MIMPI LESTARI 09
(Tien Kumalasari)
Sore itu Asty berkemas-kemas. Sore ini mertuanya mengajaknya kembali ke Magelang. Orang tua sering begitu, tidak pernah kerasan tinggal lama dirumah anaknya. Lebih suka berada dirumahnya sendiri. Bagi Asty itu tidak masalah. Dia sudah tau bagaimana sikap Nugroho, bagaimana isi hatinya.Baginya apa yang dilakukannya adalah baktinya kepada orang tuanya. Bahwa ternyata cintanya kandas dibatu keras, itu sudah disadarinya dan sudah dirasakannya sejak awal pernikahannya. Dan dia bisa menerimanya. Hidupnya adalah hidup Astari anak kandungnya, belahan jiwanya. Nugroho hanyalah orang yang kebetulan hidup bersama-sama. Bukankah cinta tidak harus memiliki? Menderitakah Asty? Tidak. Derita itu sudah perlahan dihapusnya bersama bergulungnya hari demi hari yang sudah dilaluinya.
Asty menitipkan anaknya dipangkuan metuanya ketika ia menata barang-barang yang akan dibawanya. Lalu membawa sebuah kopor besar berisi perlengkapan bayi dan pakaiannya sendiri kedepan. Dilihatnya Nugroho duduk diteras sendirian, mengotak atik ponsel entah sedang melakukan apa.
Ketika Asty mau melangkah kebelakang, Nugroho memanggilnya.
"Asty, kemari sebentar."
Asty mendekat lalu duduk didepan suaminya, karena suaminya memberi isyarat dengan tangannya agar dia duduk.
"Aku ingin bicara sama kamu."
"Ya mas.."
"Ini hal yang mungkin membuat kamu kecewa. Sebelumnya aku minta ma'af."
Asty menatap suaminya dengan hati berdebar. Apakah dia akan menceraikan aku? Bisik batinnya.Tapi Asty sudah menata hatiya. Diceraikan atau tidak, adakah bedanya? Toh dia juga tidak bisa memiliki Nugroho sepenuhnya. Hati Asty kokoh bagai tembok berkerangka besi. Tak ada rasa khawatir walau jantungnya berdebar kencang.
"Asty, aku ingin menikahi gadis itu," kata Nugroho pelan, sambil menatap Asti lekat. Bagaimanapun ia merasa bersalah dan berat harus mengucapkan itu.
Tapi tanpa diduga Asty mengembangkan sebuah senyuman. Senyuman begitu manis yang tak pernah disadari Nugroho sebagai miliknya.
"Mas Imam Nugroho, aku isteri yang mencintai suamiku. Kalau suamiku tidak bahagia, akupun juga tidak.bahagia. Jadi lakukanlah apa yang terbaik menurut mas, dan yang bisa membuat mas bahagia."
Kata-kata itu begitu tulus, muncul meluncur lancar dari bibir tipisnya. Nugroho terpana. Ia mencari air mata yang pasti akan mengambang, mewakili rasa sakit hati dan luka. Tapi air mata itu tak ada. Mata bening berbinar indah, menatapnya dengan senyum tersungging, begitu tulus.
Lalu tiba-tiba Nugroho merasa bahwa Asty telah menghempaskannya jatuh dari ketinggihan, ngilu dan sakit.
"Mengapa menatapku seperti itu mas? Tidak mempercayai kata-kataku? Apakah nada suaraku tidak menunjukkan bahwa aku tulus mengucapkannya? Tulus sampai ke dasar hatiku?"
"Asty...aku minta ma'af," kata Nuhroho dengan suara bergetar.
"Apa yang harus dima'afkan? Aku senang mas Nugroho sudah mengatakannya sejak awal pernikahan kita sehingga aku segera bisa menata batin. Aku merasa bahwa kita hidup bersama-sama, seperti aku hidup bersama orang lainnya. Ada status suami isteri tapi tidak dengan rasa apapun dihati kita."
"Kamu sangat baik.."
"Ah... bukan karena aku baik, aku melakukannya karena baktiku kepada orang tua."
"Asty, apakah kamu tau siapa gadis yang aku maksud?"
"Apakah aku perlu tau? Siapapun dia kalau itu membuat mas bahagia, lakukanlah," kata Asty sambil berdiri. Ia mendengar rengek Astari. Sa'atnya menyusukan, sebelum berangkat pulang ke Magelang.
Nugroho tercenung dikursinya. Sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa gadis itu adalah Tari, sahabat Asty, tapi urung dikatakannya karena Asty tampak tak perduli. Ia heran Asty begitu tegar mendengar suaminya ingin menikah lagi. Tak tampak luka atau sakit hati, justru senyumnya mengembang dan itu membuat Nugroho seperti terpuruk dalam angan-angannya sendiri.
***
Sore hari itu Tari sudah berada dirumah orang tuanya. Tak usah menunggu Minggu supaya bisa tidur bersama adik-adiknya.
Suasana ramai dan begitu hingat bingar, karena malam Minggu tak ada acara untuk belajar. Canda ceria memenuhi rumah kecil sederhana tapi yang penuh kasih sayang itu. Sejenak Tari melupakan kegelisahannya atas permintaan Nugroho beberapa hari yang lalu.
Tapi malam sebelum tidu r sebuah pesan singkat mengusiknya.
"TARI, BOLEHKAH AKU BICARA?"
Berdebar hati Tari. Tapi dijawabnya pesan itu.
"TIDAK BOLEH, AKU SEDANG BERADA DIRUMAH ORANG TUAKU."
Lalu dimatikannya ponselnya.
Tari menarik selimutnya, meringkuk disamping Suci yang sudah terlelap sejak tadi. Sesungguhnya hatinya memang benar-benar terusik. Ia hampir bisa mengobati sakit hatinya ketika tiba-tiba Nugroho muncul lagi dan merayunya. Aduhai.
Tiba-tiba terdengar suara ibunya yang melongok kearah kamar.
"Tari, kamu sudah tidur?"
Tari membalikkan tubuhnya.
"Belum bu, ada apa?"
"Keluarlah sebentar, ibu mau bicara."
Tari melemparkan selimutnya dan turun dari pembaringan, menghampiri ibunya yang duduk sendirian diruang tengah. Tampaknya bapaknya sudah tertidur, lelah sehabis bekerja seharian.
"Duduklah dulu."
"Ya bu, ada apa, tampaknya penting sekali?" tanya Tari sambil duduk didepan ibunya.
"Ibu tuh mikirin kamu, bekerja keras sendiri untuk membantu orang tua."
"Tidak apa-apa bu, Tari senang melakukannya. Mengapa ibu memikirkan Tari?"
"Ibu ingin kamu segera menikah."
Tari tersenyum.
"Iya bu, nanti kalau sudah ada yang mau sama Tari."
"Ini ada yang mau lho nduk."
Tari terkejut.
"Apa?"
"Kemarin ibu ketemu bu Yana. Itu,, yang rumahnya disudut kampung, kamu tau kan?"
"Ya, sudah tua sekali ya bu, bu Yana itu? Tapi masih tampak sehat."
"Benar. Anaknya bu Yana yang sulung itu kan belum menikah."
"O, mas Hartono?"
"Iya, dia sudah mapan, jadi pegawai negri pula. Bu Yana bermaksud mengambilmu sebagai menantu. Bagaimana ?"
Tari kenal sama mas Hartono. Umurnya jauh diatasnya, mungkin terpaut sampai belasan tahun. Tapi orangnya tampak cuek, tak pernah bersikap ramah kepada siapapun juga. Mungkin itu salah satu sebab mengapa dia jadi perjaka tua.
"Bagaimana Tari? Cuma saja, dia bekerjanya bukan disini, jauh dikota lain, ibu belum menanyakannya dimana."
Tari menghela nafas.
"Bolehkah Tari memikirkannya dulu? Sepertinya Tari kurang suka sama dia.""
"Kamu boleh memikirkannya, dan ibu juga tidak memaksa. Ibu cuma menyampaikan saja pesan bu Yana. Kalau tidak mau menerima ya tidak apa-apa."
"Ya bu, Tari akan memikirkannya. Cuma sebenarnya Tari belum memikirkan untuk berumah tangga."
"Kamu kan sudah dewasa."
"Belum dulu ya bu.. tapi Tari akan memikirkannya, " kata Tari sambil berdiri.
Ibunya menghela nafas panjang. Jawaban Tari menyuratkan jawaban tidak menerima, walau katanya ingin memikirkannya.
"Ya sudah, barangkali belum jodohnya," gumam ibunya lirih.
***
Pagi hari itu Tari ingin mengajak Suci kepasar. Tari ingin memasak buat bapak ibu dan adik-adiknya. Ia menunggu diteras karena Suci baru mandi.
Tiba-tiba ibunya keluar sambil membawa ponselnya yang masih mengeluarkan bunyi berdering.
"Ada telpon nduk."
Tari menerima ponselnya dan melihat siapa yang menelpon. Rupanya Asty. Tari mengangkatnya.
"Selamat pagi nyah," sapa Tari ramah.
"Tari, kamu dimana?"
"Saya dikampung, dirumah orang tuaku. Kamu masih di Solo?"
"Tidak, kemarin sore sudah bertolak ke Magelang, kan aku sudah bilang sama kamu."
"Jadi ini dirumah Magelang?"
"Malam tadi baru nyampe. Ini aku habis menidurkan anakku, lalu ingin omong-omong sama kamu."
"Oh, iya.. bicaralah, ada apa?"
"Kamu tau nggak, kemarin sore, sebelum berangkat pulang, suamiku mengajakku bicara. Dia bilang ingin menikahi gadis yang dia cintai itu."
Tari terkejut. Bahkan Nugroho sampai berterus terang mengenai hal itu pada isterinya? Sungguh keterlaluan. Pasti Asty sangat sedih.
"Asty, aku ikut prihatin ya, kamu sedih sekali pastinya."
"Tidak, aku baik-baik saja."
"Apa? Baik-baik saja? Suami minta ijin mau menikah lagi dan kamu bilang baik-baik saja?"
"Tari, aku itu sama suamiku sudah sejak awal hanya sebagai teman hidup saja. Hidup bertetangga malah, karena dia jarang menemui aku sebagai seorang suami. Jadi perasaanku biasa saja. Sungguh."
"Lalu kamu bilang apa?"
"Aku bilang sesukamu .. gitu saja. Pokoknya yang terbaik bagi dia, yang bisa membuatnya bahagia, aku persilahkan dia melakukannya."
Tari geleng-geleng kepala.
"Kamu luar biasa Asty. Sungguh suamimu sangat keterlaluan."
"Tidak apa-apa Tari, aku menelponmu bukan karena aku ingin berkeluh, tapi hanya ingin berbagi cerita saja."
"Aku ikut prihatin Asty."
"Jangan, aku baik-baik saja kok."
"Ayo mbak, aku sudah selesai," tiba-tiba Suci muncul dan sudah rapi.
"Ya, sebentar."
"Tari, kamu mau bepergian?" tanya Asty karena mendengar suara Suci.
"Cuma mau kepasar, aku ingin memasak untuk keluargaku."
"Oh, bagus Tari. Baiklah, pergilah kepasar dan masak yang enak ya, aku juga mau menyiapkan makan pagi untuk mertuaku."
"Suamimu ada kan?"
"Tidak, kami pulang bersama sopir."
"Oh.."
***
Disepanjang perjalanan kepasar itu Tari terus memikirkan pembicaraannya dengan Asty di telpon. Ia merasa Nugroho sangat keterlaluan. Ia selalu menyakiti hati isterinya. Dan itu yang Tari tidak suka. Asty sahabatnya yang sangat baik, yang diharapkannya akan hidup bahagia disamping suaminya, ternyata tidak.Tari sudah merelakannya dan hampir berhasil memupus sakit hatinya. Tapi sekarang Nugroho mengusiknya lagi.
Lalu Tari teringat kata-kata Janto, untuk menghindari Nugroho, jalan terbaik adalah segera menikah. Aduhai. Menikah dengan siapa? Ia juga teringat pembicaraannya dengan ibunya semalam, ada yang mau mengambilnya sebagai menantu. Tapi sungguh Tari tidak suka. Hartono terlalu tua untuknya. Bukan itu saja, laki-laki itu sangat aneh dan sukar bertegur sapa dengan siapapun juga. Tidak, Tari tidak mau.
"mBak, kita beli apa dulu, mengapa terus kesana, pasarnya belok kekanan," tegur Suci karena kakaknya seperti berjalan tanpa arah.
"Oh.. iya.."
"mBak Tari melamun ya ?"
"Ah, cuma memikirkan mau masak apa.."
"Katanya mau bikin ca sayur, sama goreng ayam. Kita beli sayur dulu kesana."
"Oh iya, mbak lupa."
"Mbak seperti sedang memikirkan sesuatu. Ingat sama mas Nugroho ya?" goda Suci.
"Ih, kamu ada-ada saja.."
"Ibu kemarin bulang, bu Yana mau mengambil menantu mbak Tari."
"Oh, kamu juga tau?"
"Tau, ngomongnya sama bapak, aku mendengarnya."
"Kamu nguping ya? Nggak bagus itu, nguping pembicaraan orang tua."
"Suci bukannya nguping, kebetulan lewat dan mendengar. mBak mau jadi isterinya pak Hartono?"
"Bagaimana menurutmu?"
"Jangan mbak, dia itu orang aneh, nggak pernah bertegur sapa walau ketemu tetangga. Eh mbak, cari suami yang ganteng dong, kayak mas Nugroho."
Tari hanya tersenyum.
"Ayo beli sayur dulu, itu ada brokoli segar-segar."
***
Makan siang dirumah terasa nikmat, dan juga heboh, karena adik-adik Tari dengan gembira menyantap masakan kakaknya.
"Kemarin mbak Tari gajihan ya, makanya beli ayam begini banyak?" tanya adiknya yang nomer tiga.
"Kalau ada rejeki banyak, pasti mbak Tari akan memasak yang enak buat kalian, yang paling kalian sukai. Ayam pada suka kan?" tanya Tari.
"Suka mbak, apalagi yang ada kremesnya seperti ini."
"Benar, aku juga suka," teriak yang lainnya.
"Besok-besok beli ikan ya mbak. Ikan bakar juga enak.."
"Baiklah, baiklah, semua keinginan kalian akan mbak catat semua. Nanti kalau mbak pulang lagi pasti akan mbak belikan."
"Yang enak yang dimasak mbak Tari atau ibu. Kalau mbak Suci pasti keasinan."
Adik-adik yang lain tertawa, tapi Suci mengerucutkan bibirnya, kesal.
"Tidak, masakan mbak Suci juga enak kok, Hanya saja karena kamu nggak suka asin, jadi merasa keasinan. Tapi mbak Tari suka tuh. Ya kan bu?"
"Iya, ibu juga suka."
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
Tari berdiri mengintip dari balik korden. Dan Tari sangat terkejut. Ia melihat Nugroho berdiri didepan pintu. Tari kembali dan mendekati ibunya.
"Ibu, tolong ibu keluar dan bilang kalau Tari tidak pulang ya bu?" bisik Tari cemas.
"Mengapa?"
"Tolong bu," kata Tari sambil menelangkupkan kedua telapak tangannya, memohon.
Sang ibu berdiri dan melangkah keluar. Tari menyuruh adik-adiknya diam, dan tidak ada yang keluar atau bersuara. Tari lupa bahwa rumahnya tidak begitu besar, jadi suara gaduh dari dalam pasti terdengar.
"Eeh, nak Nugroho ya ?"
"Iya ibu, lama tidak bertemu," kata Nugroho sambil mencium tangan ibunya Tari.
"Silahkan duduk nak, tapi dirumah sedang tidak ada orang."
"Oh, Tari tidak pulang?"
"Tidak nak."
"Tadi saya ketempat kostnya, tapi pintunya terkunci, saya kira Tari pulang."
Tapi Nugroho tidak lupa, semalam Tari mengatakan kalau Tari berada dirumah orang tuanya, jadi dia tau bahwa ibunya Tari berbohong. Pasti Tari yang memintanya.
"Tidak nak."
"Dimana Suci dan adik-adiknya?"
"Main barangkali, ibu tidak tau kemana. Bapak sedang tidur."
"Oh, ma'af saya mengganggu. Kalau begitu saya pamit saja bu, ini sekedar oleh-oleh untuk Suci dan adik-adiknya," kata Nugroho sambil mengulurkan satu tas besar berisi oleh-oleh.
"Tidak duduk dulu nak?"
"Terimakasih bu, lain kali saya akan bertandang lebih lama."
"Terimakasih juga sudah repot-repot membawa oleh-oleh untuk anak-anak."
Nugroho berlalu. Setelah suara mobil menjauh, barulah Tari dan adik-adiknya keluar.
"Aduh nduk, gara-gara kamu ibu harus berbohong." keluh sang ibu.
"Ma'af bu, saya memang sedang menghindari dia. Dia kan sudah menikah, tidak baik kalau masih sering menemui saya."
"Ya nduk, ibu juga setuju. Nanti kalau isterinya tau kamu akan dikira mengganggu rumah tangganya."
***
Sore sepulang kantor seperti biasa Tari ikut bersama mobil Janto. Tapi ketika mobil itu akan keluar, Tari melihat Nugroho berdiri menghadang.
Janto terpaksa menghentikan mobilnya.
"Tari, aku ingin bicara."
Aduh, nekat sekali Nugroho ini. Menemui di kost atau dirumah tak berhasil, dia nekat mencegatnya di kantor sa'at pulang kerja.
Tari memandangi Janto, seakan minta pendapat.
"Temui saja dia, maunya apa," kata Janto pelan lalu membukakan pintu otomatis untuk Tari. Tari keluar dengan hati berdebar. Nugroho menatapnya lekat.
"Ada apa mas?"
"Tari, ma'af, karena susah menemui kamu, jadi aku nekat mencegatmu disini. Di kost tdak ada, dirumah kamu sembunyi dan tidak mau menemui aku."
"Mas.."
"Kemarin aku kerumah, mendengar suara ramai adik-adikmu, dan aku juga mendengar suara kamu, tapi kamu tidak mau keluar. Jadi ma'af, aku menempuh cara ini."
"Mau apa lagi sih mas?" tanya Tari tanpa berani menatap wajah Nugroho. Si tampan ini masih memiliki tatapan memukau, dan Tari tak ingin tergoda.
"Ayo ikut bersamaku Tari, aku ingin bicara."
"Mas itu bagaimana, apa mas lupa kalau mas sudah beristeri?"
"Tari, dengar, aku sudah bicara sama Asty.."
"Tidak mas, aku sudah mau menikah."
Nugroho tercengang.
"Itu benar mas, dia calon suamiku," katanya sambil menunjuk kearah Janto yang sudah meminggirkan mobilnya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment