LESTARI PUNYA MIMPI 12
(Tien Kumalasari)
Tari kehilangan selera makannya. Ditelungkupan sendok garpunya pertanda dia tak ingin melanjutkannya.
"Tari, kok nggak dihabisin ? Enak lho masakanmu."
Tari tak menjawab, langsung berdiri meninggalkan meja makan sambil membawa piring yang masih berisi sebagian makanan. Ia membuangnya ketempat sampah kemudian mencuci piringnya.
Janto melanjutkan makan, seperti tak sadar apa yang membuat Tari bersikap seperti itu.
Tari sibuk membersihkan dapur, lalu ketika melihat Janto selesai makan kemudian dia membawa piring-piring kotor dan merapikan kembali meja makan .
Janto melangkah kedapur, melihat Tari mencuci piring, kemudian mendekapnya dari belakang.
"Mengapa kamu marah? Tidak bolehkah aku bertanya seperti itu? "
Tari meronta, sehingga pegangan Janto terlepas.
"Jangan marah Tari, aku bertanya begitu karena aku sesungguhnya meragukan cinta kamu sama aku."
Tari membalikkan tubuhnya, menghadapi Janto dengan sinar mata kesal.
"Pertanyaan itu tidak seharusnya kamu ucapkan.Jangan bicara lagi so'al cinta. Aku sudah bersedia menjadi isteri kamu, dan aku sepenuhnya milik kamu. Tapi bukan berarti kamu boleh melukai aku seenak kamu ngomong."
Tari melanjutkan mencuci piring, lalu berlari masuk kekamar, ia menangis disana.
Janto memburunya, lalu merebahkan dirinya disamping Tari.
"Tari jangan marah... ma'afkan aku ya."
Tari menutupi wajahnya dengan bantal, lalu Janto merenggut bantal itu.
"Tari, aku berjanji tidak akan mengulangi lagi. Ayo tersenyumlah," kata Janto sambil mengusap pipi Tari lembut.. lalu menyentuh bibirnya.. matanya..
Sebenarnya Tari adalah pema'af yang luar biasa.
Mungkin Janto tak sadar melakukannya, dan berkata begitu karena ada rasa cemburu mengingat Tari dulu begitu mencintai Nugroho. Tari kemudian menepiskan semua sakit hatinya. Permintaan ma'af itu meluluhkn hatinya, Lalu lebih luluh lagi ketika irama merdu dan dendang yang berkumandang adalah aroma manis yang menghiasi suasana kamar menjelang senja itu.
Ketika Tari mandi dan mengguyur seluruh tubuh dari rambut sampai kekaki, aroma manis iru manis terasa. Semoga demikianlah selamanya, karena semua ini adalah kehidupan yang dipilihnya.
***
Hari itu Tari sudah diajak suaminya pindah ke Jawa Timur. Kedua orang tua Tari belum diajaknya serta mengingat adik-adik Tari yang belum liburan.
"Nanti disa'at liburan kita akan mengajak mereka kemari," kata Janto disela-sela kesibukan menata rumah barunya.
"Tidak apa-apa mas, kalau ikut sekarang nanti bapak sama ibu malah kasihan soalnya mau tidak mau akan membantu kita beres-beres rumah."
"Kamu senang rumahnya? Ini kan rumah fasilitas kantor, jangan membayangkan yang mewah-mewah. Untuk aku ini lumayan bagus."
"Menurutku ini sudah mewah. Aku suka. Aku itu kan biasanya tinggal dirumah sederhana, dilingkungan kumuh. Jadi rumah seperti ini menurutku sangat mewah."
"Ini tampaknya rumah baru. "
"Benar, masih bau cat.. dan perabotnya juga baru.Maklumlah.. untuk bos baru," canda Tari.
"Isteri baru.." sambung Janto sambil tersenyum.
"Istilah isteri baru itu salah mas. Kalau ada isteri baru, berarti ada isteri lama."
"Jadi harus bagaimana?"
"Baru punya isteri, gitu kan ? Terbalik kamu mengatakannya."
"Iya kamu benar. Kalau Nugroho jadi mengambil isteri kamu,barulah istilahnya isteri baru, ya kan?"
Senyuman Tari kembali menghilang. Mengapa diawal-awal pernikahan mereka Janto selalu membawa nama Nugroho ham[ir disetiap percakapan? Ini memicu suasana panas, memanaskan suasana manis yang seharusnya ada diantara pengantin baru.
"Kok cemberut?"
Tari menarik meja kecil yang ingin diletakkannya disudut ruangan. Ia enggan meminta tolong pada suaminya. Tapi meja itu berat. Tak apa, Tari nekat melakukannya.
"Mari aku bantu, kok ditarik sendiri, ini berat, karena bahannya dari kayu jati asli."
Tapi Tari sudah terlanjur menariknya sampai ditempat dimana ia ingin meletakkan. Lalu ia meletakkan vas bunga diatasnya. Bunganya belum ada, besok Tari baru akan membelinya.
"Nanti sore kita cari toko bunga ya, barangkali ada beberapa meja yang bagus kalau ada bunga dipajang diatasnya." kata Janto yang melihat bahwa Tari suka bunga-bunga segar, seperti rumah di Jakarta yang ditata apik dengan bunga-bunga.
Tari tak menjawab. Kesalnya belum hilang. Mengapa Janto tak juga mengerti bahwa menyebut nama Nugroho akan merusak suasana yang sesungguhnya bisa menjadi sangat manis?.Apakah Janto mempergunakan nama itu untuk menyiksa Tari?.
Tari tak menjawab apapun. Ia ingin Janto mengerti dengan sendirinya. Ia juga lelah bertengkar setelah lelah jiwa raganya membenahi rumah barunya.
"Tari, apakah korden yang kita bawa dari Solo cocog untuk rumah kita ini?"
"Cocog," jawabnya singkat. Ia duduk disebuah kursi dan menyandarkan kepalanya. Lelah. Biarpun rumah itu lengkap dengan perabotannya, tapi Tari dan Janto banyak merubahnya seperti keinginan mereka.
"Capek ya? Istirahatlah dulu. Apa mau aku pijit kakimu?"
Perhatian Janto itu tiba-tiba dirasanya tidak tulus diucapkannya. Atau mungkin dia belum sadar juga bahwa membawa nama Nugroho akan merusak hari-hari manisnya?"
Tari belum menemukan jawabnya. Ia harus menunggu sampai ia benar-benar mengerti akan hati suaminya.
Tari beranjak kedapur, mencari air dingin di kulkas, dan meneguknya sambil duduk dikursi didapur itu.
Mengamati perabot dapur yang lengkap, membuat Tari kembali bersemangat. Sesungguhnya dia suka memasak, dan apa yang dibutuhkannya ada didapur itu. Wajan penggorengan, panci masak, microwave.. ada panci presto.. rice cooker.. dan semua perlengkapan masak yang tak mngecewakan.
Ini luar biasa. Besok Tari ingin berbelanja, dan masak setiap hari. Harus ada bumbu-bumbu yang lengkap juga. Lalu stock sayur dan ikan harus ada di kulkas, supaya dia tidak harus belanja setiap hari.
Tiba-tiba Tari terngat Suci adiknya, dia juga suka memasak. Pasti sepi didapur yang setiap Minggu pasti ramai karena celoteh Suci dan adik-adiknya yang heboh mengomentari masakan Tari.
Apakah hari Minggu kemarin Suci juga memasak? Atau dibantu ibu karena Suci belum pintar benar? Ada rasa sedih karena harus meninggalkan mereka. Meninggalkan suasana riuh rendah setiap dia pulang kerumah.
"Besok aku harus kekantor. Kamu tidak usah melakukan apa-apa tanpa aku, tunggu aku pulang saja," kata Janto sambil mendekat.
"Aku mau belanja besok."
"Bagaimana kalau sekarang saja? Aku lapar dan kita akan mencari makan kemudian belanja apa saja yang kamu perlukan."
Ajakan belanja itu membuatnya bersemangat. Apalagi banyak yang dibutuhkan. Tari mengangguk, lalu menuju kekamar dan berganti pakaian.
***
"Tari, kamu dimana ?" itu suara Asty ditelpon, ketika Tari sedang belanja
"Aku sudah ada di Jawa Timur nih, sekarang lagi belanja."
"Lho, kamu di Jawa Timur ?"
"Suamiku dipindahkan ke Pasuruan, baru dua hari ini."
"Wah, selamat ya Tari, aku ikut bahagia."
"Terimakasih Asty."
"Ya sudah, belanja dulu, aku cuma mau bilang ma'af, karena tidak bisa memenuhi undangan kamu. Kamu kan tau, anakku masih kecil, belum tiga bulan."
"Tidak apa-apa Asty, salam buat baby kecilmu yang lucu ya."
"Iya, tante. Dan ma'af juga baru sempat menelpon."
"Iya, aku tau kamu repot merawat bayimu."
"Ya sudah, salam buat suamimu."
"Terimakasih, nanti aku sampaikan, tuh dia lagi memilih-milih, nggak tau apa yang ingin dia belu."
"Kamu nggak titip salam buat mas Nugroho ?"
"Ya, salam saja, nggak apa-apa. Ma'af ya, lagi rame nih ditoko."
Tari menutup ponselnya, lalu terkejut ketika tiba-tiba Janto sudah ada dibelakangnya.
"Sudah disampaikan salamnya?" tanya Janto dengan nada tidak suka.
"Asty minta ma'af karena tidak bisa datang ketika kita menikah." kata Tari mengalihkan pertanyaan Janto yang mengesalkan.
"Kamu kecewa?"
"Tidak, aku mau beli sayuran dulu," kata Tari yang kemudian meninggalkan Janto dengan pertanyaan konyolnya, menuju ketempat dimana sayur dipajang. Ia tak ingin menanggapi kata-kata suaminya.
"Hm, besok-besok aku lebih suka belanja sayur di pasar tradisional saja, disini jauh lebuh mahal, gumam Tari sambil memilih milih sayur yang akan dibelinya.Iyalah, di mal semuanya mahal. hanya karena segera dobutuhkan saja maka Tari berbelanja disana, itupun karena Janto yang mengajaknya.
***
Tiga bulan lebih telah barlalu. Astari kecil sudah semakin lucu. Ia sudah bisa duduk sendiri, dan merangkak kemana-mana. Nugroho lebih sering kerumah, tidak seperti dulu yang setiap bulan baru menjenguk anaknya. Kali ini setiap minggu dia datang, bercanda dengan Astari, dan bersikap lebih manis dari biasanya. Bukan itu saja, Nugroho tak pernah lagi tidur disofa, tapi dikamar, bersama isteri dan anaknya. Dan suasana manis itu telah tercipta, demi sebuah pengabdian, kepada keluarga, walau belum lama disadarinya. Ia juga baru sadar betapa baik hati istarinya. Apakah ingatan akan Tari sudah pudar? Hanya Nugroho yang tau. Tapi bahwa rasa cinta itu masih ada, bersembunyi jauh didasar hatinya, mungkin saja. Yang jelas sekarang Nugroho sudah banyak berubah. Mungkin harapan untuk memburu cintanya sudah punah. Mengapa harus bermimpi kalau yang ada disampingnya adalah isteri yang jelas nyata dan ternyata bisa menghiburnya? Asty sendiri sebenarnya juga tak banyak menuntut. Ia sudah bahagia dengan sikap suaminya yang berubah lebih manis.
Pagi itu ibu mertuanya berteriak memanggil, karena Astari menangis keras dikamarnya.
"Asty, kamu dimana, anakmu menangis.."
"Tolong bu, ibu kekamar dulu," kata Asty dari dalam kamar mandi.
Sang mertua bergegas masuk ke kamar, mendapatkan cucunya sedang menangis keras.
"Oh, sayang, ibumu lagi dikamar mandi, ayo sama nenek dulu ya, waduh.. pampersmu sudah penuh begini, biar nenek lepas dan ganti yang baru ya."
Melihat neneknya, tangis Asta mereda. Dengan penuh kasih sayang sang nenek menggantikan pampers yang baru.
"Nah, sekarang sudah nyaman kan, ayo kita keluar, kamu lapar ya? Kita tungguin ibu diluar ya?"
Lalu sang nenek mengendongnya keluar. Tapi tiba-tiba Asty datang dan tidak segera menghampiri anaknya.
"Asty, kamu kenapa? Perutmu sakit? Bau minyak kayu putih nih," katanya sambil mengikuti menantunya masuk kekamar.
"Saya masuk angin bu, tadi muntah-muntah dikamar mandi." kata Asty yang kemudian meminta anaknya dari gendongan sang nenek, karena begitu melihat ibunya lalu Astari merengek-rengek.
"Haus dia."
"Iya bu."
"Kalau kamu sakit, ke dokter saja, kamu kan lagi menyusui, jangan sembarangan mibum obat."
"Iya bu, kalau nanti tidak reda juga Asty mau ke dokter."
"Jangan-jangan kamu ngidam," celetuk mertuanya.
Asty terkejut, meraba perutnya sendiri.
"Benarkah ?" rona bahagia segera menghiasi wajah cantik yang kemudian menatap anaknya yang dengan lahap menghisap susunya.
"Benarkah kamu mau punya adik?" bisik Asty.
"Periksa saja ke dokter, nanti ibu antar. Tapi sore nanti kan suamimu pulang, biar Asta sama ibu saja, kamu periksa sama suamimu."
"Baiklah bu."
Semuanya belum jelas benar, tapi Asty sudah merasa bahagia. Ia pernah merasakan ini ketika hamil yang pertama kali. Aduhai, Astari akan punya adik? Adakah bahagia yang lebih menyenangkan daripada akan memiliki momongan? Asty bersenandung sambil terus menerus menciumi anaknya.
Astari menatap ibunya, sesekali melepaskan putingnya dan berceloteh sambil tertawa-tawa, kemudian kembali menghisap putingnya lagi. Asty mendekapnya dengan linangan air mata bahagia.
***
"Selamat pak, isteri anda hamil," kata dokter itu membuat wajah Nugroho dan Asty berseri-seri.
"Terimakasih dokter," kata Nugroho terharu.
"Tapi ibu harus ber-hati-hati. Karena baru enam bulan atau tujuh bulan yang lalu ibu melahirkan. Siapkan susu formula untuk kakaknya karena mungkin dia tidak akan begitu suka lagi menyusu ke ibunya."
"Benarkah?."
"Menyusukan anak dalam keadaan hamil sebenarnya tidak apa-apa, tapi ada kemungkinan si anak akan tidak suka menyusu lagi, karena rasa asi akan berubah. Kecuali itu akan ada gangguan kontraksi sa'at si anak menyusu. Tidak semua benar, tapi ada baiknya perlahan menggantikan susu formula untuk sang kakak."
"Baiklah dokter. Susu formula apakah yang terbaik untuk anak saya?" tanya Nugroho.
"Tidak semua bayi cocog untuk suatu jenis susu, anda harus mencobanya. Banyak ditawarkan untuk itu."
"Baiklah."
"Banyak makan buah dan sayur yang bergizi ya bu. Ini saya berikan resep hanya tambahan vitamin. Ada obat mual yang harus dimakan sa'at perut kosong."
***
Perjalanan kembali disertai rona bahagia keduanya.
"Terimakasih Asty."
"Semoga anak kita laki-laki ya mas."
"Laki-laki atau perempuan bagiku sama saja, yang penting dia sehat. Ya kan?"
Asty mengangguk, rasa mual kembali mengganggunya. Ia mengambil minyak kayu putih yang dibawanya, kemudian disedotnya. Itu mengurangi rasa mualnya.
"Mau muntah?"
"Mual mas."
"Kita langsung pulang saja, biar aku sendiri yang membeli obatnya, nanti kalau di apotik kelamaan kamu malah muntah-muntah disana."
Asty mengangguk.
"Sekalian coba beli susu formula mas, nanti kita coba, Asta mau tidak? Dan cocog tidak, kalau yang tidak cocog katanya bisa jadi mencret, atau bahkan sembelit."
"Ya, nanti aku coba."
***
Berbulan menata dan mengatur rumah dan isinya, Tari benar-benar merasa menjadi ibu rumah tangga. Ia rajin bersih-bersih rumah dan memasak sendiri untuk makan berdua. Ia melarang suaminya makan diluar, karena makanan rumah lebih sehat. Dan lebih irit pastinya. Bagi Tari yang terbiasa hidup sederhana, menghamburkan uang untuk hal yang tidak perlu adalah pemborosan. Makan diluar, beli pakaian bagus, bukan menjadi kesukaan Tari.
"Masak apa isteriku hari ini?" kata Janto pada suatu siang ketika pulang pada sa'at istirahat kantor.
"Lihat saja sendiri, sudah saya siapkan dimeja."
Janto dan Tari sudah duduk didepan meja makan. Ada rendang daging yang dimasak Tari, ca sayur yang segar, lalu kerupuk ikan. Itu cukup bukan? Tari tak suka masak bermacam-macam jenis masakan, yang nantinya akan terbuang karena tak habis dimakan. Toh mereka hanya berdua.
"Hm, enak, kamu selalu bisa masak enak Tari."
"Itu sebabnya, aku melarang mas Janto untuk makan diluar setiap sa'atnya makan. Boros, tau."
"Iya, tapi kalau sekali-sekali boleh kan?"
"Ya, kalau terpaksa, misalnya aku lagi malas masak..."
Tapi tiba-tiba Tari menutup mulutnya, lalu berlari kekamar mandi.
Janto menatapnya heran, sampai terdengar suara orang muntah-muntah disana.
"Tari..! Teriaknya sambil berdiri dan mendekati kamar mandi."
Suara muntah masih terdengar.
"Tari, kamu kenapa?"
Agak lama Janto menunggu. Ketika keluar, Tari terlihat mengusap mulutnya dengan tissue, wajahnya pucar.
Janto memapahnya kedalam kamar. Mencari obat gosok yang kemudian diangsurkannya pada Tari.
Tari menggosok perut dan ulu hatinya dengan minyak yang diberikan Janto.
"Kamu kecapean. Apa kita harus cari pembantu?"
"Tidak, tidak... aku bisa menyelesaikannya sendiri."
"Tapi kamu jadi kecapean..."
"Jangan-jangan aku hamil," celetuk Tari.
"Haaa..." Janto terkejut.
"Nanti sore kita ke dokter. Semoga benar."
"Mas pulang agak sore ya."
"Ya, aku akan pulang agak sore. Semoga kalau benar hamil, anakku nanti laki-laki. Tapi semoga wajahnya mirip aku, karena kalau mirip Nugroho berarti kamu selalu membayangkan Nugroho sa'at bersama aku."
Lhaah, kumat lagi?
Tari berlari kekamar mandi,
Bersambung
No comments:
Post a Comment