MIMPI LESTARI 20
(Tien Kumalasari)
Janto gelagapan. Tak mengira Tari sekritis ini. Iya benar, mungkin karena tergesa-gesa, kuah rawon tumpah mengenai bajunya.
"Harusnya tadi mas memakai celemek didada.. sehinga tidak belepotan begini. Apa tadi mas makan sendiri, atau disuapin ?" ledek Tari dengan wajah gelap.
"Tari... begini.. tadi itu sebelum aku pulang, Desy terlanjur memesankan aku nasi rawon... dan.."
"Dan kemudian masakan isterinya terasa keasinan.. lalu makan hanya sedikit?"
"Ma'af Tari, maksudku..."
"Mas, seandainya mas berterus terang bahwa tadi sudah makan dikantor, aku mungkin tidak semarah ini. Mas bohong !! Itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang mas sembunyikan, yang aku tidak boleh tau !"
" Bukaan .. maksudku tadi... ya.. aku... aku salah Tari. Ma'af ya."
Tak ada yang bisa diucapkan Janto, ia gelagapan tak bisa membela diri karena memang semuanya sudah ketauan. Ia berbohong agar isterinya tidak marah, tapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Tari kembali ke kursinya, lalu menumpuk piring-piring kotor.
"Tari, sesungguhnya aku ingin berterus terang, tapi takut kamu marah. Aku tadi ingin menolaknya, tapi sayang barang sudah dipesan dan diletakkan diatas meja. Aku minta ma'af."
Tapi Tari tak menjawab apapun. Ia melanjutkan membawa piring kotor kebelakang dan membersihkan meja makan dari makanan dan lauk pauk yang disediakan.
Janto tetap duduk dikursinya, menumpu kepalanya dengan kedua tangannya, diatas meja.
"Tari...."
Suara gemerecik air ledeng cucian terdengar bersahutan dengan kelunting piring sendok yang dicucinya. Pastinya Tari tak mendengar panggilan itu, atau malah pura-pura tidak mendengar.
Janto menghela nafas. Apapun yang akan dikatakannya tak akan membuat amarah itu mencair. Kemudian dia berdiri, mengambil kunci mobil diatas meja dan bermaksud kembali ke kantor. Tapi dia ingat bahwa ia harus mengganti bajunya karena kotor oleh bercak tumpahan rawon. Ia masuk kekamar untuk melepas baju dan menggantikannya dengan yang bersih. Setelah itu didekatinya Haris yang masih terlelap. Diambilnya tangan kecilnya dan diciumnya.
"Sayang, bilang pada ibu bahwa bapak tak melakukan apapun yang buruk ya," bisiknya lembut.Haris menggeliat karena merasa ada yang menyentuhnya, kemudian matanya kembali terpejam. Janto tersenyum, lalu meninggalkannya keluar dari kamar itu untuk segera kembali ke kantor.
Setelah selesai membereskan dapur, Tari melongok kedepan, dilihatnya mobil suaminya sudah tak ada. Tari menghempaskan nafas kesal, kemudian masuk kekamar. Dilihatnya Haris menggeliat, lalu merengek lirih.
Tari mendekati, mengangkat tubuh mungil itu dan mengganti popoknya, karena ternyata dia pipis.
"Oowh, sayang, anak pintar, kalau popoknya basah memang terasa risih kan? Baiklah, ibu gantikan nih, supaya kamu merasa nyaman."
Mata bulat bening itu berkejap-kejap, menatap ibunya, barangkali ingin mengucapkan 'terimakasih ibu'... Tari tersenyum lebar, mengangkat Haris dan memangkunya.
"Sudah sa'atnya nenen bukan?"
Tari mulai menyusukan bayinya.. senang melihatnya menyedot dengan lahap.
Dielusnya kepala anaknya, dan berusaha mengendapkan kekesalannya pada suaminya. Kecurigaan tentang hubungan suaminya dan Desy kembali melintas..
"Tak mungkin kalau tak ada apa-apa. Mengapa mas Janto harus berbohong kalau memang tidak menyembunyikan apapun?"
"Dengar nak, kekuatan ibu hanya pada kamu. Hati ibu ini ditempa terus menerus dengan berbagai cobaan. Kemarin-kemarin dituduh masih mencintai pacar lama, dan kalaupun iya, ibu melakukan apa? Ibu tetap setia melayani bapak kamu dengan sangat baik. Dan sekarang, dianya sendiri yang selingkuh dibelakang ibu. Anakku, kekuatan ibu hanya pada kamu.?" bisik Tari menahan isak.
Haris melirik kearah ibunya, mata berning itu kembali berkejap-kejap. Barangkali juga akan dikatakannya 'ibu jangan sedih,ada Haris disamping ibu'
Tari membungkukkan kepalanya, mencium kapala Haris bertubi-tubi. Ada komunikasi kecil diantara darah daging dan jiwa yang menyatu, dan tak terungkap oleh kata.
***
Di kantor, Desy menatap bosnya dengan heran. Melihat wajah muram dan tampak tak bersemangat, tergoda hatinya untuk bertanya, tapi takut dianggap lancang.
"Bapak mau rujak ?" tanya Desy, hanya untuk membuka komunikasi.
"Tidak, terimakasih, sudah kenyang."
"Mau saya pesankan jus di kantin ?"
"Tidak. aku sedang tak ingin apapun, tolong jangan ganggu aku Desy." katanya dingin.
Desy terdiam, diamatinya sang bos yang tampak sedang memandangi laptop, tapi tak ada yang dilakukannya.
Apakah ada masalah antara sang bos dengan isterinya?
Lalu Desy pun menyibukkan diri dengan menyelesaikan tugasnya, tapi sebentar-sebentar matanya melirik kearah Janto.
"Bapak, bolehkah besok saya kerumah bapak?"
Janto langsung mengangkat kepalanya.
"Boleh kan pak, saya belum pernah bertemu ibu."
Janto merasa, bahwa kalau itu dilakukannya disa'at Tari masih terbakar emosi, maka akan kurang baik jadinya. Bisa-bisa Tari akan pura-pura sakit perut lagi karena tak mau bertemu Desy. Janto tau kok, sebenarnya Tari tidak benar-benar sakit perut pagi itu. Nyatanya ketika keluar dia baik-baik saja, bisa melanjutkan pekerjaannya bersih-bersih rumah.
"Boleh kan ?" Desy mengulangi perkataannya.
"Oh, ya.. tentu saja boleh, tapi jangan besok.. hari Minggu saja, jadi bisa lebih santai." kata Janto.
"Baiklah, terimakasih pak."
Lalu Desy kembali melanjutkan pekerjaannya, sementara Janto masih berkutat dengan rasa kesalnya terhadap Tari.
***
Malam hari itu Asty tak bisa tidur dengan nyenyak.. perutnya sebentar-sebentar terasa mulas, dan terkadang terasa kencang mengeras.
Asty membangunkan suaminya yang telelap disampingnya.
"Mas, mass..." pelan Asty menyentuh lengan suaminya, takut kalau ia mengejutkannya.
Nugroho tak bergerak, tidurnya sangat nyenyak.
"Maas... mas..." Asty mengulang sentuhannya. Kali ini agak keras, karena perutnya semakin kenceng-kenceng dan sakitnya luar biasa.
Nugroho membuka matanya.
"Hm.. ada apa?"
"Perutku sakit sekali mas... dan terasa kenceng-kenceng terus..
Nugroho bangkit, mengucek matanya, menatap isterinya yang masih terbaring, meringis menahan sakit.
"Sakit?"
Asty mengangguk...
Nugroho bangkit .. bergegas memakai celana panjang.. lalu setengah berlari pergi kekamar ibunya, membangunkannya dan berpesan untuk menjaga Asta.
Ia kemudian menuntun isterinya keluar. Sejak periksa terakhir kalinya kemarin, dokter sudah menyuruhnya bersiap-siap, itulah sebabnya mobilnya selalu siap didepan teras, satu tas berisi baju-baju ganti dan perlengkapan bayi sudah siap didalam mobil juga. Begitu Asty mengeluh sakit, tinggal memacu mobilnya kerumah sakit dengan segala perlengkapan sudah siap bersamanya.
***
Tapi sesampai dirumah sakit, dokter mengatakan bahwa belum ada perkembangan yang berarti untuk melahirkan malam itu. Mereka masih harus menunggu.
Nugroho duduk diruang tunggu dengan wajah berkeringat. Kali ini ia benar-benar menikmati dirinya sebagai calon ayah. Ketika anak pertamanya lahir ia sama sekali tak menungguinya, , karena ketika itu Asty berada bersama mertuanya dan Nugroho belum begitu memperhatikannya.
Dengan debar tak menentu, ia berdiri .. lalu duduk... lalu berjalan kesana kemari.
Ia butuh teman untuk berbincang.. tiba-tiba ia teringat Lestari, tapi ini sudah malam. Pasti Lestari sudah terlelap. Tapi ia mencoba menulis pesan singkat.
"Tari.."
Hanya itu yang ditulisnya. Tapi tanpa diduga Tari membalasnya.
"Ada apa mas?"
"Ma'af, kamu belum tidur ?"
"Baru .. ini... Haris terbangun karena haus mas... "
"Oh, syukurlah.."
"Ada apa?"
"Aku hanya ingin menenangkan diri.. butuh teman ngobrol.."
"Memangnya ada apa?"
"Asty sudah masuk kamar bersalin.. aku panik, baru kali ini aku menunggui isteri mau melahirkan, rasanya gelisah dan ketakutan. Aku butuh teman."
"Mas harus tenang, selalu berdo'a untuk isteri dan anak mas ya."
"Ya.. ya.. sebentar, dokternya tampaknya mencari aku."
Sambungan pesan singkat itu terhenti. Lestari ikut berdebar ketika mengetahui dokter memanggil Nugroho.Jangan-jangan ada sesuatu.
Dilihatnya suaminya tampak tidur dengan pulas. Tari masih duduk disebuah kursi dikamar itu, sambil menyusukan anaknya.
Beberapa hari terakhir ini, semenjak suaminya ketahuan makan siang dikantor tapi berbohong kepada isterinya dan mengatakan tidak, hubungan mereka sedikit renggang. Mereka hanya bicara kalau perlu saja.
Keduanya bersikukuh atas sesuatu yang diyakininya. Yang satu merasa tak berbuat salah, satunya tetap menganggap ada sesuatu diantara suami dan sekretarisnya.
Lestari berdiri karena Haris tampaknya sudah berhenti menyedot putingnya, dan terlelap. Tampaknya ia mimpi bertemu bidadari, karena bayi mungil itu tersenyum-senyum dalam tidurnya. Tapi kembali duduk ketika ada pesan singkat pada ponselnya.
"Tari, tolong do'akan Asty, dia harus segera dioperasi."
"Memangnya kenapa?"
"Katanya ari-ari menutupi jalan kelahiran bayi. Sudah diusahakan agar bisa lahir normal tapi susah, sementara Asty sudah kesakitan."
"Mas, tenanglah, dan teruslah berdo'a, aku akan membantumu dengan do'a juga."
"Terimakasih Tari."
Lalu Tari membaringkan anaknya di box, dan berbaring perlahan disamping suaminya.
"Ada pesan dari siapa sih? Tang ting tang ting dari tadi." kata Janto membuat Tari terkejut, ternyata Janto mendengar suara dari masuknya pesan singkat itu. Tari lupa membuatnya silent.
Tari tak menjawab, dia meletakkan ponsel begitu saja disampingnya, didekat bantal suaminya. Sengaja dilakukannya supaya Janto membaca pesan-pesan itu seandainya ia ingin tau.
Janto membiarkannya dan pura-pura kembali tidur. Tapi rasa ingin tau mengusiknya. Ketika dilihatnya Tari sudah terlelap, dibukanya ponsel isterinya, dan dibaca semua pesan yang masuk beserta jawaban isterinya.
***
Pagi itu Tari sedang mempersiapkan makan pagi untuk suaminya. Pikiran Tari selalu tertuju pada keadaan Asty. Apakah semalam jadi dioperasi? Berhasilkah operasinya? Anaknya bagaimana? Lalu ia mempercepat pekerjaannya karena ingin segera bisa menelpon Nugroho.
Sarapan itu sudah siap dan Janto duduk dikursi makan tanpa Tari harus mempersilahkannya.
"Masak apa?"
"Hanya nasi goreng udang dan telur ceplok," jawab Tari sambil ikut duduk didepannya. Ia meletakkan ponsel dimeja begitu saja.
"Makan pagi kok bawa-bawa ponsel."
"Aku pengin segera menelpon mas Nugroho," katanya terus terang.
Janto menghentikan tangannya yang hampir menyendok nasi, menatap isterinya tajam.
"Semalam dia bilang, Asty sudah masuk rumah sakit karena sa'atnya melahirkan. Tapi tampaknya harus dioperasi."
Janto ingat pesan-pesan singkat diponsel isterinya kemarin. Tak ada sapa mesra dan kata cinta yang dicurigainya. Mereka tampak berteman.
Janto menyendokkan nasi goreng dipiringnya.
"Tanyakan saja beritanya," ujarnya singkat lalu memasukkan suapan nasi goreng ke mulutnya.
"Enak nasi gorengnya," katanya. Tampaknya Janto ingin menyenangkan isterinya dengan mengatakan nasi goreng masakannya enak. Tadi juga dia mempersilahkan isterinya menelpon Nugroho.
"Benar enak? Bukan keasinan?" ejek Tari.
"Sangat enak. Isteriku memang jago memasak."
Tari mencibir. Ia merasa Janto sedang merayunya.
"Oh ya Tari, hari ini aku banyak sekali pekerjaan, jadi aku tak bisa pulang untuk makan siang."
Wajah Tari mendung seketika. Ia sudah membayangkan, pasti Desy akan melayaninya dengan menu-menu yang menjadi pilihan suaminya. Kemarin rawon, hari ini apa lagi ya?
"Tapi aku ingin makan siang masakan kamu saja."
Tari menatap suaminya.
"Bagaimana mungkin, tidak pulang tapi ingin makan masakan aku?"
"Nanti kamu bawakan dong makan siangku ke kantor."
"Aku ? Lalu Haris bagaimana ?"
"Ajaklah Haris, biar dia tau dimana kantor bapaknya. Dan tungguin bapaknya bekerja beberapa sa'at lamanya, biar bapaknya senang."
"Apa sekretarismu nggak ada?"
"Ya ada, tapi kenapa? Aku ingin isteri dan anakku datang kekantor barang sebentar, melihat dan menunggui aku makan, dan bekerja."
Tari tersenyum dalam hati. Tampaknya Janto benar-benar ingin menyenangkan perasaannya, mengajaknya berdamai setelah beberapa hari suasana sangat kaku dan penuh rasa kesal.
"Mau tidak ? Kalau aku pulang maka pekerjaanku tidak akan selesai."
Janto kan manager disitu, ada sekretarisnya pula, alasan tidak bisa menyelesaikan pekerjaan apabila harus pulang makan, sepertinya hanya dibuat-buat. Ide cemerlang ini baru saja dipikirkannya. Harus ada sesuatu yang menyenangkan isterinya, agar kemarahannya mereda.
"Baiklah, mau dimasakkan apa?"
"Terserah kamu saja, aku percaya kok, semua masakan kamu pasti enak."
Tari tersenyum, ia tau suaminya sedang ngegombal.
Tapi bahwa kemudian Tari memang merasa senang, itu benar.
Selesai makan Tari menelpon Nugroho. Tak ada sungkan karena suaminya sudah mengijinkan.
"Hallo mas.."
"Ya Tari.. aku baru akan menelpon kamu, syukurlah. Sudah selesai melayani suami kamu?"
"Sudah, kami baru saja selesai sarapan. Bagaimana Asty?"
"Akhirnya dioperasi. Alhamdulillah sudah selesai, anakku laki-laki."
"Syukurlah mas, nanti bisa jadi teman main Haris dong."
"Iya. Lega rasanya."
"Keadaan Asty dan bayinya bagaimana?"
"Mereka baik, bayiku sangat besar. B eratnya hampir 4 kilo."
"Wauuw.. itu sangat besar, pantas harus dioperasi. Tapi syukurlah kalau semuanya sudah selesai dan baik-baik saja."
"Sayangnya kamu jauh ya, kalau dekat pasti Asty senang kalau kamu bisa menengoknya."
"Nanti pasti ada waktu untuk itu mas. Ya sudah, aku mau memandikan anakku dulu ya mas."
Tari menutup ponselnya, dan sa'at itu Janto sudah siap berangkat ke kantor.
"Tari aku berangkat dulu, jangan lupa sebelum jam duabelas harus sampai di kantor ya."
Tari mengangguk sambil tersenyum.
Entah mengapa Tari sangat bahagia.
"Alangkah indah hari ini," bisiknya senang.
***
Pagi itu, setelah memandikan Haris dan membuatnya tidur, Tari memasak didapur. Tadi dia sudah membeli daging. Ia ingin memasak rawon, tapi rawon yang berbeda dengan yang kemarin disuguhkan Desy. Ini rawon yang dagingnya di iris-iris, ada kecambah mentah sebagai lalapan, dan lauk perkedel sama kerupuk. Ah ya, harusnya ada telor asin, tapi tak apa, barangkali ini cukup, lalu sambal terasi.
"Hm, baunya sedap sekali," bisik Tari.
Ia kemudian menata nasi di rantang, memasukkan rawon dan perkedel di wadah yang berbeda-beda. Oh ya, sendoknya lupa, dan kerupuknya dibungkus plastik saja.
Tari bergegas mandi dan mengenakan pakaian yang menurutnya paling bagus dan enak dipandang, juga sedikit memoles wajahnya dengan make up yang walau sekadarnya, tapi cukup menonjolkan kecantikannya.Tak perlu membubuhkan rona merah dipipi karena pipinya sudah kemerahan, Tak perlu membuat garis mata kehitaman karena matanya sudah tajam bak sepasang bintang. Melentikkan bulu mata? Tidak.. Bukankah bulu mata Tari sudah lentik?
Tiba-tiba Haris merengek.
Lestari sudah cukup cantik, Haris sudah didandaninya dan wangi. Agar bapaknya tak akan bosan menciuminya nanti.
Jam 11 lebih sedikit, Tari memanggil taksi. Rumah sudah dikunci, dan rantang makanan sudah siap. Ia juga membawa tas berisi pakaian Haris barangkali bayi kecilnya membutuhkan ganti.
***
Desy sedang sibuk dengan pekerjaannya, ketika telpon kantor berdering. Karena dilihatnya Desy sibuk, Janto mengangkat telpon yang ada dimejanya.
"Hallo, ya benar.. oh ada..." jawabnya.
"Telpon untuk kamu Desy.."
"Oh ya, ma'af pak, terlambat mengangkat."
Desy mengangkat telpon itu, lalu berbicara pelan, entah dari siapa, Janto tadi tidak menanyakannya. Tapi tiba-tiba terdengar Desy berteriak.
"Apa? Nenek meninggal ?"
Janto mengangkat wajahnya, menatap Desy yang kemudian meletakkan telpon dan menangis tersedu sedu.
Janto berdiri dan mendekat.
"Ada berita apa?"
"Nenek saya meninggal pak, baru saja,"
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'uun..." bisik Janto.
"Saya tidak punya siapa-siapa pak.. saya tidak punya siapa-siapa didunia ini," katanya sambil menelungkupkan wajahnya dimeja.
Janto menepuk-nepuk pundaknya.
"Tenangkan hati kamu Desy, kamu harus ikhlas. Sekarang bagaimana? Kamu mau pulang saja ke rumah kamu?"
"Iya pak.."
"Biar aku suruh sopir mengantarkan kamu. Sudah, hentikan tangismu."
Kata Janto sambil mengulurkan tissue yang ada dimeja, sementara sebelah tangannya merangkul pundak Desy.
"Dan ingat, kamu bukannya sendiri, anggap saja aku adalah keluarga kamu, mengerti?"
Sa'at itulah Tari yang menggendong anaknya sambil menenteng rantang, masuk keruangan itu, dan melihat adegan yang membuatnya limbung. Ia langsung membalikkan tubuhnya dan menutupkan pintu ruang itu dengan keras.
Janto terkejut. Ia memburu keluar dan melihat Tari setengah berlari meninggalkan kantornya.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment