata Janto yang sudah mulai mengunyah makanannya.
Tari memotong bakso yang dirasanya terlalu besar, kemudian menyendoknya. Barangkali bakso itu akan terasa nikmat kalau saja tak ada pikiran yang mengganggunya. Tari mengunyahnya perlahan, mencoba melawan sakit hatinya seperti saran Janto.
***
Bapak dan ibu Tari agak heran, melihat Lestari pulang malam itu. 
"Sama siapa nduk?" tanya ibunya.
"Saya bu, mengantarkan Lestari," kata Janto yang kemudian turun dari mobil.
"Lho.. ini kan... aduh bu.. ibu ingat nggak.. seperti pernah mengenal dia kan bu?" kata bapaknya.
"Sebentar, iya.. rasanya pernah kenal.."
"Saya Janto ibu, Harjanto.. dulu kakak kelasnya Lestari waktu masih SMA." kata Janto.
"Lhaaa.. iya.. nak Janto," kata bapak dan ibunya Tari hampir bersamaan.
"Iya bu.."
"Ayo masuk nak.."
"Terimakasih pak, tapi Janto belum pulang sejak pagi, ini mengantarkan Lestari karena tampaknya agak kurang enak badan."
"Lho, kamu sakit to nduk?"
"Cuma masuk angin."
 "Terimakasih sudah mengantarkan nak."
"Terimakasih ya mas," kata Tari.
"Segera istirahat Tari, semoga besok sudah segar kembali."
Tari mengangguk, lalu bergegas masuk.
Begitu Janto sudah pergi, ibunya mengejar Tari yang sudah ada dikamarnya. 
"Kamu sakit ?" tanyanya khawatir.
"Tidak bu, barangkali lelah, dikantor banyak pekerjaan." jawab Tari sambil berbaring diranjang Suci.
"Kalau begitu cuci kaki tangan dulu dan ganti baju, baru beristirahat. Tidak bagus dari bepergian langsung tiduran begitu."

Tari bangkit, dan berjalan kekamar mandi. Dilihatnya adik-adiknya sedang belajar. Mereka menyapa dengan riang.
"mBak Tari pulang? Apa libur?"
"Tidak dik, hanya ingin pulang saja, besok harus masuk kerja. Sudah, lanjutin belajarnya." katanya sambil terus melangkah ke kamar mandi.
Dikamar mandi Tari menumpahkan tangisnya. Ia tak ingin ibu bapaknya tau bahwa dia sedang bersedih. Kemudian dia menyesal mengapa harus pulang. Bagaimana kalau bapak atau ibunya tau bahwa dia habis menangis? Pasti kelihatan karena matanya merah. Lalu Tari mengguyur tubuhnya berkali-kali, seperti ingin menghilangkan desah resah yang meremas-remas batinnya. Tak urung mata merah itu kelihatan, buktinya ibunya sempat bertanya.
"Kamu kenapa? Matamu merah begitu?"
"Kemasukan air bu, tidak apa-apa, mungkin Tari mau flu. Pilek sih." jawabnya sambil kembali masuk kekamar dan berganti pakaian.
"Sudah minum obat?" tanya ibunya sambil menjenguk kedalam kamar.
"Sudah bu."
Ketika ia merebahkan tubuhnya diranjang, ia mendengar dering pesan singkat masuk. Tari meraih ponsel dari dalam tasnya. Rupanya beberapa pesan masuk dan dia tidak mendengarnya. Tak ada pesan dari Nugroho yang sebenarnya diharapkannya. Tari menghela nafas berat. Tapi tertarik pada pesan dari Asty.
"TARI, SEBENARNYA AKU ADA DI SOLO, BERSAMA BAPAK DAN IBU, TADI   MAMPIR KE TEMPAT KOST, TERNYATA KAMU NGGAK ADA. LAGI DIRUMAH YA? BANYAK YANG INGIN AKU CERITAKAN, TAPI LAIN KALI SAJA. MALAM INI AKU PULANG KE WONOSOBO."
Hm, sudah pulang, mau diapain. Tari enggan membalasnya. Juga dari Janto, hanya menanyakan keadaannya. Ah, sudahlah, Tari meletakkan ponselnya setelah mematikannya. Lalu mencoba memejamkan matanya.
***
Mau tak mau Tari harus bangun pagi karena harus masuk kekantor. Matanya masih sembab. 
"Kamu masih sakit Tari, bagaimana kalau tidak masuk kerja dulu?" tegur ibunya.
"Tidak bu, sudah agak mendingan. Di kantor sedang banyak pekerjaan."
"Benar, tidak apa-apa?"
Tari mengangguk lalu mencium tangan ibu dan bapaknya. Adik-adiknya sudah berangkat kesekolah karena jam tujuh pelajaran harus dimulai.
Dijalan ia sedang menunggu bis kota, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti dihadapannya.
"Lestari.."
Tari tertegun. Tiba-tiba Janto sudah ada didepannya.
"Mas Janto?"
"Aku tau kamu pasti nekat masuk."
"Darimana mas Janto tau?"
"Kamu kan rajin , jadi tidak mungkin mengabaikan pekerjaan kamu dikantor."
Tari tersenyum. Ia menurut ketika Janto menuntunnya masuk kemobilnya.
"Kok mas Janto susah-susah sampai disini?" tanya Tari ketika mobil Janto sudah berjalan.
"Sesungguhnya aku menghawatirkan kamu."
"Aku tidak apa-apa.."
"Kamu bohong kan?"
Lalu Janto mendendangkan sebaris lirik lagu You raise me up.. I'am strong, when I'am on your soulders.. you raise me up, to more than I can be..  sambil mengangguk angguk..
Tak urung Tari tersenyum lebih lebar.
"Suaramu bagus mas.."
"Aku senang melihat kamu tersenyum. Apa aku harus nyanyi terus ?"
"Nyanyilah mas, biar aku ketiduran..."
"Wwee... ya jangan.. kalau kamu ketiduran aku harus gendong kamu ke ruang kerja kamu dong."
Dan Tari benar-benar bisa tertawa. Bagaimana membayangkan dirinya turun dari mobil dengan digendong masuk keruang kerja, dalam keadaan terlelap pula.
 
Tari jadi teringat, dulu pernah bermimpi menjadi pengantin , lalu digendong dari pelaminan kekamar pengantin. Tapi sa'at itu Tari tidak melihat siapa pengantin prianya. Ia hanya merasa bahagia, dibaringkan diranjang pengantin. tapi  sosok pengantin pria itu tiba-tiba seperti tertutup kabut. Tari yakin  bukan Nugroho. 
Ah,  itu hanya sebuah mimpi, tapi terbukti sekarang, Nugroho tak akan menjadi pengantin pria bagi dirinya,  karena Nugroho sudah menemukan wanita lain,   seperti yang dilihatnya kemarin sore di warung bakso itu. Lalu tawa Tari tiba-tiba lenyap.. dan wajahnya kembali muram.
"I'am strong.. when I'am on your soulders...." dendang itu terdengar lagi.. 
Tari mencoba tersenyum. Janto benar-benar bisa menghibur.. 
 
*** 
Namun di kantor dia tidak bisa sepenuhnya menekuni pekerjaannya. Bayangan Nugroho duduk berhadapan dengan seorang wanita selalu menghantuinya. Jadi itu sebabnya ia mengacuhkan semua pesannya? Tak mau menerima telponnya, bahkan mematikan ponselnya? 
Tari merasa dikhianati. Rayuan-rayuan manis Nugroho ternyata hanya ada dibibir saja. Tari sudah menduga sebetulnya.
"Apalah aku ini bagimu.. hanya gadis kampung yang tak pantas bersanding dengan dirimu. Tapi mengapa kamu selalu memberi harapan atas mimpi-mimpiku?" bisiknya lirih. Air matanya kembali menetes.
"Apa dosaku mas, apa salahku sehingga kamu permainkan perasaanku? Apa artinya semua sikap manis yang kamu tujukan kepadaku?"
Ponsel berdering, dari Asty?  Tari sedang malas bertelpon, apalagi ini jam kerja. Tumben Asty menelpon sa'at jam kerja. Tari menjawabnya dengan pesan singkat.
"MA'AF ASTY, AKU LAGI BANYAK PEKERJAAN , NANTI SAJA TELPONNYA YA"
Ingin rasanya Tari berbincang dengan Asty, mengatakan semua yang dialaminya, tapi Tari ingat, dia tak pernah memberi tau Asty tentang Nugroho. Pasti nanti Asti justru malah mentertawakannya karena sebuah keisengan dilayani dengan serius. Ah, Asty tak tau, bagaimana sikap Nugroho waktu itu.
"I'am strong, when I'am on your sloulder..." dendang itu mengejutkannya. Janto tiba-tiba sudah ada didepannya dengan dendang yang itu-itu juga.
"Hapus air matamu itu Tari.." kata Janto yang melihat air mata Tari mengambang.
  Tari mengusapnya dan tersenyum.
"Tampaknya kamu sangat menderita? Jangan dong Tari, begitu berhargakah dia sehingga kamu mengorbankan banyak air mata yang harusnya kamu simpan untuk hari bahagiamu nanti?"
Tari tertegun. Begitu berhargakah Nugroho sehingga dia menangisinya siang malam? Ditatapnya Janto dengan pandangan terimakasih.
"Baiklah, dia tidak berharga," cetus Tari yang entah sadar atau tidak, meluncur dari bibirnya.
"Oke, sudah sa'atnya makan siang. Mau makan di kantin, atau diluar?"
Tari tak menjawab, ia tak ingin makan apapun, tadi dirumah dia sudah sarapan, nasi gudeg buatan ibunya. Enak. Itu berbeda karena dimasak dengan kasih sayang, dinikmati dengan rasa terimakasih. Tapi dikantinn atau di restoran... sungguh Tari tak berselera.
"Ayo makan diluar saja, sambil melihat lihat suasana yang mungkin bisa membuat kamu lebih baik."
Tari menurut, tapi sebelum beranjak, sebuah pesan singkat masuk lagi.
"TARI, DENGAR, SEDIKIT SAJA DULU. AKU TAK TAHAN INGIN SEGERA MENGATAKANNYA SAMA KAMU. DAN INI ADALAH DO'AMU. TERNYATA PRIA YANG DIJODOHKAN SAMA AKU ITU BENAR-BENAR GANTHEEEEENG... SEKALI."
Tari menutup ponselnya, lalu berdiri mengikuti Janto keluar dari ruangan. Entah mengapa sa'at ini dia enggan berbincang sama siapapun juga.
***
 
 "Bolehkah aku bertanya sesuatu ?" tanya Janto ketika sama-sama makan diluar.
"Tanya so'al apa?"
"Yang dulu sering menjemput itu pacar kamu?"
Tari diam. Sejak dulupun dia tidak berani menganggapnya pacar, biar Nugroho sering mengatakan suka, bahkan pernah menganggapnya calon isteri sekalipun. Tapi bahwa kemudian Tari jatuh cinta sama dia, itu benar. Dan sekarang cinta itu meremas remas jiwanya sehingga hancur ber-keping-keping.
"Kalau keberatan menjawab ya tidak apa-apa."
"Bukan, dia bukan pacarku."
"Oh.. "
"Siapakah aku ini maka ada yang mau mengambilku sebagai pacar?"
"Mengapa bilang begitu ?"
"Aku hanya orang kampung. Bapak ibuku juga orang kampung. Kami tak punya apa-apa yang pantas dibanggakan. Siapa yang mau?"
"Terkadang orang kampung justru menarik."
"Masa?"
"Orang kota sering banyak tingkah. suka mengikuti mode, merasa pintar.."
"Tidak semua kan ?"
"Kebanyakan .."
"O. mas Janto pernah dilukai orang kota ya?"
"Masa sih orang setua aku belum pernah pacaran? Sudah, sudah pernah dan aku memang merasakan bagaimana sakitnya dikhianati."
Tari menatap Janto lekat-lekat. Janto orang baik, lumayan tampan, punya kedudukan, sudah mapan, siapa tega menyakitinya?"
"Terkadang yang terjadi bukan yang kita impi-impikan."
"Benar..."
"Ketika kita jatuh cinta, maka kita harus bersiap untuk patah hati."
Tari mengeluh. Apakah dia tidak bersiap untuk patah hati? Bukankah dulu dia sering meragukan semua kata-kata Nugroho? Dan itu harusnya membuatnya bersiap untuk patah hati. Tapi siap atau tidak, patah hati itu memang menyakitkan.
"Apa kamu lagi patah hati?" tanya Janto membuatnya terkejut.
"Entahlah. "
Janto terdiam. Baru beberapa hari ini Janto dekat dengan Tari, awalnya adalah ketika melihat Tari tampak muram, lalu diajaknya jalan. 
Semula ia tak peduli karena mengira Tari sudah punya pacar. Lalu bagaimana kalau ternyata Tari lagi patah hati? Ada keinginan untuk mendekati Tari, tapi kan Tari sedang bersedih. Apakah ini kesempatan untuk merebut hatinya? Banyak pertanyaan berkecamuk dihati Janto.
"Jawaban 'entahlah' itu sudah menunjukkan 50% kebenaran. Kalau tidak, jawabnya pasti tidak." 
Tari tak menjawab.
"Ya sudahlah, jangan memikirkan yang sedih-sedih, makan yang banyak. Dulu kalau lagi sedih aku justru makan banyak, semua-semua ingin aku makan. Bahkan kalau waktu itu ada kamu didekatku, juga akan aku makan sekalian."
Tari tertawa keras.
Bersama Janto semuanya tampak menyenangkan, banyak canda, banyak tawa. Dan senangnya adalah bahwa Janto suka menyanyi, lagi pula suaranya bagus. Itu membuatnya terhibur.
Adakah bedanya dengan Nugroho? Nugroho juga sedikit kocak, tapi lebih banyak merayu, dan dia itu romantis banget. Dan.. tidaak, Tari tak ingin mengingatnya lagi, apalagi membandingkannya dengan Janto. Ini berbeda,  Sahabat dan kecintaan. Sudahlah, makan tuh  cinta. Tari tak akan perduli lagi.
"Ayo makan saja."
"Baiklah," dan Tari memang kemudian makan dengan lahap.
"Hm, begitu dong."
"Awas mas, jangan dekat dekat aku, nanti aku makan kamu sekalian," canda Tari.
Janto pun tertawa keras mendengar Tari menirukan candaannya tadi.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER