MIMPI LESTARI 10
(Tien Kumalasari)
Nugroho terdiam seketika. Wajahnya berubah sendu. Mata tajam itu tampak suram. Tari merasa iba dan ingin merengkuhnya. Ya Tuhan, jangan sampai hatiku luluh. Dia orang lain, bukan siapa-siapa bagiku.
Kemudian Nugroho mengangguk lemah, membalikkan badan kemudian kembali kemobilnya.
"Ya Tuhan, ya Tuhan.... dia mencintai aku sampai kehilangan akal warasnya. Semoga pernyataanku tadi membuatnya sadar bahwa dia tak harus mengingatku lagi." bisiknya pilu.
Hampir titik air mata Tari memandangnya, lalu memandangi kemana mobil Nugroho bergerak dan menghilang diantara keramaian.
Tari mengerjap-ngerjapkan matanya, agar telaga bening yang mengambang disana tak tampak lagi. Ia kembali ke mobil Janto, yang mnungguinya sambil menatapnya penuh perhatian.
Janto terus menatapnya sampai Tari sudah duduk disampingnya. Menangkap kesedihan yang tampak pada wajahnya.
"Sudah ?"
Tari mengangguk.
"Mengapa tadi kamu menunjuk-nunjuk kearahku?"
"Aku bilang, bahwa aku mau menikah sama kamu."
"Haa... apa itu hanya untuk menyingkirkan dia? Bagaimana yang sesungguhnya?"
"Apa maksudmu ?"
"Bohong itu dosa.."
"Maksudnya?"
"Bagaimana kalau aku benar-benar melamar kamu?"
Tari menoleh kearah Janto. Mencari kesungguhan pada wajahnya. Bukankah Janto suka bercanda? Tapi Janto menatap lurus kedepan, tak ada wajah lucu yang suka mengodanya dan mengejeknya.
"Kamu bercanda bukan?"
"Aku serius."
"Mas Janto ? Aku kan...
"Kamu boleh menolaknya. Tapi satu yang ingin aku ingatkan sama kamu, Nugroho akan terus mengeharmu."
Tari menghela nafas. Ia tak pernah mencintai Janto, tapi Janto sangat baik. Selalu menjaganya dan menghiburnya ketika dia sedang sedih.
"Tapi bulan depan aku akan dipindahkan ke Jawa Timur."
"Apa ?"
"Itu temmpat yang jauh. Mungkin lebih jauh dari Magelang."
Tari berfikir dan menimbang. Tak ada cinta dihatinya, tapi bukankah cinta akan tumbuh bersama berjalannya waktu? Hal terbaik unuk menghindari Nugroho ialah apabila dia segera menikah. Lalu pergi jauh? Bukankah dengan demikian Nugroho tak akan bisa mengganggunya lagi?
"Tapi kamu tidak usah memusingkan kata-kataku. Aku bukan pemerkosa. Maksudku.. pemerkosa rasamu."
***
Malam itu Tari terus memikirkan Janto. Laki-laki baik yang selalu bisa menghiburnya, membuatnya tersenyum dan tertawa dikala duka sedang melanda.
"Kamu sudah dewasa nduk, sudah sa'atnya berumah tangga..."
"Bu Yana ingin agar kamu jadi menantunya.."
"Tapi ibu tidak akan memaksa, kalau kamu tidak suka ya tidak apa-apa."
"Dia pegawai negeri, tapi kerjanya ada diluar kota."
Kata-kata ibunya terngiang kembali ditelinganya. Kata demi kata yang harus dipikirkannya. Apa dia harus menerima Hartono? Tidak, dia sama sekali tidak menarik. Bukan hanya wajahnya, tapi juga sikapnya.
Jadi akan diterimakah Janto?"
Tari memijit keningnya karena kepalanya serasa berdenyut. Pernikahan bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Ia harus menjalaninya dengan sepenuh hati. Bukan seperti Nugroho yang kemudian sama sekali tak pernah mengacuhkan isterinya.
Ah, kok Nuroho lagi?
Tari memejamkan matanya. Memeluk guling erat-erat. Tapi yang terbayang adalah wajah Nugroho. Tari benci dengan perasaannya sendiri. Wajah masam penuh kesedihan itu terbayang kembali. Wajah yang menggambarkan kekecewaannya karena Tari mengaku bahwa dirinya akan segera menikah.
"Tidak mas, pergilah jauh-jauh dari pikiranku." bisiknya lirih.
"Aku akan menikah, aku akan menikah, aku akan menikah.." ucapnya berkali-kali, berharap ia bisa segera terlelap.
***
Hari-hari berikutnya, Janto bersikap biasa saja. Ia tak mengulang kata-kata bahwa dia akan melamarnya. Dia tetap kocak dan penuh canda. Seperti tak pernah terjadi percakapan tentang pernikahan diantara mereka. Rupanya Janto membiarkan Tari memikirkannya masak-masak, dan Janto tak akan mengusiknya.
Itu membuat Tari lebih tenang. Kalau Janto bertanya sekarang, dia pasti belum bisa menjawabnya.
"Hari Minggu kamu pulang?"tanya Janto ketika mereka pulang kantor bersama-sama.
"Iya mas, sudah janji mau masak-masak lagi untuk adik-adikku."
"Perlu diantar ?"
"Tidak usah, aku mau mampir belanja dulu, nanti kalau ditungguin jadi nggak tenang."
"Baiklah."
"Kamu jadi dipindahkan ke Jawa Timur?"
"Bulan depan, mungkin akhir bulan depan, jadi masih ada waktu satu setengah bulan lagi untuk kita bisa bertemu seperti ini."
Entah mengapa tiba-tiba Tari merasa sedih. Membayangkan Janto jauh darinya, betapa akan sepi hidupnya. Siapa teman mengadu, siapa teman untuk bersandar dibahunya?
Apa sebaiknya Tari menerima saja lamaran Janto?
"Kok melamun?"
"Tidak.. "
"Sedih ya mau berpisah dengan aku?"
"Bahu siapa tempatku bersandar nanti mas?" tanya Tari berterus terang.
"Nanti juga pasti ada."
Tari agak kesal dengan jawaban Janto. Dia seakan tak lagi mengingat akan lamaran terhadapnya. Tak sekalipun mengingatkannya juga. Apa dia bersungguh-sungguh?
"Nanti kalau pulang akan ada yang aku bicarakan sama bapak dan ibu."
"Tentang apa?"
Tiba-tiba Tari merasa malu kalau harus berbicara tentang lamaran Janto.Sesungguhnya dia sedang memancing Janto agar kemudian Janto menebak bahwa dirinya akan bicara tentang lamarannya.
"Ada yang melamar aku dikampung," tiba-tiba Tari ingin memanas-manasi Janto.
Tapi jawaban Janto sungguh membuatnya kesal.
"Haaa... aku senang."
"Mengapa kamu yang senang ?"
"Kalau kamu senang, aku juga senang.."
"Tapi aku tidak senang."
"Lho, mengapa? Apa dia tidak tampan? Sudah tua? Duda? Atau kamu mau dijadikan isteri muda?"
Tari merengut. Ia menatap kedepan, tak menjawab sepatah katapun. Ia ingin melihat Janto cemburu, tapi tak terlihat rasa itu.
"Kok tiba-tiba cemberut."
Tari tak menjawab. Ia bahkan tak berbicara apapun sampai ketika Janto mwnurunkannya didepan rumah kostnya.
***
Tapi pagi harinya Janto malah menjemputnya.
"Mengapa kemari?"
"Menjemput kamu, takut kamu bangun kesiangan, ternyata sudah dandan cantik."
"Hm.. sudah lama aku cantik, " kata Tari dengan cemberut. Ia masih merasa kesal.
Janto tertawa.
"Mengapa ya, hari ini senyumnya menghilang?"
"Ayo mas, berangkat, keburu telat."
"Tidak, masih jam tujuh. Kita makan pagi dulu di Nonongan."
"Nasi liwet?"
"Iya. Ayo berangkat."
Tiba-tiba Tari teringan Nugroho lagi. Kencan pertamanya adalah di nasi liwet Nonongan. Begitu menyenangkan ketika itu. Karena Tari baru menemukan cinta pertamanya.
"Bagaimana kalau tidak nasi liwet?"
"Aku ingin sekali nasi liwet. Kamu harus mau, jangan sampai membuat aku kecewa sebelum kepergianku."
Tari tak bisa apa-apa selain menurutinya. Mengapa ingatan terhadap Nugroho selalu saja ada.
***
Dan Janto membawnya kepada penjual nasi liwet yang sama. Padahal ada beberapa penjual disepanjang jalan itu.
Ketika mereka sudah duduh di tikar, penjual nasi liwet itu menatap wajahnya lekat-lekat.
"Saya seperti pernah melihat mbaknya ini."
Tari tak mengacuhkannya.
"Pernah makan disini kan mbak?"
"Ah, lupa bu, iya barangkali."
"Aku mau sama ampela ati bu," kata Janto.
Tuh kan, ini juga membawa ingatannya kearah Nugroho lagi. Siapa yang menyuruh Janto datang kemari, kemudian pesan ampela ati seperti Nugroho ketika itu.
Tapi kali ini Tari tak mengingatkannya bahwa ampela ati bisa memicu kolesterol tinggi.
"Aku ayam suwir saja bu."
Diantara makan itu Janto selalu menatap Tari.
"Ada apa sih, melihat aku seperti itu?"
"Aku heran kamu tidak tampak gembira sejak pulang dari kantor kemarin."
"Sedih, kan mau kamu tinggalkan?"
"Ah, yang benar..."
Tari menghabiskan nasi liwetnya, lalu membuang pincuk bekas wadah nasi liwet itu ketempat sampah yang disediakan.
"Sudah? Nggak nambah?"
"Tidak mas, sudah sa'atnya ke kantor."
Janto membayar jajanannya lalu menggandeng Tari masuk ke mobilnya.
***
Minggu itu Nugroho pergi ke Magelang. Entah mengapa dia sangat rindu akan anaknya. Barangkali sedih dan kecewa karena Tari mau menikah, membuatnya sepi dan merasa tak memiliki siapa-siapa. Tadinya dia berharap Tari akan menerimanya. Apalagi Tari kan sudah mengenal Asty, dan Asty tidak menolak seandainya dirinya amennikah lagi.
Tapi semua itu sudah buyar dengan perkataan Tari bahwa dia akan segera menikah.
"Aku memang gila," bisiknya sambil terus memacu mobilnya.
"Astari... bapak kangen."
Dan ketika memasuki halaman rumah ibunya di daerah Plengkung, wajah Nugroho berseri-seri. Dilihatnya Asty sedang menggendong anaknya diteras.
Begitu mobil berhenti, Nugroho bergegas turun kehalaman dan mendekati Asty serta anaknya. Tapi begitu tangannya terulur untuk menggendong anaknya.. Asty mundur kebelakang.
"Mas, cuci kaki dan tanganmu dulu baru boleh menjamah anakmu."
"Oh, iya..." kata Nugroho yang kemudian bergegas kebelakang.
Didengarnya ibu mertuanya menyambut Nugroho dengan gembitra.
"Dengan siapa le?"
"Sendiri bu, seperti biasa. Nug mau ke kamar mandi dulu bu."
"Benar, tidak boleh memegang anakmu sebelum cuci kaki tangan sampai bersih."
Asty masih berdiri di teras. Ia tak perlu menyiapkan minum bagi suaminya karena mertuanya pasti sudah menyuruh pembantu untuk melakukannya. Ia terus saja menggendong Astari dan menciuminya ber-kali-kali.
"Bapakmu datang nak, bergembiralah," bisiknya.
Seperti mengertiu Astari mengerjapkan matanya dan tersenyum merekah.
Gemas Asty memciuminya lagi berkali-kali.
Ketika Nugroho mendekat, Asty kemudian beranjak kebelakang, barangkali ada yang harus dilakukannya. Lagi pula ia tak perlu menemani suaminya karena selamanya dia tak merasa dibutuhkannya.
Tapi kemudian Nugroho menahannya.
Asty, duduklah dulu.
Asty duduk. Kembali dadanya berdebar. Apakah suaminya akan mengatakan kapan akan menikah lagi, atau bahkan sudah menikah, lalu ingin mengajaknya pulang kerumah ini?
"Ada apa?" tanya Asty datar.
"Aku hanya ingin bercerita."
"Oh, tentang pernikahan mas?"
"Tidak, dia menolaknya."
"Lalu, apa yang akan mas lakukan?"
"Tidak ada, aku terima keputusannya."
Asty terdiam. Pemberitahuan itu dirasanya tak begitu penting. Tapi ia enggan berkomentar.
"Dia gadis yang baik."
"Ya, tentu saja, dan itu sebabnya kamu tergila-gila bukan?" katanya tanpa nada sakit hati.
"Asty, kamu pasti mengenal dia."
Asty mengerutkan keningnya. Di Solo siapakah gadis yang aku kenal dan kira-kira dekat dengan suamiku? Kata batinnya.
"Aku mengenal dia jauh sebelum kita menikah. Kami saling jatuh cinta, kemudian terputus karena aku harus menikahi kamu."
"Oh, kasihan gadis itu. Tapi aku mengenalnya?"
"Dia, Lestari Rahayu."
Asty hampir terjatuh dari tempat duduknya karena dia hanya meletakkan pantatnya diujung kursi, berharap tak akan lama berbicara dengan suaminya.
"Tari ?"
Nugroho mengangguk. Kali itu Asty merasa sedih dan marah. Sedih karena telah merusak kebahagiaan sahabatnya, marah karena Tari tak pernah berterus terang padanya.
***
Tari sibuk memasak didapur bersama Sugi. Berkali-kali adik-adiknya menengok kebelakang, karena mencium harum masakan dari arah dapur.
"Belum masak ya mbak?"
"Sebentar, kamu nih, memangnya sudah sangat kelaparan?" tegus Suci sambil merengut.
"Iih, mbak Suci galak... Kabuuuuurrr...." teriak salah satu adiknya diikuti yang lain, sambil tertawa-tawa gembira.
"Sudah Suci, angkat saja ikannya, dan langsung tata dimeja."
"Ini sudah matang?"
"Ya sudah, kan sudah kering begitu, nanti gosong kalau dilanjutin."
"Oke..." kata Suci gembira.
Hari Minggu adalah hari-hari yang menyenangkan, apalagi ketika Tari pulang kerumah dan memasak buat keluarganya.
"mBak.. bagaimana dengan lamaran bu Yana?"
"Sst.. apa sih kamu itu, tiba-tiba menyinggung bu Yana," tegur Tari.
"Sebenarnya aku berharap, mbak tidak menerimanya. Sunggu orang itu tidak menyenangkan. Kalau cari suami itu harusnya seperti mas Bugroho."
"Ssst, diam Suci, disuruh mengentas ikan kok malah ngomong yang enggak-enggak."
Suci memeletkan lidahnya, sambil menata ikan yang sudah dientasnya dari penggorengan.
"Tapi bener lho mbak, jangan sama anaknya bu Yana," kata Suci berkali-kali.
"Tenang saja..." kata Tari sambil tersenyum.
Suci menata piring dan semua perlengkapan makan, sambil bersenandung. Senang mendengar jawaban kakaknya.
Tiba-tiba didengarnya suara mobil berhenti didepan rumah. Lalu suara ibunya menyapa tamu.
"Ya ampuun, nak Janto.. ayo silahkan masuk, lagi pada didapur tuh."
Tari mengentas sayur lalu diletakkan dimeja, kemudian menjenguk keluar. Benar, Janto yang datang.
"Tari, aku datang mau sekalian mencicipi masakan kamu," teriak Janto dari luar."
"Iya nak, kebetulan sa'atnya makan, silahkan masuk."
"Terimakasih bu."
"Tari, sudah selesai masaknya? Ini, ajak nak Janto makan sekalian."
Tari meninggalkan dapur sambil beroesan pada adiknya.
"Suci, tambahkan satu piting untuk mas Janto."
"O, mas Janto? Jangan-jangan mbak pacaran sama dia," seloroh Suci.
"Ssst..."
Tapi tiba-tiba ponsel Tari berdering. Ya ampun, Asty sangat rajin menelponnya.
"Hallo Asty.."
"Tari, kamu itu keterlaluan !!"
Tari terkejut, nada suara Asty sangat tidak enak didengar. Ada apa nih?
"Asty, aku salah apa?"
"Ternyata pacarnya mas Nugroho itu kamu! Mengapa kamu tidak berterus terang Tari, kamu jahat! Aku benci sama kamu Tari."
"Asty.. "
"Baru tadi mas Nugroho datang dan mengatakan semua itu."
"Ma'af Asty, aku hanya tak ingin melihat kamu terluka."
"Sekarang ini, aku mau kamu menerima mas Nugroho menjadi suamimu."
Tari berjalan kearah teras, memegang sandaran kursi lalu duduk dengan tangan gemetar.
"Apa maksudmu?"
"Aku mau kamu menerima lamaran mas Nugroho Tari!"
Mana Mungkin Tari menerimanya?"
"Tidak Asty, aku sudah mau menikah."
"Kamu bohong !"
"Tidak, ini, calon suamiku ada disini. Mau bicara sama dia?"
Janto yang duduk didepan Tari memelototkan matanya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment