MIMPI LESTARI 11
(Tien Kumalasari)
Begitu ponsel ditutup, Janto menatapTari dengan wajah merengut.
"Jelek ya kalau lagi merengut," goda Tari.
"Memang aku jelek, dan itu sebabnya aku gak boleh melamar kamu.Bisanya cuma jadi tameng melulu," keluh Janto.
Tari tersenyum.
Sesungguhnya Tari bukan tak mau menjadi isteri Janto. Memang sih, dia tidak cinta, tapi Janto itu kan baik, sangat memperhatikan dan teman yang menyenangkan. Dan kalau Janto benar benar cinta sama dia, tak apa, bukankah lebih baik dicintai daripada mencintai? Itulah sebabnya dia tak segan-segan menjadikan Janto sebagain tameng ketika Nugroho masih nekat mendekatinya, dan ketika Asty juga ingin menjadikannya madunya. Ahaaii... enakkah hidup di madu? Jadi Janto sekarang menjadi pilihan hidupnya. Tapi Tari kesal karena Janto seperti tak bersungguh-sungguh. Perkataan itu seperti tak berlanjut, hanya main-mainkah? Itulah sebabnya Tari bermaksud memancing-mancing.
"Boleh kok, ayo makan dulu.. nanti tambah jelek," kata Tari sambil menarik Janto kebelakang. Dimeja itu sudah duduk bapak ibunya Tari dan suci, sedangkan keempat adiknya yang lain duduk dikursi yang berjajar, agak jauh dari meja itu, karena meja makannya tak begitu besar.
"Silahkan nak Janto..."
Janto duduk ketika Tari menarikkan kursi untuknya.
"Seperti tamu agung saja," kata Janto sambil tersenyum.
"Ini masakan Tari dan adiknya, silahkan dinikmati nak.. jangan sungkan.."
"Terimakasih bu.."
Tari menyendokkan nasi ke piring Janto.
"Aku lagi belajar melayani suami nih," kata Tari sambil melirik Janto.
Gemas karena pancingannya tak pernah mengena, Tari lebih berani lagi melemparkan umpan.
"Hm... kali ini buat belajar..." kata Janto sambil menyendok sayur asem yang sudah sedari tadi diliriknya.
Tari duduk dengan wajah masam. Tapi dia senang melihat Janto makan dengan lahap.
"Ini masakanku, apakah aku sudah pantas menjadi isteri?" celetuk Tari lagi ambil berjanji dalam hati, kalau ini tak mengena dia akan menjatuhkan bom berukuran besar didepannya..
"Sungguh beruntung siapapun yang akan menjadi suami kamu Tari," kata Janto sambil menyendok lagi sayur asemnya.
Suci menatap keduanya, yang bicaranya dirasa anah tapi lucu. Inikah calon suami kakaknya? Cakep sih, cuma agak ceking, tapi itu tak masalah, ganteng juga kok. Batin Suci sambil mengangguk angguk.
"Mengapa kamu mengangguk-angguk Suci?"
Suci terkejut, rupanya Tari memperhatikannya.
"Ini... enak.." jawab Suci sekenanya sambil menyuapkan nasi kemulutnya.
Ketika bapak ibunya menemani Janto duduk santai diteras, Suci keluar dengan membawakan minuman segar.
"Ini jus jambu buatan sendiri," kata Tari, kemudian ikut duduk diantara mereka.
"Hm, segar.." kata Janto yang tanpa malu-malu meraih gelas jus itu sebelum dipersilahkan lalu menyedotnya perlahan.
Tiba-tiba Tari merasa bahwa Janto harus segera berterus terang apa maunya. Apakah dia cuma bercanda? Sekarang Tari ingin membuktikannya. Ini bom terakhir yang setelah ini Tari tak akan lagi mengacuhkannya.
"Bapak, ibu.. beberapa hari yang lalu mas Janto pernah mengatakan bahwa dia ingin melamar Tari."
Janto terkejut. Kedua orang tua Tari menetap Janto penuh pertanyaan. Mengapa justru Tari yang mengatakannya? Apa anak muda itu pemalu?
Tari menatap Janto dengan senyum kemenangan. Kali ini ia akan membuat Janto mengatakan keinginan yang sebenarnya. Seriuskah dia, atau hanya bercanda.
"Katakan mas, apa kamu bersungguh-sungguh atau hanya bergurau. Ini didepan ayah ibuku."
Janto melotot kearah Tari, tapi kemudian tersenyum ketika melihat ayah ibunya Tari menatap kearahnya.
Tari tersenyum ketika Janto terlihat berusaha mengucapkan sesuatu tapi belum juga diucapkannya. Kedua tangannya saling menggenggam, mungkin untuk menenangkan batinnya.
"Tari, kamu ini omong apa, kalau nak Janto tidak ingin mengatakannya, mengapa kamu mengganggunya?" tegur sang ayah.
Malu merasa ditembak mati, Janto kemudian menatap kedua orang tua Tari berganti-ganti.
"Bapak, ibu.. apa yang dikatakan Tari itu benar. Saya ingin melamar Tari, dan ma'af, belum sempat mengutarakannya sebelum ini."
Ini acara melamar yang sedikit aneh. Mungkin hanya Tari yang menciptakannya.
Bapak dan ibunya menatap Tari, mencari jawab.
"Bagaimana Tari?" tanya sang bapak.
"Tari akan menurut apa kata bapak sama ibu. Kalau bapak mengijinkan, saya menurut saja."
"Artinya kamu bersedia?"
"Sebentar pak, apa mas Janto bersungguh-sungguh?" tanya Tari sambil menatap Janto.
"Bagaimana nak?"
"Saya bersungguh-sungguh pak."
"Itulah, mengapa nak Janto belum melakukannya, justru Tari yang mengatakannya? Tari, itu tidak pantas." tanya sang ibu dengan tatapan menegur kepada anak gadisnya.
"Ibu, ma'afkan Tari. Mas Janto itu kan pemalu. Dia punya mau tapi tidak berani mengatakannya, Tari capek menunggunya bu."
Janto menatap Tari dengan mata penuh ancaman. Tapi Tari tidak menghilangkan senyumnya.
"Tapi bapak, ibu, Janto di dua bulan kedepan akan pindah ke Jawa Timur. Kalau tidak keberatan kami minta agar bisa menikah secepatnya, karena Tari akan saya bawa ke Jawa Timur juga." kata Janto tegas. Ini pembicaraan diluar rencananya. Apa terlalu tergesa-gesa?
"Oh, Jawa Timurnya mana nak?"
"Pasuruhan bapak."
"Jauhnya..." keluh sang ibu.
"Tidak bu, Tari akan sering datang kemari setiap ibu merindukan dia," kata Janto.
Siapa mengira, tembakan Tari kemudian sudah mengarah kearah pernikahan dan rencana membawa Tari serta ke tempat kerjanya yang baru.
Ini sama sekali tak diduga Janto.
***
Tapi ketika siang kari sepulang dari Kantor, Janto melampiaskan kekesalannya pada Tari.
"Kamu tuh ya, pintar-pintarnya menjatuhkan namaku didepan bapak ibumu."
"Kok bisa?"
"Masa kamu bilang karena aku pemalu.. ya jatuh dong namaku didepan orang tuamu.."
Tari justru tertawa keras.
"Kok tertawa sih.. "
"Habis... kamu ngomong seperti nggak serius, aku jadi penasaran..."
"Kamu yang nggak serius.. pakai ngomong sudah ada yang ngelamar kek.. terus aku dipakai tameng berkali kali. Didepan Nugroho.. bilang mau nikah sama aku, ditelpon Asty demikian juga..jadinya aku tuh merasa hanya sebagai tameng."
"Baiklah, kalau menyesal.. nggak jadi juga nggak apa-apa.." kata Tari cemberut.
"Aku sebenarnya bingung."
"Kenapa bingung?"
"Takut kalau kamu menolak.. jadi aku tidak berani meneruskan niat itu."
"Padahal aku menunggu.."
"Benarkah?"
"Ya sudah kalau nggak percaya."
"Kemarin itu bicaranya jadi nggak karuan. Melamar tiba-tiba, bicara pernikahan tiba-tiba, sungguh aku bingung. Aku kesal sama kamu, jadi pengin.....
"Pengin apa?"
"Nggak jadi, paling kamu nanti bilang 'bukan muhrim'... ya kan?"
***
Pernikahan tak harus dibarengi suasana pesta meriah. Itu bukan keinginan Tari, lagi pula orang tuanya bukan keluarga kaya. Kalaupun Janto punya uang, lebih baik untuk bersiap-siap pindah ketempat kerjanya yang baru.
Tari sudah mengajukan surat resign dari tempat kerjanya. Ada yang sudah menduga kalau Tari bakalan menikah sama Janto melihat kedekatan mereka, tapi ada yang terkejut karena keduanya tampak biasa-biasa saja dalam bergaul.
Seminggu sebelum perpindahan Janto, mereka menikah. Hanya dihadiri oleh keluarga dekat dan teman-teman sekantor.
Tari mengundang Asty, hanya untuk meyakinkan sahabatnya dan suaminya itu, bahwa dia benar-benar tak boleh diganggu lagi.
Tapi Asty tidak datang. Mungkin Nugroho melarangnya, atau memang tidak bisa dengan alasan anaknya masih terlalu kecil.
Tapi Tari bersyukur. Ia sungguh tak ingin bertemu Nugroho lagi, dan ingin menghapusnya dari ingatan, walau cinta itu masih ada. Aduhai.. susahkah menghilangkan rasa cinta?
***
"Sebenarnya aku ingin datang di pernikahan Tari," kata Asty ketika Nugroho pulang.
"Anakmu masih kecil, tidak baik diajak bepergian jauh."
"Ya, tapi aku harus minta ma'af sama kamu mas."
"Minta ma'af untuk apa?"
"Sebenarnya aku tak ingin menghalangi kamu menikahi Tari."
"Tidak apa-apa, lupakanlah."
"Aku juga sudah meminta Tari untuk menerima kamu, tapi Tari sudah menemukan jodohnya. Kamu harus bisa menerimanya."
"Tentu saja, ya." jawaban singkat Nugroho menggambarkan bahwa ia tak ingin membicarakan tentang Tari. Bahwa cinta itu tetap melekat dihatinya, Nugroho menyimpannya erat-erat. Itu cinta sejatinya, yang tak akan pernah dilupakannya. Ia menyesali apa yang telah dilakukannya, tapi Asty selalu mengingatkan bahwa menyenangkan orang tua itu adalah perbuatan yang mulia."
"Kamu wanita yang baik Asty, aku merasa berdosa sama kamu."
"Tidak usah merasa berdosa, kita sama-sama berkorban demi orang tua. Tapi kita harus ikhlas melakukannya.
Nugroho mengangguk. Sore itu ia merasa bisa bercakap dengan santai bersama isterinya. Selama ini ia selalu bersikap acuh tak acuh, dan jarang sekali bicara.
"Mas tidak usah terlalu menyesali apa yang telah kita lakukan. Ini lebih baik, bukankah kita berteman?"
Berteman, istilah yang sangat apik. Suami isteri baru bisa berteman. Nugroho tersenyum, menatap isterinya lekat. Baru sore ini Nugroho mengerti betapa isterinya sangat cantik. Wajah oval dengan alis tebal, hidung mancung dan mata bening dengan bulu mata lentik. Bibir tipisnya mengucapkan kata-kata yang meluncur bagai nyanyian dari negeri diatas langit. Nugroho menatapnya tak berkedip.
"Mengapa kamu menatap aku seperti itu?"
"Tidak apa-apa, kamu cantik."
Asty berdebar. Setahun lebih menikah, baru sekali ini suaminya mengatakan bahwa dia cantik. Apa karena cintanya pada Tari telah kandas lalu berpaling kepadanya? Asty tak ingin bermimpi. Ia tak menampakkan wajah senang mendengar pujian itu, walau debar jantungnya berdegup cukup keras.
"Asty, anakmu bangun," teriak mertuanya dari dalam membuyarkan debar yang semula tak bisa ditahannya.
Asty bergegas masuk, mendekati anaknya yang sedang merengek dikamar.
"O.. sayang, kamu ngompol?" Asty mengangkat tubuh anaknya, menggantikan popok basahnya. Tangis bayi itu mereda, tapi mulutnya seperti mencari-cari. Asty tersenyum.
"Kamu haus sayang ?"
Asty mengangkatnya dan memangkunya ditepi pembaringan, lalu mulai menyusukannya.
Dengan lahap sang bayi mungil itu menyedot susu dari puting ibunya.
Asty mengelus kepalanya lembut, dan tersenyum memandanginya penuh cinta.
Asty terkejut ketika tiba-tiba melihat Nugroho sudah ada dikamar itu.
Asty buru-buru menutupi dadanya.
"Mas, keluarlah, anakmu sedang menyusu."
"Memangnya kenapa? Bukankah aku suamimu?"
Asty berdebar. Apakah dunia sedang terbalik ?
Nugroho bahkan kemudian duduk disamping Asty sambil mengelus kepala anaknya. Asty gelagapan.
"Nanti aku mau tidur dikamar ini, diluar dingin."
"Auuw... !" Asti menjerit.
"Kenapa?"
"Ini... dia menggigitku," katanya berbohong, padahal dia terkejut akan kata-kata suaminya.
***
Malam itu Suci tampak sedih, karena kakaknya sudah diboyong kerumah Janto. Ia termenung sendirian diteras. Besok hari Minggu, tak akan ada lagi yang datang lalu mengajaknya masak berramai-ramai. Ini masih di Solo, kalau besok Janto sudah mengajaknya ke Jawa Timur, belum tentu bisa sebulan sekali bertemu.
"Suci, kok belum tidur ?"
"Ibu, kok ibu juga belum tidur ?"
"Baru saja ibu menyelesaikan jahitan Bu Nani, besok mau diambil."
"Ya sudah, sekarang ibu istirahat saja."
"Kamu sedang apa? Melamun ?"
"Tidak bu, habisnya besok hari Minggu, Suci libur belajar juga."
"Tak biasanya kamu melamun disini. Memikirkan kakakmu kan?"
"Iya bu, mBak Tari bakalan jauh dari kita. Besok hari Minggu, biasanya kami masak-masak bersama."
"Kamu sudah banyak belajar memasak dari kakakmu, besok masak dibantuin ibu ya?"
"Iya bu.."
"Sekarang tidurlah. Ada sa'at dimana kita harus melepaskan keluarga satu demi satu. Besok kalau kamu menikah, pasti juga akan meninggalkan bapak, meninggalkan ibu dan adik-adikmu. Ya kan?"
"Besok kalau Suci menikah, ibu akan Suci bawa."
"Enak saja, kasihan bapakmu sama adik-adikmu dong," kata ib unya sambil tertawa.
"Dengar Suci, sa'at itu pasti akan tiba. Ketika sepasang orang tua kemudian melepaskan anak-anaknya untuk membangun sebuah keluarga baru. Dan itu harus kita terima."
"Pasti besok bapak sama ibu akan kesepian."
"Itu benar, tapi kalau anak-anak apalagi cucu.. bisa hidup bahagia, bapak ibu pasti juga akan bahagia. Masalah sepi itu kan sudah kodratnya alam nduk."
"Kalau begitu Suci tak mau menikah, supaya tak usah meninggalkan bapak sama ibu."
"Hush, tidak baik berkata begitu. Kalau sudah sa'atnya kamu akan jatuh cinta kepada seorang laki-laki, kemudian kamu akan menikah dan harus meninggalkan rumah ini."
"Hm, jatuh cinta? Seperti apa ya jatuh cinta itu?"
"Nanti kamu akan merasakannya. Sekarang ayo tidur, sudah malam."
"Oh ya bu, minggu depan kan mbak Tari pindahan ke Jawa Timur, apa kita boleh ikut?"
"Ibu belum tau, terserah masmu Janto, bisa mengajak kita apa tidak."
***
Ini hari pertama Tari tinggal dirumah Janto. Banyak yang harus dibenahi. Rumah bujangan tidak mungkin rapi. Banyak kotoran teronggok di bak cucian. Banyak piring kotor belum sempat dicuci, lalu letak barang-barang yang ditata sembarangan.
Janto sedang pergi ke kantor mengurus surat-surat sebelum penugasannya ke daerah lain.
Ada foto keluarga bapak ibunya Janto tertempel didinding, terletak miring. Aduuh.. Tari harus mengambil bangku untuk memanjat supaya bisa membenarkan letak foto itu.
Orang tua Janto hanya datang sehari ketika mereka menikah, karena ayahnya tak bisa meninggalkan perusahaannya di Jakarta. Janto sendiri tidak mau bekerja di perusahaan ayahnya karena ingin mendapatkan penghasilan dari keringatnya sendiri. Orang tuanya sedikit kesal, tapi tak bisa memaksa kehendak anaknya. Hanya kakak Janto paling tua yang mau membantu di perusahaan itu.
Hampir setengah hari Tari membenahi rumah suaminya. Lalu dia ke dapur, membuka kulkas yang hanya berisi air dan minuman instan,
Tari ingin memasak. Adakah tukang sayur disekitar dirumah ini?"
Tari berganti pakaian, lalu bergegas keluar rumah. Tukang sayur tak ada, pasarnya jauh entah dimana. Tari memasuki supermarket terdekat yang menjual beberapa macam sayuran dan ikan. Ia memilih beberapa yang akan dimasaknya, dan bumbu-bumbu yang dibutuhkannya, lalu pulang.
"Memasak di rumah sendiri ternyata terasa nikmat. Tari membuat sup ayam dan perkedel, menggoreng tahu, dan sambal. Barangkali itu cukup. Dua jam lamanya dia berkutat didapur, kemudian menatanya di meja makan.
Tari keluar dari rumah, bejalan masuk dan mengamati apa yang terlihat kurang sempurna. Kursi tamu dengan taplak bersih, foto-foto keluarga terpampang rapi, meja kursi mengkilat tanpa debu. Lalu ia memasuki kamar. Seprei bersh, meja dan almari bersih. Tari membuka almari, dan tersenyum lega. Dia sudah merapikan semuanya. Kamarnya juga sudah harum, karena Tari menyemprotnya dengan pengharum yang lembut. Ada bunga plastik yang semula berdebu, Tari sudah mencucinya dan menatanya dengan cantik.
"Besok akan aku gantikan dengan bunga segar yang wangi," gumamTari
Lalu dia keluar, memeriksa kamar mandi yang sudah mengkilat karena disikat. Lalu kedapur, menata panci dan piring yang semula berantakan. Kemudian ke ruang makan. Hm, apa yang dimasaknya sudah ditata rapi. Tari meletakkan dua piring didepan dua buah kursi yang berhadapan. Tampaknya semua sempurna.
Lalu Tari pergi mandi. Ketika suaminya pulang dia harus wangi. Pastilah dia berkeringat karena bekerja merapikan rumah hampir seharian.
***
Janto turun dari mobilnya sehabis dari kantor. Melangkah kedalam rumah dengan perasaan nyaman. Ia merasa memiliki rumah yang baru. Ada harum menyeruak disetiap ruang yang dia masuki. Lalu harum masakan diruang makan.
Janto tersenyum, mencari dimana isterinya berada.
Ia memasuki kamar dan terpana. Kamar itu sungguh sudah rapi, dan wangi. Tari sudah selesai berganti pakaian setelah mandi. Janto mendekat dan nyaris mencium pipinya.
"Mandi dulu dong mas... !" kata Tari sambil mendorong tubuh suaminya.
"Tapi aku tak sanggup melihatmu begitu."
Janto melepas sepatunya, melepas baju kerjanya, dan begitu saja menggendong Tari lalu membaringkannya.
Tari meronta.
"Mas Janto jorok! Belum mandi! Bau !!"
Tapi Janto tak perduli. Sore itu mungkin terasa gerah, tapi ada nada-nada indah bergaung disetiap sudut kamar.
***
Janto menikmati makan sore itu dengan lahap. Tari senang melihatnya.
"Masakanku enak ?"
Tapi Janto tiba-tiba mengatakan hal yang tidak diduganya.
"Apakah kamu tadi membayangkan sedang bercumbu dengan Nugroho?"
Tari terkejut. Menatap Janto dengan marah.
Bersambung
No comments:
Post a Comment