LESTARI PUNYA MIMPI 13
(Tien Kumalasari)
Dikamar mandi itu Tari tak bisa memuntahkan apapun karena isi perutnya sudah terkuras habis. Yang ada hanyalah rasa sakit di perut dan kerongkongan karena ingin memuntahkan sesuatu tapi tak berhasil. Tari terengah engah. Tapi dia enggan keluar dari kamar mandi. Kata-kata Janto kembali menganggunya, dan ini lebih menyakitkan. Kalau benar ia mengandung, dan kalau benar anaknya laki-laki, dan kalau benar wajahnya mirip Nugroho, syukurlah. kata hati Tari, kesal.
Janto menggedor pintu kamar mandi.
"Tari,, Tari..." tapi Tari tak ingin membukanya.
Janto terus menggedor pintunya.
"Tari, kalau kamu tidak membukanya, aku akan menjebol pintu ini.."
Tari membuka pintunya, menutupi mulutnya dan bergegas masuk kekamar. Janto mengikutinya dari belakang, karena ketika dia akan menggandengnya, Tari mengibaskan tangannya.
"Tari.. kamu kenapa?"
Tari diam saja. dia membaringkan tubuhnya dan menutupi wajahnya dengan tissue. Diraihnya minyak kayu putih yang ada dibawah bantalnya, dibuka tutupnya dan diciumnya baunya.
"Perutmu kosong, aku suapin makan ya?"
Tari tak menjawab, tubuhnya terasa lemas, dan hatinya merasa gemas. Janto seperti tak mau membawa perasaannya agar bisa menutup masa lalunya, justru selalu mengingatkannya, dengan nada nyinyir dan menyakitkan.
"Baiklah, akan aku ambilkan makanan untukmu, lalu aku taruh dimeja ini. Nanti kalau kamu ingin makan, makan saja," kata Janto sambil keluar dari kamar.
Diambilnya piring, diisinya dengan nasi, lalu sepiring kecil ca sayur, dan sepirimg rendang. Ia juga mengambil air putih untuk diminum. Diletakkannya semua di nampan, lalu ia masuk kekamar dan meletakkan semuanya dimeja sebelah ranjang mereka. Dilihatnya Tari membalikkan tubuhnya, memunggunginya.
Janto menghela nafas.
"Aku akan kembali ke kantor, lalu pulang cepat, aku antar kamu ke dokter," kata Janto yang ke mudian keluar dari kamar dan berangkat ke kantor.
Tari tak mengacuhkannya, ia merasa tubuhnya lemas, tapi setelah muntah rasanya sedikit lega. Tari bangkit. Janto itu selalu menjengkelkan, tapi perhatiannya terhadap isteri sangat besar. Baiklah, Tari lagi-lagi mema'afkan suaminya.
Ia turun dari ranjang, mengambil nampan berisi makan dan minum, yang diletakkan suaminya, lalu dibawanya ke ruang makan.
"Ia mengurangi porsi nasi yang disiapkan suaminya, lalu meletakkan sesendok kuah rendang dipiringnya dan makan sesuap demi sesuap. Tapi sungguh, perutnya kembali mual. Ia menghentikan makannya, mencium lagi minyak kayu putihnya. Dan menggosokkan lagi pada perutnya.
Ia membuka kulkas, untunglah masih ada dua butir jeruk. Diambilnya sebutir lalu dimakannya perlahan. Perutnya terasa lebih enak. Kalau begitu yang sebutir lagi harus dihabiskannya.
Tari merasa lebih lega. Ia mengangkat piring-piring kotor dan mencucinya, lalu membersihkan meja. Lalu kedepan memeriksa apakan Janto telah mengunci pintunya, kemudian masuk kembali kekamarnya dan kembali merebahkan tubuhnya.
"Benarkah ini gejala hamil ?" bisiknya sambil mengelus perutnya, masih tampak datar. Lalu Tari tersenyum dengan wajah berseri. Seandainya benar.. alangkah senangnya.
Tak tahan menunggu waktu sore, Tari keluar dari rumah. Ia merasa bahwa makan jeruk bisa membuatnya segar. Ada mini market didekat rumah, yang menjual buah-buahan. Tari membeli jeruk dan kiwi. Bukankah kiwi berasa asam? Tari pulang dan mencuci buah-buiah tersebut. Menyiapkannya sebagian dipiring sisanya dimasukkan kulkas/
Hm, segarnya. Tari pergi kekamar sambil membawa sepiring kecil irisan kiwi dan jeruk. Mengapa buah yang biasanya membuat bibirnya mengerucut dan matanya berkejap-kejap karena rasa asamnya itu tiba-tiba terasa nikmat?
Terserah apalah, yang penting Tari merasa tenang.
Tiba-tiba ia ingin menelpon ibunya, benarkah yang dirasakannya adalah tanda-tanda ngidam?
"Hallo ibu.."
"Tari, apa kabar nak, kami kangen sekali. Kamu baik-baik saja?"
"Iya bu, Tari baik-baik saja. Apa kabar ibu dan bapak serta adik-adik?"
"Kami sehat, dan sedang menunggu liburan bulan depan untuk bersama-sama menjenguk kamu di Pasuruan."
"Wah, baru mendengar Tari sudah senang bu."
"Sedang apa kamu sa'at ini? Sudah masak? Masak apa hari ini?"
"Sudah masak, sudah habis makan siang. Tadi Tari masak rendang daging dan ca sayur. Apa Minggu kemarin Suci masak-masak bu?"
"Iya, Suci masak sendiri. Sup ayam seperti kamu. Enak lho masakan Suci.. Adik-adiknya senang. Katanya mbak Suci sudah pinter masak seperti mbak Tari."
"Syukurlah bu, Tari senang mendengarnya."
"Kamu baru bangun tidur, kok suaramu sengau begitu? Pilek?"
"Tidak bu, Tari baik-baik saja.. Ini lagi baringan di kamar, mas Janto belum pulang. Tapi bu, sejak tadi Tari muntah-muntah terus dan perut rasanya mual."
"Lha kenapa?" tanya ibunya khawatir.
"Bu, bagaimana tandanya orang ngidam?"
"Haa, ngidam? Kamu merasa seperti itu ? Sudah telat berapa bulan ?"
"Iya Tari lupa, bulan ini Tari belum dapet. Apa Tari ngidam? Gimana sih bu rasanya ngidam?"
"Ngidam itu setiap orang berbeda-beda. Ada yang muntah-muntah terus, ada yang nggak suka bau masakan, tapi ada yang nggak merasakan apa-apa. Enak saja dia makan sembarang makanan."
"Tari sih tadi tiba-tiba pas makan merasa mual lalu muntah-muntah. Tapi Tari makan jeruk, lalu beli yang asem-asem.. kok enak saja."
"Mungkin kamu ngidam Tari, ibu senang mau punya cucu. Tapi sebaiknya kamu ke dokter dulu, supaya yakin."
"Bagaimana ketika ibu mengandung Tari?"
"Kamu itu tidak rewel ketika dalam kandungan ibu. Ibu doyan makan apa saja, dan bisa mengerjakan apa saja. Beda ketika ibu mengandung Suci, aduuh.. sampai kehamilan bulan ke empat ibu tidak bisa mengerjakan apapun. Mual muntah tak henti-hentinya. Bau wangi muntah, bau masakan muntah.. Tapi setelah menginjak lima bulan, sudah tidak. Biasanya orang ngidam itu terasa benar-benar nggak enak ketika usia kandungan baru awal sampai tiga atau empat bulan. Setelahnya tidak apa-apa, malah penginnya makan melulu."
"Ah, semoga kalau benar mengandung, Tari seperti ibu. Tadi Tari juga sempat masak kok, cuma ketika makan lalu terasa mual."
"Bawalah ke dokter, untuk meyakinkan, dan biasanya kalau muntah lalu diberikan obat anti mual."
"Iya bu, nanti sore mas Janto mau mengantar Tari ke dokter."
"Ya sudah, kamu istirahat saja dulu. Jaga baik-baik bayimu, semoga kamu benar mengandung cucu ibu, nak," kata ibunya dengan gembira.
***
Dan berita menyenangkan itu benar-benar hadir, ketika dokter menyatakan bahwa Tari memang hamil, baru empat minggu.
"Mulai besok jangan bekerja terlalu keras. Jangan melakukan apapun, aku akan mencari pembantu."
"Tidak usah mas, aku bisa mengerjakan semuanya kok."
"Nanti kamu lemas, muntah-muntah.."
"Tadi itu aku makan yang asem-asem langsung enak, mualnya hilang. Lalu bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Bisa membersihkan dapur dan mencuci semua peralatan."
"Tapi kan kata dokter kamu harus menjaga kandunganmu baik-baik. Jangan mengangkat berat, jangan banyak jalan-jalan dulu."
"Iya, aku akan menjaganya. Nanti kalau benar-benar terasa berat aku bilang sama kamu."
Perhatian Janto membuat Tari perlahan bisa menghilangkan kekesalannya,akibat suaminya itu sering menyebut Nugroho dalam setiap kesempatan, sementara Tari ingin melupakannya.
"Kamu juga tidak usah kemana-mana, kalau ingin sesuatu bilang saja. Ada penjual rujak cingur didekat kantor. Kamu mau?"
"Rujak cingur? Apakah rasanya masam?"
"Ya tidak, itu beda dengan rujak di Solo. Rujak cingur ada petisnya, tapi.. ya.. segar kok.."
"Enggak mas, aku mau jeruk, kiwi, pokoknya yang rasanya asam aja. Itu meringankan rasa mualku. Selebihnya aku tidak ingin apa-apa."
"Besok aku belikan sepulang kantor. Di almari es sepertinya ada."
"Iya, aku tadi beli sendiri di mini market sebelah, untungnya dia jual buah-buahan.",
"Lain kali jangan beli sendiri. Bilang saja sama aku."
"Iya.."
"Sekarang obatnya diminum dulu, kan ada yang sebelum makan? Nanti setelah itu kita makan,. Bukankah siang tadi kamu tidak makan?"
"Makan sedikit, yang kamu ambilkan itu. Nggak kuat, aku mual lagi."
"Sekarang coba minum obat dulu, kemudian baru makan lagi."
Tari menurut. Alangkah manisnya Janto ketika bersikap penuh perhatian begini. Diambilnya obat anti mual itu dan diminumnya. Ia berjalan kebelakang untuk menyiapkan makan malam. Dan ternyata Janto telah memanaskan semua masakannya di microwave. Dan sudah menatanya dimeja makan.
"Terimakasih ya mas, kamu sudah melakukan semuanya."
"Iui bukti kasih sayang seorang suami kepada isterinya."
Tari tersenyum, memeluk Janto dengan manis.
"Kamu tau Tari, aku tulus menyayangi kamu, bukan hanya karena pelarian. Tau?"
Tari melepaskan pelukannya. Kembali hatinya teriris oleh kata-kata Janto. Wajah yang berseri mendadak menjadi murung.
"Kamu tidak percaya bahwa aku sungguh mencintai kamu?"
"Aku tidak suka mas selalu mengatakan cinta pelarian !!
"Memangnya bukan?"
"Terserah kamu mau ngomong apa, aku tak perduli."
Dan malam itu suasana kembali memanas, karena Tari dirundung rasa kesal lagi kepada suaminya. Tak ada rayuan ditempat tidur, karena Tari enggan didekati dengan alasan mual.
Tapi ketika bangun pagi itu, Tari tak mendapatkan Janto disampingnya.
"Apakah dia sudah berangkat kerja?"
Tari melihat kearah jam dinding, baru jam setengah enam. Ups.. Tari harus menyiapkan makan pagi sebelum suaminya berangkat. Walau kesal tapi ia tak ingin melupakan kewajibannya terhadap suami. Setelah sholat dia bergegas kedapur, dan astaga.. sudah ada nasi goreng dimeja makan, dan kerupuk udang, dan telur mata sapi.
Kembali kekesalan itu sirna. Sungguh ia tak mengerti mengapa Janto selalu menyinggung perasaannya dan mengingatkan hubungannya dengan Nugroho, tapi ia tak pernah melewatkan perhatiannya pada sang isteri.
"Ini mas yang bikin?"
"Ya iyalah, apa ada orang lain dirumah ini?" kata Janto sambil tersenyum.
"Terimakasih.." hanya itu yang diucapkan Tari. Ia duduk dikursi dan meminum obat anti mualnya. Janto menyendokkan nasi goreng kepiringnya, tapi Tari belum mau menyentuhnya. Diraihnya sebutir jeruk, dan dimakannya.
"Oh ya, bagus makan buah sebelum makan, kalau begitu aku juga mau," kata Janto ikut-ikutan makan jeruk.
"Tapi nasi segini aku kebanyakan, nanti aku mual." kata Tari yang kemudian mengembalikan nasi goreng yang ada dipiringnya dan menyisakan separonya saja."
"Ya sudah, terserah kamu saja," kata Janto yang kemudian menghabiskan nasi gorengnya sepiring penuh."
"Lumayan enak," kata Tari sambil menyuapkan nasi gorengnya perlahan. Tapi ia ternyata bisa menghabiskannya.
"Anakku suka makan masakan bapaknya," kata Janto sambil mengelap mulutnya, lalu minum jus lemon yang dibuatnya sendiri.
"Di kulkas masih ada jusnya, kalau kamu suka ambil saja."
Keduanya menyelesaikan makan pagi itu dengan damai. Tari senang karena rasa mualnya berkurang. Semoga seperti juga ibunya, sa'at ngidam dia tak usah terlalu rewel.
Tari bangkit, menumpuk piring kosong dan membawanya ketempat cucian.
"Biar aku saja," kata Janto.
"Tidak, aku bisa," kata Tari yang langsung mengucurkan air dan mencuci piring-piring yang kotor.
***
"Ibu, aku benar-benar hamil..." kata Tari hampir bersorak ketika menelpon ibunya.
"Syukurlah... ibu senang sekali. Bagaimana keadaanmu?"
"Tidak rumit bu, dikasih obat anti mual, sama makan yang asem-asem, Tari tidak muntah-muntah lagi, walau makan belum bisa banyak."
"Tidak apa-apa, yang penting tidak muntah. Dan suka yang asem-asem itu lumrah. Ibu masih ingat kata dokter, bagus makan buah-buahan yang asam dan segar, Asalkan tidak berlebihan. Jangan lupa juga makan sayuran ya nduk, biar anakmu sehat."
"Baiklah ibu.."
"Ibu jadi ingin buru-buru ketemu kamu nduk.." kata ibunya sambil berlinang air mata.
Tari ikut sedih mendengar suara ibunya bergetar.
"Ibu.. ibu jangan sedih, bulan depan kan anak-anak libur, jadi bisa ramai-ramai kesini. Nanti ibu akan dijemput mas Janto, dia sudah janji kok.
"Iya Tari, nanti ibu kabari kalau sudah dekat waktunya."
***
Hari itu pagi-pagi sekali Janto mengendarai mobilnya sendiri ke arah Solo. Ia harus menjemput mertuanya dan adik-adiknya Tari. Sore hari ketika sampai di Solo Janto ingat bahwa isterinya memesan buah-buahan yang biasa digunakan untuk membuat rujak. Sudah dua bulan usia kandungan Tari, dan perutnya sudah tampak membuncit. Janto suka sekali mengelusnya.
Sebelum keluar dari kota Solo menuju kerumah mertuanya, Janto melihat sederetan pedagang buah. Janto menghentikan mobilnya.
Ia melihat kesana kemari, mana ada buah yang bisa dibuat rujak? Ia harus bertanya kepada salah satu penjual buah itu.
"Silahkan mas, ini apelnya segar, atau pir.. jambu juga ada.. cari apa to mas, sepertinya kok ada yang dicari.. "
"Bu, buah yang biasa untuk rujak ada?"
"O, ya ada mas, ini.. ada nanas, ada jambu kristal.. ada belimbing.. oh.. bengkoang juga ada.. mau yang mana mas..?"
"Beli yang ibu sebutkan tadi.. sekilo.. sekilo.. gitu bu.."
"O.. ya mas, saya pilihkan.. "
"Dia maunya yang rasanya asem-asem.. gitu bu.."
"Oh, kalau begitu belimbingnya yang belum begitu masak, nanasnya juga manis-manis asem ini mas, seger nanti kalau dibuat rujak. Mas mau bikin rujak sendiri?"
"Iya...isteri saya lagi ngidam bu."
"Owalaah, mengapa tidak beli saja rujak yang sudah jadi?" tiba-tiba seseorang disampingnya nyeletuk. Seorang wanita yang sedang hamil, tapi perutnya belum begitu besar.
"Dimana beli yang sudah jadi?"
"Di Singosaren ada lho mas, saya kalau dulu pengin makan rujak sama lotis beli disana."
"Tapi isteri saya jauh mbak, tidak disini, apa masih enak membawa rujak pulang?"
"Memangnya dimana isteri mas?"
"Di pasuruan mbak."
"O.. jauh ya. Jadi ingat teman saya, dia ikut suaminya pindah ke Pasuruan."
"Pasuruannya dimana teman mbak itu?"
"Waduh, saya kurang tau, namanya Tari, eh.. Lestari.."
Janto terkejut. Siapa gerangan perempuan cantik ini ?Apakah yang dimaksud adalah isterinya?
"Isteri saya namanya Lestari juga. Lestari Rahayu."
"Lho, jangan-jangan itulah sahabat saya. Saya Asty."
Astaga, jadi ini yang namanya Asty, isteri Nugroho? Sedang hamil pula.
"Mas, ini buah-buahnya sudah semua," kata penjual buah yang sudah membungkus semua pesanan Janto dalam tas plastik besar.
"Oh, iya bu, berapa semuanya?"
"Lima puluh ribu saja mas."
Janto membayar buah yang dipesannya, lalu kembali menatap perempuan itu.
"Apa mbak isterinya Nugroho?" tanya Janto tiba-tiba.
"Iya, itu mas Nugroho dimobil sama anak saya yang besar.. Mas kenal? Jadi mas ini suaminya sahabat saya ?"
"Saya Harjanto, suaminya Tari."
"Tari lagi ngidam?"
"Iya."
Tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam mobil.
"Asty, cepat, anakmu nangis nih."
"Oh iya mas," Asty membalikkan badannya mendekati mobil suaminya. Ia bermaksud memberitahukan pada suaminya bahwa itu tadi suaminya Tari.
"Mas, itu suaminya Tari."
"Apa? Suaminya Tari?"
"Iya, namanya Harjanto."
"Mana? Yang ngomong lama sama kamu tadi?"
"Iya... itu... eh.. mana dia?"
Asty terkejut, karena Janto sudah pergi.
Bersambung
No comments:
Post a Comment