Tuesday, June 23, 2020

MIMPI LESTARI 08

MIMPI LESTARI 08

(Tien Kumalasari)
 
"Tari, senang sekali aku. Kangennyaaa... , sudah setahun lebih kita tidak bertemu Tari," kata Asty bersemangat, sambil memeluk Tari dan menciuminya bertubi-tubi.
"Heiii... anakmu gelagapan nih.." kata Tari sambil mendorong Asty pelan. Bayi mungil itu kemudian digendongnya masuk kekamar.
"Anakmu cantik, kata Tari sambil mencium pipi  bayi mungil yang dipangkunya.
"Iya, aku namakan dia Astari, dan bapaknya tidak keberatan. Dia justru suka nama itu."
"Apa artinya Astari? Mengapa mirip dengan namaku?"
"Supaya aku bisa selalu mengingat kamu."
Tari tersenyum.
"Ini bayi masih lembut begini, mengapa sore-sore kamu ajak kemari?"
"Aku dari dokter anak, sekalian mampir."
"Sakit?"
"Tidak, hanya konsultasi saja. Aku kan baru sekali punya anak, banyak yang harus aku tanyakan."
"Kamu sudah lama disini?"
"Tidak, baru seminggu. Aku tidak jadi ikut tinggal disini karena harus menemani mertua di Magelang.  Sampai aku melahirkan disana."
Ini juga bersama mertua. Aku senang mertuaku sudah kembali sehat. Tapi beliau bilang tidak ingin lama-lama disini. Padahal aku kan lebih suka tinggal disini, dekat suami."
"Aku senang kamu bahagia Asty."
"Entahlah, aku tau bahwa suamiku sebenarnya tidak mencintai aku."
Tari tertegun, tapi ia tak mengucapkan apa-apa.
"Dulu ketika malam pertama, dia bilang bahwa dia mencintai orang lain. Hanya karena ibunya maka dia menikahi aku."
Tari membelalakkan matanya.
"Dia menyakiti kamu Asty."
"Tidak. Aku menerimanya dengan ikhlas. Memang pernikahan kami kan karena orang tua. Tapi aku sangat mencintai suamiku ."
"Sudah setahun lebih berjalan, dan sudah punya anak begini cantik, pasti cinta suamimu sudah tumbuh subur."
 
"Entahlah. Dia suka sama anaknya, tapi tidak suka sama ibunya."
"Kamu menganggapnya begitu? "
"Bagaimana sikap seorang yang mencintai, dan tidak itu kan kelihatan. Ia tidak pernah mengatakan cinta, tidak pernah bersikap mesra."
"Masa sih? Nyatanya kalian punya anak begini cantik."
"Barangkali dia membayangkannya dengan gadis yang katanya dicintai itu.," kata Asty sendu.
Tiba-tiba Tari merasa iba terhadap Asty. Dia mendapatkan tubuhnya, tapi tidak mendapatkan hatinya. Betapa itu menyakitkan.Tari merangkul Asty dengan sebelah tangannya.
"Pada suatu hari nanti cinta suamimu pasti akan tumbuh." hiburnya.
"Sudah setahun. Apalagi kami jarang bersama. Dia hanya sekali sebulan datang ke rumah ibunya di Magelang, dan ketika itulah kami bertemu. Dan walau sebulan tak ketemu, tak pernah dia tampak rindu sama aku. Dia datang, lalu aku mencium tangannya, kemudian ketika kami sudah punya anak, dia mendekati anaknya, menggendongnya. Aku bukan apa-apa. Tugasku hanya melayani dia makan, menyiapkan semua kebutuhannya, tapi kami tidak tidur bersama."
"Apa?"
"Itu benar Tari. Dia tidur diruang tamu, dan kalau ibunya menegur, katanya takut mengganggu anaknya. Ketika aku hamil, juga dia bilang takut mengganggu isteri yang sedang hamil."
Asty menghela nafas, tapi dia tetap mencoba untuk tersenyum. 

 
Ada rasa iba dihati Tari. Si ganteng yang diimpikannya ternyata tidak bisa membuatnya bahagia. Tari yakin Asty menangis dalam hati. Lalu dibayangkannya, mana yang lebih sakit, mencintai tidak bisa memiliki, atau memiliki tapi tidak dicintai?
"Tari, aku sebenarnya sudah lama ingin ketemu kamu. Tapi kalau pergi selalu harus bersama ibu mertuaku. Kami jarang kemari karena mas Nug lah yang datang ke Magelang."
"Kamu harus sabar Asty, bahagia itu pasti datang nanti."
Titik air mata Asty mendengar kata-kata penghibur dari Tari.
"Aku ikhlas menerimanya, demi orang tua kami Tari. Apalagi mertuaku sangat menyayangi aku. Itu cukup bagiku."
Tari terharu. Benarkah Nugroho masih mencintainya? Tapi alangkah tega dia mengatakannya terus terang kepada isterinya. Pasti sangat sakit mendengarnya.Dan Asty tampaknya tak tau bahwa gadis yang dimaksud Nugroho itu dirinya.  Apa yang terjadi apabila Asty mengetahuinya?
Tiba-tiba ponsel Asty berdering.
Asty mengambilnya.
"Dari ibu mertuaku.." bisiknya 
"Ya ibu... sudah.. saya sedang dirumah teman. Oh ya, sebentar lagi. Astari baik-baik saja. Iya, kami segera pulang."
Asty menghela nafas sambil memasukkan kembali ponselnya kedalam tas.

Bayi Asty merengek... Tari mengayunkannya sambil berdiri.
"Haus nih kayaknya, susukan sebentar dong, kasihan."
Asty menerima bayinya dan menyusukannya dengan mata berbinar. Bahagianya adalah ketika dekat dengan bayinya.
"Tari, jangan lupa kamu beri aku nomor kontakmu ya."
 
*** 
Malam itu Tari melamun sendiri dikamarnya. Ia mengira Asty hidup bahagia disamping laki-laki yang menjadi idamannya, ternyata tidak. Ia lebih sakit dari dirinya. Mencintai seseorang yang sama sekali tak pemperdulikannya walau menjadi suaminya.
Selama ini Tari iri padanya, iri akan kebahagiaanya. Ternyata tidak. Sekarang ia justru kasihan pada Asty yang merasa tersakiti.
Tari hampir memejamkan matanya ketika ponselnya berdering. Ia tak kenal nomor itu, jadi diacuhkannya. Ia meraih guling dan didekapnya. Rasanya kantuk sudah menyerangnya. Namun ponsel itu terus-menerus berdering. Dengan mata setengah terpejam diangkatnya.
"Hallo,"
"Selamat malam Tari," sapa itu datang dari seberang, sangat lembut dan sangat dikenalnya. Kantuk itu lenyap seketika. Itu suara Nugroho.
"Lestari Rahayu ?" Nugroho memanggilnya dengan nama lengkap. 
"Mas Nugroho ?"
"Senang kamu masih mengingat aku Tari."
"Darimana mas bisa tau nomor ini?"
"Tadi Asty dari sini bukan? Aku tau dia temanmu, dan kalau dia kemari pasti dia meminta nomor kontakmu. Aku mencarinya di ponsel dia ketika dia tidur dan ketemu. Syukurlah."
"Oh,  gitu mas, tapi aku senang mas menelpon. Aku ingin bicara sama mas."

 
"Ya aku tau, pasti kamu kangen sama aku, seperti juga aku."
"Mas, kata-kata itu sungguh tidak pantas. Aku senang mas menelpon karena aku ingin memarahi mas."
"Ingin memarahi aku? Iya silahkan Tari, aku memang bersalah. Aku menikah demi orang tuaku, tapi sumpah demi langit, aku masih tetap mencintai kamu."
"Mas Imam Nugroho, kamu telah melakukan kesalahan yang sangat besar."
"Tari..."
"Kamu memang menikah tanpa dasar cinta mas, tapi kamu tidak bisa melukai isteri kamu dengan mengatakan bahwa mas masih mencintai  gadis lain. Itu tidak benar, itu sangat kejam mas. Kalau mas sudah bersedia menikahi dia, maka mas harus mencintainya, melindunginya, menyayanginya, bukan justru membuatnya menderita."
"Tari...tapi aku tidak ingin berpura-pura. Aku ingin dia tau bagaimana perasaanku yang sesungguhnya."
"Mas sudah punya anak, bayi cantik yang menggemaskan."
"Bayi itu seharusnya lahir dari rahim kamu."
Tari tercenung. Sore tadi begitu melihat bayi itu, batinnya juga membisikkan kata-kata yang mirip dengan apa yang dikatakan Nugroho barusan.
'Bayi yang seharusnya aku lahirkan'
"Tari, apakah kamu masih sendiri?"
"Aku harus menekuni pekerjaanku, demi keluargaku."
"Aku ingin menikahi kamu Tari."
Tari terkejut bukan alang kepalang. Ponsel yang digenggamnya sampai terjatuh disamping bantal.
"Jangan gila mas."
"Aku memag gila Tari, aku tak bisa hidup tanpa kamu. Kalau kamu bersedia, aku akan bicara sama Asty. Aku sudah bilang bahwa aku mencintai orang lain," kata Nuroho enteng.
 Tari menutup ponselnya, dan mematikannya agar Nugroho tak lagi menghubunginya.
Permintaan Nugroho sungguh diluar akal warasnya. Ia sebenarnya sangat lelah, tapi sang kantuk hilang entah kemana. Hampir pagi barulah ia memejamkan matanya.
 
***
 
Tari terkejut ketika mendengar ketukan pintu kamarnya. Ia bangkit dan mengucek matanya. Lalu dilihatnya jam beker yang ada diatas meja.
"Astaghfirullah.. jam 8?"
Sementar itu ketukan dipintu terdengar semakin gencar. Tari merasa kesal. Pasti pengetuk pintu itu habis sarapan sepiring besar nasi sehingga bisa mengetuk pintunya begitu keras.
Ia membenahi baju dan rambutnya, lalu membuka pintu. Astaga, Janto berdiri diluar dengan mata melotot.
"Mas Janto?"
"Tari? Kamu baru bangun? Atau kamu sakit?"
"Tidak mas, ya.. baiklah, aku baru bangun. Tungguin sebentar."
Tari menutupkan kembali pintu kamarnya. Menyambar handuk dan lari kekamar mandi. Menyabun tubuh nya sekenanya lalu mengguyurnya beberapa gayung. Disambarnya lagi handuknya. Eit.. ia lupa menggosok gigi. Masuk kembali kekamar mandi dan menggosok gigi semuanya dengan tergesa-gesa.  Lalu masih dengan berbalut handuk Tari setengah berlari keluar dari kamar mandi. Menyambar  pakaian seragam kerjanya mengenakan sekenanya, dan juga berdandan sekenanya. Untunglah Tari tidak suka bersolek. Nah, selesai, lalu ia membuka pintu. Janto masih duduk menunggu. Ia menutup dan mengunci pintu kamarnya, lalu memasukkannya kedalam tas tangannya.
"Sudah siap?"
"Ayo mas, telat aku... aduuuh..."
"Kamu mau ke kantor pakai sandal jepit?"
Tari berhenti melangkah.
"Aduuh..." Tari membalikkan badannya lalu berlari kedepan kamar sambil merogoh kunci kamarnya.
***
Tari menghela nafas panjang ketika sudah duduk didalam mobil.
Janto menatapnya sambil tersenyum.
"Aku tadi sampai dikantor, tak melihatmu, lalu aku menelponmu, Ponselmu mati, aku khawatir kamu sakit, lalu aku ketempat kostmu, ee.. kamu masih tidur..."" gerutu Janto
"Ma'af mas.. aduh.. padahal pekerjaan menumpuk," keluh Tari.
"Kamu tidur jam berapa?"
"Hampir tidak tidur, menjelang pagi mungkin aku baru terlelap."
"Memangnya lagi mikirin apa?"
"Gila benar."
"Kamu memaki aku gila?"
"Bukan kamu, tapi dia."
"Dia siapa lagi?"
"Iman Nugroho menelpon aku."
"Haaa.. cinta lama bersemi kembali."
"Jangan bercanda mas, aku sedih sekali."
"Memangnya kenapa?"
"Sudahlah, nanti saja sa'at istirahat aku cerita. Ini sudah hampir sampai di kantor, nanti ceritanya belum selesai jadi terputus."
"Hm, baiklah."
"Mas, coba lihat, dandananku ini bener tidak sih? Tadi dandan sambil lari."
Jnto menatap Tari dan tersenyum.
"Cantik kok. Memangnya kamu biasanya dandan? Tidak kan?"
"Takutnya bedaknya berlepotan."
"Nggak ada, sudah cantik."
Tari tersenyum, sementara mobil Janto sudah memasuki halaman kantor.
"Aduuh, pasti kartu absenku merah nih," kelu Tari sambil turun dari mobil.

 
"Jangan khawatir, aku sudah memasukkan kartu kamu sebelum jam kerja."
"Ya ampun, manager personalia kok curang," ejek Tari, tapi dia senang Janto membantunya.
"Demi kamu," kata Janto sambil melangkah masuk kekantor, diikuti Tari dibelakangnya.
 
*** 
Selama bekerja di kantor itu Tari terganggu dengan panggilan pesan tingkat yang berbunyi berulang kali. Tari mendiamkannya karena dia masih sibuk bekerja. Baru ketika sa'at istirahat dia membacanya.
"Semuanya dari mas Nugroho, hanya satu dari Asty yang mengatakan bahwa sore nanti dia akan kembali ke Magelang bersama ibunya.  Tari membalasnya dengan banyak pesan yang diharapkan bisa menguatkan Asty.
Tapi pesan dari Nugroho membuatnya merinding. Ia mengulang kata-katanya semalam, bahwa dia benar-benar ingin menikahinya.  Pesan itu diulangnya berkali-kali. 
Tari menghela nafas, tapi kemudian dia mematikan ponselnya, karena khawatir Nugroho akan menelponnya sa'at istirahat tiba.
"Sudah siap makan siang?" tiba-tiba Janto muncul didepan pintu.
"Siap bos," kata Tari sambil membenahi mejanya yang masih berantakan.
***
Diantara makan siang itu Tari menceritakan pertemuannya dengan Asty, dan telpon dari Nugroho yang membuatnya tak bisa tidur. Janto mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kamu mau dijadikan isteri muda?"
"Ya enggaklah, enak aja. Bukan karena apa-apa, tapi Asty itu kan sahabatku, mana aku sampai hati merebut suaminya."
"Bagaimana kalau dia terus mengejar kamu? Tampaknya Nugroho itu orang yang nekat. Ia sudah berterus terang kepada isterinya bahwa dia mencintai gadis lain. Pasti lain kali dia akan bilang bahwa isterinya harus rela kalau dia menikahi gadis itu."
"Tidak, aku tetap tidak mau."
"Kisah kamu itu sungguh unik. Dua orang sahabat terlibat percintaan dengan seorang laki-laki ganteng, tapi keduanya tidak mendapatkan apapun yang diinginkannya."
"Maksudnya..?"
"Yang satu mencintai tapi tidak bisa memiliki, satunya lagi memiliki tapi tidak dicintai."
"Aku juga merasa seperti itu."
"Apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku justru minta pendapatmu, apa yang harus aku lakukan."
Janto dan Tari belum menyentuh makanan yang dipesannya direstoran itu. Mereka masih berbicara tentang Nugroho.
 
"Kita makan dulu saja, keburu dingin nasi rawonnya."
Tari menarik mangkuk nasi rawon didepannya, menyendoknya perlahan. Tapi pikirannya kembali kearah Nugroho. Bahagianya dicintai, tapi tidak begini caranya. Apalagi Asty adalah sahabatnya. Kasihan Asty, tidak tau bahwa yang dimaksud suaminya adalah dirinya. Kalau Asty tau, pasti dia akan sangat membencinya. Sejak awal perkenalan dengan Nugroho, Tari tak pernah berterus terang tentang Nugroho. Tapi begitu ketemu Asty, Nugroho sudah tau bahwa Asty mengenal Tari. Dan sama seperti Tari, ia juga merahasiakan hubungannya dengan Tari.
"Kasihan Asty," cetusnya pelan.
"Rupanya kamu masih memikirkan dia? Makan saja dulu, nanti kita bicara lagi."
Tari menyendok nasi rawon yang mulai dingin. Lemak yang mulai mengental membuat kuahnya kurang nikmat. Tari hanya memakannya separo kemudian minum teh didepannya yang kebetulan masih panas.
"Hm, sudah kuduga kamu tidak menghabiskannya."
"Kenyang."
Tari justru menghabiskan teh panasnya untuk menghilangkan rasa tak enak dimulutnya.
"Sebenarnya enak."
"Suasananya yang nggak enak."
"Baiklah, aku sudah selesai makan. Ayo kita lanjutkan pembicaraan kita."
"Ah, melanjutkan apanya, aku justru bingung bagaimana harus menghadapi dia."
"Aku boleh usul?"
"Katakan saja."
"Hanya satu yang bisa menghalangi dia, Tari, yaitu apabila kamu menikah."
Tari membuka lebar matanya, menatap Janto tanpa berkedip.
 
***
 Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER