MIMPI LESTARI15
(Tien Kumalasari)
"Lagi ngapain Tari ?" tanya Nugroho sambil duduk disamping Lestari.
Tari belum sempat menjawab, karena dilihatnya Janto mengibaskan tangan kapster yang akan memotong rambut dan jenggotnya.. lalu berdiri dan berjalan mendekati.
"Mas.. iin.. in.. i.. suamiku.." kata Tari yang tentu saja menjadi gugup.
Nugroho mengulurkan tangannya tapi Janto menepiskan tangan itu, lalu jari telunjuknya menuding kearah Nugroho.
"Jangan ganggu isteriku !!" hardiknya.
"Mas !! Tari mengingatkan, karena diangapnya Janto sudah keterlaluan.
"Ini laki-laki yang kamu cintai kan? Aku heran mengapa juga bisa bertemu disini. Apa kamu mengabari dia supaya datang kemari?" katanya sengit.
"Mas Janto, kamu keterlaluan.!!" pekik Tari.
"Saya minta ma'af, saya tidak mengganggu siapapun.. hanya kebetulan saya juga mau bercukur disini."
Tiba-tiba Janto menarik tangan isterinya dengan kasar, dibawanya keluar dari tempat itu. Tari meronta, lalu tiba-tiba Tari jatuh .
"Aauughh!! jerit Tari.
Janto terkejut. Ia membungkuk ingin menarik bangun isterinya. Tapi Tari menepiskannya. Nugroho yang melihat Tari jatuh memburu keluar.
"Mau apa kamu?" Janto menghardik lagi.
"Itu mas, Tari berdarah," pekik Nugroho khawatir.
Janto terkejut. Melihat darah merah membasahi baju isterinya. Ia membungkuk berusaha menggendong isterinya. Tapi alangkah beratnya orang hamil. Nugroho tak perduli pada kemarahan Janto, ia membantu mengangkat tubuh Tari. Sehingga berhasil memasukkannya kedalam mobil. Janto memacu mobilnya, meninggalkan Nugroho yang terpana melihat kejadian itu. Trenyuh melihat Tari merintih kesakitan. Trenyuh melihat darah berceceran.
"Ya Tuhan, Tari, apakah kamu bahagia ? Aku melihat betapa bengisnya suami kamu. Tari, aku berharap kamu bahagia, " bisik Nugroho sedih.
Teriris batinnya, karena tak yakin Tari hidup bahagia. Seperti ingin direnggutnya Tari dari sisi laki-laki yang dianggapnya kejam dan tega menyakiti hati isterinya.
"Aku tak rela Tari diperlakukan seperti itu... Tari.. apa yang harus aku lakukan untuk membuat kamu bahagia?" bisiknya lagi.
Tak jadi bercukur, dia mengahampiri mobilnya, dan mencari kerumah sakit mana Janto membawa isterinya.
***
Janto duduk terpekur dirumah sakit itu. Hatinya bagai tercabik-cabik. Ia ingin menangis menyesali perlakuannya terhadap isterinya. Sekarang ia harus menunggu dengan hati berdebar penuh kecemasan.
"Ya Tuhan, selamatkanlah isteriku, selamatkanlah bayiku..." bisiknya dengan linangan air mata. Tak perduli beberapa penunggu pasien menatapnya iba.
Dokter yang merawat Tari keluar dari ruang bersalin. Janto berdiri dan mendekati dengan limbung.
"Anda suaminya?" tanya dokter.
"Ya dokter,"
"Isteri anda mengalami perdaharan. Kehamilan tak bisa dipertahankan."
Pucat pasi wajah Janto. Tubuhnya bersandar pada pintu ruangan itu. Kalau tidak pasti ia akan terjatuh.
"Aap..apa.. maksud dokter? Anakku.. tidak.. bisa selamat?"
"Isteri anda harus segera dioperasi."
"Aapa?"
"Bayi anda akan dikeluarkan paksa. Masih prematur, tapi ini yang terbaik."
Janto hanya bisa mengangguk.
"Lakukan yang terbaik untuk isteri dan anak saya, dokter." katanya gemetar,.
Setelah Janto menandatangani persetujuan operasi itu, Tari segera dibawa ke kamar operasi. Ketika brankar yang membawanya keluar, Janto memburunya dan berlari kecil disamping brankar itu. Dilihatnya mata Tari terpejam, wajahnya pucat.
"Tari... ma'afkan aku... kamu dan anak kita akan baik-baik saja Tari.." bisiknya.
Begitu isterinya masuk keruang operasi, janto terduduk di kursi tunggu. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Kecemasan melanda hatinya. Ia sampai lupa mengabari orang tua Tari tentang keadaan Tari.
Janto masih terpaku ditempatnya, ketika sesosok laki-laki mendekat.
Janto mendongakkan kepalanya. Wajahnya berubah. Dilihatnya Nugroho berdiri didepannya, menatapnya tajam.
"Boleh jadi dia sudah menjadi isteri kamu. Tapi kalau sampai kamu menyakitinya, membuatnya menderita, maka aku tak akan mema'afkanmu!!" kata Nugroho sengit, tegas dan dengn mata memandang menghunjam kearah Janto.
Tapi sebelum Janto menjawab. Nugroho berlalu dengan cepat. Janto ingin berdiri dan memburunya tapi tubuhnya terasa lemas.Ia hanya memandangi punggung laki-laki tegap itu dengan perasaan tak menentu.
Semakin disadarinya, bahwa Nugroho masih mencintai isterinya.
***
"Ini sudah malam, mengapa mereka belum pulang juga?" tanya ibunya Tari.
"Jalan-jalan lah bu, kan sudah lama mbak Tari meninggalkan Solo."
"Apa tidak capek, seharian mengikuti upacara, lalu jalan-jalan sampai malam."
"Namanya orang lagi seneng, mana ngerti bagaimana rasa capek..."
"Tapi kok perasaanku tidak enak begini ta nduk"
"Ibu tuh..."
"Coba kamu telpon dia Suci, ini sudah malam, hampir jam sepuluh. Toko-tokopun sudah pada tutup."
"Hallo...mbak Tari?" sapa Suci ketika menelpon.
"Hallo ini Suci?"
"Lho, ini mas Janto, mana mbak Tari?"
"Kakakmu dikamar operasi."
"Suci terkejut bukan alang kepalang.
"Operasi?"
"Ia baru saja melahirkan dengan operasi, bayinya laki-laki."
"Yaaa... ibu... mbak Tari melahirkan.."
"Melahirkan bagaimana ?"
"Dioperasi katanya, ayo bu kita kesana."
Ayahnya yang sudah merebahkan tubuhnya dikamar mendengar suara bahwa Tari dioperasi, langsung bergegas keluar.
"Tari operasi apa?"
"mBak Tari melahirkan pak, dengan operasi."
"Lha kenapa?"
"Ayo pak, kita kesana, Eh mas, dirumah sakit mana? Keadaannya bagaimana?"
"Baik semuanya, silahkan kalau mau kesini. Naik taksi saja, biar aku pesankan taksi on line," kata Janto yang sudah merasa lega.
Walau masih lemas tapi Tari sudah sadar. Janto duduk disampingnya, memegang tangan Tari yang sesekali diciumnya.
"Anakku baik-baik saja?" tanya Tari lemah..
"Anakmu baik-baik saja, ia ada didalam inkubator, karena belum sa'atnya lahir.
"Oh..." Tari memejamkan matanya. Kepalanya masih pusing.
"Aku tidak memberitahu orang rumah, khawatir mereka panik. Tapi barusan Suci menelpon, aku sudah memberitaunya."
"Terimakasih..."
"Tari, ma'afkan aku ya. Ini semua karena aku.." kata Janto terbata.
Tari tersenyum tipis. Tapi dia mengangguk.Tubuhnya masih lemas dan mengantuk. Mungkin efek dari obat bius sa'at dia dioperasi.
"Istirahatlah Tari, aku akan menjagamu."
Alangkah manis kata-kata itu. Tari hanya sayup mendengarnya karena kemudian terlelap.
***
Ketika keluarga Tari datang malam itu, Janto melarang mereka mengganggunya. Mereka hanya menjenguk sebentar, untuk melihat keadaan Tari, kemudian Janto mengajaknya keluar.
"Dimana cucuku?" tanya ibu dan bapaknya Tari hampir bersamaan.
"Masih diruang bayi bu, dimasukkan dalam inkubator karena lahir belum waktunya, tapi kata dokter keadaannya sehat," terang Janto.
"Bagaimana bisa tiba-tiba operasi dan melahirkan?"
"Ma'af bu, pak, saya kurang menjaganya. Tari tadi terjatuh," kata Janto penuh penyesalan.
"Oh, bagaimana bisa jatuh?" tanya bapaknya.
"Ya sudah tidak apa-apa nak, yang penting semuanya baik-baik saja," kata ibu mertuanya.
"Aku ingin melihat bayinya mbak Tari, apakah dia cantik seperti aku?" tanya Suci genit.
"Keponakanmu laki-laki Suci, ganteng seperti bapaknya," kata Janto sambil tersenyum.
"Brewokan seperti bapaknya ya?" kata Suci melucu.
Semuanya tertawa.
"Mana ada bayi brewokan Tari, kamu ada-ada saja," kata ibunya.
"Kalau mau melihat bayinya, besok saja, ini kan sudah hampir tengah malam," kata Janto.
"Bolehkah aku tidur disini?" kata Suci.
"Malam ini kamu sama bapak dan ibu pulang saja dulu, biar aku yang menjaganya."
"Baiklah, besok aku mau pagi-pagi sekali kemari, pengin melihat keponakanku."
"Jam bezoek dimulai pukul 10 Suci. Tuh ada tulisannya," kata bapaknya.
"Iya, sebenarnya ini tadi kan juga belum bisa masuk,"
"Mas Janto menyogok penjaga ya?"
"Bukan menyogok, aku bilang keluarga dari jauh saja. Sekarang bapak ibu pulang dulu, sama Suci, biar Janto carikan taksi ya."
***
Tapi pagi hari itu Janto mendengar dari perawat bahwa Tari perdarahan. Harus mendapat tranfusi darah secepatnya, tapi Janto harus mencari darah dari luar karena persediaan di rumah sakit tidak ada. Golongan darah Tari O.
Janto panik.Golongan darahnya berbeda. Ia menelpon ke rumah, yang cocog adalah golongan darah ibunya. Janto memintanya sang ibu datang.
Ketika Janto sedang bercakap dengan perawat bahwa ia harus menunggu ibunya, perawat mengatakan sebaiknya segera didapatkan. Sa'at itulah Nugroho kembali muncul.
"Apa golongan darahnya suster?"
"O. pak."
"Golongan darah saya O, silahkan diambil."
Janto melotot. Tapi Nugroho sudah mengikuti perawat itu.
Janto menghentak-hentakkan kakinya ke lantai untuk melepaskan rasa gemasnya. Mengapa Nugroho masih berkeliaran disini? Tapi ini kan demi keselamatan Tari. Janto mengelus dadanya, berusaha mengendapkan rasa amarahnya. Bukankah ia harus berterimakasih?
"Baiklah, keselamatan Tari lebih penting," gumamnya perlahan sambil menata desah nafasnya yang terengah engah.
Janto memasuki ruangan dimana Tari masih terbaring lemah. Wajahnya masih pucat, tapi dia sudah membuka matanya.
"Tari, bagaimana rasanya?"
"Pusing, dan lemas..."
"Kamu harus kuat Tari. Aku sedang menunggu ibu untuk mendonorkan darah untuk kamu, tapi Nugroho sudah datang dan darahnya ternyata sama dengan kamu," Janto menguatkan hatinya untuk mengatakan itu.
Tari mengerutkan keningnya.
"Nugroho?"
"Ia sangat memperhatikan kamu. Tak apa, yang penting kamu segera pulih dan sehat."
Tari tak menjawab. Ia memejamkan matanya, tapi pikirannya melayang kearah Nugroho. Mengapa dia bisa sampai kemari? Apa dia mengikuti ketika mas Janto membawaku kerumah sakit? Kata Tari dalam hati.
Janto juga tak mengatakan apapun lagi. Beberapa sa'at lamanya mereka terdiam, tapi Janto terus memegangi tangan isterinya.
Ketika kemudian perawat memasangkan 1 kantung darah untuk dimasukkan ke tubuhnya, Janto merasa miris.
"Ya Tuhan, isteriku... segera sehat Tari..." bisiknya lirih penuh haru.
Langkah mendekat terdengar, Janto mengira Nugroho memasuki kamar isterinya, ia bersiap untuk pergi dan berdiri, agar tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan didepan isterinya, tapi ternyata ibu dan bapaknya Tari.
"Nak, ibu siap mendonorkan darah, tapi perawat bilang bahwa darahnya sudah cukup."
"Iya bu, sudah ada pendonor yang memberikannya," kata Janto tanpa mengatakan bahwa pendonor itu adalah Nugroho.
"Mana Suci ?"
"Anak itu kelayapan sendiri. Katanya mau ke kamar bayi, ingin melihat keponakannya," kata bapaknya.
"Bagaimana keadaanmu nduk?"
"Baik bu. Ibu tidak usah khawatir." kata Tari lirih, sambil tersenyum.
"Ya sudah, biar ibu sama bapak menungguimu disini. Nak Janto tidak ingin istirahat dulu? Pulanglah nak, mandi dan ganti pakaian. Pasti nak Janto sangat letih.
Ya bu, sebentar lagi saya pulang. Bapak ibu sudah makan?"
"Belum nak, nanti saja gampang."
"Saya belikan makanan dulu, baru saya pulang," kata Janto sambil beranjak pergi.
***
"Aduuh.. keponakanku lucu sekali," kata Suci ketika keluar dari ruang bayi sambil tersenyum-senyum.
"Suci !!"
Tiba-tiba sebuah panggilan mengejutkannya. Suci berhenti melangkah, menatap laki-laki ganteng yang sangat dikenalnya.
"Mas Nugroho ?" panggilnya riang, lalu menjabat tangannya erat, dan menciumi tangan itu berkali-kali.
"Apa kabar Suci?"
"Baik mas, aku sudah hampir klas 3 sekarang. Ini berkat mas Nugroho."
"Jangan begitu Suci. Aku hanya sedikit membantu, dan semua itu adalah karunia dari atas sana," kata Nugrohosambil menunjuk kearah atas.
"Iya mas. Kok mas Nug ada disini? Kabarnya mas Nug sudah menikah? Putranya berapa mas? Laki-laki atau perempuan?"
Nugroho menepuk pipi Suci sambil tertawa.
"Pertanyaan sebanyak itu, mana yang harus aku jawab lebih dulu? Satu per satu dong."
Suci meringis. Senang pipinya ditepuk orang ganteng yang sudah sangat baik pada keluarganya.
"Baiklah, mas Nug sudah menikah kan? Putranya berapa?"
"Hampir dua."
"Laki-laki atau perempuan."
"Yang besar perempuan, sudah bisa lari-lari, yang adiknya masih dalam kandungan."
"Waah, heboh ya, sudah hampir dua.."
"Iya, heboh kayak kamu." kata Nugroho yang lagi-lagi menepuk pipi Suci. Sikap yang sangat akrab, tak berbeda ketika Nugroho masih sering datang kerumah.
"Lalu ngapain mas disini?"
"Baru mendonorkan darah nih, lihat," kata Nugroho sambil memperlihatkan lengannya yang ditempeli plester kecil dan masih tampak setitik darah disana.
"Oh, mbak Tari itu kan.... yaaah.. donor untuk mbak Tari ya?"
Nugroho mengangguk.
"Waaah, terimakasih ya mas, ayo ketemu mbak Tari dulu, bapak dan ibu juga ada disana. Pantesan ibu tidak jadi mendonorkan darah, rupanya sudah ada mas Nugroho."
"Salam saja ya Suci, aku lagi ada perlu."
"Suci !!" sebuah teriakan dari jauh terdengar. Janto melambaikan tangan kearahnya.
"Itu mas Janto, suaminya mbak Tari."
"Iya, aku tau, tapi aku sedang terburu-buru," kata Nugroho sambil berlalu. Ia berbelok arah ketika ada lorong mengarah kekiri, agar tak berpapasan dengan Janto.
"Ngapain kamu?"
"Barusan aku melihat keponakanku, ganteng banget deh mas.. "
"Sini, ini makan pagi untuk kamu sama bapak sama ibu, aku mau pulang dulu."
"Oh, baguslah, aku juga lapar nih. Oh ya, itu tadi mas Nugroho. Mas Janto kenal?"
"Ya aku kenal."
"Dia mendonorkan darahnya untuk mbak Tari, syukurlah, jadi ibu tidak usah diambil darahnya pula."
"Bawa makanan ini kedalam, aku mau pulang dulu," kata Janto sambil berlalu tanpa mengomentari ocehan Suci tentang Nugroho.
Suci bergegas menuju keruang kakaknya sambil menenteng bungkusan berisi makanan.
Begitu masuk ruangan dia berjingkrak mengabarkan bahwa dia sudah ketemu keponakannya.
"Asyik.. aku sudah melihat dia, mungil dan ganteng seperti mas Nugroho.. eh.. mas Janto." celotehnya sekenanya.
"Mengapa tiba-tiba menyebut nama masmu Nugroho?" tanya ibunya.
"Aku ketemu disana, dia yang telah mendonorkan darahnya untuk mbak Tari bu."
"Oh, nak Nugroho?"
Tari pura-pura tak mendengar Kembali ia memejamkan matanya.
***
Diparkiran, Janto melihat Nugroho juga sedang mau masuk ke mobilnya. Ia ingat ancaman Nugroho kemarin, dan geram mendengarnya. Memang benar dia telah menyelamatkan isterinya, tapi ancaman itu membuatnya naik pitam.
Nugroho tak berhak berkata seperti itu. Dia bukan apa-apanya.
Dengan langkah cepat dia mendekati Nugroho.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment