Part 10
A SURROGATE MOTHER
( CINTA SEORANG IBU PENGGANTI )
William melangkahkan kaki dalam rintik yang tak kunjung usai. Mendekati dua orang manusia yang tengah dilanda gundah gulana. Dia berdiri tak jauh dari Kirana yang terkejut dengan kehadiran dirinya. Dengan kemeja yang kancingnya telah terlepas satu di bagian atas, mengekspose dadanya yang bidang. Hingga tumpahan air dari langit itu menambah pesona ayah dari Rayyan yang kini menapat sang wanita, lalu pada putranya.
Dia duduk di kursi sebelah Rayyan, mengelus kepala remaja itu sebagai ganti karena Kirana tidak melakukannya.
“Sorry,” katanya lirih, “maafkan daddy, Rayyan,” lanjutnya sambil merengkuh kepala sang anak dengan penuh kasih sayang.
Rayyan mengangkat wajah lalu menatap William yang tersenyum dalam duka.
“Anak laki-laki tidak boleh menangis di depan perempuan. Apalagi perempuan cantik,” katanya sembari menoleh ke arah Kirana yang tersenyum merasa lega.
William menatap putranya yang masih terisak, lalu memeluknya dengan erat. Memberikan kehangatan di tengah hujan yang semakin deras. Sederas airmata yang terus mengalir dan sedingin hati yang sejak lama terabaikan.
Kirana yang merasa lega karena Rayyan bersama ayahnya mulai membalikan badan, melangkah menjauh.
“Kirana ...,” panggil William menatap ibu dari Rayyan dengan tatapan penuh iba. Haruskah dia ceritakan kisah yang sesungguhnya saat ini? Atau menanti waktu yang tepat? Dia menatap Kirana yang juga menatap dirinya, kegundahan tampak di wajah keduanya.
“Bisa buatkan teh manis hangat untuk kami?” tanyanya, mengaburkan tujuan utama dengan membuat pertanyaan agar sang wanita tidak curiga.
Kirana tersenyum dan mengangguk pasti, “Ayo ke warung. Tidak baik diam dalam derasnya hujan,” dia melangkahkan kaki lebih dulu.
Rayyan dituntun William menuju warung, lalu duduk dengan kedinginan. Bagas segera mengambil jaket miliknya dari dinding dapur.
“Ganti baju, Ray. Nanti kamu sakit. Tapi, jaket gue aga bau kali ya hehe,” katanya dengan selengean. Meski begitu tujuannya baik.
“Bagas, kamu bisa pulang sebentar ambil baju kamu buat Rayyan? Tapi buat ... Anda ...,” Kirana bingung. Mana mungkin baju pamannya muat untuk pria dengan badan besar seperti William.
“Aku masih bisa memakai ini, tidak apa. Yang penting putra kesayanganku tidak kedinginan,” ujar William sambil merekatkan gandengan tangan ke pundak sebelah kiri Rayyan.
Bagas segera berlari dengan jas hujan menuju rumah yang tak jauh dari lokasi berjualan. Tak lupa dia meminjam sarung bapaknya dan juga baju koko yang memang tidak pernah dipakai karena kebesaran milik sang bapak.
“Buat siapa?” tanya Ibunya dengan keheranan.
“Rayyan sama Bapaknya kehujanan,” jawab Bagas singkat. Lalu kembali ke luar dari rumah menuju taman kali ini dengan mengayuh sepeda supaya lebih cepat.
Setelah tiba, baju dia serahkan kepada Rayyan. “Ini baju baru gue sih, ga tega gue kasih baju jelek. Kasian muka lo ntar berkurang gantengnya,” canda Bagas sambil tersenyum.
“Thanks bro,” suara Rayyan masih terdengar pelan.
“Om Bule, ini sarung bapak sama baju kokonya juga ga pernah dipake. Koko kegedean, kalau sarung sih bapak demennya pake yang bulukan. Hehe. Pakailah Om, biar tidak kedinginan juga.” Dia menyerahkan plastik lainnya, “ganti bajunya bisa di kamar mandi mushola aja.” Bagas menunjuk mushola, lalu menyerahkan payung.
“Terima kasih, Nak. Nanti Om ganti ya.” William menepuk pundak Bagas.
Kirana hanya tersenyum sambil terus melayani pembeli yang datang silih berganti. Mereka tak terlalu peduli dengan Rayyan dan ayahnya. Rasa lapar dan dingin membuat mereka fokus makan, minum dan mengobrol jika datang bersama teman.
Tak lama, William datang dengan sarung dan koko putih. Kirana hampir tertawa melihat penampilan ayah Rayyan, namun dia tahan. Dia tidak pernah melihat William dengan pakaian seperti ini sebelumnya, jadi terlihat sangat lucu. Sedangkan Rayyan celana dan kaosnya sedikit kekecilan, karena dia memiliki postur tubuh lebih besar dari Bagas.
“Om, ganteng juga ya pake baju koko, malah lebih ganteng dari Om Wildan ya, Teh?” celetuk Bagas ketika ayah dan anak itu kembali ke meja warung.
Kirana mendelik pada sepupunya, lalu menyuguhkan teh manis panas, nasi uduk satu porsi dan gorengan hangat.
“Makan, biar perutnya tidak dingin.” Dia tersenyum pada Rayyan. Rasa sayang mulai tercipta pada anak yang pernah dia kandung. Apalagi semasa berada di dalam rahim, Rayyan lah teman setianya di saat kesepian.
Rayyan makan dengan lahap, begitu juga William. Berulang kali juga dia mengelus punggung putranya dengan penuh kasih sayang. Berjanji akan menceritakan banyak hal setelah ini. Rayyan mengangguk, dia fokus makan karena dingin dan lapar. Sedangkan Kirana sibuk melayani pembeli dan tak sedikitpun menoleh pada pria yang berulang kali memandang dirinya.
Menjrlsnh malam warung tutup, namun Rayyan masih enggan pulang. Terpaksa Kirana mengajak kedua ayah dan anak ini ke rumah pamannya. Tidak untuk menginap, hanya agar mereka diskusi sebelum mengambil keputusan.
"Maaf lho Mister, rumah ini kecil jadi ga bisa nawarin nginep." Paman tersenyum ramah.
"Tidak apa, Pak. Saya sudah booking hotel," jawab William sambil kembali melirik ke arah Kirana yang duduk di samping Bibi.
Cukup alot merayu Rayyan agar mau ikut ayahnya ke hotel. Dia bersikukuh ingin menginap di rumah Bagas. Tapi akhirnya dia bersedia, setelah dijelaskan bahwa sang ayah akan menceritakan permasalahan keluarga mereka.
Tinggalah Paman dan Bibi juga Kirana, karena Bagas sudah masuk ke kamar.
“Bapaknya si Rayyan itu duda bukan?” tanya Paman sesaat setelah mengantar William dan Rayyan pulang.
“Punya istri, namanya Anna,” jawab Kirana sembari masuk ke dalam rumah.
“Wah, harus hati-hati kamu. Sejak tadi dia sering sekali memandang kamu diam-diam. Jangan sampai kamu jadi pelakor.” Bibi menimpali sambil merapikan bekas suguhan.
“Ya ga lah, Bi. Lagian Mr. William itu cinta banget sama istrinya. Buktinya, demi dapat Rayyan ... mereka sampe cari ibu pengganti, dan itu aku.” Kirana membuka sedikit tabir pada paman dan bibinya.
Pasangan suami istri itu terkejut bukan main. Mereka saling pandang dan menatap sang keponakan.
“Ya, Rayyan itu anak yang pernah aku kandung. Aku juga baru tahu saat bertemu ayahnya. Awalnya tidak tahu sama sekali.” Kirana seolah tahu pertanyaan dari hati Paman dan Bibinya.
“MasyaaAllah ... berarti memang Allah pengen dia balik ke kamu, Neng.” Bibi terlihat takjub namun juga miris. Kirana hanya tersenyum sambil menduduk dan kemudian menoleh pada kedua paman dan bibinya.
“Aku harus gimana ya? Rasanya ada ketakutan tersendiri andai Rayyan tahu. Takut dia semakin jauh dari orangtuanya.” tanya Kiran dengan menatap kosong.
“Kayanya emang orang tuanya dah ga harmonis, Neng. Makanya tu anak sering lari dari rumah. Dan berjodohnya sama kamu. Ibunya yang lain, ya meski apesnya kamu itu masih gadis.” Pamannya menggaruk kepala yang tak gatal.
Kirana mengangguk lemah, lalu berpamitan pulang pada paman dan bibinya.
Di tempat lain William masih membujuk Rayyan yang tetap cemberut.
“Daddy janji akan menceritakan yang sesungguhnya padamu, tapi kau harus pulang dulu.” William menatap Rayyan yang masih duduk dengan malas di dalam mobil.
Setelah sempat menolak pergi, dengan masih memakai pakaian milik Bagas akhirnya dia mengikuti sang ayah. William sendiri masih memakai koko dan sarung milik bapaknya Bagas, dengan cuek dia melenggang di lobi hotel dan memesan kamar. Lalu menghubungi anak buahnya untuk dibawakan baju ganti.
Setelah ganti baju, dia mengajak Rayyan makan malam. Tapi Rayyan mengaku masih kenyang setelah makan nasi uduk di warung Kirana. Dia masih melamun dan mempertanyakan kenapa mommy and daddy-nya selalu bertengkar.
Sementara itu paska kepergian William, Anna akhirnya bangkit dan menyudahi tangisannya. Dia memilih merendam diri di bak mandi dengan aroma terapi. Mengingat bagaimana kisah cintanya dulu bersama sang pujaan yang justru setelah menikah tak seindah harapan.
*
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas, Anna mulai merawat wajah kembali. Dia melihat sorot lampu mobil yang datang dan parkir melintasi kamar miliknya. Dia tahu, suaminya telah kembali. Tapi setelah sekian menit tidak kunjung masuk ke kamar.
Sementara Rayyan sudah masuk ke dalam kamar dan William memilih ke ruang perpustakaan. Mereka hanya menumpang ganti pakaian di hotel, lalu kembali ke rumah mereka.
William membuka brankas yang tak pernah dia buka selama bertahun-tahun. Mengambil dokumen yang tersimpan disana. Dokumen kelahiran Rayyan.
Disana jelas tertulis, proses kelahiran Rayyan dilakukan dengan cara fertilasi atau bayi tabung. Dengan ibu pengganti. Namun lebih detailnya, justru lebih seperti donor sperma. Karena sel telur yang digunakan adalah milik si ibu pengganti, yaitu Kirana.
“Maafkan aku Kirana, aku telah curang padamu.” William membaca nama dan foto Kirana dalam dokumen itu. Matanya kembali terasa panas dan mulai menggenang. Dia pejamkan mata, membiarkan wajah jantannya dilintasi buliran bening, menandakan betapa dia merasa bersalah dan bersedih. Ingatan itu kembali membawanya ke masa lalu, sekitar lima belas tahun lalu setelah Kirana bersedia menjadi ibu pengganti untuk mengandung anaknya.
---*---
William mengamati Kirana yang diantar Abah yang mulai sehat dan di dorong kursi roda, juga ada Paman dan Bibinya. Mereka mengantar keponakannya ke Bandara dan mengira akan menjadi TKW di Hongkong selama dua tahun.
Ditemani beberapa orang kepercayaan William yang mengaku dari penyalur tenaga kerja, Kirana meyakinkah Abah bahwa dia akan baik-baik saja.
“Abah jangan khawatir, bukan penyalur bodong kok. Buktinya Kirana bisa ambil DP uang gaji untuk biaya operasi Abah.” Kirana memandang sang ayah yang tampak sedih akan berpisah dengan putri kesayangannya. Pasca istrinya meninggal, dia hanya memiliki Kirana seorang.
“Abah tahu, cuma sedih saja berpisah lama sama kamu, Neng. Dua tahun, gimana kalau abah pendek umur?”
“Ih, ga boleh bilang gitu, Bah. Kirana yakin kita akan ketemu lagi kok. Kirana akan sering menghubungi Abah juga. Nanti pasti telepon ke rumah Bu Haji Naim biar bisa ngobrol sama Abah. Kirana dah ijin,” katanya terus menenangkan hati orang tua satu-satunya yang dia miliki.
Setelah Abah yakin dan rela, akhirnya dia pergi ke ruang tunggu keberangkatan. Sementara Abah pulang bersama Paman dan Bibi yang berjanji akan merawatnya.
Kirana sangat gugup ketika pesawat mulai lepas landas, dia terus berdoa dan memejamkan mata. Itu sangat lucu di mata William. Namun dia segera melirik ke arah istrinya yang sibuk membaca majalah fashion.
Setibanya di Hongkong, mereka segera menuju apartemen yang telah disewa untuk dua tahun. Merapikan barang bawaan mereka, dan menghubungi Dr. Allen bahwa mereka sudah tiba.
Dr. Allen sendiri sudah berada di sana. Meski dia tidak turun tangan, tapi dia dipilih William untuk mencarikan dokter terbaik dalam bidang ini.
*
Hari pertama Kirana berada di kota modern itu dilalui dengan serangkaian pemeriksaan di sebuah rumah sakit swasta nan mewah, Matilda Hospital. Para ahli ginekolog terbaik yang dipilih Dr. Allen berkumpul, tiga dari mereka adalah Dr. Lim Honli, Dr. JianHeeng dan Dr. Albert. Mereka yang akan menangani proses fertilasi di luar atau proses bayi tabung.
Tidak hanya Kirana, William dan Anna juga menjalani serangkaian tes. Hingga di hari ke tujuh, barulah ditentukan proses pengambilan sel telur dan sel sperma dari pasangan ini. Untuk kemudian dilakukan proses pembuahan di luar, dan jika sukses alias berkembang dengan baik, akan ditanam di rahim si ibu pengganti yaitu Kirana.
Masa subur Anna tiba, dimulailah proses itu. Pasangan ini sangat cemas menantikan hasil yang akan keluar dalam satu minggu lagi. Sementara menunggu, mereka memilih menghabiskan waktu berbelanja dan menikmati keindahan kota Hongkong.
Kirana selalu ikut kemanapun mereka pergi, tak jarang jika bertemu pengusaha yang kenal William, mengira bahwa gadis ini adalah adik dari Anna. Meski hal yang paling sulit dia lakukan adalah membuat Anna bersikap baik padanya. Bukan tak pernah baik, tapi sikapnya selalu ketus dan merendahkan. Padahal berulang kali suaminya mengingatkan untuk menjaga perasaan dan mood sang calon ibu.
*
Sudah dua bulan mereka berada di Hongkong, William mengurus semua pekerjaan dari sana. Tak jarang kembali ke Indonesia bersama Anna. Meninggalkan Kirana bersama seorang suster yang juga orang Indonesia namun sudah lama tinggal di negara itu. Sehingga dia tidak kesepian, dan ada teman bicara, juga tidak kesulitan saat bepergian bersama.
“Kenapa kau mau jadi ibu pengganti?” tanya Rosita yang sudah berusia kepala empat.
“Tentu karena uang,” jawab Kirana. Dia menceritakan masalahnya, bahkan tentang rasa rindu pada sang kekasih yang belum sempat dia temui ketika akan pergi.
Rosita selalu menghiburnya, memintanya tetap berpikir positif karena hamil bukanlah hal mudah. Hormon akan berubah, mood akan tidak menentu dan bisa saja kejutan-kejutan lain akan datang.
“Tapi kok belum juga ya prosesnya?” tanya Kirana ketika sore tiba. Dia merasa bosan karena belum juga janin itu ditaman.
“Prosesnya kan emang lama, Dek. Harus nunggu benar-benar layak hidup dan tumbuh sempurna.”
Mereka menghabiskan waktu dengan makan apa saja kuliner di pasar sore. Berharap mood tetap baik. Sesekali dia menghubungi Abah melalui telepon tetangganya. Pura-pura sedang istirahat kerja, dan mengatakan pekerjaannya melelahkan. Tapi dia juga senang bekerja disana. Satu hal yang membuatnya tidak betah ya karena kangen sama Abah.
“Kamu harus sabar, Neng. Karena itu dah kewajiban kamu. Jadi ga boleh ngeluh,” ucap Abah memberi semangat.
Kirana tersenyum lega meski ada rasa miris dan juga rasa bersalah di hati. Bagaimapaun, untuk menutupi satu kebohongan akan diperlukan kebohongan-kebohongan yang lain. Namun dia tak punya pilihan lain saat ini, apalagi untuk mundur, itu adalah hal mustahil.
Sementara William yang dihubungi Dr. Albert tengah dilematis. Dari laporan yang baru saja dia terima, semua sel telur yang diambil dari istrinya gagal dibuahi. Bahkan hampir tidak mungkin dilakukan percobaan lagi karena akan menelan banyak biaya.
Terpaksa, William segera kembali ke Hongkong dan menemui tim dokter tanpa Anna. Kelima orang itu berdiskusi tentang masalah yang dihadapi. Mereka sepakat, sel telur Anna dianggap tidak bagus dikarenakan banyak hal. Bisa dari gaya hidup sang wanita yang selama ini mungkin sering merokok, mengonsumsi minuman keras, dan makanan tidak sehat lainnya.
“Oke, artinya aku tidak bisa punya anak? Begitukah keputusan akhirnya?” William menatap ke empat dokter di hadapannya.
“Masih bisa,” jawab Dr. Albert.
“Menikahi wanita lain? Tidak mungkin, aku sudah berjanji pada istriku akan tetap setia meski dia tak memberiku keturunan.” William meremas rambutnya dengan kasar.
“Hmm, bisa saja namun ini beresiko.” Dr. JianHeeng buka suara, “kita bisa menggunakan sel telur si ibu pengganti langsung. Aku lihat gadis itu memiliki rahim dan indung telur yang baik, sel telur yang dihasilkan juga bisa sangat baik. Dan tentu, dia tetap anak kandung anda, anak biologis Anda,” papar Dr. JianHeeng dengan panjang lebar.
“Itu, sama saja dengan aku memperkosa gadis itu. Itu gila! Dia pasti akan menolak.” Wiliam menggeleng cepat.
“Jika dia tahu, jika dia tidak tahu ...,” Dr. jianHeeng kembali buka suara.
William terdiam, menatap ke empat dokter yang memberikan anggukan kesepakatan. Hingga keraguan yang besar di hati dan pikirannya semakin terkikis tergantikan oleh keinginan untuk memiliki keturunan apapun caranya, tanpa melepaskan sang istri tercinta.
“Ok.” Singkat, dia hanya mengangguk lalu memijat keningnya.
Dan berkas-berkas kembali diperbaharui untuk mengamankan mereka semua. Bahwa ide itu diambil atas kesepakatan bersama meski tanpa sepengetahuan sang gadis. Jika semua bocor dan terlibat masalah hukum, maka ke empat dokter dan William akan menanggung akibat dan kewajiban yang sama.
*
Kirana tak curiga sedikitpun saat memasuki ruang khusus di rumah sakit. Dia hanya mengira bahwa hari ini adalah proses penanaman janin di rahimnya. Meski gugup, takut bahkan segala rasa muncul membuatnya mengingat kematian, tapi dia tak punya pilihan lain.
Dia pasrah, saat alat-alat mulai dipasang dan obat bius disuntikkan. Semua terasa gelap setelah itu, dan dia tak pernah tahu bahwa yang dimasukkan ke dalam rahimnya adalah sel dari sang pria saja. Namun tetap saja, dia tidak boleh bangun dan selayaknya orang sakit dalam pengawasan tim medis selama jam.
Jenuh, pegal, bosan, takut dan penasaran bercampur padu setiap harinya. Hanya mengobrol dengan suster dan dokter, sesekali Wiliam datang menjenguk meski dengan tatapan yang sayu. Lebih ke tatapan dengan rasa bersalah, tapi Kirana tak memahaminya.
Entah sampai kapan dia akan terbaring seperti ini, dia juga bosan. Hingga dokter mengabarkan bahwa di sudah boleh bangun dari ranjang dan juga turun jika ingin ke kamar mandi.
“Pembuahan berhasil, ini sangat cepat dari prediksi. Janin mulai tumbuh dengan baik. Sang ibu pun tidak kepayahan karena proses yang lebih simple.” Dr. Albert menjelaskan pada Wiliam ketika bersama-sama meilhat foto USG dari janin yang ada di perut Kirana.
William tersenyum, lalu mengelus foto USG itu dengan mata berkaca-kaca namun juga senyum bahagia. Karena akhirnya, dia memliki keturunan meski amat disayangkan bukan dari wanita yang dia cintai saat ini.
*
Kirana sudah bisa pulang ke apartemen. Dia masih sangat berhati-hati mengingat dia sedang mengandung. Padahal dokter menyatakan dia bebas bergerak karena kondisi janin baik-baik saja.
Tapi William dan Anna jadi sangat protektif, bahkan membatasi makanan dan minuman yang boleh dikonsumsi. Bukan hanya itu, dia juga dilarang menonton cerita yang menguras emosi, hanya boleh mendengarkan lagu-lagu instrumen dari Mozart, dan juga menonton hal-hal yang dianggap menyenangkan.
Kirana menurut saja, meski kadang dia membuka Al-Qur’an dan membacanya. Membaca surat Yusuf dan Maryam.
“Abah bilang, kalau lagi hamil harus baca surat Yusuf sama Maryam. Biar kalau anaknya laki-laki jadi tampan kaya Nabi Yusuf AS juga memiliki hati yang lapang, dan kalau perempuan jadi cantik kaya Siti Maryam dan kesabaran yang luas, ibu nabi Isa kali ya,” celoteh Kirana saat William memergokinya tengah tadarus.
“Bagus, tentu saja bagus. Aku senang kau tidak mengidam parah seperti orang hamil pada umumnya.” William tampak perhatian. Kehamilan Kirana memang beda dengan kehamilan Anna yang penuh dramatisasi. Mungkin selain faktor yang namanya ngidam, juga karena Anna terlalu manja dan mendramatisir.
*
Semakin besar kehamilan Kirana, semakin besar pula rasa cemas dan rasa bersalah yang dialami William.
Rasa iba juga kian mendominasi. Terlebih gadis itu mulai merasakan mual dan pusing di usia kehamilan enam bulan. Hingga William terus meminta Rosita memantau dan memenuhi segala kebutuhan ibu dari anaknya.
Ya, Kirana adalah ibu biologis dari bayi yang ada di perutnya. Dan dia tidak tahu, bahkan tidak pernah tahu.
Begitupun Anna, dia tidak diberitahu akan hal ini. Tujuannya agar dia menerima sang bayi nanti. Menyayangi selayaknya anak sendiri.
Seperti malam ini, mereka tengah makan malam. Kirana seperti biasa mual dan muntah di depan Anna yang menampilkan wajah jijik dan tidak berselera untuk makan. Dia meminta makan malam dipindahkan ke restoran, tanpa Kirana dan juga Rosita, hanya berdua.
William menurut, tapi dia terus mengingatkan status Kirana dan kondisi yang sedang dialaminya.
“Kau harus bisa mengendalikan rasa tidak suka padanya, bagaimanapun ada anak kita di rahimnya. Anak kita akan merasakan apa yang ibu pengandungnya rasakan. Kau faham?” William mendaratkan ciuman di pelipis sang istri yang masih cemberut. Untuk kemudian melanjutkan makan malam mereka dengan romantis. Kemudian diakhiri dengan pecintaan yang panas.
Kirana bukan tak tahu jika sepasang suami istri itu tengah bercinta, tapi dia benar-benar tidak merasa nyaman di kamar. Hingga memilih duduk di depan televisi. Membuat Anna dan William yang tengah on-fire merasa terkejut dengan suara televisi dari ruang di dekat kamar mereka.
William segera memakai piyama dan keluar menemui Kirana yang tengah asik menonton televisi. Sedangkan Anna yang terganggu puncak kenikmatannya mendengus kesal di kamar mandi.
“Kau belum tidur?” sapa William, dia duduk di ujung sofa.
“Susah tidur, pegal tidak karuan. Semua posisi salah, jadi nonton televisi saja,” jawab Kirana asal.
Kehamilannya mulai memasuki usia ke tujuh bulan. Jadi wajar jika dia mulai kesulitan tidur.
“Aku akan menemanimu di kamar, karena tidak baik sedang hamil begadang terus-terusan.” William mengantar Kirana ke kamar, lalu meminta gadis itu tidur dengan posisi aman.
Kirana masih gelisah. Hingga William bersenandung sebuah lagu tentang negeri di awan. Meski dalam bahasa Inggris, Kirana faham liriknya. Bahkan suara merdu ayah dari si jabang bayi terdengar memenangkan. Semakin lama, matanya semakin rapat dan mulai pergi ke alam mimpi.
Sementara William, mendekat dan menatap lekat wajah imut nan manis itu. Ada rasa bersalah, namun juga merasa takjub. Bahkan semakin kagum.
Kirana menggeliat, tangannya terhempas ke pangkuan sang pria yang tengah menikmati wajah lelah itu. William mengelusnya dengan lembut dan dikembalikan ke arah bantal. Namun justru wajah itu semakin berdekatan.
Entah dorongan apa yang membuat William mengecup kening Kirana. Lalu turun ke pipi dan ... kemudian dia sadar.
Segera dia bangkit, mundur perlahan menatap wanita polos yang seolah melambai dan menggoda padanya. William segera keluar dari kamar, menarik napas kasar. Kemduian menuntaskan hasratnya pada sang istri. Meski bayangan gadis lain yang membangkitkannya.
Beesambung part 11
No comments:
Post a Comment