MIMPI LESTARI 16
(Tien Kumalasari)
Nugroho hampir masuk ke mobilnya, tapi ketika melihat Janto mendekat kearahnya, Nugroho menunggu.
Mereka berhadapan, saling menatap tajam.
"Ada apa? " tanya Nugroho mendahului menyapa.
"Kamu, boleh jadi telah menyelamatkan isteriku, tapi kamu tidak berhak menngancam aku."
"Mengancam?"
"Kemarin kamu bilang apa? Lupa?"
"Bukan apa-apa sebenarnya, percayalah aku tak akan merebut isteri kamu, tapi aku tidak suka melihat cara kamu memperlakukan Tari. Dia hampir celaka, bukan?"
"Itu bukan urusan kamu!"
"Aku hanya mengingatkan saja, jangan sampai Tari hidup menderita disamping kamu. Jangan khawatir, aku tidak akan merebutnya dari kamu," kata Nugroho sambil masuk kedalam mobilnya, dan menutupkannya keras.
Tapi ketika Nugroho sudah menstarter mobilnya, Janto berdiri didepan mobil itu, dan menggebrak bodi depan mobilnya.
Nugroho melotot, lalu kembali turun.
"Apa mau mu ?"
"Aku minta hentikan perhatian kamu sama isteriku !!"
"Dengar, aku mencintai Tari, walau tidak bisa memiliki. Aku hanya ingin Tari hidup bahagia, itu cukup! Jangan menyiksa dan membuatnya menderita!! Sekarang minggirlah, ada satpam mendekati kita," kata Nugroho lalu kembali naik ke atas mobil.
Kali ini Janto minggir. Ia tak ingin terjadi keributan ditempat umum, apalagi ia benar-benar melihat satpam rumah sakit berjalan mendekat.
Dengan gontai dia kembali ke mobilnya sendiri, menghempaskan tubuhnya dibelakang kemudi dan memacunya pulang.
Kata-kata Nugroho menancap di ulu hatinya, menimbulkan nyeri yang mengiris iris.
***
Sesampai dirumah mertuanya, Janto langsung mandi, berganti pakaian tapi tidak langsung kembali kerumah sakit. Ia merasa sangat letih, lahir batin. Kemudian ia merebahkan tubuhnya diranjang, mencoba memejamkan matanya.
"Mas, nanti aku boleh ikut kerumah sakit?" tanya salah seorang adik Tari yang tiba tiba menjenguk kearah kamar.
"Aku juga boleh kan?" tanya yang lain hampir bersamaan.
Janto membuka matanya dan tersenyum.
"Boleh, tapi mas mau tiduran dulu sebentar ya? Semalaman belum tidur.
"Ya mas... ayo. ayo... keluar dulu, mas Janto biar tidur dulu," katanya sambil mengajak adik-adiknya keluar.
Janto kembali memejamkan matanya. Perasaan tak enak masih merayapi hatinya. Kata-kata Nugroho terus menerus mengahantuinya.
"Dengar, aku mencintai Tari, walau tidak bisa memiliki. Aku hanya ingin Tari hidup bahagia, itu cukup! Jangan menyiksa dan membuatnya menderita!"
Janto memijit-mijit kepalanya yang terasa berdenyut. Tak pernah di bayangkannya ada seorang laki-laki yang berterus terang di hadapannya bahwa dia mencintai isterinya. Aduhai.
Janto harus menata hatinya untuk menentukan sikap. Haruskah dia menghajar Nugroho, atau mendiamkannya? Tapi dia hanya ingin melihat Tari bahagia. Lalu Janto menyadari, perbuatannya didepan barbershop itu menunjukkan bahwa dia menyakiti isterinya, membuatnya jatuh dan nyaris celaka, dan itulah yang membuat Nugroho mengira bahwa Tari menderita. Tapi menderitakah Tari? Janto merasa bahwa dia selalu mengasihinya dan menyayanginya. Tapi Janto sama sekali kurang menyadari bahwa mengaitkan banyak hal dengan Nugroho adalah sangat menyakiti isterinya.
Janto tak bisa memejamkan matanya. Ia bangkit dan melangkah keluar.
"Siapa yang mau ikut kerumah sakit?" teriaknya.
"Aku...." teriak adik-adik iparnya.
"Bersiaplah, mas Janto menunggu didepan ya."
"Katanya mau istirahat dulu, "
"Ternyata nggak bisa tidur, lebih baik kerumah sakit saja melihat adik bayi.."
"Asyiiiik..." teriak mereka kegirangan.
***
Siang itu Suci tak bosan-bosannya mondar mandir ke ruang bayi. Walau tidak masuk tapi Suci puas melihatnya dari jendela kaca. Melihat bayi itu bergerak-kerak, terkadang merengek mungkin kehausan.
"Hai... sayang.. ini aku... tante Suci.. cepatlah besar ya.. nanti kita bermain bersama.." sapanya tanpa perduli orang-orang yang lewat memandanginya sambil ikut tersenyum lucu.
Suci terkekeh melihat bayi mungil itu mengejap-ngejapkan matanya dan menggerak-gerakkan bibirnya.
"Hai.. apa kamu ingin menjawab perkataanku? Tapi aku sudah tau apa yang ingin kamu katakan. Tante Suci, aku mau kamu menggendongku... iya kan? Baiklah, kamu harus sabar ya.. begitu pulang dari sini aku akan menggendong kamu kemana-mana... "
Lalu dengan tanpa malu-malu Suci bersenandung... tak gendong.. kemana-mana...Ahaaa.. kali ini Suci juga sambil menggerak-gerakkan tangannya kekiri dan kekanan.
"Suci !! Ngapain kamu !!"
Suci terkejut ketika seseorang menyapa sambil menepuk pundaknya. Ia langsung berteriak kaget.
"Mas Nugrohoooo !!!"
Nugroho tertawa.
"Kamu itu ngapain.. megal-megol disini ?"
"Itu mas, nyanyiin keponakanku. Dia bilang minta gendong sama aku.."
"Ada-ada saja. Oh itu bayinya Tari ?"
"Iya mas, ganteng kan? Kayak mas Nugroho."
"Hush! Masa kayak aku...ya kayak bapaknya dong."
"Lucu bayinya, namanya siapa?"
"Belum tau, nungguin bapaknya lagi pulang, kasihan kecapean semalam nggak tidur."
"Oh ya, kamu sudah makan?
"Tadi makan pagi sudah di belikan mas Janto, tapi ini kan sudah siang."
"Berarti sudah lapar nih..?
Dengan malu-malu Suci mengangguk.
"Ayo makan, dikantin saja yuk.." kata Nugroho sambil menarik tangan Suci kearah kantin.
***
Sesungguhnya Nugroho mengajak Suci makan bukan tanpa maksud. Memang sa'atnya makan siang, tapi itu akan dipergunakannya untuk mencari tau tentang kakaknya.
"Mas Nug tidak ingin bertemu mbak Tari?" kata Suci disela-sela makan nasi soto di kantin itu.
"Ingin, tapi lebih baik tidak usah, nanti aku titip salam saja sama kamu."
"Iya, nanti disampaikan."
"Suci, sesungguhnya aku ingin menanyakan sesuatu."
"Oh ya, tanya aja..."
"Menurutmu, apakah mbak Tarimu itu bahagia?"
"mBak Tari? Maksudnya setelah menikah dengan mas Janto?"
"Ya.."
"Bahagia, kayaknya bahagia tuh, mas Janto kan sangat perhatian sama mbak Tari. Seneng ngelihatnya."
"Oh.. gitu ya?"
"Kenapa mas tanyakan itu?"
Nuhroho sesungguhnya heran, Suci mengatakan bahwa Tari bahagia, bahkan Suci senang melihat kerukunan mereka. Lalu yang dilihatnya didepan barbershop itu? Mangapa Janto begitu kasar pada isterinya, bahkan membuat hayinya lahir paksa dengan operasi padahal belum waktunya.
Suci menatap Nugroho, menunggu jawabannya.
Tapi Nugroho hanya menggeleng, lalu menghabiskan nasi soto yang tinggal beberapa suap lagi.
Nugroho tak ingin mengatakan perlakuan Janto itu. Tapi mengapa didepan keluarganya mereka dianggapnya bahagia? Mungkinkah mereka hanya berpura-pura? Dan Tari tak ingin memperlihatkan kebengisan suaminya didepan keluarganya?
"Mas Nugroho benar-benar tak mau ketemu mbak Tari?"
"Tidak usah, ngak enak sama suaminya."
"Memangnya mas Janto tau kalau mas Nugroho bekas pacarnya mbak Tari?"
"Tahu lah.. "
"Hm.. ya.. tapi harusnya tidak usah cemburu kan mas, bukannya mbak Tari sudah jadi isterinya mas Janto?"
"Harusnya.." gumam Nugroho.
"Apa mas Janto cemburu terhadap mas Nug?"
Nugroho hanya mengangkat bahunya.
"Oh ya, mau nambah?"
"Enggak mas, udah kenyang."
"Kalau begitu ayo, kembalilah kesana, aku juga mau balik saja."
"Mas Nugroho kemari tuh cuma mau nraktir Suci makan dikantin?" tanya Suci heran.
"Hem emh.." kata Nugroho sambil memanggil pelayan dan membayar makan dan minumnya.
Lalu Nugroho Menggandeng tangan Suci dan menariknya keluar dari kantin itu. Mereka berpisah didepan ruang dimana Tari dirawat.
***
Janto menurunkan adik-adik iparnya, dan mengantarkannya keruang rawat Tari. Tapi didepan pintu dia berhenti.
"Masuklah, mas Janto mau ada perlu sebentar," kata Janto sambil membukakan pintu untuk mereka, kemudian dia sendiri kembali kedepan, kearah parkiran.
Beruntung ketika itu Janto tak melihat Nugroho yang menjalankan mobilnya keluar, sehingga bentrokan itu tak terjadi.
Janto keluar dari halaman rumah sakit itu, lalu melaju membelah keramaian lalu lintas disiang hari itu.
Ia berhenti didepan sebuah berbershop, tapi bukan barbershop yang kemarin. Barangkali sungkan karena kemarin menimbulkan suasana tak enak disana.
Janto meminta agar rambutnya dicukur rapi, dan brewoknya dibersihkan sampai wajahnya menjadi licin. Itu kan yang disukai Tari?
Selesai bercukur Janto menatap wajahnya dicermin yang ada disana.
"Hm.. bukankah aku juga ganteng?" gumamnya lirih.
Ia membayar ongkosnya, lalu keluar dan mencari sebuah rumah makan. Keluarga isterinya ada disana dan pasti belum makan.
Janto memesan beberapa nasi bungkus lalu dibawanya kembali kerumah sakit.
Dan orang paling heboh yang meneriaki Janto ketika melihat penampilannya yang lain adalah Suci.
"Haaaa... apa ini benar mas Janto kakak iparku?"
Semua orang menatapnya dan tertawa tawa senang.
Janto tersenyum. Ia menyerahkan bungkusan makanan kearah Suci, lalu mendekati mertuanya dan mencium tangan mereka.
"Bapak, ibu.. ini mas Janto bawa makan siang untuk kita," teriaknya.
"Tapi aku sudah kenyang."
"Memangnya kamu sudah makan?" tanya Janto
"Tadi makan soto sama.....
Suci tiba-tiba teringat pertemuannya dengan Nugroho, dan NUgroho menyiratkan sedikit tentang kecemburuan Janto kepadanya, walau tak begitu jelas. Jadi ia tak harus menyebutkan nama Nugroho dihadapan Janto, padahal tadi sudah bercerita sama Tari dan kedua orang tuanya.
"Tadi makan soto sama siapa? Ulang Janto..
"Makan soto sama kerupuk..." jawabnya seenaknya.
"Sendiri?"
"Nggak, banyak kok temennya..."
Janto tersenyum, Suci selalu bisa membuat orang tersenyum. Kemudian dia mendekati Suci dan mencium keningnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya lembut.
"Tari, ini wajahku sekarang, seperti kemauanmu."
Tari menatapnya dan tersenyum.
"Bukankah aku juga ganteng?" tanya Janto.
Tapi Tari merasa imbuhan kata 'juga' itu seperti tidak terasa nyaman. Artinya ada si ganteng yang lain. Tapi Janto yang tiba-tiba merasa salah omong, kemudian meralatnya.
"Kan anak kita ganteng, bapaknya juga harus ganteng kan?"
Yang ini Tari bisa menerimanya. Ia tersenyum dan mengangguk. Tari memang belum banyak bicara, tubuhnya masih lemas, biar sorot matanya menampakkan rasa gembira berada diantara keluarganya.
"Tadi perawat menanyakan akan diberi nama apa anak kita," kata Tari pelan.
"Oh, nama.. ya, sudah aku siapkan... bagaimana kalau HARIS ? Haris Harjanto... manis bukan?"
"Apa itu artinya?"
"Artinya adalah pengawal dan pelindung. Ia akan selalu mengawal kamu, dan melindungi kamu."
Tari mengangguk senang.
***
"Mas, mengapa tidak datang menjenguk anak kita Minggu ini ?" tanya Asty hari Minggu itu ketika ternyata suaminya tidak datang.
"Ma'af Asty, lagi sibuk nih."
"Sibuk pekerjaan kantor ya mas?"
"Bukan. Kamu tau nggak, Tari melahirkan."
"Apa? Tari melahirkan? Bukankah kandungannya lebih tuaan aku dari pada dia? Belum ada delapan bulan bukan ?"
"Iya, dia terjatuh, lalu anaknya dikeluarkan paksa dengan operasi."
"Ya Tuhan.... kasihan benar, terjatuh dimana?"
"Dijalan, ketika mereka sedang berjalan-jalan. Kebetulan aku melihatnya." kata Nugroho tanpa ingin menceritakan secara rinci kejadian itu.
"Oh, lalu mas menungguinya?"
"Tidak, tapi aku menghawatirkannya, sehingga aku harus bolak balik kerumah sakit."
"Keadaannya bagaimana ?"
"Baik, tadi harus transfusi darah, kebetulan darahku cocog."
"Jadi mas mendonorkan darah juga untuk Tari?"
"Iya."
Asty terdiam. Apakah ini namanya jodoh terselubung? Raganya tidak bisa bersatu, tapi darahnya mengalir bersama-sama dalam satu tubuh.
"Ya sudah mas, sampaikan ucapan selamat dari saya untuk Tari dan suaminya ya?"
"Ya, kalau bisa ketemu aku sampaikan."
"Memangnya mas tidak ketemu ?"
"Tidak, nggak enak sama suaminya."
"Oh, dia tahu bahwa mas bekas pacarnya ya?"
"Mungkin."
"Ya sudah mas, kalau sempat sampaikan salam saya ya."
***
Seminggu lamanya Tari dan bayinya dirumah sakit. Sekarang Tari boleh menyusukan bayinya. Besok pagi sudah boleh pulang.
Janto sibuk menata kamar Yang disediakan untuk bayi dan ibunya. Ia juga membeli box kecil yang apik untuk anaknya.
Suci sibuk membelikan pakaian-pakaian bayi yang lucu-lucu untuk keponakannya.
"Tapi ini semua nanti dipaket saja ke Pasuruan ya, mobil kita nggak muat untuk segala macam box bayi dan semuanya. Sebenarnya bisa beli disana ya, tapi saking gembiranya aku sekalian beli box bayi itu. Bisakah kamu disini sebulan saja lalu aku jemput, so'alnya aku harus masuk kerja besok lusa. Ijinku hanya seminggu.
"Tapi mas, besok mas tidak usah menjemput saya kembali ke Pasuruan dulu."
"Apa maksudmu?"
"Aku mau tinggal disini dulu bersama keluargaku."
Wajah Janto mendadak menjadi gelap. Bayangan Nugroho kembali menghantuinya.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment