MIMPI LESTARI 18
(Tien Kumalasari)
Desy melangkah kekamar mandi disebelah belakang seperti ditunjukkan Janto, bukan dikamar mandi yang ada didalam kamarnya. Ia sedikit kedinginan. Semua baju berikut daleman dilepaskannya, digantikannya dengan baju yang diberikan Janto. Ternyata sangat pas ditubuhnya. Tapi ia sungkan meminta kepada Janto untuk meminjam pula bra dan CD milik Lestari. Jadi ia hanya mengenakan baju saja. Tak apa, asalkan kering dan mengurangi rasa dingin yang menggigit.
Desy belum pernah bertemu Lestari, tapi baju yang dikenakannya bisa pas ditubuhnya. Desy keluar setelah menggantungkan baju basahnya di tempat jemuran dibalik kamar mandi itu.
Ketika melangkah kembali kedepan, Janto sudah menyiapkan segelas teh hangat dimeja.
"Desy, minumlah agar kamu merasa hangat."
"Terimakasih pak, saya jadi merepotkan."
"Sebenarnya kamu ini kenapa, hujan-hujan datang kemari?"
"Saya sebenarnya merasa bersalah telah memberikan jus dingin kepada bapak siang tadi."
"Mengapa?"
"Bukankah itu yang membuat kemudian bapak mengeluh sakit lalu buru-buru pulang?"
"Oh.. itu...." Janto tertawa..
"Karena jus itu barangkali, lalu saya memerlukan mampir sebentar untuk melihat keadaan bapak. Tak taunya kehujanan."
"Tidak, memang aku sedang tidak enak badan. Jadi bukan karena jus itu. Terimakasih perhatiannya, tapi ini membuat kamu kehujanan dan basah kuyup.
"Tidak apa-apa, begitu hujan reda saya permisi pulang."
"Sepertinya hujan ini akan awet. Kamu tinggalkan saja sepeda motor kamu, nanti aku antarkan."
"Tidak pak, tambah merepotkan."
"Tidak apa-apa, dikantor juga aku selalu merepotkan kamu."
"Tidak juga, kewajiban saya kan melayani bapak dikantor."
"Baiklah, minum dulu tehnya, aku masukkan sepeda motormu ke garasi, lalu aku antar kamu pulang."
"Biar saya masukkan sendiri pak."
"Jangan, sudahlah, minum saja tehnya, biar aku urus sepeda motor kamu.
Ketika Desy menyeruput tehnya, Janto sudah memasukkan sepeda motor Desy kedalam garasi, lalu mengeluarkan mobilnya kedepan teras agar ketika masuk kedalam mobil mereka tak kehujanan.
Sunguh Desy merasa tak enak telah menyusahkan bosnya.
"Sudah siap, mau saya antar sekarang?"
"Baiklah pak, sekali lagi terimakasih dan mohon ma'af ya pak."
"Sudah, lupakan saja. Ayo naik, biar aku mengunci pintu terlebih dulu.
***
Malam itu Tari menata barang-barang yang masih terserak, terutama hadiah-hadiah untuk Haris. Rasanya almari tidak cukup untuk semuanya, jadi Lestari hanya menatanya dimeja.
"Oh ya mbak, aku lupa, tadi siang mas Janto tilpon, ketika mbak lagi dikamar mandi, aku lupa bilang."
"Kok bisa lupa?"
"Habis, tadi aku disuruh ibu mengantarkan jahitan ke dekat pasar, jadi lupa semuanya."
"Bilang apa dia?"
"Tadi aku lagi ngelihat hadiah yang dari mas Nugroho, dia nanya, aku lagi ngapain, lagi ngelihat hadiah bagus-bagus.. trus dia nanya, hadiah dari siapa, aku bilang dari mas Nugroho."
Tari terkejut.
"Kamu bilang begitu?"
"Iya, apa mas Janto marah ya, telponnya langsung ditutup. Katanya lagi banyak pekerjaan."
Tari terdiam, mungkin saja Janto marah.. ia kan alergi mendengar nama Nugroho..?
"Baiklah, biar aku telpon saja dia."
Tari kemudian menelpon suaminya, tapi lama sekali tak diangkat.
"Kemana ya dia?"
Tari mencoba berulang-ulang, tetap tak diangkat.
Suci merasa bersalah ketika melihat Tari mengeleng-geleng setiap kali memencet nomor suaminya.
"Ma'af ya mbak, aku keceplosan.. memang mulutku ini agak susah diatur... Ma'af ya," kata Suci sambil memeluk kakaknya.
"Tidak apa-apa Suci, mungkin mas Janto sudah tidur."
"Ini kan masih sore mbak."
"Mungkin sedang beli makanan, kasihan tak ada yang melayani."
"Bukannya dia marah ya mbak?"
"Semoga saja tidak, sudahlah, jangan difikirkan lagi. Ayo menyiapkan makan malam, ini sudah sa'atnya."
"Tapi Haris masih belum tidur tuh, matanya melihat-lihat kearah aku. Hai... gantengnya tante.. mau ngomong apa kamu?"
"Ya sudah, kamu duluan sana, biar aku susukan Haris lebih dulu."
Namun sambil menyusui itu perasaan Lestari sungguh tidak enak Kalau saja dia bisa bicara, tapi apakah Janto memang tak mau menerima telponnya? Kalau begitu dia marah beneran.. Aduhai, Tari sungguh sedih memikirkannya. Ia benar-benar lelah mendapat perlakuan seperti ini. Cemburu yang tidak beralasan. Cemburu buta yang benar-benar membutakan mata hatinya. Bahkan tidak mempercayai cinta isterinya.
"Apakah sebaiknya aku minta dijemput saja ya, supaya kecurigaan dia tidak semakin berlanjut. Aku kira aku bisa kok merawat anak sambil mengurus rumah tangga," gumamnya sambil mengelus kepala anaknya.
***
Sudah malam ketika Janto kembali kerumahnya, karena dia mampir kesebuah rumah makan untuk makan malam. Sesampai dirumah ia ingin segera tidur, agar hilang semua kekesalannya.
Begitu memasuki kamar, dilihatnya ponselnya tergeletak diatas meja. Rupanya dia lupa membawanya karena keburu harus mengantarkan Desy pulang.
Dilihatnya beberapa kali isterinya menelpon.
"Ada apa dia menelpon? Ingin mengatakan kegembiraannya karena Nugroho datang menyambangi dia dan memberikan hadiah istimewa untuk anaknya?" gumam Janto yang kemudian mengabaikan ponselnya, beranjak kekamar mandi untuk membersihkan diri, lalu merebahkan tubuhnya diranjang.
Beberapa sa'at lamanya, tiba-tiba Janto mendengar suara teriakan..
"Pak Janto... pak Janto..."
"Lho itu kan suara Desy, ada apa Desy berteriak-teriak?"
Langkah-langkah mendekat mengejutkannya. Desy menubruknya dengan pakaian yang sudah robek disana sini. Janto merengkuhnya.
"Ada apa kamu ini? Apa yang terjadi ?"
"Aku mau diperkosa pak, tolong.. lihat, ini baju bu Janto yang saya pakai, ditarik-tarik sama orang itu, sampai tercabik-cabik seperti ini," tangisnya tanpa melepaskan pelukannya.
Nafas Janto sesak, tubuh itu semakin erat merengkuhnya sehingga dia jatuh terjerembab.
"Adduh....."
Janto membuka matanya. Tubuhnya berada dibawah ranjang, sebelah bahunya terasa nyeri.
Tak ada Desy dikamarnya, Janto bingung.
"Ya Tuhan, aku hanya bermimpi. Mengapa aku memimpikan Desy? Aku sama sekali tidak memikirkannya. Apa karena aku tadi mengantarnya lalu kebawa dalam mimpiku?" keluhnya sambil bangkit, lalu kembali merebahkan tubuhnya, sambil mengelus elus bahunya yang sakit.
***
Pagi hari itu ketika Janto sudah bersiap berangkat, Tari menelponnya.
"Ya, ada apa, tidak usah dilaporkan, aku sudah tau," kata Janto ketus.
"Apa sih mas, mas itu jauh atau dekat kok ya tidak ada bedanya, suka sekali menyakiti aku. Kalau begitu namanya bukan cinta. Mas memang ingin menyiksa aku bukan?" kata Tari menahan isak.
Hati Janto luluh. Ia tak sampai hati mendengar atau melihat isterinya menangis.
"Tari.. mengapa Nugroho masih menyambangi kamu? Itu yang membuat aku sakit."
"Dia hanya memberikan hadiah buat Haris, pagi sebelum kekantor. Tidak bicara banyak. Aku juga belum mengucapkan terimakasih karena dia telah menyambung nyawaku. Baru kali itu sempat mengucapkannya. Apa mas sudah ? Bukankah kalau tidak ada dia maka aku sudah tak ada didunia ini karena kehabisan darah?" kata Tari bertubi-tubi.
Janto tersentak. Memang benar bahwa kalau tak ada Nugroho mungkin isterinya sudah tak ada lagi disampingnya. Tiba-tiba Janto merasa bahwa bulu kuduknya merinding. Bukan apa-apa, tapi bayangan kehilangan isterinya itu sangat menakutkannya.
"Tari, ma'afkan aku."
"Mas selalu begitu."
"Ya sudah, jangan sedih, aku kan sudah minta ma'af. Sekarang aku berangkat ke kantor dulu ya."
"Mas, tunggu.. bagaimana kalau minggu depan mas menjemput aku?"
"Menjemput kamu? Tapi Minggu ini dan Minggu depan ada acara kantor, jadi aku belum bisa, mungkin minggu berikutnya."
"Acara apa hari Minggu mas?"
"Kami sedang merencanakan akan membuka cabang didaerah lain. Minggu besok dan minggu berikutnya ada pertemuan yang tidak bisa aku tinggalkan."
"Ya sudah mas, aku menunggu saja. Berangkatlah ke kantor dan hati-hati. Oh ya mas, semua cucian ngak usah dicuci saja. Masukkan ke laundry saja biar ngak kecapekan."
"Iya.. Aku siap-siap dulu."
Janto teringat mengumpulkan baju kotornya, dimasukkannya kedalam tas. Dan akan dibawanya ke laundry. Memang benar, ia tak harus mencuci sendiri baju-baju kotornya.
***
Tapi hari itu Janto tidak menemukan Desy diruangannya. Tampaknya dia belum datang. Tapi tumben, biasanya dia datang lebih dulu.
"Oh, ya ampun .. motornya kan ada dirumah.. mungkin dia naik angkutan umum lalu kena macet."
Janto menelponnya.
"Halo pak, saya minta ma'af."
"Kamu dimana Desy?"
"Saya masih dirumah, saya sakit pak, badan saya panas sekali."
"Waduh, sudah minum obat?"
"Kebetulan tidak punya obat apapun dirumah pak."
"Baiklah, aku suruh orang membawakan obat untuk kamu, tapi kalau sampai sore panasnya belum reda, lebih baik kamu ke dokter. "
"Tapi.. kendaraan saya ada dirumah bapak."
"Nanti aku antarkan kamu. Tapi coba dulu minum obatnya, sebentar, aku akan suruhan orang ketempat kamu."
"Terimakasih pak."
Janto segera menyuruh orang untuk membelikan obat lalu mengirimkannya ke rumah Desy.
***
Sore itu Janto mengantarkan Desy kedokter, karena dia hanya anak kost yang jauh dari orang tua.
"Ini bukan panas biasa, saya curiga ini thypus atau demam berdarah."kata dokter itu.
"Lalu bagaimana dok, dikasih obat?"
"Ini obat sementara, hanya untuk menurunkan demamnya, tapi sebaiknya diperiksakan darahnya di laboratorium."
"Oh, baiklah dokter."
"Saya berikan resepnya untuk ambil obat di apotik, dan surat pengantarnya untuk laborat. Besok hasilnya diberikan kepada saya."
"Baiklah."
Janto langsung mengajak Desy ke laborat untuk cek darah. Karena sudah sore, hasilnya baru bisa diambil besok paginya. Janto membelikan obat sesuai resep yang diberikan dokter, lalu mengantarkannya pulang.
"Apa kamu sudah makan?"
Desy mengangguk lemah.
"Kalau begitu segera sesampai dirumah kost kamu, minum obatnya. Besok aku yang akan mengambil hasil lab.nya kemudian langsung membawanya ke dokter," kata Janto sebelum meninggalkan rumah kost Desy.
"Kalau ada apa-apa, segera telpon saya."
"Baik, terimakasih banyak pak."
Janto meninggalkan rumah kost itu dengan perasaan iba. Sebetulnya dia tak tega meninggalkannya dalam keadaan sakit, tapi mau bagaimana lagi. Semoga tak ada apa-apa yang menghawatirkan. Kata batin Janto.
***
Tapi hasil lab menunjukkan bahwa Desy terkena thypus. Ia harus opname dirumah sakit.
Janto sibuk menempatkan Desy dikamar yang baik,
"Kamu tenang saja disini Desy, dokter akan merawatmu sampai sembuh. Sekarang berikan alamat keluargamu atau nomer kontak yang bisa aku hubungi, agar aku bisa mengabarinya."
"Jangan pak. Yang ada dirumah hanya nenek saya, sudah tua. Saya tidak punya orang tua lagi."
"Oh.. begitu ?"
"Iya pak, kasihan nenek kalau mendengar saya sakit, nanti dia sedih dan kebingungan."
"Jadi tak apa-apa seandainya tak ada yang menemanimu disini ?"
"Tidak apa-apa pak."
"Baiklah, tapi kalau ada apa-apa tolong aku dikabari. Kalau bukan aku nanti akan aku minta orang kantor mengurus semuanya. Semoga tidak akan lama, kamu segera sembuh. Yang penting ta'ati semua anjuran dokter."
Desy mengangguk. Tubuhnya terasa lemas dan badannya masih panas. Janto meninggalkannya agar Desy bisa beristirahat.
***
"Jadi nak Janto tidak bisa segera menjemput kamu ?"
"Tidak bisa bu, ada acara dikantor yang tidak bisa ditinggalkan."
"Kalau kamu segera ingin pulang, naik travel saja, biar Suci mengantarkan."
"Jangan bu, kasihan Haris. Nanti saja nunggu mas Janto."
"Ya sudah, ibu itu kan hanya perihatin, kalau nak Janto mengurus semuanya sendiri."
"Kalau disuruh milih sih, lebih suka disini, rame.."
"Hush, kamu itu sudah bersuami, sudah punya kewajiban yang berbeda dengan mengurusi keluargamu. "
"Iya bu.."
***
Tapi dua minggu yang dijanjikan itupun Janto belum bisa menjemput isterinya. Ia sibuk mengurusi Desy yang ternyata baru duapuluh hari boleh pulang.
Minggu ketiga itu Janto baru bisa menjemput isteri dan anaknya. Tapi ia enggan membawa box bayi yang pernah dibelinya. Senang hati Tari begitu memasuki halaman rumahnya.
Bagaimanapun Tari rindu dengan rumahnya yang hampir setahun ditinggalinya bersama suaminya.
Ia memasuki rumah yang masih tertata rapi, tapi banyak debu disana sini.
"Mas Janto nggak sempat membersihan debu-debu.. " gumamnya.
Tapi ketika memasuki kamarnya. ia melihat kamar itu tertata rapi. Dan sudah ada box bayi disana, semuanya dengan tatanan yang apik. Pantesan Janto tak mau membawa box bayi yang sudah dibelinya di Solo.
Tak ada debu dikamar itu, semuanya rapi dan berkilat.
"Aku khusus membersihkan kamar ini untuk Haris. Yang lainnya tidak sempat. Ma'af ya." kata Janto ketika isterinya menidurkan anaknya di box barunya.
"Tidak apa-apa, kan sudah ada aku. Disela-sela merawat Haris aku masih bisa merawat rumah kok."
"Dan merawat aku juga kan?"
"Iya, asalkan tidak neka-neka saja.."
"Neka-neka itu bagaimana sih?"
"Ngomong yang engak-enggak.. aku nggak suka itu."
Janto hanya tersenyum. Tapi alangkah susah menghilangkan rasa cemburu itu.
Lestari melangkah kebelakang. Melihat isi kulkas, adakah persediaan makanan disana. Ternyata tidak ada. Untunglah tadi membawa sayur masakan ibunya dari Kartosura.
Kemudian ia membuka pintu belakang dapur, agar bisa bernafas dengan lega, dengan melihat hijaunya kebun disamping rumah.
Tapi tiba-tiba matanya tertuju kepada sesuatu yang tersampir di jemuran.
Ada pakaian wanita, celana dalam wanita, dan bra, tersampir disana.
Tari tersentak kaget. Jadi ada perempuan menemani Janto dirumah ini? Apa saja yang dilakukannya?
Lestari bergegas kedepan, dengan kemarahan yang tak bisa ditahannya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment