Monday, June 22, 2020

MIMPI LESTARI 06


(Tien Kumalasari)

Wajah Tari muram. Untuk apa Nugroho menemuinya? Minta ma'af? Pamitan ?  Aduuh... lebih baik nggak usah ketemu saja. Daripada tambah sakit.

"Langsung pulang atau mau mampir-mampir?" tanya Janto.

"Mampir saja.." jawab Tari sekenanya. Yang penting menghindari Nugroho.

"Mampir kemana ? Bakso lagi ?"

"Nggak mas, aku mau beli lauk saja buat makan nanti malam."

"Baiklah, sekalian makan ya?"

"Aduh, kan perutku masih kenyang. Tapi kalau mas Janto mau makan, nggak apa-apa aku temenin."

"Bener?"

"Iya.."

"Nggak doyan makan karena tadi ada yang menjemput tapi nggak mau ikut kan?"

Tari menoleh kearah Janto. Rupanya Janto tau ada mobilnya Nugroho didepan pagar halaman kantor.

"Iya kan ?"

"Sok tau.."

"Memang aku tau, dan itu juga yang membuat kamu sedih, muram,nangis..?"

Tari menggelengkan kepalanya.

"Tapi mobil itu mengikuti kita lho."

Tari terkejut, ia melihat kearah spion, dan hatinya berdebar-debar. Nugroho mengikutinya.

"Ngebut mas, ngebut.." pinta Tari.

"Enak aja, jalanan ramai begini ngebut? Lihat tuh, ini bubaran kantor, bubaran orang pulang sehabis kerja.. hampir macet begini."

"Aduuh.."

"Tari.. tenang saja.. mengapa kamu tampak ketakutan? Apa dia akan menggigit kamu?"

"Mas Janto..." Tari merengut.

Tiba-tiba ponsel Tari berdering. Tari mengambil ponselnya, tapi kemudian dia justru mematikannya.

"Kok nggak dijawab ?"

"Nggak perlu jawaban dia, cuma miscall saja kok."

"Bohong."

"Mas, mau makan dimana? 

"Nanti dia ikut makan.."

"Biarin saja, mas Janto pura-pura jadi pacarku ya?"

"Apa? Moh aku kalau pura-pura..."

"Lho, mas Janto itu gimana, supaya dia nggak ngejar aku terus mas."

"Mengapa nggak mau dikejar. Orangnya tajir lho. Mobilnya saja jauh lebih bagus dari mobil tua ku ini.."

"Justru orang kaya itu suka menyepelekan orang miskin."

"Masa?"

"Masih mengikuti mas ?"

"Masih, tuh.. mobil hitam.. dibelakang... Sebenarnya ada apa sih? Masa marahan sama pacar sampai segitunya."

"Ini bukan cuma marahan.. "

"Lalu apa?" 

"Sudah agak sepi mas, ayo tancap !"

"Lha kita ini mau kemana, katanya mau cari lauk buat makan malam, sambil nemenin aku makan."

"Mas Janto mau makan dimana, tapi kabur dulu deh dari mobil hitam itu."

"Tadi bilang biarin ikut makan.."

"Habisnya, mas Janto ngak mau pura-pura jadi pacarku."

"Nggak mau aku pura-pura.. kalau beneran aku mau," canda Janto.

"Mas Janto tuh... "

Dan beruntung disebuah perempatan mobil hitam Nugroho berhenti karena lampu merah, sementara mobil Janto bisa terus melaju. Tari bersorak senang.

"Ayo mas, cepet cari belokan lagi, biar dia bingung.. kalau perlu cari jalan kearah kantor lagi saja."

Janto tertawa lucu.

"Ini kok malah ngajarin aku main kucing-kucingan ?"

"Tolong mas.."

"Baiklah.. kasihan juga, lebih baik aku turutin saja, dari pada nangis, nanti aku harus nyanyi lagi."

***

Setelah menemani Janto makan dan beli lauk untuk dirinya sendiri, Tari minta diantarkan pulang. Sejak Janto melihatnya sedih dan murung, Tari merasa dekat dengan Janto. Mungkin karena Janto selalu memperhatikannya atau karena tak ada teman untuk berkeluh selain Janto. 

"Sudah sampai nih, mau pulang atau masih mau muter-muter lagi?"

Tari tertawa.

"Sudah mas, kasihan mas Janto. Ma'af ya mas.. aku kok jadi ngrepotin mas Janto terus."

"Tidak apa-apa Tari, aku mau melakukan apa saja untuk kamu, asal jangan sampai kamu minta agar aku pura-pura jadi pacar kamu."

"Lhoh..kok?"

"Kalau jadi pacar beneran aku mau.." canda Janto, tapi tampak seperti serius.

Tari tersenyum dan menurut Janto senyum Tari kali itu begitu manis.

"Mas Janto itu kan kakakku, masa sih kakak bisa jadi pacar?" kata Tari sambil membuka pintu mobil.

"Terimakasih ya mas, dan ma'af.."

Janto mengacungkan jempolnya dan menatapnya lekat. Sampai Tari memasuki halaman dan masuk kekamar kostnya, Janto masih menatap punggungnya. Janto menghela nafas, entah mengapa ia sangat kasihan pada Tari.

Ia baru pergi ketika Tari sudah tak tampak lagi.

Tari memasuki kamarnya, dan tiba-tiba rasa sepi menyeruak memenuhi batinnya. Tiba-tiba juga ia merasa sendiri dan beban yang menyakitinya kembali terasa meremas jantungnya. Ia belum bisa melupakan Nugroho sepenuhnya. Cinta begitu cepat datang, tapi lambat untuk menghilangkannya. 

Ia melemparkan tas tangannya ke ranjang, dan duduk melamun ditepinya. Setetes air matanya segera diusapnya dengan telapak tangannya. 

"Begitu berhargakah Nugroho sehingga aku rela menangisinya setiap mengingatnya?"

Tapi air mata itu semakin deras mengalir.

Tari terkejut ketika mendengar ketukan dipintu. Ia mengusap lagi air matanya lalu membukakan pintu. 

Tari terpana ketika melihat siapa yang datang. Nugroho, tiba-tiba saja merengkuhnya dan mendekapnya erat.

Lestari meronta. Tak ada rona bahagia dipeluk orang tercinta. Didorongnya tubuh Nugroho. Menurutnya Nugroho telah menghianati cintanya. Apa yang dilakukannya hanyalah palsu belaka.

"Tari..."

Wajah Tari masam. 

"Tari boleh aku duduk?"

Dan tanpa dipersilahkan Nugroho pun duduk.

Tari ikut duduk, anehnya begitu bertemu Nugroho air matanya tak lagi ingin mengalir. Justru kemarahan yang kini memenuhi dadanya. Ingin segera kata-kata pedas bisa diucapkannya.

"Tari, aku minta ma'af kalau beberapa waktu tak menghubungi kamu."

"Iya aku tau, karena sudah ada gadis pengganti aku yang lebih cantik, lebih punya derajat dan lebih pantas menjadi pendamping kamu, bukan gadis kampung yang hanya menyusahkan dan membuatmu repot dan..."

"Hentikan Tari, biar aku bicara dulu."

"Aku sudah tau dan tak ingin mendengar bicaramu mas."

"Tari... sungguh aku mencintai kamu."

"Mas, sudahlah.. jangan ngegombal lagi. Aku sudah tau dan aku bisa menerimanya kok. Aku tau diri dong mas, aku ini siapa."

"Tidak begitu Lestari... dengar dulu penjelasanku."

"Tidak perlu mas."

"Tidak seperti yang kamu duga Tari, tolong dengarkan aku."

"Aku sudah tau, sudah melihat dengan mata kepala sendiri ketika mas bersama wanita itu, dan aku sudah bisa menerimanya kok. Sudahlah mas."

Tiba-tiba Nugroho bangkit lalu bersimpuh dihadapan Tari, meletakkan kepalanya dipangkuan Tari, dan itu membuat Tari gelagapan.

"Mas.. mas... sudah mas.. aduh, mengapa begini mas, aku tidak pantas diperlakukan seperti ini mas.. berdiri mas.. jangan begini," kata Tari sambil mengangkat kepala Nugroho lalu menariknya berdiri.

"Dengar aku Tari, dengar aku dulu, aku tak akan berdiri dan akan tetap bersimpuh disini sampai kamu mau mendengarkan aku."

Tari menghela nafas. Iba meliat Nugroho meminta-minta seperti itu. Luluh semua pertahanannya, sirna semua kemarahan yang hampir membeludag di ubun-ubunnya.

Nugroho mengangkat wajahnya, menatap Tari dengan wajah pucat dan memelas. Ada air mata mengambang disana. Tari hampir merengkuhnya dan memeluknya erat. Betapa memelas wajah tampan itu, betapa meluluhkan hatinya, dan betapa juga dia sesungguhnya sangat dicintainya.

"Baiklah mas, berdirilah, aku akan mendengarkan," kata Tari dengan suara bergetar. Sesungguhnya, kemarahannya telah buyar. Melihat air mata dipelupuk mata yang biasanya memandangnya dengan pandangan teduh dan menghanyutkan, terasa bagai prahara yang menyapu semua bara amarah yang hampir meledak.

Aduhai, ternyata aku begitu rapuh.. jerit batin Tari.

"Tari, aku melihatmu ketika kamu hampir masuk ke warung bakso itu. Aku ingin mengejar kamu..."

"Tapi mas takut pada gadis yang duduk didepan mas itu kan? Takut kehilangan dia?"

"Bukan Tari, bukan itu. "

"Baiklah, aku tak akan memperso'alkan tentang gadis itu, aku juga sebenarnya tak mau tau."

"Tari, aku tidak tau, bahwa ibuku telah menjodohkan aku dengan anak sahabatnya. Sejak kami masih kecil. Aku menentangnya habis-habisan, tapi sa'at ini ibu sakit keras, ibu gadis itu juga sudah sakit-sakitan. Ada pesan yang tak bisa aku ingkari, yaitu aku harus menikahi gadis itu."

Sesak dada Tari mendengarnya. Menatap priya pujaannya terpekur kelu dan nyaris menumpahkan tangis, membuatnya tak berdaya. 

"Aku tak tau harus bagaimana Tari?"

Tari menguatkan hatinya. Ia tak harus larut dalam kemarahan dan sakit hatinya. Nugroho sudah mengatakan bahwa dia terpaksa melakukannya. Demi sang ibu yang sedang jatuh sakit. Demi sang ibu yang terikat perjanjian dengan sahabanya. Adakah yang lebih mulia dari bakti seorang anak kepada ibunya?

Tari menghela nafas, menata batinnya.

"Ya sudah mas, berbakti pada orang tua adalah perbuatan mulia. Jalani apa yang menjadi kehendaknya. Aku ikhlas melepaskan kamu mas," tak urung ada nada sendu dalam suaranya. Tak mudah melepaskan cinta, tapi bahwa cinta harus rela berkorban, sekarang dirasakannya. 

Nugroho bangkit dan memeluk Tari erat-erat.

"Tari, aku mencintai kamu, aku hanya cinta kamu.." bisiknya ditelinga Tari.

Tak urung menitiklah air mata Tari yang ditahannya sejak tadi. Dibalasnya pelukan Nugroho, erat dan lama. Gemuruh dalam dada masing-masing seperti berpacu dalam gelombang duka yang melanda. Apa boleh buat. Mimpi tak harus menjadi nyata.

***

Malam itu Tari tenggelam dalam tangis yang meledak-ledak. Kemarahan itu telah sirna, yang ada hanyalah duka karena kehilangan cinta. Ini harus terjadi. Dan ia harus merelakannya. Aduhai, betapa sepi hidupnya. Apalagi dia hanya sendirian dikamar ini. Ketika Asty pergi, ia bermaksud mencari teman lain agar beban sewa kost bisa lebih ringan. Tapi kala itu Nugroho melarangnya.

"Jangan Tari, lebih baik kamu tetap sendiri, agar kalau aku telpon malam-malam kamu bisa bebas menerimanya."

Tapi siapa yang akan menelponnya malam-malam? Senyap itu terkadang menyakitkan. Atau karena memang hatinya sedang sakit?

Lalu Tari bersenandung dengan air mata berlinang.. 

"I'am strong, when I'am on your soulders.. " 

"Akulah yang harus menyanyikannya mas Janto, bukan kamu," bisik Tari pilu. Tiba-tiba ia ingin sekali bertemu Janto,  Ingin bersandar dibahunya agar batinnya kuat.

Ketika ponselnya berdering, Tari membiarkannya. Ia tak ingin bicara dalam suasana seperti ini. Suaranya pasti terdengar sengau, lalu si penelpon akan bertaanya, kamu kenapa? Sakit? Habis menangis?

Tari teringat bahwa dia belum mandi. Ia baru saja datang ketika Nugroho mengetuk pintu.

Tari bangkit, menyiapkan handuk dan baju bersih, lalu menuju kamar mandi. Ia ingin mengguyur tubuhnya, mengguyur sedu sedan yang menderanya.
***

Pagi hari itu ponsel Tari berdering, dilihatnya siapa yang menelpon, ternyata ibunya.

"Hallo ibu..."

"Tari, bagaimana keadaan kamu? Semalam ibu menelpone tapi kamu tidak mau mengangkatnya."

"Oh iya bu?"

"Masih sore, apa kamu sudah tidur sehingga tidak mendengar ibu menelpon?"

"Iya ibu, Tari lelah sekali sehingga masih sore sudah tidur."

"Kamu sudah sehat?"

"Sudah ibu, Tari sudah siap berangkat kekantor sekarang."

"Syukurlah kalau begitu. Hati-hati,  jaga kesehatan ya nduk."

"Baik ibu. Ibu jangan khawatir. Ibu juga sehat kan? Bapak juga?"

"Kami baik-baik saja Tari. Ya sudah kalau mau berangkat kerja. Hati-hati menjaga kesehatan," besannya berulang-ulang.

"Ya bu, salam buat bapak dan adik-adik."

Tari menghela nafas. Dia belum melihat ponselnya, rupanya semalam yang menelpon adalah ibunya. 

Sekarang sudah waktunys berkemas, ia harus bekerja. Tari menguatkan batinnya. Mimpi tak harus menjadi nyata. Jatuh cinta harus siap patah hati. Lalu teringat lagi olehnya, Janto.Jantolah yang mengatakan itu. Dan itu benar adanya.

Tari sudah siap untuk berangkat, seragam kerja, sepatu, siap semuanya, Kemudian dia keluar dan mengunci kamarnya. Tapi sebelum turun ke halaman, sebuah pesan singkat terdengar masuk.

Aduh, dari Asty, sudah berkali-kali dia menolak untuk bicara.

"TARI, KAMU SIBUK SEKALI SIH, KATAKAN KAPAN AKU BISA BICARA SAMA KAMU? SEMALAM KAMU JUGA TAK MENJAWAB TELPONKU"

Rupanya semalam Tari juga menelpon.

"ASTY, MA'AF, AKU AGAK KURANG ENAK BADAN, INI AKU SEDANG DALAM PERJALANAN KE KANTOR. bANYAK YANG HARUS AKU CERITAKAN, TAPI AKU LAGI ENGGAN NGOMONG. AKU LAGI PATAH HATI. JANGAN DULU MENGGANGGU AKU YA, NANTI AKU MENELPON KAMU"

Begitu selesai membalas pesan Asty, Tari bergegas kejalan. Ia sedang tak ingin berbincang dengan siapapun.

Deru kendaraan pagi itu sangat bising. Asty menunggu bis kota yang biasa membawanya kekantor.

Ketika bis kota yang ditunggunya lewat, Tari melihat sebuah mobil dibelakangnya, kencang membunyikan klaksonnya. Tari menoleh sejenak, tapi tetap naik kedalam bis itu. Itu mobil Nugroho, Tari tak ingin menemuinya lagi. Kali ini bukan karena marah, tapi karena tak ingin lebih sakit lagi.
 
***

Begitu duduk didepan meja kerjanya, Janto sudah mendatanginya.

"Tari..."

"Pagi mas Janto," Tari menyapa dengan senyum.

"Tadi aku ingin menjemput kamu, tapi aku bangun kesiangan. Ma'af ya."

"Mengapa harus minta ma'af, biasanya Tari juga berangkat sendiri kan?"

"Tapi sesungguhn ya aku masih menghawatirkan kamu."

"Tidak mas Janto, tidak ada yang harus dikhawatirkan, aku baik-baik saja. Apakah aku kelihatan sedih pagi ini ?"

"Tapi matamu sembab. Kamu menangis semalaman ?"

"Tidak mas, percayalah aku baik-baik saja."

"Matamu sembab, tapi kamu sudah bisa tersenyum manis. Itu melegakan. Aku senang kamu baik-baik saja."

"Ya, tentu, apakah nanti siang kita akan makan bersama?"

"Hm, ini tantangan yang menyenangkan. Biasanya kamu harus dipaksa-paksa kalau diajak makan siang."

"Nanti aku menceritakan semuanya pada mas Janto."

"Baiklah, sekarang selamat bekerja, aku akan kembali keruangku."

"Selamat bekerja juga mas."

Lestari tersenyum mengiringi kepergian Janto. Mulai hari ini Lestari akan selalu tersenyum. Kehilangan cinta tidak harus ditangisinya setiap sa'at. 

"Semangat, Lestari Rahayu !!" bisiknya sambil mengeluarkan laptop dari dalam laci. 

***
Lestari menutup laptopnya ketika sa'at istirahat tiba. Ia menunggu Janto menjemputnya untuk makan siang. Namun tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk. Tari membukanya.

"TARI, AKU AKAN MEMBERI TAU KAMU SIAPA CALON SUAMI AKU. KAMU INGAT KETIKA KITA KETOKO LALU MELIHAT LAKI-LAKI GANTENG YANG MENARIK ITU? HANYA KUASA TUHAN YANG MEMPERTEMUKAN KAMI LAGI TARI, DIALAH YANG MENJADI JODOHKU, INI AKU KIRIMKAN FOTONYA."

Gemetar Tari memegang ponselnya.

***
Bersambung

 

 

 

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER