MIMPI LESTARI 07
(Tien Kumalasari)
Ketika Janto masuk, Tari masih menggenggam ponsel itu. Matanya nanap mengawasi foto laki-laki ganteng yang dikirimkan Asty. Tanpa dosa Asty mengirimkannya. Tanpa rasa Asty menyakitinya. Bukan salah Asty bukan salah semesta ini kalau luka yang ingin dibalutnya kemudian terkuak dan mengalirkan darah. Aduhai..
Janto mendekat dan ikut menatap foto lelaki yang terpampang diponsel Tari.
"Wouuwww... ganteng sekali.."
Tari mematikan ponselnya, menatap Janto dengan air mata mengambang.
"Haaai... senyuman, kemana perginya kamu setelah pagi tadi aku melihatmu?" candanya dengan pandangan lucu. Tapi Tari justru menitikkan air mata.
"Mas Janto, berikan bahu kamu, biarkan aku bersandar.." isak Tari.
"Tari? "
"Aku ingin menangis keras mas Janto, aku ingin menjerit sehingga langit mendengarnya.."
"Lestari...."
Janto menutupkan pintu ruang kerja Tari dan mendekap Tari erat. Kali ini Janto melihat gelimang duka melingkupi seluruh wajah cantik yang berurai air mata.
"Aku rela dia pergi, tapi mengapa dia.. justru sahabatku sendiri..."
"Sahabatmu merebutnya dari kamu?"
"Tidak.."
"Tidak?"
Janto menarik kursi dan duduk dihadapan Tari. Menatap wajah Tari yang mulai mengusap air matanya.
"Ayo kita keluar saja, kalau ada yang melihat jadi ngak enak."
Tari mengambil tissue dan mengangguk.Ketika itu ponselnya berdering, dari Nugroho. Tari mematikannya. Ia tak ingin lagi berhubungan dengan Nugroho. Hari itu juga dia mengganti nomor ponselnya/
***
Tari merasa bahwa adanya teman sangat membantu meringankan beban yan disandangnya. Dan teman itu adalah Janto, yang bisa menghiburnya, menenangkannya dan banyak memberinya petuah.
"Terkadang semua yang terjadi bukan seperti harapan dan impian kita. Jangan terlalu tenggelam dalam rasa sedih dan kecewa, karena itu akan membuat luka bertambah menganga. Pelan tapi pasti lepaskan semua beban. Hari-hari yang bergulung akan melenyapkan semuanya."kata Janto.
"Begitu gampangkah menghilangkan cinta?"
"Tidak gampang memang, bahkan mungkin selamanya akan berbekas dalam sanubari. Tapi bahwa cinta itu membuatmu luka... no way Tari. Hadapi hari-harimu yang masih panjang, dan melangkah kedepan tanpa beban."
Tari mengangguk, terharu bahwa Janto selalu menguatkannya. Janto selalu menyediakan bahunya untuk bersandar.
***
Tapi ketika Tari pulang dan bapak ibunya bicara lagi tentang Nugroho, Tari gelagapan. Ia sudah berusaha untuk tegar dan tak ingin memperlihatkan kesedihannya karena kehilangan Nugroho, tapi pertanyaan itu sungguh berat dijawabnya.
"Apa kamu sudah bicara sama nak Nugroho?" tanya ayahnya.
"Iya nduk, tidak baik berlama-lama jalan berdua tanpa ikatan. Apa kata tetangga kita nanti," sambung ibunya.
"Nanti dulu bapak, ibu.. Tari belum bicara."
"Kamu tidak usah bicara, ajak saja dia kesini, nanti bapak yang akan bicara."
"Benar, lebih baik bapakmu yang bicara."
"Iya bu.."
"Tapi sepertinya nak Nugroho sudah lama tidak datang kemari ya bu."
"Ibu juga ingin bertanya, mengapa nak Nugroho lama tidak datang kemari. Masih pulang ke Magelang? Apa tidak bekerja? Hampir sebulan ya pak."
"Ya, hampir sebulan tidak kelihatan. Sibukkah dia nduk?"
Tari hanya bisa menunduk, tapi ibunya menangkap ada sesuatu yang difikirkan anaknya.
"Apa yang terjadi? Kok tiba-tiba kamu seperti sedih begitu ?"
"Sebenarnya, kami sudah putus.."
Bapak dan ibunya Tari terkejut. Sejenak mereka tak bisa berkata-kata. Nugroho sudah demikian baik pada keluarganya. Membelikan mesin jahit dan membiayai sekolah adik-adiknya Tari, tapi mengapa tiba-tiba putus?
"Apa kamu banyak menuntut, Tari?" tanya bapaknya.
"Tidak pak, Tari tidak pernah meminta apa-apa, dia yang suka memberi sendiri, kalau ditolak marah-marah."
"Lalu.. mengapa hubungan kalian bisa putus?"
"Bukan salah Tari dan juga bukan salah mas Nug. Orang tuanya menjodohkannya dengan gadis lain."
"Ooh..."
"Ya sudah, berarti dia bukan jodohmu nduk, tidak usah disesali."
"Ya pak, Tari bisa menerimanya kok. Tari tidak akan memikirkannya lagi."
Dan itu benar. Sudah sebulan Tari mengganti nomor kontaknya,sehingga Nugroho tidak lagi bisa menghubunginya.
"Nanti bapak carikan jodoh yang baik untuk kamu," kata bapaknya.
Tari tersenyum.
"Tidak usah pak, jodoh itu konon akan datang sendiri kalau sudah sa'atnya."
"Itu benar. Tapi kamu sudah cukup dewasa. Sa'atnya menikah. Jangan sampai jadi perawan tua." sambung ibunya.
"Iya bu, do'akan saja agar Tari bisa mendapatkan jodoh yang baik."
***
Berbulan telah berlalu, ingatan akan Nugroho semakin tipis, dan Tari terus saja menekuni pekerjaannya.
Sudah lama Asty tak menghubunginya. Oh ya, tentu saja, Asty tak tau bahwa nomor kontaknya telah berganti. Tapi siang itu sa'at istirahat, Asty menelpon nomor kantornya.
"Ya ampun Tari, menghubungi kamu seperti menghubungi pejabat saja. Berbulan-bulan aku tak pernah bisa ngomong sama kamu."
"Ma'af, ponselku hilang, semua kontak juga hilang," jawab Tari berbohong.
"Oh, bagaimana bisa hilang?"
"Ya, bisa saja Asty, sesuatu yang merasa kita miliki kadang-kadang juga bisa hilang," kata Tari seperti mengisyaratkan keadaan dirinya.
"Baiklah, sebenarnya aku tuh penasaran ketika kamu bilang patah hati. Jadi kamu sudah putus sama .. siapa itu.. aku lupa namanya.. yang kamu kenalan lewat biro jodoh itu?"
"Iya.."
"Ya sudah jangan disesali Tari, kan asal muasalnya juga cuma iseng. Suatu hari nanti kamu pasti mendapatkan yang lebih baik."
"Aamiin."
"Tari, sebentar lagi aku mau menikah."
Bagai dipukul palu godam dada Tari. Hal yang sudah diduganya, tapi tetap saja membuatnya bergetar ketika mendengarnya.
"Tari, kamu mendengar aku bicara?"
"Oh ya, ma'af, ini sambil meneliti surat-surat. Iya.. bagaimana Asty, kapan kamu menikah?"
"Akhir bulan ini Tari, kamu datang ya ?"
"Dimana kamu menikahnya?"
"Di Wonosobo Tari, tapi hanya sederhana saja. Mas Nug, calonku itu.. tidak mau ada pesta meriah, alasannya karena ibunya sedang sakit. Kamu tau Tari, kami ini dijodohkan tanpa sadar. Ibuku, dan ibunya mas Nug itu bersahabat sejak lama, lalu ketika masing-masing punya anak tunggal, kami dijodohkan. Aku baru tau ketika ibu memanggilku pulang. Kami akan segera dinikahkan, dan ini dilakukan karena ibunya mas Nug sakit keras dan ibuku juga sakit-sakitan. Tadinya aku menolak karena belum saling kenal, tapi kemudian aku menerimanya karena calon suamiku tidak mengecewakan, Dan kamu tau, begitu aku dan mas Nug bersedia dinikahkan, ibunya mas Nug berangsur sembuh dari sakitnya," kata Asty renyah seperti kerupuk baru digoreng.
"Oh, syukurlah Asty, aku ikut senang."
"Kamu bisa datang Tari?"
"Ma'af Asty, aku hanya akan mendo'akan kamu dari jauh, tapi tidak bisa datang."
"Ya sudah tidak apa-apa Tari, apalagi besok kalau sudah menikah mas Nug juga akan membawaku ke Solo."
Berdegup lagi dada Tari. Jadi dia bakal sekota dengan orang yang telah merebut kecintaannya?
"Kita akan sering bertemu Asty, nanti kalau sudah disini aku akan memperkenalkan kamu dengan suamiku."
"Ya Asty, terimakasih."
"Tari, mengapa kelihatannya kamu tidak bersemangat?"
"Aduh, ma'at Asty, ini aku juga sambil mengerjakan tugas kantor."
"Bukankah ini sa'at istirahat?"
"Betul, tapi aku harus menyelesaikannya dulu, keburu dikirim Asty."
"Oh ya, baiklah, nanti aku menelpon kamu lagi. Oh ya, nomor kamu yang baru berapa?"
"Waduh, aku belum sempat beli ponsel Asty. ma'af ya."
"Aduh, baiklah, besok aku menelpon sa'at kamu istirahat saja."
Tari meletakkan gagang telponnya, dan menghela nafas berat.Sempurnalah rasa kehilangan itu. Sempurna karena sebentar lagi Nugroho akan memiliki isteri, gadis lain, sahabatnya sendiri. Apakah Tari membenci Asty? Tidak, Asty tidak bersalah. Dia tidak merebut Nugroho darinya. Dia tidak tau bahwa pernikahan itu melukai sahabatnya.
Tari kembali menghela nafas, agar sesak didadanya berkurang.
Sekarang dia siap meninggalkan meja kerjanya untuk makan siang di kantin. Tumben Janto tidak tampak sepagi tadi, apa dia tidak masuk kerja? Jangan-jangan dia sakit. Sambil berjalan kearah kantin Tari memutar nomor ponsel Janto. Lama baru dijawab.
"Tari? Ada apa? Kangen ya sama aku?"
"Iih, enggak deh.. ngapain kangen sama kamu mas."
"Buktinya kamu menelpon aku."
"Kamu dimana sih? Dari pagi aku nggak nglihat kamu.."
"Aku nggak masuk hari ini."
"Kamu sakit?"
"Sakit berat Tari."
"Sakit berat? Sakit apa?"
"Sakit cinta nih."
Tari terbahak.
"Nggak sembuh-sembuh ya penyakit bercandanya. Sudah ke dokter?"
"Belum, badanku panas dingin nih."
"Mengapa tidak ke dokter ?"
"Anterin dong..."
"Ih.. manja deh. Baiklah, nanti pulang dari kantor aku kerumah ."
Tari merasa prihatin. Janto sakit. Laki-laki baik yang sangat dekat dengannya akhir-akhir ini. Terkadang terpikir oleh Tari, apakah Janto bisa menjadi pengganti Nugroho? Tidak, Tari tidak mencintai Janto. Dia hanya menganggapnya sebagai kakak, tak lebih.
***
Sore itu Tari mengantarkan Janto ke dokter. Tari melakukannya karena tau bahwa Janto hidup sendiri. Kedua orang tuanya ada di Jakarta. Janto sudah sangat baik kepada dirinya, dan Tari tak sampai hati membiarkan Janto ke dokter sendirian. Mereka naik taksi karena Janto tak bisa menyetir mobilnya. Badannya panas sekali.
Tapi Tari sedikit lega karena Janto hanya terkena flu berat. Setelah diberikannya resep, maka Janto boleh pulang.
Mereka kembali naik taksi, tapi Tari minta sekalian mampir ke apotik, agar Janto bisa segera minum obat.
Tari turun dari taksi, dan menyuruh Janto menunggu dimobil.
Setelah menyerahkan resep, Tari duduk disebuah bangku untuk menunggu.
"Agak lama ya mbak, so'alnya obatnya ramuan," kata petugas apotik tadi.
Namun ketika menunggu itu tiba-tiba Tari dikejutkan oleh sebuah suara yang menyapanya.
"Tari."
Tari mengangkat wajahnya, dan berdebar ketika melihat Nugroho tiba-tiba duduk disampingnya.
"Siapa yang sakit Tari?"
"Temanku," jawab Tari singkat."
Bagaimanapun pertemuan itu sangat mendebarkan jantungnya.
,"Tari, aku akan menikah Minggu depan." kata Nugroho tiba-tiba.
Tari mengangguk, tapi tak mengatakan bahwa dia sudah tau..
"Selamat," katanya datar, mencoba bersikap biasa.
"Aku minta ma'af."
"Tidak ada yang perlu dima'afkan, sudahlah."
"Tari, aku masih mencintaimu," bisik Nugroho pilu.
Tari menatap Nugroho, saling pandang dengan perasaan yang tak menentu.
"Dan akan selalu mencintai kamu," lanjut Nugroho.
Ya Tuhan, mengapa dia mengatakan itu. Dan tak urung hati Tari pun bergetar. Ia juga ingin mengatakan, bahwa iapun masih mencintainya. Tapi diurungkannya.
Kemudian Tari diam, menata batinnya yang terasa mengharu biru.
"Tapi aku tidak akan membawa isteriku kemari."
"Mengapa?"
"Biar dia bersama ibuku di Wonosobo. Itu kemauan ibuku. GTadinya dia ingin ikut tinggal disini."
Diam-diam Tari merasa lega, tak harus sering bertemu Tari yang pasti juga akan mempertemukannya dengan Nugroho.
"Aku sedang membeli obat untuk ibu. Besok pagi aku pulang," kata Nugroho tenpa ditanya.
"Bagaimana keadaan ibu?" tanya Tari yang merasa tak enak kalau seakan tak perduli pada ibunya Nugroho.
"Kesehatan ibu berangsur membaik. Tadi ibu berpesan agar aku membelikan obatnya disini karena di Magelang susah dicari."
"Oh..."
"Kebetulan besok aku pulang. Dan syukurlah disini obatnya ada."
"Syukurlah."
Tari sudah tau bahwa kesehatan ibunya Nugroho berangsur membaik. Itu setelah Nugroho bersedia menikah dengan Asty. Tadi Asty mengatakannya.
"Bapak Harjanto..!" keryawan apotik memanggil nama Janto. Tari berdiri dan mendekat.
Nugroho menatap punggung Tari yang sedang mendengarkan keterangan dari petugas apotik itu. Dalam hati dia bertanya-tanya. Siapakah Harjanto? Apakah laki-laki sekantor yang dulu pernah disebut Tari sebagai atasannya? Yang sering mengantarkan Tari sepulang dari kantor?
Ketika Tari beranjak pergi, Nugroho berdiri mengejarnya.
"Tari, siapa yang sakit?"
"Kan aku sudah bilang, dia temanku."
"Yang dulu kamu bilang bos kamu?"
"Ya... sudah ya mas, kasihan dia kelamaan menunggu di taksi." kata Tari sambil berlalu.
Nugroho terus menatap Tari sampai dia naik keatas taksi. Dilihatnya seorang laki-laki duduk menunggu sambil menyandarkan kepalanya. Tampak sakit. Batin Nugroho terasa teriris.Apakah laki-laki itu sudah menggantikan tempatku dihati Tari? kata batin Nugroho.
"Tari.. aku masih mencintai kamu..." bisiknya, kemudian kembali duduk di kursi tunggu, karena obat yang dipesannya belum selesai dikerjakan. Lalu Nugroho merasa ada yang dilupakannya, ia tidak mengatakan bahwa calon isterinya adalah temannya Tari yang dulu bertemu di sebuah toko. Nugroho tak tau bahwa Tari sudah mengetahuinya.
***
"Lama sekali sih?" keluh Janto dalam perjalanan pulang.
"Obatnya ramuan, jadi agak lama."
"Kamu tadi ketemu siapa, bicara asyik sekali."
"Lagi sakit juga memperhatikan yang didalam apotik. Lagian suaramu seperti orang teler begitu. Sudah jangan banyak bicara."
"Kamu lama sekali, lalu aku melihat kearah apotik, dan melihat kamu sedang bicara dengan seseorang."
"Lamanya itu bukan karena aku bicara sama seseorang, tapi karena obatmu itu ramuan."
"Kamu kenal dia?"
"Ada apa sih nanya-nanya?"
"Aku seperti pernah melihat orang itu."
"Dia mas Nugroho.."
"Oh, pantas.."
"Pantas apanya?"
"Asyik bener."
"Dia mau menikah minggu depan."
"Kamu diundang?"
"Tidak. Sudah diam, lagi sakit banyak ngomong kamu itu. Lihat badan kamu masih panas. Dan suara kamu lemah seperti tak bertenaga begitu. Nanti sampai dirumah kamu harus makan, lalu minum obatnya. Setelah itu aku pulang."
"Mengapa tidak tidur dirumahku saja?"
"Apa? Enak saja. Masa aku harus menginap dirumah seorang laki-laki, yang hidup sendirian pula. Bisa ditangkap hansip aku."
"Aku ingin tertawa, tapi badanku lemas."
"Jangan tertawa, memangnya aku pelawak ?
***
Hari-hari terus berjalan, berganti bulan, dan setahun lebih Tari tak mendengar tentang Nugroho dan Asty. Mungkin Asty ingin menghubunginya tapi tak tau nomor kontaknya..
Sore itu Tari sehabis mandi duduk sendirian dikursi tamu depan kamar kostnya. Memandangi kembang-kembang mawar yang sedang bermekaran dikebun depan kamarnya. Pemilik rumah kost ini seorang yang menyukai keindahan. Tari kerasan karena suasananya asri dan selalu bersih.
Ia ingin mengambil gelas minuman berisi teh hangat yang tadi disedunya ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Tari berdebar, ia ingat itu mobil Nugroho. Aduh, sudah setahun lebih ia tak melihatnya, mengapa tiba-tiba datang kemari?
Tapi yang duduk dibelakang kemudi itu bukan Nugroho. Tari melihat seorang laki-laki turun dan membukakan pintu belakang, lalu seorang wanita turun, dengan menggendong seorang bayi.
Tari terpana, bukankah itu Asty ?
Tari turun kehalaman.
"Tariii..." teriak Asti sambil mendekat.
Tari menatap bayi dalam gendongan Astu. Bayi mungil yang mungkin belum genap sebulan umurnya.
"Tari, ini anakku.." kata Asty riang.
Tari menerima bayi itu ketika Asty mengulurkannya. Bayi yang menyenangkan dan menggemaskan. Namun dalam hati Tari berkata..
"Bayi yang seharusnya aku lahirkan."
Bersambung
No comments:
Post a Comment