Part 11
A SURROGATE MOTHER
( CINTA SEORANG IBU PENGGANTI )
Semakin besar kehamilan Kirana, semakin sulit tidur tapi juga banyak makan. Berbagai makanan dia inginkan, tak jarang sesuatu yang sulit di dapat seperti bajigur. Minuman khas sunda yang terbuat dari santan dan gula merah dicampur sedikit kopi.
Terpaksa William mencari orang Indonesia di Hongkong yang bisa membuat minuman itu, lalu minta dibuatkan. Setelah meminum bajigur, Kirana lebih tenang karena sebelumnya gelisah dan tidak bisa diam.
Deretan makanan yang dia minta seperti salad buah, spagghetty, asinan, dan banyak lagi. Membuat Anna mencibir Kirana sebagai kemaruk. Alias memanfaatkan kondisi hamil untuk meminta makanan yang tidak sanggup dia beli selama ini. Terlebih ngidamnya lebih sering datang setelah kehamilan trimester tiga. Sementara selama trimester awal baik-baik saja.
Kirana jadi merasa tidak enak ketika dia ingin sekali makan nasi uduk. Terpaksa dia meminta Rosita untuk membeli bahan-bahan ke supermarket terdekat. Setelah dapat, dia memasak sendiri. Dia malu jika terus merepotkan tuannya.
Harum nasi putih bercampur santan itu menyeruak ke seluruh ruang apartemen, membuat William yang tengah membaca majalah mengendus wanginya dan terbangkitkan rasa laparnya. Dia berjalan ke dapur dan mendapati Kirana tengah mengaduk nasi yang baru matang itu.
"Hey, kau memasak sendiri?" William mendekat dan memastikan Kirana baik-baik saja.
"Iya, sedang ingin nasi uduk," jawab Kirana dengan senyuman.
"Nasi uduk? Apa itu?" wajah William sedikit mengernyit dan menatap nasi putih yang mengeluarkan aroma wangi di hadapannya.
"Ya seperti ini, nasi dengan rempah-rempah di dalamnya. Rasanya nikmat, ditemani dengan ini ... ada tempe orek, telur, dan kerupuk." Kirana memamerkan apa yang dia masak.
"Waah, aku jadi lapar." William segera duduk di kursi depan meja makan.
Kirana tersenyum dan menyendokan nasi ke piring William, "Hati-hati masih panas." Dia mengingatkan.
"Yes, mommy!" canda sang pria, membuat Kirana merona karena baru kali ini dia memasak untuk seorang laki-laki selain Abah, bahkan melayani dengan menaruh makanan ke piring, lalu mengingatkannya untuk hati-hati. Selayaknya seorang istri pada suaminya.
Dia terdiam, mengingat Rega. Sudah sekian lama tidak ada kontak dengan kekasihnya itu. Entah Rega masih setia atau telah memilki kekasih baru. Status hubungan mereka jadi tidak jelas.
William yang sejak tadi bicara memuji rasa masakan yang dibuat Kirana heran karena sang gadis diam saja memandang kosong.
"Hellooooo ...," goda Wiliam ketika Kirana masih mematung.
Sang gadis segera duduk, lalu tersenyum tipis dan menyendok nasi untuk dirinya. Mereka makan berdua sambil mengobrol banyak hal. Tentang kehidupan Kirana sebelum memutuskan menjadi ibu pengganti. Menjadikan William tahu bahwa dia memiliki kekasih bernama Rega, namun sejak beberapa bulan lalu, tepatnya beberapa minggu sebelum keputusan yang dia ambil, mereka kehlangan kontak.
William memandang Kirana yang asik bercerita sambil makan. Menceritakan seperti apa kekasihnya, yang sangat perhatian dan juga sedikit genit.
"Jadi, kau tidak pernah dicium oleh pria?" tanya William.
Kirana mengangguk lemah, "Iya, kata Abah tidak boleh kalau belum menikah. Dosa," jawabnya singkat, "lama-lama bisa terjerumus pada perbuatan zina. Ntar apes terus. Kata orang tua dulu sih gitu."
Jawaban Kirana membuat William tersenyum tipis, mengingat betapa bebas hidupnya sebelum ini. Bahkan saat memutuskan menikah dengan Anna. Mereka adalah pasangan yang memiliki anak tanpa ikatan pernikahan. Apakah ini bagian dari kesialan yang dimaksud? Atau justru belum? Pria itu jadi terdiam dalam lamunan.
*
Perut Kirana kian membesar, pemeriksaan terakhir menunjukkan berat bayi telah cukup untuk dilahirkan. Mereka mulai mempertimbangkan banyak hal dan akan menentukan tanggal kelahiran karena tidak akan dilakukan dengan proses normal.
Gerakan bayi semakin intens terasa, bahkan terlihat kasat mata. William sering gemas ingin menyentuh tonjolan-tonjolan di perut Kirana. Namun sang gadis selalu menolak. Terlebih jika ada Anna, keduanya jadi kehilangan selera humor dan terlampau serius. Jika biasanya William akan menggoda Kirana untuk memegang perut, ketika ada Anna mereka jadi saling diam dan kaku. Apalagi Anna sangat cerewet untuk hal-hal sepele. Seperti harus berjalan perlahan, atau jangan kebanyakan makan karena perutnya sudah terlalu besar.
Namun jika Anna kembali ke Indonesia dan hanya ada William, sikap kekanak-kanakan Kirana sangat jelas. Manja, konyol bahkan senang menyanyi di depan kaca sambil memandang perutnya. Tak jarang dia berkeluh kesah dengan mengajak ngobrol sang jabang bayi di perut, menceritakan tentang rewelnya Anna yang berkebalikan dengan ayahnya.
"Kau beruntung, punya ayah yang baik seperti ayahku juga. Tapi ibumu itu bawel, mungkin karena tidak mengandungmu. Huh!" Kirana berbicara dengan perutnya sambil mengelus perlahan. Lalu bernyanyi sambil sedikit berjoget di depan kaca, tak sadar William tengah mengintip dari balik pintu.
"Hati-hati goyangannya,” goda William dari balik pintu, membuat Kirana terkejut dan hampir jatuh.
William segera masuk dan menanyakan keadaan Kirana ayang sempat terpeleset, beruntung dia masih bisa menahan dengan tangan ke lantai.
"Hufff, maafkan aku, sudah mengejutkanmu." William menarik Kirana ke dalam pelukan. Ada rasa nyaman yang keduanya rasakan ketika tubuh mereka berdekatan bahkan tanpa jarak.
Belaian tangan sang pria di kepala gadis itu begitu memberikan ketenangan. Entah karena dia sedang hamil dan menginginkan kehangatan dari lelaki yang harusnya merupakan suami. Kini, Kirana memejamkan mata, menikmati rasa nyaman dan damai yang menyelimuti jiwanya. Membalas dekapan sang pria yang tidak memiliki ikatan apapun dengannya, tapi tanpa sadar membuat mereka merasakan ketergantungan yang tak pernah mereka duga sebelumnya.
Mereka baru menyadari bahwa saling berpelukan saat ponsel William berdering beberapa kali. Segera, dia terima panggilan yang ternyata dari Anna. Mengabarkan pesawat delay jadi membatalkan penerbangan karena terjadi badai di wilayah yang akan dilewati.
Saat mengakhiri obrolan, William mendapati Kirana telah meringkuk ke arah kiri. Memeluk perutnya sendiri, lalu dia mendekat dan mengelus rambut gadis yang terus gelisah dalam tidurnya. Ia kembali menyenandungkan lagu lembut dengan tetap memijat-mijat kaki yang dia duga pasti sangat pegal. William memang banyak membaca tentang kondisi umum wanita yang mengandung, jadi dia tahu persis apa yang Kirana rasakan.
Kirana terlelap dalam pandangan pria yang tak pernah sadar bahwa ada cinta yang terkikis di hati untuk istri yang selama ini dia perjuangkan.
*
Minggu pagi yang cerah mereka menghabiskan hari di taman kota, bertiga. Anna dan Willam berpegangan tangan, sementara Kirana berjalan di belakang mereka dengan perut besar. Bahkan dia tertinggal jauh dari pasangan suami istri itu. Kirana sabar, berjalan perlahan dan memandang anak-anak yang sedang bermain bola dengan orang tua mereka.
Bibir tipis itu menyunggingkan senyum, mengelus perut besar yang mendapat tendangan kuat dari dalam.
"Kau mau main bola juga?" gumam Kirana sambil mengelus perut yang memamerkan tonjolan di beberapa bagian. Dia merasa bayi di perutnya agresif, namun itu lebih baik karena dia seperti memiliki teman ketika sendirian.
"Kau disini? Kami mencarimu?" Anna bertolak pinggang di belakang Kirana.
William yang tiba belakangan segera meraih kedua tangan sang istri agar tak memamerkan sikap angkuhnya, lalu memeluknya dengan mesra.
"Apa kami jalan terlalu cepat? Aku lupa kau sedang hamil." Senyuman pria tampan itu sedikit menghapus raut sedih Kirana yang sempat terlihat ketika ditanya Anna dengan nada bossy-nya.
Kirana hanya mengangguk, lalu berjalan lebih dulu dengan mengelus-elus perutnya.
"Bisakah kau tidak kasar padanya? Bagaimanapun ada anak kita dalam perut besarnya." Wiliam mengingatkan sang istri.
"Sorry, aku lupa. Kadang aku jengkel dengan sikap dia."
"Ayolah sayang, kau juga dulu sama. Ketika hamil sedikit menyebalkan."
"Masa? Ah ... jahat!" Anna mengalungkan kedua tangan di leher Wiliam dan melomopat ke punggung, lalu pria tampan itu berjalan dengan menggendong sang istri. Mereka begitu saling mencintai dan membuat Kirana iri.
Bukan iri untuk memiliki William, tapi lebih kepada ingin mendapatkan suami yang mencintainya.
"Kau harus seperti ayahmu jika sudah besar. Selain berbadan besar juga berhati besar,” kekeh Kirana sambil mencolek tonjolan besar di perutnya. Entah itu sikut atau kaki, tapi sangat lucu meski kadang terasa sakit.
Malam tiba dalam pesona keindahan kota, yang mana lampu-lampu laksana perhiasan yang tertaut dari atas apartemen. Sang ibu pengganti menempelkan kedua telapak tangan ke kaca jendela. Menikmati malam yang kini lebih sering dia lalui. Kesulitan tidur, pengap, sesak hingga sakit punggung juga pinggang dia rasakan. Belum lagi kaki yang mulai membengkak, pun sama mulai sering ingin dimanjakan.
Tapi pada siapa dia harus mengatakan itu? Meski Rosita sering memijatnya, tetap saja dia merasa pegal dan tidak dapat tidur.
"Mungkin anak ini ingin dipegang ayahnya," canda Rosita siang tadi.
Kirana hanya tersenyum mendengar itu. Ah indah memang, seandainya benar pria itu adalah suaminya. Pasti akan sangat menyenangkan. Melihat cara dia memperlakukan sang istri, siapapun akan iri dan mendamba.
Kembali, dia hanya mengelus perut mengingat obrolan dengan Abah sore kemarin, bahwa dia sudah satu tahun di sana. Tinggal satu tahun lagi, sudah tak sabar untuk berjumpa. Rindu, rasa bersalah, menjadi satu.
"Kau belum tidur?" William membuka pintu tanpa mengetuknya lebih dulu. Seperti biasa.
Kirana hanya menoleh dan menggeleng perlahan. Rona bahagia terlihat menyelimuti wajahnya ketika mengetahui pria itu datang. Bahkan hatinya seperti diremas dan dimainkan, menatap dia yang sibuk menata tempat tidur agar supaya lebih nyaman.
"Kemari, kau baru bisa tidur jika kupijat. Lain kali bangunkan aku jika susah tidur, ok?" William mengulurkan …
Bersambung part 12
No comments:
Post a Comment