Friday, June 26, 2020

MIMPI LESTARI 14

MIMPI LESTARI 14

(Tien Kumalasari)
 
Setelah membeli buah yang dibutuhkannya, Asty masuk kemobil dan memangku anaknya.  Nugroho menjalankan mobilnya, menatap Asty dengan heran.
"Asty, bukankah kamu pernah sekantor dengan Tari?"
"Ya, kan aku sudah bilang."
"Dulu Tari pernah bilang bahwa ia akan menikah dengan bosnya, kamu tidak mengenali bosnya Tari? Itu bos dibagian apa? Kamu tidak kenal? Apa bukan dia? Apa Tari bohong?"
Tiba-tiba Asty berteriak.
"Ya Tuhan.. ya Tuhan.. mengapa aku tidak mengenali dia? Iya.. aku tau, aduh.. tadi aku tak begitu melihat wajahnya, habisnya dia pakai topi, terus agak brewokan gitu.. "
"Kamu juga lupa namanya?"
"Tidak kepikiran, nama sama kan bisa saja, aduuh.. iya.. dia... aku cuma ingin segera mengenalkan dia sama mas, kok nggak kepikiraan mengamati wajahnya dengan jelas..  ya ampuun.. mengapa aku begitu bodoh? Tapi mengapa juga dia tiba-tiba pergi? Dia itu dulu manager personalia. Memang dekat sama Tari, katanya kakak kelasnya di SMA..  tapi pak Janto itu nggak begitu dekat sama aku." lalu berkali-kali Asty menepuk jidatnya. 
"So'alnya Tari juga agak tertutup tentang pernikahannya, tidak mengatakan akan menikah dengan siapa. Nggak tau kenapa.. setiap aku menelpon  dia pasti sedang tergesa-gesa.. atau sibuk melakukan apa.. gitu.. jadi  kami nggak sempat cerita sampai tuntas," lanjutnya.
"Ngomong apa tadi kamu sama dia?"
  "Dia beli buah-buahan bahan rujak, isterinya sedang ngidam, aku suruh dia beli di Singosaren, tapi katanya isterinya ditingal di Pasuruan. Lalu aku ingat Tari tinggal di Pasuruan sekarang, ternyata dia suaminya. Tapi kok aku nggak memperhatikan wajahnya bener.. "
"Isterinya ngidam? Tari ngidam?"
"Iya, makanya dia beli bahan-bahan rujak. Kami belum banyak cerita, tiba-tiba dia kabur begitu aku akan memanggil kamu."
Nugroho terus menjalankan mobilnya. Ada perasaan aneh mendengar bahwa Tari ngidam. Ada nyeri yang menggesek hatinya.

"Apakah aku cemburu? Apakah aku masih mencintainya?" bisik batinnya. 
Asty menatap suaminya yang kemudian tak banyak bicara. Lalu ia mengerti bahwa cinta terhadap Tari itu masih tersisa.. Dan cemburu kemudian mengusiknya,
"Ternyata aku cemburu." bisik hati Asty..
***
 
"Astaga. itu kan dia... benar namanya Asty.. aku tadi sempat kepikiran, seperti pernah melihatnya," gumam Janto. 
Janto memacu mobilnya. Ia baru sadar Asty dulu bekerja di bagian logistik diperusahaan tempatnya bekerja. 
"Maklum tidak lama disana, dan sekarang dengan penampilan berbeda. Pakai hijab dan memakai baju hamil.Dulu dia dandan dengan apik, lipstick agak tebal, tapi tadi dia sangat sederhana, nggak ada ulasan make up di wajahnya.  Dan rupanya tadi dia juga tidak lagi mengenal aku. Aku baru ingat. Aduh, mengapa tadi kami bertutur sapa seperti orang asing? Tari  juga tidak pernah mengatakan Asty itu siapa," gumam Janto berkali-kali.
Tapi bukan itu yang membuat Janto cepat-cepat pergi. Ia tak ingin bertemu Nugroho. Laki-laki ganteng yang sangat dicintai istrinya. Mungkin juga sampai sekarang. 
 Rupanya.. Janto juga digelitik oleh rasa cemburu. Dia kalah ganteng, kalah dalam segi materi dan segalanya. Mana mungkin Tari mencintainya dengan tulus? Pasti masih dicintainya laki-laki itu. Itu yang dipikirkannya.
Aduhai, cemburu tak beralasan tapi cukup membuat hati Janto terbakar.
Rasa itu masih terus dibawanya dan baru mengendap  ketika memasuki rumah mertuanya dan mendengar celoteh Suci dan adik-adiknya.
"Lhoo.. mas Janto nih, kirain siapa, kok wajahnya lain? Brewokan begitu sekarang." pekik Suci.
Bapak dan ibunya Tari yang keluar belakangan juga hampir tidak mengenali menantunya karena wajahnya yang brewokan. Belum setengah tahun mereka berpisah dan sekarang Janto tampak lain.

"Nak Janto, sekarang tambah ganteng, brewoknya keren.." seru bapaknya Tari.
"Iya benar pak, sambung ibunya.
"Kereen... " teriak adik Tari yang lain.
Janto tersenyum, lalu menyalami dan mencium tangan mertuanya.
"Suci, ambilkan minum masmu ini, kok malah menatapnya nggak habis-habis," tegur ibunya.
Suci tertawa.
"Menurut aku, mas Janto tampak lebih tua."
"Hush ! Suci !!" ibunya memelototi Suci karena menganggap ucapannya sangat tidak sopan. 
"Ma'af mas, Suci bercanda, nggak marah kan?" kata Suci sambil merangkapkan kedua tangannya kearah kakak iparnya.
"Nggak apa-apa tampak tua, memang aku sudah tua. Kan sudah hampir jadi bapak?"
"Iya benar, tapi tambah ganteng kok nak, benar kata bapak. Ayo silahkan duduk." kata ibunya.
"Bapak ibu apa sudah siap? Nanti malam kita berangkat."
"Lho, apa nak Janto tidak capek ?"
"Tidak pak, nanti istirahat sebentar, malamnya sudah merasa segar."
"Kalau begitu nanti setelah mandi istirahat dulu dikamar. Kami sudah siap kok."
 
*** 
"Tariiii.... " sapa Asty dengan gembira sore itu ketika menelpon Tari.
"Ya ampuuun.., belum sempat bilang hallo sudah mendengar teriakan kamu."
"Tari, mengapa kamu tidak pernah cerita bahwa kamu menikah dengan pak Janto?"
"Iya, memang aku nggak cerita, apa itu penting?"
"Penting dong Tari, tau nggak..  aku tadi terkejut setengah mati.."
"Terkejut kenapa?"
"Pak Janto itu sekarang brewokan.. dan tambah ganteng lho.."
"Darimana kamu tau? Ketemu?"
"Ketemu, ketika dia sedang beli rujak. Eh.. bukan rujak, buah-buahan untuk bikin nujak, disebuah kios buah di daerah Purwosari. Kebetulan aku juga lagi mau beli buah."
"Oh, kalian ketemu ?"
"Ketemu, dan sama-sama lupa. Aku bener-bener nggak ingat dia, habisnya dia pakai topi, dan hanya sedikit kelihatan wajahnya, lagi pula kok sekarang brewokan begitu."
"Iya, sibuk mengurus aku, sampai lupa mencukur wajahnya. Tapi aku biarkan saja kok. Kata kamu dia tampak lebih ganteng.,
"Wah, romantisnya, sibuk mengurus isteri yang lagi ngidam?"
"Dia mengatakan itu?"
"Iya, dia bilang isterinya lagi ngidam. Ee..sudah ngomong lama nggak juga ingat siapa dia, biarpun dia sudah bilang kalau suaminya Lestari. Dan dia tampaknya juga lupa sama aku. Mungkin karena aku sekarang pakai hijab, dan nggak tau kenapa ketika hamil yang sekarang ini aku males dandan.. jadi mungkin wajahku kelihatan kusut dan berminyak.. sudah pasti jelek lah..." kata Asty sambil tertawa.
"Aku baru ingat ketika mas Nugroho menegur aku, mengapa sampai tidak kenal dengan manager personalia."
"Kamu sama .. suami kamu ?"
"Iya, juga sama anakku,"
"Kamu hamil anak kedua?"
"Iya, tapi syukurlah kali ini kehamilanku baik-baik saja, tidak seperti ketika hamil pertama, muntah dan nggak doyan makan apapun."
"Syukurlah.. aku ikut senang Asty.."
"Mengapa kamu nggak ikut ke Solo, kalau ada kamu pasti tak akan terjadi saling melupakan seperti tadi."
"Mas Janto sedang menjemput bapak dan ibu serta adik-adik. Jadi takut mobilnya nggak cukup. Itu saja pasti sudah berdesakan. Lagi pula aku juga sering mual-mual. Kasihan nanti merepotkan semuanya."

"Aduh Tari, aku juga senang kamu juga sudah mengandung. Nanti anak kita akan seumuran, senangnya.."
"Iya  Asty."
"Kamu muntah-muntah terus?"
"Hanya kadang-kadang, tapi makan sedikit doyan, masak juga nggak apa-apa."
"Mudah-mudahan lancar semuanya. "
"Kamu sekarang tinggal di Solo?"
"Tidak, mertuaku tidak mau ditinggalkan. Tapi kemarin dia bilang ingin ke Solo, jadi kami ke Solo. Paling besok sudah balik ke Magelang.
 "Ah, sayang harus bolak balik ya, harusnya kamu tinggal sama suami."
"Mertuaku sudah terlanjur biasa aku temani, kasihan kalau aku tinggalkan."
"Oh, bahagianya disayang mertua.."
"Ya sudah Tari, sekian dulu ya,  aku mau menyiapkan makan malam, nanti aku telpon lagi."
***
Malam itu Tari duduk didepan televisi, menatap kearah layar tapi tidak menikmati apa yang sedang ditayangkan. Ada yang menggelitik perasaannya, ketika tau bahwa Asty sedang mengandung anak keduanya. Itu menandakan bahwa Nugroho perlahan bisa melupakannya. Cintanya terhadap Asty telah tumbuh, dan perlahan bisa melupakan dirinya. Dan itu disyukurinya. Dia telah memilih jalan yang dijalaninya sekarang, dan tak ingin menoleh kebelakang. Bahwa Janto masih mencurigainya, itu dibiarkannya. Ia hanya berharap suatu hari nanti Janto bisa mempercayai ketulusan hatinya. Mungkin sih, tadinya seperti semacam pelarian, tapi perlahan cinta itu tumbuh. Ia harus mengabdi pada rumah tangga yang telah dijalaninya.
Tari mencecap buah jeruk yang baru dikupasnya. Makanan itu yang membuatnya segar, jadi dirumahnya selalu ada.
Dering ponsel mengejutkannya. Asty lagi?."
"Hallo.. Asty.."
"Aku bukan Asty.." suara lembut itu amat dikenalnya. Hampir terlepas ponsel itu dari tangannya.
"Mas Nugroho ?"
"Ya Tari.. ini aku. Apa kabar Tari..?"
"Baik mas, mengapa mas Nugroho menelpon saya?"
"Hanya ingin mengabarkan keadaanmu Tari. Ini aku memakai ponsel Asty."
"Aku baik-baik saja.. "
"Kabarnya kamu sedang ngidam? Berapa bulan?"
"Baru dua bulan, menginjak tiga bulan mas."
"Aku mengucapkan selamat ya mas, atas mau lahirnya anak yang kedua?"
"Terimakasih Tari."
Tari ingin mengakhiri pembicaraan itu,Tapi....
"Tari, entah mengapa, aku tidak bisa melupakan kamu."
"Mas jangan begitu, kita telah memiliki kehidupan masing-masing. Aku kira ini yang terbaik mas. Asty sudah hampir melahirkan anak kedua, itu sangat membahagiakan bukan?"
"Benar, tapi..."
"Mas, aku mohon hentikan mengingat aku. Itu masa lalu yang harus kita lupakan. Ma'af ya mas., ada telpon  masuk, aku harus menjawabnya.." kata Tari kemudian menutup ponselnya.
Telpon itu dari suaminya.
" Ya mas.."
"Barusan lagi telpon sama siapa kamu, lama sekali baru diangkat?" kata Janto sengit.
Tari gelagapan.. kalau dijawab dari Nugroho pasti dia akan marah besar.
"Tari.."
"Oh, iya mas.. baru mau mematikan televisi dulu. Ini tadi Asty.. apa tadi mas ketemu? Dia bilang ketemu mas, tapi saling lupa.. karena penampilan berbeda." jawabnya berbohong. Tapi kemudian ia benar-benar mematikan televisi itu.
"Ya, ketemu Asty dan Nugroho, tapi aku tidak ketemu Nugroho, sudah kesorean. Apa Asty bilang sama kamu  bahwa dia sedang mengandung anak ke dua?"
"Iya, Asty sudah cerita."
"Pasti sakit hati kamu."
Tari terkejut, ia ingin marah, tapi ditahannya."
"Oh, ya mas sudah beli rujaknya?" tanya Tari untuk mencairkan suara sengit Janto karena telponnya tidak segera diangkat dan mungkin peretemuannya dengan Nugroho tidak menyenangkannya.
  "Tidak, aku tidak beli rujak."
"Maksudku buah-buahan untuk rujak, nanti kita bisa ngerujak rame-rame kalau sudah sampai disini."
"Sudah."
"Mas balik kapan?"
"Ya nanti lah, sebentar lagi, supaya besok bisa sampai rumah, kan aku harus kerja."
"Mas tidak capek?"
"Tidak. Ya sudah, aku cuma mau bilang bahwa sebentar lagi mau berangkat."
"Iya, hati-hati dijalan ya mas."
Ketika pembicaraan itu selesai, Tari menangkap nada kesal dari suaminya. Tari ingin sekali  marah, dan tak habis pikir, mengapa Janto masih merasa bahwa dirinya masih mencintai Nugroho, tapi kemarahan itu ditahannya.. takut keluarga dirumah ada yang mendengarnya.
Tari menghela nafas kesal, lalu masuk kekamar dan mencoba memejamkan matanya.
***
 
  Kedatangan keluarga Tari dari Solo membuat ramai suasana dirumah Janto. Adik-adik Tari begitu cerewet dan selalu heboh. Suci rajin memasak apa saja setiap hari dan dilarangnya Tari membantu. 
"Kasihan keponakanku kalau mbak repot karena kedatangan kami, biar aku yang memasak karena aku kan sudah pintar," kata Suci kemayu.

Tari juga senang karena ada buah-buahan yang kemudian oleh ibunya dijadikan rujak.
Tapi mereka hanya seminggu disana, mengingat adik-adik Tari harus masuk sekolah.
"Lagipula ibu masih punya tanggungan beberapa jahitan dirumah," kata ibunya ketika Tari masih ingin menahannya.
"Baiklah bu, nanti kalau kandungan Tari sudah kuat, Tari akan ke Solo, boleh ya mas," katanya kepada suaminya.
"Iya, kalau kamu sudah tidak mual-mual lagi." jawab Janto.
"Nanti setelah tiga bulan pasti justru kamu doyan makan Tari, kata ibunya.
Tapi kepulangan mereka tidak diantar Janto. Janto menyewa  satu mobil untuk mengantarkan keluarga isterinya.
Tari terharu atas perhatian Janto kepada keluarganya. 
Sungguh Janto sebenarnya sangat perhatian. Tapi terkadang ia masih suka menyindir dan menyakiti hati Tari dengan mengingatkannya kepada Nugroho. 
Tari sudah lelah mananggapinya. Terkadang ia marah dan mendiamkannya saja, tapi Janto selalu pintar meluluhkan hatinya.
Hari bergulung, berganti bulan, kandungan Tari sudah lebih dari tujuh bulan. Tari merengek ingin pergi ke Solo, apalagi ibunya ingin mengadakan acara mitoni dirumah.
Janto menurutinya.Ia senang Tari tampak sehat dan bersemangat. 
Begitu sampai di Solo ibunya sudah menyiapkan perlengkapan untuk acara mitoni. Bagi orang Jawa, kehamilan pertama pada bukan ke delapan selalu diperingati dengan upacara mitoni. 
Tapi Tari melarang ibunya mempersiapkan semuanya sendiri. Segala perlengkapan bisa dipesan. Ada rangkaian upacara mandi dengan sesajian yang beraneka warna. Ada ponthang, seperti piring yang terbuat dari tanah dan berhiaskan janur-janur, berisi ketan berwarna warni dan ada juga rujak.. lalu nasi tumpeng dengan sayuran urap dan telur rebus, yang semuanya dihias sangat manis. Oh ya, air untuk mandi disiapkan dan ada kelapa gading berukiran Kamajaya dan Kamaratih... membuat Tari dan Janto terkagum-kagum. 
"Ini lukisan yang sangat rumit tapi indah. Tidak semua orang bisa melakukannya," kata Janto.
"Apa maksudnya ini bu?"tanya Tari.
"Maksudnya adalah, bila nanti anakmu lahir laki-laki, maka ia akan sangat tampan seperti Kamajaya, dan kalau perempuan, dia akan cantik seperti Dewi Kamaratih. Mereka adalah dewa dan dewi dari Kahya ngan," kata ibunya sambil tersenyum.
"Tapi ini bukan musyrik. Ini adalah tradisi dan budaya yang sangat indah. Ada orang yang mengaitkannya dengan agama, tapi tidak.. ini hanyalah tradisi," lanjut sang ibu.
Upacara berjalan sangat meriah, dihadiri oleh sanak dan tetangga sekitar. Tidak semua menjalankan tradisi ini, tapi bagi yang tidak tau, ini adalah sebuah peristiwa yang sangat mengesankan.Banyak rangkaian upacara yang menurut Tari adalah ribet, yaitu harus berganti kain sampai tujuh kali. Aduhai..
Ketika selesai upacara, Janto disuruh membelah kelapa tersebut.
"Kalau airnya muncrat, anaknya akan laki-laki, tapi kalau tidak, anaknya perempuan," sambung ibunya.
"Tapi ini mitos, dan sekali lagi hanya tradisi," kata ibunya lagi.
Dan Janto membelah kelapa itu dengan mulus, membuat air kelapa muncat, diiringi tepuk tangan keluarganya.
"Anakku akan laki-laki?" teriak Janto gembira.
"Wallahualam... bukankah semua tergantung Allah Yang Maha Kuasa?" 
***
Sore hari itu Tari mengajak Janto berjalan-jalan.
"Mas, mampir ke tukang cukur yuk. Brewokmu  itu lebih baik dicukur saja ya?" kata Tari ketika mereka sedang menyusuri pertokoan disore hari.
"Memangnya kenapa?"
"Jelek ah.."
"Kata orang-orang aku tambah ganteng lho."
"Tapi kataku tidak, mas ganteng kalau wajahnya bersih."
"O, iya.. seperti Nugroho ya, wajahnya bersih dan bersinar.."
Tari merengut. Lagi-lagi Nuroho.
Sampai ketika berada didepan sebuah barbershop, Tari masih diam. Janto menuruti kemauannya tapi menyertakan kata-kata yang tak henti-hentinya membuat Tari sakit hati.
"Jangan marah, itu kan kenyataan, bukankah wajah Nugroho itu bersih?"
"Hentikan menyebut nama itu mas !" kata Tari sengit, dan agar keras. Beberapa orang yang bersimpangan menoleh kearahnya, tapi Tari tak perduli.
Janto merangkul pundaknya.
"Ssst, itu ada yang menoleh kearah kita."
"Biarin !!"
"Kita sudah sampai, ayo, tungguin aku bercukur," kata Janto sambil menggandeng Tari masuk"
Agak sepi di barbershop itu, sehingga Janto langsung bisa dilayani.
Tari menunggu, duduk sambil meraih sebuah majalah yang terletak dimeja.
"Tari !"
Tari mengangkat kepalanya.
"Mas Nugroho ?"
Mendengar suara Tari, Janto menoleh kearah mereka. Wajahnya gelap seketika.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER