MIMPI LESTARI 17
(Tien Kumalasari)
Janto tak menjawab. Ia menyimpan gemuruh didadanya hanya didalam hati. Ia segan kepada mertuanya dan adik-adik iparnya.
Tapi Tari sengaja melakukannya. Biarlah agak lama tak bertemu. Ia ingin Janto mengerti, dan tak lagi mengusik ketenangan rumah tangganya dengan angan yang tidak pada tempatnya. Tari tidak mengerti, justru keinginannya tinggal membuat Janto bertambah curiga.
Sehari setelah Tari dan bayinya pulang, Janto juga segera kembali ke Pasuruan, karena besok pagi dia sudah harus mulai bekerja.
Memasuki rumahnya yang sudah sepuluhan hari ditinggalkannya, Janto merasa senyap menyelimuti hatinya.
Disetiap ruangan, tak ada suarapun menyambutnya.
Janto menghempaskan tubuhnya ke sofa. Lelah menyergapnya. Ia enggan kekamar mandi, dan tanpa melepas sepatunya juga, ia membaringkan tubuhnya. Menepis sepi yang menyentak, mencoba mengendapkan perasaan dengan memejamkan matanya.
***
Janto terbangun ketika mendengar alarm pada ponselnya. Pertanda sa'atnya bangun dan sholat subuh. Janto bangkit, heran melihat ia tidur masih dengan pakaian yang kemarin dan sepatu masih melekat dikakinya.
Diliriknya meja didepannya, tak ada secangkir teh panas menyambutnya.
Ia baru sadar bahwa dirumah ini dia sendirian, sepi tanpa teman. Dengan perasaan mengharu biru dia bangkit, melepas sepatu dan membiarkannya terletak dimana dia melepasnya, lalu bangkit kekamar untuk mandi.
Dalam sujud Janto khusuk berdo'a, agar rumah tangganya baik-baik saja.
Janto melangkah lagi keruang tengah. Melihat kopor dan bungkusan yang entah apa isinya, masih teronggok disana.
Astaga, Tari membawakannya pisang goreng, lauk gudeg dan sambal goreng, telur pindang dan kerupuk udang. Janto mengeluarkannya. Memasukkan pisang goreng kedalam microwave. Tapi sayur gudeg dan sambal gorengnya basi. Sayang sekali. Harusnya semalam dia memanaskannya.
Ia membuang makanan basi ketempat sampah. Lalu mengeluarkan pisang yang telah hangat. Oh ya, Janto lupa membuat minuman. Ia harus memanaskan air, lalu mengambil teh celup, dan menyeduhnya dengan air panas. Semuanya dibawakan oleh isterinya.
Janto duduk sambil menikmati teh buatannya sendiri dan goreng pisang yang legit.
Tak ada perhatian isterinya yang mengecewakan. Tapi mengapa hatinya selalu panas mengingat hubungan isterinya dengan Nugroho dimasa lalu? Apa karena dirinya kalah ganteng? Kalah dalam segi materi dan semuanya. Mengapa itu selalu menghantuinya? Bukankah ini bukan lagi sebuah pertandingan kalah dan menang sementara Tari sudah menjadi isterinya?
Janto merasa, alangkah susah sekali melepaskan perasaan itu.
Dentang jam tujuh kali berbunyi nyaring, Biasanya Janto sudah ada didepan meja makan dan menikmati masakan isterinya yang lezat. Janto menghela nafas, mencomot lagi sepotong pisang goreng, yang kemudian cukup membuatnya kenyang.
Ia berdiri, berganti pakaian kerja dan siap berkarya. Oh ya, ia harus menelpon isterinya. Tapi sebelum dia melakukannya, Tari telah menelponnya.
"Mas, sudah bangun?"
"Sudah, aku baru akan menelpon kamu."
"Sudah mandi dan sudah sarapan?"
"Sudah."
"Mas makan sama gudeg yang aku bawakan?"
"Oh.. iy.. iya.. makan," jawabnya berbohong karena tak ingin mengecewakan isterinya.
"Pisang gorengnya juga?"
"Ya.. sudah habis tiga potong."
"Syukurlah, sa'atnya mas bersiap untuk kerja kan?"
"Iya, apa kabar Haris?"
"Dia habis menyusu, sudah pulas lagi."
"Baguslah, jaga anakku baik-baik Tari. Dan jaga juga kesehatan kamu. Kalau kamu sehat maka anak kita juga akan sehat."
"Ya mas, hati-hati ya."
Hanya sekedar saling memperhatikan, itu cukup buat Janto. Semoga tak ada situasi yang merusak ketenangan hatinya. Tapi lagi-lagi perasaan was-was itu menghantuinya.
"Bagaimana kalau Nugroho datang dan tebar pesona dihadapan Tari?" gumamnya pelan.
Janto masih ingat, bahwa terang-terangan Nugroho mengatakan bahwa dia masih mencintai Tari. Dan itu membuatnya geram, walau Nugroho juga pernah mengatakan tak akan merebut Tari darinya. Lalu dia juga yakin bahwa Tari pasti juga masih mencintainya.
Janto mengenakan sepatunya lalu mempersiapkan apa yang harus dibawanya ketempat kerja.
***
Tapi ditempat kerja itu dia sama sekali tidak bisa sepenuhnya menekuni pekerjaannya. Setumpuk map yang belum dibuka dan butuh tanda tangannya masih diam membeku karena belum tersentuh oleh tangannya.
Desy, sekretarisnya datang, membawakan segelas coklat susu, lalu meletakkannya dimeja dihadapannya.
"Bapak, saya mengucapkan selamat atas lahirnya putra pertama," ucapnya sambil tersenyum manis. Apakah setiap sekretaris selalu memiliki sebuah senyuman manis untuk atasannya?
Janto mengangguk dan membalas senyuman itu.
"Terimakasih Desy."
"Lain hari saya akan datang kerumah dan mengucapkan selamat kepada ibu juga," lanjutnya masih dengan pose berdiri dan tetap dengan senyuman manis.
"Oh ya, tapi sa'at ini ibu Janto belum ikut pulang kemari, masih di Solo bersama orang tuanya."
"Oh, jadi bapak sendirian dirumah?"
"Apa boleh buat. Anak saya masih terlalu kecil untuk sebuah perjalanan jauh. Mungkin di bulan kedua atau ketiga nanti."
"Kasihan. Oh ya, bapak sudah sarapan ?"
"Eh... belum tuh, katanya sedikit malu."
Desy tersenyum lagi, kali ini lebih lebar.
"Saya tau karena sa'at ini tidak ada yang melayani. Saya pesankan untuk makan pagi ya? Nasi rawon? Mau ?"
"Boleh, boleh... pagi-pagi begini nasi rawon pasti enak.."
Desy beranjak pergi, mencari OB agar memesankan nasi buat bosnya.
Janto merasa, dadanya sedikit merasa lega. Apakah karena senyuman sang sekretaris? Bukan lah, mungkin karena disa'at perut lapar lalu ada yang memperhatikan, dan itu membuatnya nyaman.
Janto meraih map-map yang bertumpuk dihadapannya, dan memulai pekerjaannya.
***
Hari-hari yang dilalui Tari penuh dengan kesibukan merawat bayi kecilnya. Ia belajar memandikan, mengganti popok.. semua dari ibunya.
Suci yang ingin mencoba memandikan bayi dimarahi sama ibunya.
"Jangan dulu Suci, kamu itu polahmu saja nggak karuan, ibu takut bayinya nanti merucut.. apa nggak kasihan."
"Lha kamu kalau pengin segera punya bayi, ya cepat menikah to, seperti mbak Tari itu," kata adiknya sambil nyengir.
Suci mendelik menatap adiknya.
"Enak aja! Aku kan masih kecil."
"Katanya pengin punya anak..."
"Hush, bukan pengin punya anak,cuma pengin ikut mandiin Haris kok.."
"Suci, nanti kalau Haris sudah agak besar kamu boleh memandikannya, kalau sekarang, mbak masih khawatir. Lihat, dia masih sangat lembut, mBak saja masih was-was.." kata Tari.
"Iya.. tak sabar menunggu dia besar... duuh.. padahal kalau sudah agak besar pasti sudah dibawa bapaknya ke Pasuruan..," omel Suci.
Ketika Haris sudah dimandikan, dan wangi.. Suci dan adik-adiknya berebut mendekati dan menciumnya. Lalu bertengkar mana yang sudah dan yang belum.. aduuh.. bahagianya hati Tari menyaksikan kehebohan dirumah itu.
"Tari, menurut nak Janto, kamu sudah akan dijemput sebulan kemudian, mengapa kamu menolak? Kamu kan tidak seharusnya berlama-lama meninggalkan suami kamu."
"Tari kan punya anak bayi bu, dan masih banyak yang harus Tari pelajari dari ibu tentang bagaimana merawat bayi," kata Tari memberi alasan.
"Apa sebulan tidak cukup untuk kamu belajar? Ibu merasa kasihan sama nak Janto, siapa yang akan meladeninya kalau kamu tidak ada didekatnya."
"Iya bu, nanti akan Tari pikirkan lagi."
***
Pagi itu ketika sedang berjemur bersama anaknya didepan rumah, tiba-tiba Asty menelponnya.
"Hallo ibu muda..."
"Asty ?"
"Selamat atas kelahiran anak kamu ya,."
"Kamu tau darimana ?" tanya Tari kaget. Pasti Nugroho telah menceritakan perihal jetuhnya dia, lalu terpaksa melahirkan dengan operasi.
"Ya tau lah, mas Nugroho menceritakan semuanya. Dia juga mengatakan bahwa telah mendonorkan darahnya untuk kamu."
"Oh, iya.. ma'af.."
"Kamu tidak tau bahwa darah mas Nugroho mengalir dalam nadimu?"
Tari terkejut. Hatinya berdesir. Kata-kata yang baru saja diucapkan Asty begitu membuatnya merinding. Ya benar, ada darah Nugroho ikut mengaliri seluruh nadinya. Ini tak pernah difikirkannya. Ada darah laki-laki yang pernah dicintainya mengaliri tubuhnya.
"Tari, kamu tidak tau ?"
"Aku.. ma'af, aku setengah sadar waktu itu.. iya.. terimakasih banyak, tolong disampaikan ya Asty."
"Baiklah, akan aku sampaikan."
"Terimakasih Asty."
"Kandunganku harusnya lebih tua dari kamu, tapi kamu lebih dulu melahirkan. Tapi aku senang, kamu dan bayimu sehat."
"Iya, sehat. Alhamdulillah."
"Kamu di Pasuruan?"
"Tidak, aku masih di Kartosura, tapi mas Janto sudah kembali, karena kan harus bekerja."
"Oh, jadi kamu masih dirumah ibu? Baguslah, kalau aku ke Solo pasti akan mampir. Kangen sekali Tari, lama aku tidak bertemu kamu."
"Iya Asty."
"Ini kamu lagi ngapain?"
"Lagi berjemur sama anakku."
"Ya ampun, kirim ke aku donk fotonya."
"Baiklah, atau VC saja ya, tutup dulu biar aku menelpon kamu,biar kamu tau polah anakku juga."
"Bagus, baiklah.."
Dengan videocall itu Asty dengan jelas bisa melihat wajah anaknya Tari, bagaimana matanya berkedip, bibir mungilnya bergerak lucu.
"Ya ampuun, anakmu ganteng sekali, hidungnya mancung, matanya bening, rambutnya lebat. Oh ya, pak Janto masih berewokan?"
Tari tertawa.
"Sudah dicukurnya ketika aku melahirkan. Katanya biar nggak kalah ganteng sama anaknya."
Astypun ikut tertawa.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti didepan pagar. Tari terkejut.
"Asty, sudah dulu ya, sepertinya ada tamu, lain kali disambung lagi."
Tari menutup ponselnya. Ia berdiri menunggu tamu itu. Nugroho. Jantung Tari berdebar tak menentu. Darah laki-laki itu mengalir ditubuhnya, membuatnya merinding. Baru saja dia membicarakannya bersama Asty, tiba-tiba dia muncul. Masih pagi pula. Dan membawa bungkusan yang besar, dijinjingnya.
"Tari..." sapa Nugroho, selalu dengan suara lembut, yang dulu bisa menghanyutkannya. Tapi tidak untuk sekarang. Ada batasan yang melarang hatinya untuk itu. Tapi debar jantungnya tak juga hendak berhenti.
Nugroho melangkah semakin mendekat, kemudian wajahnya berseri mengamati bayi dalam gendongan Tari. Dielusnya kepala Haris.
"Aku belum sempat mengucapkan selamat. Sekarang aku ucapkan, semoga anak ini selalu sehat, cepat besar, dan menjadi kebanggaan orang tua."
"Aamiin, kata Tari dengan suara bergetar.
"Ini hadiah untuk si baby," katanya sambil mengulurkan bungkusan itu.
"Terimakasih."
"Aku letakkan diteras ya, nanti kamu berat membawanya," kata Nugroho sambil membawa bungkusan yang kemudian diletakkannya di teras.
"Kok sepi ?"
"Sudah pada berangkat sekolah, bapak berangkat kerja, ibu sedang kepasar."
"Bagaimana keadaanmu? Sehat?"
"Sangat sehat. Terimakasih telah menyambung hidupku dengan mendonorkan darah mas untuk aku," kata Tari yang lagi-lagi bergetar, teringat bahwa darah itu masih mengalir ditubuhnya.
"Aku hanya melakukan yang terbaik untuk kamu."
"Terimakasih."
"Suami kamu sudah kembali ke Pasuruan?"
"Sudah, kemarin, kan dia harus bekerja hari ini."
"Iya, sudah kuduga."
"Silahkan duduk mas."
"Aku hanya sebentar, karena harus ke kantor juga."
"Barusan Asty menelpon."
"Oh, syukurlah, aku sudah memberi tau bahwa kamu sudah melahirkan."
"Kapan Asty melahirkan?"
"Perkiraan bulan depan."
"Semoga lancar semuanya."
"Terimakasih Tari. Aku harap kamu bahagia."
Tari mengangguk. Ada rasa tak menentu ketika Nugroho meninggalkannya. Apakah cinta itu masih ada? Tari menggendong anaknya masuk kedalam, dan menepiskan perasaannya.
"Hentikan Tari, kamu isteri Harjanto, kamu harus mengabdi kepada rumah tanggamu," bisiknya pelan. Ia menidurkan anaknya di box bayi kemudian kedepan untuk mengambil bungkusan yang tadi diberikan Nugroho.
Perlahan Tari membukanya.
Sebuah selimut bayi berwarna biru muda, handuk bayi yang juga berwarna biru muda, sebuah gendongan bayi, semuanya sewarna, dan satu set perlengkapan bayi lainnya.
Tari menghela nafas.
"Ini barang-barang mahal, semoga nanti mas Janto tidak menanyakannya supaya tidak menimbulkan suasana panas kembali." bisiknya pelan sambil menata barang-barang itu diatas ranjangnya, dan membiarkan sebuah ucapan selamat, dari keluarga Nugroho masih terletak disana.
***
Siang itu Janto selesai makan siang. Desy membelikannya lontong. Entah lontong apa.. Janto tidak tau namanya. Ada kerang.. ada apalah.. ketika perut lapar maka makan apapun enak, apalagi ditemani Desy sekretarisnya yang melayaninya sejak dia makan pagi tadi.
Janto bermaksud menelpon Tari ketika Desy membawa segelas jus jeruk dan diletakkan dimejanya.
"Kok lengkap benar makan siangnya?" tanya Janto yang sudah siap menelpon isterinya.
"Tadi saya pesan sekalian. Biar segar. Silahkan diminum pak."
"Terimakasih, aku mau menelpon isteriku dulu."
Desy tampak mundur lalu duduk dimejanya sendiri yang agak jauh disudut ruangan.
"Tari.."
"Hallo mas Janto, ini aku Suci, mbak Tari lagi kebelakang."
"Kamu nggak sekolah?"
"Sudah pulang mas, gurunya rapat."
"Wah, senang ya kalau gurunya rapat, bisa pulang cepat."
"Iya dong mas, ini sudah ada dikamar Haris. Sayangnya dia lagi bobuk."
"Awas ya, kalau deket-dekat bayi harus sudah cuci kaki tangan dan ganti pakaian bersih."
"Sudah mas, jangan khawatir."
"Kalau Haris lagi bobuk.. ngapain kamu disitu? Jangan gangguin yang lagi bobuk ya."
"Enggak mas, aku lagi ngelihat nih, ada hadiah-hadiah bagus untuk Haris. Nih, selimut berwarna biru. handuk, gendongan bayi.. dan perlengkapan bayi yang bagus-bagus, semuanya berwarna biru. Cantik deh mas."
"Hadiah dari siapa tuh?"
"Dari... sebentar, ini ada tulisannya.. oh.. Nugroho..." Suci tekejut pada ucapannya sendiri, bukankah mas Jantonya cemburu berat sama Nugroho? Tapi sudah terlanjur, bagaimana meralatnya?"
Dan Suci berhasil memanaskan darah ditubuh Janto. Jadi benar bahwa dengan tak adanya dirinya disamping isterinya lalu Nugroho bebas datang mengunjungi Tari?
"Eh.. dari siapa sih mas.. nggak jelas, habis tulisannya sudah sobek-sobek," tapi ralat yang diucapkannya tak berhasil mengusir rasa kesal dihati Janto. Suci sudah mengatakan dengan jelas, dan tak mungkin dia salah membaca.
***
Karena kesal itu Janto tak jadi berbicara dengan Tari. Dengan alasan banyak pekerjaan Janto segera menghentikan pembicaraannya dengan Suci.
"Pak, jusnya sudah nggak dingin lagi lho," seru Desy dari sudut sana, setelah melihat Janto menutup ponselnya.
"Oh, iya, terimakasih, masih dingin..." katanya sambil menyedot jusnya, dan berusaha mendinginkan darah dikepalanya.
Kemudian dia menutup map yang tadi dibukanya, dan membenahi semua alat kerjanya.
"Desy, aku mau pulang sekarang."
"Oh, pulang pak?"
"Iya, badanku agak kurang enak, kepalaku pusing," katanya sambil berdiri, kemudian berlalu keluar dari ruang kerjanya.
Desy tiba-tiba merasa menyesal telah memberinya minuman dingin. Mungkinkah bos gantengnya pusing karena jus yang diberikannya?
***
Perasaan Janto terus-terusan merasa tak enak. Cemburu itu kembali mengusiknya.
"Kali ini hadiah untuk bayi Tari, kemudian untuk Tari, lama-lama apa..." Janto memijit keningnya sambil duduk diteras rumah.
Udara diluar mendung, seperti suasana hatinya, gelap dan pengap.
Lalu guntur bertalu, dan hujan mengucur deras, bagai dicurahkan dari langit.
Janto berdiri, bermaksud masuk kedalam rumah ketika sebuah sepeda motor memasuki halaman rumahnya.
"Desy?"
Dilihatnya Desy turun dari sepeda motor, lalu berlari keteras, sambil mengusap wajahnya yang kuyup oleh hujan. Bukan hanya wajahnya, bajunyapun basah kuyup.
"Desy, dari mana kamu hujan-hujan sampai kemari?"
"Dari kantor pak, khawatir bapak sakit, saya lalu kemari. Nggak taunya kehujanan. Sudah dekat ketika hujan turun deras."
"Aduh, kamu pasti kedinginan. Sebentar, ada baju isteriku yang barangkali bisa kamu pakai, pergilah kekamar mandi dan gantikan bajumu," kata Janto sambil masuk kedalam kamar.
Ia membuka almari isterinya, dan memilih baju yang sekiranya pantas untuk dipakai Desy.
Bersambung
No comments:
Post a Comment