MIMPI LESTARI 19
(Tien Kumalasari)
Tari mencari suaminya kedepan, tadi dia melihatnya masih membuka bagasi mobil untuk mengeluarkan barang-barang, ternyata tak ada. Tari masuk lagi kedalam, dan melihat suaminya sedang berbaring disamping anaknya.
"Mas, sini mas, keluar. Jangan menjamah anakku dengan tangan kotormu !!
Janto terkejut.
"Cepat mas, keluaaarr!!
Tari menunggu diruang tengah, agar anaknya tak sampai terbangun dengan kata-katanya yang tak terkendali.
"Apa ini? Ada apa? Tari,,,"
Janto menatap isterinya yang duduk dikursi dan memandangnya dengan mata berapi-api.
"Itu sebabnya mengapa kamu mundur-mundur ketika aku ingin kamu segera menjemput aku. Itu sebabnya telponku tidak segera kamu jawab. Kamu menyindir nyindir aku setiap sa'at untuk sesuatu yang aku tidak pernah melakukannya. Tapi kamu sendiri melakukan perbuatan yang menjijikkan. Dimana kamu melakukannya mas, biar aku buang ranjang dan kasurnya ke jalanan!!"
"Tari, kamu mengucapkan apa? Ada apa kamu ini Tari, aku tidak mengerti."
"Ya, kamu tidak mengerti ketika tiba-tiba aku tau semuanya. Tak perlu lama membuktikan kebusukan kamu, dan Tuhan telah menunjukkannya padaku."
"Tariii..!"
"Aku mau pulang kembali ke Kartosura. Jangan bongkar barang-barangku!" kata Tari yang kemudian bangkit dan berjalan kearah kamar. Kopor berisi pakaiannya dan pakaian anaknya belum dibongkar. Tari menariknya keluar dari kamar, menempatkannya di teras. Janto mengikutinya dengan bingung.
"Tari !! Apa kamu sudah gila?"
"Ya, aku gila karena telah mempercayai kamu. Jangan halangi aku, aku mau pulang kembali, sekarang juga."
Tari mengambil ponselnya, mencoba memesan taksi atau apapun, yang bisa segera membawanya pergi.
Janto merebut ponsel itu.
"Maukah kamu menjelaskannya, aku benar-benar tak mengerti."
"Minggir mas, aku mau membawa anakku pulang, Mana ponselku !!" katanya sambil berusaha merebut kembali ponselnya.
"Baiklah, tenangkan dulu hatimu, redakan kemarahan kamu. Aku sungguh tidak mengerti mengapa kamu tiba-tiba marah yang tidak terkendali. Aku belum pernah melihatmu marah seperti ini. Katakan Tari."
"Mana ponselku, aku mau menelpon taksi."
"Baiklah, tak usah menelpon taksi, mari aku antarkan saja. Tak apa pulang kembali ke Kartosuro kalau memang itu maumu."
"Hm, seneng ya.. membiarkan aku kembali, biar kamu lebih leluasa lagi membawanya kerumah ini."
Tari sudah berhasil merebut ponselnya dan kembali menelpon taksi.
"Biar aku antar kamu, tapi tolong katakan ada apa Tari," kata Janto memohon, kali ini berusaha merengkuh Tari."
"Jadi kamu menganggap aku bodoh dan tidak tau apa-apa mas, baiklah, akan aku tunjukkan," kata Tari sambil beranjak lagi kebelakang. Ia meraih baju yang masih tergantung di kawat jemuran, berikut bra dan celana dalamnya, kemudian dilemparkannya kehadapan Janto.
"Kurang jelas apa ini? Seorang wanita, mencopot baju berikut celana dan bra nya, dirumah ini. Kurang jelas apa mas?"
Janto terperangah.
"Mengapa baju ini masih tertingal disini ?"
Dan ucapan keheranan itu justru membuat kemarahan Lestari lebih meluap.
"Barangkali dia sengaja meninggalkannya supaya aku tau Kamu terkejut? Lupa mengingatkan bahwa dia harus menyembunyiukan barang busuk ini?" "
"Tidak, begini Lestari, sebenarnya itu sudah lama.. sejak..."
"Bagus, sudah lama? Berapa lama?" Tari memotong dengan sengit.
"Bukan begitu, aduh, dengar dulu dan jangan memotongnya, apalagi dengan kemarahan Tenang, jangan bicara apapun dan aku akan mengatakannya. Itu Baju Desy, sekretaris kantor, yang kesini waktu hujan lebat."
O, jadi sekretaris kantormu sudah berani menjamah suamiku?"
"Tari dengar dulu, aku tak sekotor itu, dengar dan jangan bicara!!" kali ini Janto membentak karena Tari tak hendak berhenti memaki-makinya.
Tari terdiam, terkejut mendengar Janto yang sudah bersalah tapi masih berani membentaknya. Tapi kemudian dia memang diam sambil menahan emosinya.
Lalu Janto menceritakan ketika sore sepulang kantor Desy kerumah, mengira dia sakit dan ketika datang itu Desy kehujanan. Melihat bajunya basah kuyup, dia menyuruhnya mengganti pakaian kering punya Lestari. Mungkin dia lupa membawa pulang baju basahnya itu.
Tari mendengarkan, tapi masih belum bisa menerima.
"Kalau dia meninggalkan bajunya tidak sengaja, mengapa keesokan harinya tidak diambilnya?"
"Dia jatuh sakit pagi harinya, sampai opname selama duapuluh hari lamanya, baru kemarin boleh pulang dari rumah sakit. Lihat di garasi, sepeda motornya masih tertinggal disitu."
Tari mulai menurunkan gelegak darah yang memanas diubun-ubunnya. Ia merasa apa yang dikatakan suaminya itu beralasan. Tapi ia masih merasa curiga. Ditatapnya Janto untuk mencari kesungguhan dalam kata-katanya.
"Kamu mengerti Tari? Kamu bisa mempercayai aku ?"
Melihat Tari terdiam, Janto mendekati isterinya, dan merengkuhnya erat.
"Aku ketakutan melihat matamu menyala seperti menyemburkan api. Baru kali ini aku melihatnya Tari, tapi aku senang, bukankah cemburu pertanda cinta?"
Kemarahan Tari perlahan luluh, tapi ia tidak sepenuhnya mempercayai kata-kata suaminya, apalagi bayangan baju, bra dan celana dalam itu selalu terbayang dipelupuk matanya. Dalam hujan,basah kuyup, hanya berduaan, apapun bisa terjadi. Aduhai.. Ternyata tak mudah menghilangkan rasa cemburu.
***
Suasana sudah mereda Tari tampak tenang . Ia mulai membersihkan rumah yang dilihatnya berdebu karena berhari-hari tidak dibersihkan.
"Tari, biar aku saja."
"Nggak apa-apa, kan mas harus bekerja."
"Nanti kamu kecapekan..."
"Biar saja, nggak apa-apa.. itu aku sudah menyiapkan sarapan.silahkan makan dulu."
"Baiklah, nggak ditemani ?" tanya Janto ketika Tari tidak beranjak.
"Tanganku kotor mas.. ini masih bersih-bersih. Mas makan saja dulu, aku nanti saja, ganpang."
Dan Janto merasa bahwa sikap Tari masih tampak kaku dan tak banyak bicara. Berarti Tari masih mencurigainya. Belum sepenuhnya percaya pada semua kata-katanya kemarin.
Janto menghabiskan sepiring makan paginya tanpa mengucapkan kata-kata. Setelah isterinya marah-marah kemarin, sikap mereka masih tampak kaku dan canggung. Yang satu masih memiliki sedikit rasa curiga, satunya lagi masih kesal karena dimaki-maki.
"Sudah mas, sarapannya?"
"Sudah."
Janto sedang mengeluarkan mobilnya dari garasi, ketika tiba-tiba Desy muncul. Tari yang sedang berada diruang tengah untuk menggantikan taplak meja melihat kedatangannya. Ia belum pernah bertemu Desy, tapi ia yakin pasti itulah Desy.
Begitu mendekati suaminya Desy langsung menyalami tangan Janto, dan menciumnya agak lama. Dada Tari sedikit gemuruh. Mengapa sih pakai cium-cium tangan segala, agak lama pula.
"Terimakasih atas semuanya pak, kalau tidak ada bapak, entah apa yang terjadi pada saya ini."
"Sudahlah, simpan saja rasa terima kasihmu itu, aku tak merasa berbuat lebih. Kamu karyawan yang baik, dan bukan cuma aku yang memperhatikan kamu. Banyak kawan-kawan kamu yang lain kan?"
Tari terus menerus mengawasi adegan itu. Ia berjanji, kalau keduanya berpelukan maka ia sudah menyiapkan gagang sapu untuk dipukulkannya. Tapi tidak, mereka berbicara entah apa. Tari tidakbisa mendengarnya karena jaraknya terlampau jauh, tapi senyuman Desy itu membuat hatinya terusik. Alangkah manisnya senyum itu. Kalau Janto terpesona, rasanya tidaklah aneh.
"Saya ingin mengembalikan baju ibu, dan saya baru ingat baju saya tertinggal di jemuran belakang kamar mandi."
"Oh iya, ayo masuk dulu, kamu juga sekalian mau mengambil sepeda motormu?"
"Iya pak, habis ini saya langsung ke kantor."
"Tariiii..." Janto berteriak memanggil isterinya. Maksudnya mau memperkenalkan Desy kepada isterinya. Tadi sepertinya ada diruang tengah, kemana dia?
"Oh, ibu sudah ada disini?"
"Ya, kemarin aku menjemputnya. Sebentar ya.."
Janto melangkah kebelakang.
"Tariiii..."
Lalu dia masuk kekamar, kamar mandinya terkunci.
"Tari ?"
"Aku didalam mas, perutku sakit sekali," teriak Tari dari dalam kamar mandi.
"Oh, ada Desy, kamu harus berkenalan."
"Aduh, aku masih lama mas, bilang saja aku lagi di kamar mandi."
"Dia mau mengembalikan baju kamu yang aku pinjamkan dulu, sambil mengambil bajunya yang tertinggal dan juga sepeda motornya."
"Ya, mas, urus saja semuanya, perutku tiba-tiba mules nih.."
Janto kembali kedepan sambil membawa bungkusan baju yang kemarin dilemparkan isterinya lalu kemudian dibungkusnya dengan sebuah tas plastik.
"Ini baju kamu Desy, sebentar, aku ambilkan sepeda motor kamu."
Janto mengambilkan sepeda motor Desy yang kemudian diterima Desy lalu meletakkan bungkusan plastik berisi bajunya di gantungan sepeda motornya.
Desy mencoba menstarter sepeda motornya, tapi susah. Lama tidak dipergunakan jadi ngadat. Janto mendekat lalu mencoba menstarternya. Ketika itu Desy sudah duduk diatas sadel, dan Janto menstarter sambil memegangi belakang sadel dan kemudinya. Ketika itu Tari melihatnya, dan berdesir hatinya karena seakan Janto sedang memeluk Desy dari belakang.
Untunglah kemudian mesin motor itu menyala, dan Janto mundur kebelakang.
"Jangan dijalankan dulu, dia perlu pemanasan," kata Janto.
Beberapa sa'at lamanya barulah Desy meninggalkan halaman rumah Janto setelah mengucapkan terimakasih.
Tapi baru saja berjalan Desy menghentikan motornya dan menoleh kearah Janto.
"Lain kali saya akan kemari untuk ketemu ibu ya pak."
"Ya Desy, silahkan."
Tak lama kemudian Desy sudah lenyap dibalik pagar.
Ketika membalikkan tubuhnya, dilihatnya Tari berdiri diteras sambil membawa kemoceng ditangannya.
"Kamu tadi kenapa?"
"Perutku mendadak mulas sekali."
"Sekarang bagaimana ?"
"Sudah lega."
"Ini baju kamu yang dulu aku pinjamkan untuk Desy. Dia bilang suatu hari akan datang menemui kamu."
"Untuk apa?"
"Ya bersilaturachmi .. kan kalian belum pernah berkenalan. Ini baju kamu."
"Oh ya, taruh saja disitu mas, aku belum selesai bersih-bersih."
"Ya sudah, aku berangkat kekantor dulu ya.." kata Janto sambil berlalu.
Tari menghela nafas. Terbayang kembli wajah cantik yang memiliki senyuman sangat manis, dan tampaknya suaminya sangat memperhatikannya.
Ketika suaminya berangkat, ia membuka bungkusan baju yang tadi dikembalikan Desi. Sudah wangi dan diseterika rapi. Tapi Tari membiarkannya tergeletak dikursi depan.
"Nanti kalau ada tukang sayur lewat aku akan memberikannya. Baju ini masih terhitung baru, tapi aku enggan memakainya setelah dipakai Desy," gumamnya sambil melanjutkan bersih-bersih.
Katika selesai dan memasuki kamarnya, dilihatnya Haris masih terlelap. Anak itu tidur dengan sangat beraturan. Dia baru bangun setelah tiga jam ibunya memberikan ASI, dan menidurkannya.
***
Siang hari itu Tari selesai belanja, hanya di tukang sayur yang kebetulan lewat. Baju yang tadi dikembalikan Desy diberikannya kepada ibu tukang sayur itu, yang kemudian menerimanya dengan senang hati.
Tari hanya memasak sayur bening yang berisi bayam dan kacang panjang, lalu ia juga menambahkan wortel dan irisan tomat kedalamnya. Ia harus banyak makan sayuran agar anaknya juga sehat. Itu anjuran ibunya sebelum dia berangkat.
Ia juga membuat tahu dan tempe bacem. Lalu menggoreng ikan yang semuanya dibeli dari tukang sayur itu. Ia tak harus belanja untuk memasak lauk kemana-mana, karena tukang sayur itu membawa dagangan sayur lengkap dengan semua bumbu-bumbunya.
Setelah mandi Tari duduk diruang tengah sambil menikmati acara di televisi.
Karena iseng dia kemudian menelpon Asty. Hatinya tak begitu tenang setelah kedatangan Desy, dan sekarang ingin berbincang dengan sahabatnya.
"Hallo Asty.." sapanya sebelum Asty menjawabnya.
"Hallo Tari..." tapi itu bukan suara Asty. Suara bariton tapi lembut itu sangat dikenalnya. Tari berdebar.
"Mas Nugroho ?"
"Iya, Asty sedang periksa kandungan, baru saja masuk."
"Asty ada di Solo ?"
"Iya, ia minta ketika melahirkan aku bisa menungguinya, sehingga ibu membawanya ke Solo karena memang sudah sa'atnya."
"Oh, baiklah.. nanti saja aku telpon kalau dia sudah selesai."
"Tunggu Tari.."
"Ya mas.."
"Bagaimana keadaan kamu?"
"Saya baik-baik saja mas.."
"Bayi kamu ?"
"Dia sehat."
"Oh, baiklah, aku senang kalau kamu baik-baik saja. Satu harapanku untuk kamu, yaitu kamu harus hidup bahagia."
"Terimakasih mas, saya bahagia. Semoga mas demikian juga."
"Terimakasih juga, saya akan masuk keruang periksa dulu ya."
"Salam untuk Asty."
Tari menutup pembicaraan itu dengan hati berdebar. Tak menyangka Nugroho yang menerimanya. Dan selalu ditanyakannya apakah dia bahagia. Tari menghela nafas berkali-kali untuk mengurangi debar jantungnya.
"Tampaknya setelah ia melihat kekasaran mas Janto didepan barbershop itu, mas Nugroho selalu menghawatirkan aku, Pasti ia mengira bahwa mas Janto selalu bersikap begitu sama aku. " desahnya sambil menyandarkan kepalanya disandaran sofa.
Tapi Tari tak bisa memungkirinya, setelah mendengar suara Nugroho, keresahannya tiba-tiba terasa lenyap. Barangkali ada cinta yang masih tersisa, yang disimpannya jauh-jauh didasar hatinya. Suaranya selalu lembut, seperti sebuah kidung yang mengalun dari atas sana.
"Dosakah ketika cinta tak mau pergi meninggalkan nurani? Yang jelas langkahku tetap melenggang dijalan yang benar, dan aku akan tetap mengabdi pada suami dan keluargaku," bisiknya sambil memejamkan mata, mencoba mengibaskan bayangan Nugroho dari benaknya.
***
Siang itu Desy tanpa menawarkan terlebih dulu, telah memesankan makan siang untuk Janto. Ketika pesanan itu datang, Janto sudah berdiri dari duduknya dan bersiap untuk makan siang dirumah. Itu yang dilakukannya setiap hari selama isterinya ada.
"Lho pak, ini sudah saya pesankan makan siang, maukah bapak makan dulu sebentar? Sayang kalau tidak dimakan," kata Desy ketika melihat sang bos mau pergi.
"Waduh, harusnya saya pulang dan makan dirumah Desy. Bagaimana kalau diberikan OB saja?"
"Tadi saya sudah beli untuk OB juga pak."
Janto kembali duduk, menghadapi nasi rawon yang aromanya menusuk hidung.
"Sayang kalau tidak dimakan," katanya sambil mengaduk kuahnya, lalu menyendoknya perlahan karena masih panas.
Desy menatapnya dari sudut ruangan sambil tersenyum simpul. Sesungguhnya dia senang melayani bos gantengnya. Apa boleh buat, isterinya sudah kembali dan ia tak lagi berhak melayani makan pagi dan siangnya seperti beberapa hari yang lalu.
Janto makan dengan cepat. Bagaimanapun ia harus pulang karena Tari pasti sudah menunggunya.
"Desy, besok lagi jangan pesan makan untuk aku ya.. aku harus makan dirumah karena isteri sudah memasak."
Desy hanya mengangguk sambil tersenyum. Sesungguhnya dia kecewa.
***
Ketika pulang dan makan hanya sedikit, Tari menegurnya.
"Kok makan cuma sedikit mas?"
"Iya, nggak tau kenapa aku sudah merasa kenyang. Mungkin karena masakan kamu keasinan. Tidak seperti biasanya," kata Janto memberi alasan sekenanya, tanpa sadar bahwa dia melukai hati isterinya.
Dengan wajah masam Tari mengecap ngecap sayur buatannya.
"Nggak ada asin-asinnya, bagaimana mas bisa bilang bahwa ini keasinan?"
"Oh, ma'af, mungkin mulutku yang salah.." kata Janto sambil menutupkan sendok dan garpunya diatas piring, bingung mau menjawab apa.
Tiba-tiba Tari berkata agak keras.
"Oh, bukan karena masakanku keasinan mas, tapi karena mas sudah makan dikantor. Sekretaris sudah melayaninya makan siang, ya kan?"
"Bukan, mengapa kamu mengira begitu?"
"Tadi itu mungkin.. apa ya.. kuahnya pakai kecap.. semur.. atau..." Tari tak melanjutkan bicaranya. Ia mendekati suaminya, menunjuk tetesan kuah yang mengotori bajunya dengan tak terasa. Mungkin karena makan tergesa-gesa.
Tari menundukkan mukanya, mencium kearah noda kecoklatan dibaju Janto.
"Hm.. ini aroma rawon mas.." katanya sambil menatap suaminya tajam.
Bersambung
No comments:
Post a Comment