A SURROGATE MOTHER (SEWA RAHIM)
Bab 12
Rayyan sibuk menanyakan tugas sekolah yang dia tidak mengerti pada Wildan yang seorang guru Bahasa Indonesia. Pria itu menjelaskan dengan baik, karena dia faham anak ini lebih sering bolak-balik Indonesia – Inggris jadi kesulitan ketika memahami bahasa negara yang kini dia tinggali.
Sementara William sibuk menerima telepon dari asistennya, membahas beberapa pekerjaan yang sempat ditinggalkan karena urusan keluarga. Mengatur ulang jadwal pertemuan dengan para pemegang saham dan juga rekan bisnis dari perusahaan lain.
“Dad, kenalkan ini Om Wildan,” ujar Rayyan ketika sang ayah selesai menerima telepon.
“Oh, hai ... William Alvaro.” Dengan senyuman ia mengulurkan tangan.
“Wildan Fahrizal,” balas Wildan dengan senyuman, “jadi ... Rayyan sudah baikan dengan daddy?” tanya Wildan dengan senyuman yang ramah.
William tersenyum dan mengelus pundak putranya, “Hmm ... kau sering curhat dengan orang lain? Oh, daddy jadi merasa buruk.” Pria bermata cokelat terang itu memamerkan sunggingan senyum yang lebih tepatnya menyeringai malu, tapi juga candaan pada Rayyan.
“Sorry, Dad. Tapi ... Om Wildan sangat asik untuk diajak curhat. Kadang aku ingin punya ayah seperti dia, kemarin-kemarin sih tepatnya,” ejek Rayyan membuat William dan Wildan tertawa bersamaan.
“Iya, bahkan cocok ya Ray kalau yang jadi ayahmu itu Om Wildan dan ibunya Teh Kirana hihi.” Candaan Bagas membuat Wildan tersipu namun menjadikan William terdiam kaku.
Terlebih saat Wildan tertangkap basah melirik ke arah wanita yang sibuk melayani pembeli di warung. Bahkan Kirana memang sempat segera pergi ketika Wildan datang, menyibukkan diri. Sementara sorot mata pria yang dipanggil om itu jelas penuh kekaguman dan rasa rindu, dan cinta yang menggebu. Sukses William menarik napas berat karena merasakan sensasi tak biasa di ulu hati. Bahkan kehilangan selera untuk berbalas canda.
Kini William memandang wanita yang dulu pernah ada dalam dekapannya, bahkan dia kecup ketika sedang mengandung Rayyan.
Sementara itu Wildan menoleh pada pria asing di hadapannya. Pun sama, Wildan melihat sorot mata tak biasa dipancarkan ayah dari Rayyan pada wanita yang pernah dia lamar. Dan masih akan dia lamar. Dadanya seperti bergemuruh, dan cemburu terasa membakar. Menyadari ada pria lain yang jelas menjadi saingan. Apalagi bukan pria sembarangan, dia sangat tampan dan juga kaya.
Tapi tunggu! Bukankah dia sudah menikah? Rayyan masih memiliki ibu.
“Oh ya, apa aku sudah bilang bahwa aku ini calon suaminya Kirana?” Wildan langsung memasang benteng pertahanan untuk membuat William tak terlalu jauh memasuki kehidupan wanita idamannya.
William tersenyum setelah sebelumnya tertegun, memandang dingin pria di hadapannya.
“Belum, Kirana tidak bilang kalau dia sudah akan menikah. Tapi dia pernah berkisah bahwa kekasihnya bernama Rega,” jawab William tak kalah sengit, seolah ingin memamerkan bahwa dia lebih tau tentang wanita itu.
Wildan mengerutkan kedua alis tebalnya, “Rega?”
“Rega itu pacar Teh Kirana zaman SMA sampe kuliah, Om. Terus putus pas Teh Kirana balik dari Hongkong.” Bagas menimpali, “itu kata emak.”
William tertegun, dia semakin yakin ada yang tidak beres pasca kembalinya Kirana ke Indonesia. Menghubungkan berbagai hal yang dia ingat, membuat mengerucut pada suatu jawaban.
Ya, William tahu persis impian Kirana saat itu, namun tiba-tiba saja dia berubah jadi sosok wanita yang dalam istilah umum dipakai orang adalah alim, yaitu seseorang yang terlihat lebih mendekatkan diri pada agama, atau menjadi religius. Bahkan memilih menjadi penjual nasi uduk, itu bukan cita-cita gadis itu di masa lalu.
Dan Abah? Dimana pria yang selalu Kirana rindukan saat hidup bersamanya? Tidak pernah terlihat, bahkan tak pernah terucap lagi dari bibir gadis berkerudung maroon yang kini tengah menghitung kembalian untuk pembeli.
Kini Wildan maupun William sama-sama diam, hanya sesekali menjawab pertanyaan Rayyan dan Bagas yang sibuk mengerjakan Pekerjaan Rumah dari guru mereka. Hingga tak terasa jika maghrib menjelang.
“Shalat dulu yuk,” ajak Bagas pada Rayyan.
“Ayo!” Dia segera merapikan buku, “Dad, kau ikut shalat kan?” tanyanya sedikit ragu.
Wililam hanya mengangguk kikuk, lalu menoleh ke arah Wildan yang sudah berjalan lebih dulu ke mushola yang ada di taman. Ke empatnya berwudlu, hanya William yang masih kaku dan hanya meniru apa yang dilakukan anaknya.
Dia memang menikahi Anna dengan berpindah keyakinan. Namun sang istri tak pernah mengajarkan apa yang diperintahkan agama pada suaminya. Semua sebatas agar dapat meresmikan ikatan cinta mereka agar tak terjegal undang-undang.
Sementara Rayyan, meski tak diajarkan orang tuanya ... dia memiliki guru di sekolah. Yang mengajarkan apa itu konsep ketuhanan yang sesuai dengan agama yang tertera di akta kelahirannya.
“Luruskan shafnya,” ujar Wildan yang menjadi imam untuk shalat maghrib sore ini.
Di barisan paling belakang yang terhalang tirai, Kirana tersenyum menyadari yang menjadi imam adalah pria yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangganya kelak.
Ah, itu andai Wildan kembali untuk melanjutkan lamaran yang pernah ditangguhkan, bagaimana jika datang untuk memperjelas akhir dari harapan dia itu?
Sebagai seorang wanita yang telah banyak bejalar dan berusaha taubat dari masa lalu, dia menginginkan pria yang menuntunnya pada jalan kebajikan, membimbing untuk lebih dekat pada Sang Khalik, dan menyempurnakan agama mereka dengan pernikahan yang saqinah mawaddah warahmah. Dan itu jelas bisa didapatkan pada sosok Wildan yang terlihat religius darpada lelaki lain yang juga pernah meminangnya.
Rasa tenang dalam shalat berjamaah ini membuat Kirana memohon dalam sujudnya, “Jika dia yang berada di depan itu adalah yang terbaik untukku, maka jadikanlah dia bagian dari takdir jodohku Yaa Rabb,” bisiknya hampir tak terdengar.
Ketika yang lain telah bubar kembali ke tempat mereka masing-masing, hanya menyisakan Wildan dan William juga Rayyan yang masih bermunajat.
Bagi William, untuk pertama kalinya dia berkomunikasi dengan Tuhannya setelah berganti keyakinan. Entah kenapa rasa nyaman dan tenang membuatnya enggan beranjak dari sana, memejamkan mata dan tak sengaja menitikkan air mata.
“Dad?” Rayyan menoleh pada sang ayah yang memijat pangkal hidung dengan kedua jarinya untuk menghapus air di sudut mata.
William menoleh dan tersenyum, lalu memeluk putra yang begitu dia impikan di masa lalu namun terabaikan di masa kini.
“Kau benar-benar anugerah untukku,” bisiknya dengan suara menahan tangis, “jangan pernah tinggalkan daddy, oke?” kembali dia merangkul putranya.
Sementara Wildan tersenyum melihat pemandangan itu, membayangkan dia akan memiliki anak yang kelak akan merindukan kasih sayang dan didikan dirinya. Seperti halnya Rayyan yang pernah berkisah tentang harapan-harapannya untuk sang ayah.
Ketiganya keluar dari mushola bersamaan, begitu juga dengan Kirana. Wanita itu berusaha menghindari tiga laki-laki yang kesemuanya sama melihat ke arah dirinya.
“Jadi ... kapan kalian menikah?” tanya William sedikit keras, agar sang wanita mendengar dan memberikan klarifikasi. Entah kenapa, dia seolah tak rela mengetahui Kirana akan menikah. Tentu dia pun berharap jawaban dari pertanyaannya ini akan memperjelas bahwa dia masih memiliki harapan.
Sukses, wanita itu berhenti dan menoleh ke arah ketiga lelaki yang ada di belakangnya. Lalu menatap Wildan yang tersenyum.
“Secepatnya, karena aku sudah yakin. Akan menikahimu, menerimamu apa adanya,” jawab Wildan yang lebih ditujukkan pada Kirana.
Membuat Kirana hampir rubuh karena gemetar mendengar jawaban pria yang dia idamkan. Matanya semakin membulat dan bibirnya sedikit terbuka lebar karena masih tak menyangka.
“Congrats, teteh cantik!” Rayyan bertepuk tangan, sementara William kehilangan senyumannya. Menatap Kirana yang masih membisu dengan pandangan pada Wildan. Seolah masih tak terpcaya dengan apa yang didengarnya.
“Malam ini aku berencana ke rumah kamu, menemui Paman dan Bibi untuk melanjutkan lamaran. Tapi menunggu kamu jualan dulu. Kita sama-sama ke sana, bisa?” tanya Wildan dengan sejurus mata mencari tahu ekspresi William.
Pria yang dilirik tengah memandang kaku pada wanita yang sedang dilamar di hadapan dirinya. Tergambar jelas di wajahnya, guratan kekekewaan yang mendalam.
“Mas, kamu benar-benar sudah memikirkan apa yang barusan kamu katakan? Ga sedang asal ucap kan? Maksudku-“ Kirana tak melanjutkan kalimatnya dan tampak bingung. Dia takut kalau-kalau Wildan mengatakan itu hanya karena merasa terintimidasi oleh William. Hanya karena ego mengira William juga tengah mengincarnya.
“Aku serius. Aku udah suka sama kamu sejak awal kita ketemu. Dan makasih untuk kamu Rayyan, kamulah yang mempertemukan kami dengan insiden tabrakan kecil kita.” Wildan menatap Rayyan yang tersenyum senang. Seolah tengah mengejek ayah dari remaja itu yang jelas akan semakin merasa terpuruk.
Remaja itu menatap Kirana, “Aku senang kalau Teteh mendapatkan pria sebaik Om Wildan. Teteh layak mendapatkan pria yang sholih. Wanita yang baik, untuk laki-laki yang baik bukan? Itu kata Pak Ustadz di sekolah.”
Wildan menepuk pundak Rayyan karena merasa tersanjung. Bagas juga bertepuk tangan karena senang. Hanya satu orang yang tidak bahagia mendengar percakapan itu, dialah William. Tatapannya kembali hampa setelah tadi—ketika shalat mendapatkan ketenangan yang tak pernah dia rasakan. Pria itu tak mengeluarkan sepatah katapun. Bahkan menatap kepergian Kirana dan Wildan juga Rayyan yang memang cocok sebagai keluarga bahagia.
“Haruskah aku relakan ini? Aku sempat berharap ada di posisi pria itu. Menjadi ayah dan suami bagi ibu dari anakku," gumamnya dengan memalingkan pandangan, mengusap sudut mata yang kembali terasa basah tanpa dia harapkan.
‘Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik bukan?’
Pertanyaan itu membuatnya tersadar, bahwa jika Anna dianggap buruk sebagai seorang istri maka wajar berjodoh dengan dirinya yang mungkin juga buruk. Benar, mereka tidak pernah belajar tentang arti kehidupan. Hanya berusaha memenuhi syahwat duniawi. Bermewah, berpesta, mengumpulkan harta, menikmati syurga dunia yang sesungguhnya fana.
Langkahnya kian gontai ketika menghampiri Rayyan dan mengajaknya pulang. Bahkan tak sedikitpun menoleh pada wanita yang sejak tadi mulai memandangnya diam-diam. Senyumannya juga tampak suram, tak lagi ceria seperti sebelum kedatangan Wildan.
“Mommy sudah pulang, dia sedang menunggu kita di rumah,” katanya menghibur diri, berharap kalimat itu menjadi nyata. Bahwa ada seseorang yang menanti mereka.
“Ok, Dad.” Rayyan beranjak dan memakai tas, lalu mencium punggung tangan Wildan dan hanya menoleh pada Kirana, “sampai jumpa besok. Jangan lupa undangannya ya.” Anak ini sudah mirip dengan Bagas, mungkin karena setiap hari hanya main dengan sepupu Kirana itu.
“Ok, permisi.” William seolah tak punya kuasa untuk bicara pada dua insan yang akan menjalin kisah panjang setelah ini, dia segera pergi dengan berpura-pura menerima telepon. Berjalan dengan tatapan lurus mengabaikan wanita yang merasa kehilangan candaannya. Hingga tiba di mobil mewahnya, dengan segera melesat meninggalkan tempat itu dengan sejuta rasa yang tak pernah dia mengerti kenapa.
Kirana menatap kepergian pria tinggi besar itu dengan sedikit rasa aneh. Tidak biasanya William sangat dingin, mengingat saat datang masih penuh canda dan goda, tapi kemudian ia maklumi ... mungkin menghargai perasaan Wildan.
Kini William dan Rayyan tiba di istana megahnya. Ayah satu orang anak itu semakin merasa hampa. Istri tercinta yang dia bayangkan akan menyambutnya ternyata belum juga pulang. Rayyan sudah terbiasa dengan keadaan ini, dia memilih ke dalam kamar dan beristirahat.
Sementara William membuka youtube, mencari tahu tentang cara-cara melaksanakan shalat. Meski itu tidak mudah karena dia kesulitan dengan bacaannya. Tentu, untuk orang seusia William sedikit berat menghapal karena keterbatasan memori yang sudah tidak lagi masa keemasan. Tapi dia tidak menyerah, dia mencoba kembali mencari ketenangan seperti tadi ketika dia di mushola.
***
“Jadi ... sudah fix ya kalau Mas Wildan mau melamar Kirana, menerima masa lalunya?” tanya Paman dengan serius.
“Iya, Paman. Saya serius. Saya sudah memohon petunjuk, dan hasilnya saya masih ingin melanjutkan hubungan dengan Kirana. Saya pun telah membaca banyak tentang apa itu surrogate dan hukumnya. Tapi kan Kirana sudah taubat, tidak ada yang salah kalau saya menerima dia. Kami akan sama-sama belajar jadi lebih baik,” jawab Wildan panjang lebar.
“Alhamdulillah, paman lega. Semoga kalian benar-benar jodoh yang diciptakan untuk hidup bersama hingga akhir hayat ya.” Paman memandang keponakannya yang tertunduk bahagia.
“Aamiin ....” jawaban serempak dari Kirana, Wildan, Bibi dan Ustadzah Maryamah terdengar ke kamar Bagas.
Remaja itu segera mengirim pesan ke sahabatnya, Rayyan.
Bagas: sudah fix, bro. Teh Kirana bakal nikah sama Om Wildan, lagi nentuin tanggal.
Rayyan: Alhamdulilah, hebat Om Wildan bisa menerima masa lalu teh Kirana ya.
Bagas: Cinta Ray cinta... c i n t a.
Rayan: Hahah, iya iya. Hhh ... kebayang ya jadi anak mereka pasti adem banget, disayan, diperhatikan dan mendapatkan pendidikan agama yang baik.
Bagas: Berdoa aja minta ortu lo ditukar haha
Rayyan: Gila lo! Haha! Tapi boleh juga.
Keduanya hanya tertawa sambil memandang ponsel mereka. Setelah itu, Rayyan memutuskan tidur. Hari ini hari paling indah baginya. Kirana, wanita yang entah bagaimana begitu dia sayangi telah mendapatkan pria yang baik. Lalu, bisa menjalankan ibadah dengan sang ayah membuatnya amat spesial, dia berharap ada perubahan pada keluarganya. Menjadi lebih harmonis, itu paling minimal dari harapan bocah tampan ini.
Dan mungkin impiannya akan terlaksana, saat sang ayah membuka iPhone milik Rayyan yang tengah terlelap. William mencari tahu tentang Kirana dan Wildan yang mungkin mengabarkan sesuatu pada anaknya. Dan benar, dia membaca chat dari Bagas.
Senyuman terukir di bibirnya, lalu menaruh perlahan iPhone itu dan kembali ke kamranya.
“Kenapa aku seperti kehilangan? Harusnya aku bahagia bukan? Wanita yang selalu kucemaskan masa depannya, telah menemukan pria terbaik yang ada," gumamnya lemah, "duhai hati ... jangan sampai kau jatuh cinta padanya. Aku tidak akan sanggup tersiksa karena dia tak mungkin kumiliki.”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment