Tuesday, June 30, 2020

MIMPI LESTARI 21

MIMPI  LESTARI 21
(Tien Kumalasari)

Janto berlari mengejar sampai ke parkiran, tapi Tari sudah naik keatas taksi yang kebetulan lewat.
Janto menepuk jidatnya berkali-kali. Upaya berdamai itu hancur berkeping keping. Sekarang dia bingung harus berbuat apa. Ketika kembali masuk kekantornya, dilihatnya Desy sudah besiap untuk pergi.
"Saya mohon ijin pulang sekarang pak."
"Sebentar, biar sopir mengantarmu. Apa kamu akan  lama dirumahmu?"
"Tidak pak, saya usahakan tiga hari saya sudah kembali bekerja."
"Baiklah, tunggu sebentar, biar saya panggil sopir kantor dulu."
Setelah mengurus kepulangan Desy karena neneknya meninggal itu Janto kembali keruangannya. Pekerjaan Desy masih banyak, ia harus meneliti semuanya dan kemudian baru bisa pulang. Sementara ia juga menghawatirkan Tari. Janto merasa menyesal, kedatangan Tari yang diharapkan bisa mencairkan suasana justru menjadi semakin rumit gara-gara dia memperhatikan Desy. 
Karena belum bisa langsung pulang, Janto mencoba menelpon isterinya. Ia harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Tari mematikan ponselnya. Janto sudah menduga.
"Baiklah, rupanya aku harus bersabar," kata Janto sambil meneliti semua berkas, dan itu memakan waktu lama. 
Menjelang sore Janto baru bisa menyelesaikan pekarjaannya, lalu bergegas pulang.
Pikirannya kacau. Difikirkannya apa yang akan dikatakannya untuk meluluhkan hati Tari. Tapi ia tak segera menemukan cara itu. 
Jalanan macet karena bersamaan dengan kepulangan para pekerja. Pikiran Janto bertambah kalut. 
Setelah satu jam perjalanan dia baru bisa memasuki halaman rumahnya. Janto segera turun dan berusaha masuk kerumah, tapi rumahnya terkunci. 
"Tari...! Tari..." teriaknya dari luar.
Tak ada jawaban. Dari samping dilihatnya jendela kamar tertutup. Janto terkesiap, apakah Tari pergi?
Janto mencari-cari didalam tas kerjanya. dimana ia menyimpan kunci duplikat. 
 
Ketika pintu terbuka, tampak lengang didalam. Janto masuk kekamarnya. Tak ada Haris kecilnya disana. Ada yang aneh. Almari pakaian sedikit terbuka. Janto membukanya, dan melihat baju-baju yang kemarin ditata Tari sudah tak ada. Demikian juga dengan pakaian-pakaian kecil yang sudah ditata dimeja samping box anaknya, semuanya tak ada.
"Tariiii..." Janto berteriak sekuat tenaga.
Dia yakin Tari telah pergi. Dicobanya dia menelpon, tapi ponsel itu dimatikan sejak siang harinya.
 Janto mulai panik. Pasti Tari pulang ke Kartosuro. Ia harus menyusulnya, tapi ia ingat kantornya sedang sibuk. Banyak program-program baru yang harus digarapnya. Janto menghempaskan tubuhnya disofa. Kepalanya terasa berdenyut. 
Dimeja didepan sofa itu, tergeletak rantang yang berisi makanan yang sedianya akan diberikan pada Janto di kantornya. Janto tak menjamahnya. Tak ada rasa lapar kecuali rasa perih yang terus menerus mengiris jantungnya.
"Tari... kamu salah sangka Tari... kamu salah sangka.." gumamnya berkali-kali. 

Janto masuk kekamar, seperti gila dia merangkul box anaknya dengan linangan air mata.
"Haris, katakan pada ibu, bapak hanya mencintai ibu.. bapak tidak cinta siapa-siapa selain ibu. Katakan Haris...Jangan pergi.. jangan meninggalkan bapak dengan cara ini.."
Dan Janto benar-benar menangis. Sesal melanda hatinya. Mengapa  suasana nyaman yang hampir sempurna tercipta kemudian hancur berkeping-keping?
***
 
Keluarga Tari sangat terkejut ketika malam itu Tari dan anaknya tiba-tiba muncul. Tanpa suaminya pula.
"Ada apa ini? Mana nak Janto?" tanya ibunya.
"Suci, apakah box bayi itu masih ada dikamarku?" Tari bertanya kepada Suci yang ikut menyambut kedatangannya.
"Masih ada mbak, tak ada yang merubahnya."
"Tolong bersihkan dan tata untuk Haris ya."
Tanpa menjawab Suci sudah membalikkan tubuh memenuhi permintaan kakaknya. Sambil menunggu Suci menyiapkan tempat tidur untuk Haris, Tari duduk dikursi yang ada diruang tamu. Ibu dan bapaknya mendekat, melihat Tari datang malam-malam dengan wajah kusut.
"Apakah kamu mau menceritakannya sekarang? Atau besok pagi saja?" kata bapaknya yang kasihan melihat keadaan anaknya.
"Ya pak, besok pagi saja Tari mengatakannya."
"Tapi nak Janto baik-baik saja kan?" sambung ibunya.
"Baik bu.."
"Syukurlah, "
"Ma'af, Tari tak membawa oleh-oleh, tak sempat membelinya di jalan."
"Tidak apa-apa, yang penting kamu, suami dan anakmu sehat-sehat semuanya. Mana cucu nenek, biar nenek gendong, kamu pasti letih."
 
Tari mengulurkan anaknya kepada ibunya. Bocah itu masih terlelap. Sang nenek menciuminya dengan penuh kasih sayang.
"Sudah siap mbak, mana Haris, biar aku yang menidurkan," kata Suci.
"Eeh, sudah, kamu buatkan minum untuk mbakmu, biar ibu menidurkannya," kata ibunya sambil berdiri untuk menidurkan Haris dikamarnya.
"Kalian bertengkar?" tak urung sang ayah ingin mengorek sedikit keterangan dari Tari.
"Tidak pak. Kan besok saja Tari menceritakan semuanya."
"Baiklah."
"Ini teh panas mbak, minumlah, apa mbak mau makan?"
"Masih adakah makan malam untuk aku?"
"Tadi ibu masak sayur lodeh, masih ada, tapi lauknya cuma ikan asin. mBak mau?"
"Itu enak Suci, mbak mandi dulu sebentar, setelah itu baru makan."
***
 
Tari makan dengan lahap. Bagi seorang ibu yang menyusui bayinya memang harus makan yang banyak, karena rasa lapar berpengaruh pada ASI nya. Memang benar sejak siang dia belum makan apapun. Tadinya Tari ingin makan bersama suaminmya dikantor, tapi karena peristiwa itu maka Tari langsung pulang untuk mengambil baju-baju dan perlengkapan untuk Haris, kemudian memesan taksi yang bisa membawanya pulang. 
Menikmati kembali masakan ibunya walau hanya sedikit tersisa, membuat Tari sejenak bisa melupakan sakit hatinya.

"Kurang ya mbak, lauknya? Mau aku gorengkan telur ?"
"Nggak, ini cukup. Enak, masakan ibu selalu enak."
"Iya benar. "
"Kamu masih suka masak-masak kalau Minggu?"
"Setiap Minggu aku selalu masak."
"Bagus."
"mBak lagi marahan sama mas Janto?" kata Suci yang tak tahan untuk tidak segera bertanya.
"Ceritanya panjang. Nanti akan aku ceritakan."
Seorang isteri sampai kabur dari rumah, pasti ada sesuatu yang luar biasa. Pikir Suci.
Tiba-tiba Suci teringat ketika Nugroho menemuinya di kantin rumah sakit. Ia agak merasa heran ketika Nugroho menanyakan apakah hubungan kakaknya dan Janto baik-baik saja. Mengapa Nugroho menanyakannya? Dan bukankah Tari dan Janto selalu terlihat rukun dan tak pernah berantem? Apakah Nugroho mengetahui ada sifat Janto  yang buruk terhadap isterinya? Nyatanya kakaknya sampai kabur dari rumah, dan ini bukan berarti baik-baik saja.
Tari sudah selesai makan, Suci mengambil piring dan semua bekas makan kakaknya, lalu mencucinya.
Kemudian Tari menemani bapak ibunya yang duduk diruang tengah sebentar, sekedar menanyakan bagaimana usaha ibunya dalam jahit menjahit.
"Baik-baik saja, dan alhamdulillah ada saja pekerjaan untuk ibu. Terkadang harus minta tolong Suci untuk membantu. Misalnya memasang kancing, membuat lubang itik.."
"Syukurlah bu."
"Kamu istirahat saja dulu, pasti lelah berjam-jam naik taksi, sambil memangku bayi pula."
"Ya bu, Tari mau istirahat dulu," kata Tari sambil berdiri dan masuk kedalam kamarnya.
Tapi bapak dan ibunya masih asyik berbincang. Mereka prihatin akan keadaan rumah tangga anaknya.

"Kalau Tari memutuskan kabur dari rumah, pasti ada hal yang luar biasa terjadi," kata bapaknya seperti yang difikirkan Suci juga.
"Nak Janto begitu baik dan penuh tanggung jawab, kesalahan apa yang bisa membuat Tari pergi meninggalkannya?"
"Ya sudahlah, besok kita ajak dia bicara, kalau perlu kasih tau dia bahwa tidak baik seorang isteri kabur-kaburan begitu."
***
 
Dikamar, sambil tiduran, Tari menceritakan permasalahannya kepada Suci. Dia mengangap Suci sudah bisa mengerti. Tapi Tari ragu-ragu untuk berterus terang kepada bapak ibunya. Pasti permasalahan itu akan membebani perasaan mereka.
"Sebenarnya aku tak ingin membawa permasalahan ini kerumah. Bapak sama ibu pasti sedih dan kepikiran karena aku."
"Tapi mbak sudah sampai dirumah, itu juga sudah membuat bapak sama ibu kepikiran."
"mBak menyesal melakukannya. Tapi mbak sudah lelah. "
"Dulu waktu mbak melahirkan, mas Nugroho pernah mengajakku makan di kantin. mBak ingat waktu aku cerita sudah makan soto itu?"
"Iya, kamu sudah mengatakannya."
"Tapi kan aku tidak mengatakan kepada mbak, apa yang mas Nugroho bilang waktu itu."
"Dia bilang apa?"
"Dia nanya sama aku, persisnya aku lupa, intinya adalah apa mbak Tari bahagia jadi isterinya mas Janto, gitu.."
"Kamu bilang apa?"
"Mereka baik-baik saja, mas Janto sangat memperhatikan mbak Tari. Gitu.." 
"Iya, kamu benar"
"Aku kok nggak ngerti ya mbak, mengapa mas  Nugroho menanyakan itu."
"Ya, pasti ada sebabnya..."
"Apa tuh ?
"Sudah, kamu kebanyakan bertanya .."
"Aku tidak menyangka mas Ja nto tega melakukan itu. Apakah sekretaris itu cantik? Sexy ? Suka merayu ?"
"mBak belum pernah bertemu dia, tapi mbak pernah melihat dia ketika datang untuk mengambil sepeda motor yang dititipkannya dirumah. Tapi waktu itu aku sudah merasa enggan bertemu sama dia, jadi aku pura-pura sakit perut kemudian masuk kekamar mandi. Ya, dia cantik.. tapi dia sangat akrab dengan mas Janto."

 "Pasti dia pintar merayu dan bisa meluluhkan hati mas Janto."
"Aku justru mengira, mas Janto minta aku datang ke kantornya itu, agar aku bisa melihat kemesraan diantara mereka."
"Busyeet... jahat banget itu."
"Aku juga heran. Mas Janto itu terkadang tampak sangat menyayangi aku, lalu cemburu berlebihan, lalu dia sendiri melakukan hal yang sangat menyakiti aku."
"Kalau begitu mengapa dulu mbak tidak menikah saja sama mas Nugroho?" tanya Suci seenaknya.
"Hush !! Kamu itu Suci. Mas Nugroho kan sudah dijodohkan dengan orang lain, dan aku sudah bisa menerimanya kok. Isterinya itu sahabat mbak waktu masih sama-sama bekerja. Tidak apa-apa, memang mbak bukan jodohnya."
"Dan mbak mendapatkan jodoh yang keliru," sungut Suci.
"Entahlah,  ayo sekarang tidur, aku lelah. Nanti sebentar lagi Haris pasti bangun, sudah sa'atnya minum ASI."
"Kalau begitu lebih baik dibangunin sekarang biar dia minum, supaya mbak bisa tidur nyenyak.."
"Tuh, dia mendengar kamu ngomong, langsung bangun tuh, lihat !" kata Tari ketika melihat Haris menggeliat dan mengeluarkan suara merengek.
Suci terkekeh... 
"Iya, anak pinter, biar aku yang mengangkat mbak..." kata Suci yang segera melompat dari ranjang, menghampiri box keponakannya.
Tapi begitu mengangkat, Suci berteriak.
"Aaauuh... rupanya kamu ngompol... hadeew.. tanganku kena ompol kamu Haris..." kata Suci sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
Tari tertawa, ia bangkit lalu mengangkat anaknya.
"Tante Suci bagaimana sih, cuma kena ompol aja teriak-teriak... "
Tari segera menggantikan popok anaknya sebelum kemudian menyusukannya.
***
 
Pagi itu Tari tak berani berterus terang tentang permasalahannya dengan suaminya. Tak sampai hati melapor kepada kedua orang tuanya bahwa Janto selingkuh. Tidak, jangan sampai bapak ibunya merasa terluka dengan keadaan rumah tangga anaknya.
"Jadi mengapa kamu harus lari dari rumah kalau tak terjadi sesuatu yang luar biasa ?"
"Mas Janto terlalu sibuk dengan pekerjaannya pak, jadi lebih baik Tari pulang saja."
"Kamu itu isteri macam apa to nduk, suami menyibukkan diri dengan pekerjaan kok kamu malah pergi? Harusnya justru memberi semangat dan kekuatan agar dia tidak merasa lelah."
Tari terperangah. Alasan bahwa suaminya sibuk justru membuat dirinya disalahkan. Aduh, bagaimana ini.
"Seorang isteri itu, dalam suka dan duka harus tetap berada disamping suaminya," sambung ibunya.
 
Tari terdiam. Ini namanya terperosok kedalam lubang yang digalinya sendiri. Tari hanya terdiam. Sungguh ia tak sampai hati untuk berterus terang.
"Iya, bu, Tari kesal tidak diperhatikan, jadi lebih baik pulang saja." akhirnya kata Tari. 
"Kamu itu bukan anak kecil Tari, kamu itu seorang isteri, seorang ibu. Berfikir dewasa dong nduk. Masa tidak diperhatikan saja terus ngambeg."
Waduh.. lagi-lagi Tari disalahkan. Tapi apa boleh buat. Bukankah ucapan yang meluncur itu bak anak panah dilepaskan dari busurnya? Mana bisa ditarik kembali.
"Iya, tapi ijinkanlah Tari disini dulu beberapa sa'at lamanya pak, agar hati Tari tenang."
"Ya tidak apa-apa kamu pulang kemari, tapi kamu harus ingat bahwa kamu itu punya kewajiban disamping suami kamu."
Tari hanya mengangguk-angguk. Tapi ia sedikit lega, setidaknya kedua orang tuanya tidak terbebani oleh 'penderitaannya'.
***
 
"Asty, bagaimana keadaanmu?" tanya Tari ketika menelpon Asty.
"Tari, senang sekali kamu menelpon aku. Aku baik-baik saja, besok sudah boleh pulang."
"Syukurlah, selamat ya atas kelahiran anak kedua kamu. Aku ikut bahagia."
"Kalau kamu di Solo pasti aku akan minta supaya datang kerumahku. Aku kangen sekali Tari."
"Aku sedang di Solo nih. Di Kartosura tepatnya, kan rumahku di Solo pinggiran?"
"Ya ampun , ini menyenangkan, biar mas Nugroho menjemput kamu ya, kamu sama anakmu kan?"
"Iya lah, masa anakku aku tinggal."
"Dalam rangka apa kamu pulang? Bersama suami kamu juga kah?"
"Tidak, cuma aku sama anakku. Dalam rangka apa? Ya dalam rangka kangen sama orang tua lah."
"Kamu itu, sudah jadi ibu masih gampang kangen orang tua, padahal belum lama kamu kembali ke Pasuruan kan?"
"Iya sih, ini mungkin juga karena ingin ketemu kamu."
"Wah, seneng aku, besok kerumah ya.. biar dijemput mas Nugroho."
"Nggak lah, mengapa harus dijemput, biar aku naik taksi saja."
"Jangan Tari, Kartsuro itu jauh, nanti aku minta mas  Nugroho menjemput kamu."
***
 
Sore hari itu Tari sedang mandi, karena dia sudah janji akan datang menemui Asty dan bayinya.
Suci menggendong Haris diteras, sambil menyenandungkan sebuah lagu. Entah lagu apa, yang penting itu adalah lagu, yang diharapkannya bisa membuat Haris terlelap. 

"Ini tante sudah nyanyi lagu bagus, mengapa kamu tidak mau bobuk sayang? O, iya.. soalnya nanti mau jalan-jalan sama ibu kan ? Hm, senangnya. "
Suci terkejut ketika tiba-tiba melihat sebuah mobil berhenti diluar pagar. Lebih terkejut lagi ketika melihat siapa yang turun dari mobil itu.
"Mas Nugroho !!" teriaknya gembira lalu turun dari teras menyambut Nugroho yang tersenyum-senyum melihat Suci menggendong bayi.
"Kamu itu belum pantas menggendong bayi, tau."
"Iih, mas Nugroho jahat. Iyalah, kan Suci masih kecil."
"Mana ibunya?"
"Lagi mandi, katanya mau ketemu mbak Asty."
"Iya, ini aku menjemputnya." kata Nugroho sambil mengikuti Suci ke teras.
"Duuh, anak ganteng sudah rapi, mau jalan-jalan liat adik kan?" kata Nugroho sambil mengelus kepala Haris tapi dipelesetkannya dengan mengacak kepala Suci.
"Mas Nugroho, mengapa kepala Suci yang diacak-acak," kata Suci sambil merengut.
"Iya, salah... ini yang bener... anak ganteng.." kata Nugroho yang kemudian benar-benar mengelus kepala Haris.
"Huh.. sengaja !"
Nugroho tertawa.
"Bapaknya Haris nggak ikut ?"
 "Nggak, kan lagi marahan.." kata Suci sambil berbisik.
"Marahan? Kenapa ?" tanya Nugroho sambil melotot tajam.
"Mas Janto selingkuh," bisiknya lagi.
Nugroho terkejut. Tiba-tiba matanya berkilat, ada marah dimata itu, dan Suci merasakannya. Tiba-tiba Suci merasa keceplosan bicara. Aduh, mengapa Suci susah sekali mengatur mulutnya ya.
"Ma'af mas, jangan bilang mbak Tari kalau aku ngomong begitu, nanti dia marah," bisiknya lagi dengan takut, sambil menoleh kearah belakang.
"Lho, mas Nugroho mengapa kesini?" tiba-tiba Tari keluar dan tampak sudah siap berangkat.
"Aku mendapat tugas dari Asty untuk menjemput kamu," kata Nugroho sambil menatap Tari lekat-lekat. Benarkah Tari sedang berduka karena ulah suaminya? Nugroho mengepalkan tangannya. Geram mendengar bahwa Janto menyakiti hati Tari. Tapi dia tak mengucapkan apa-apa.
"Ayo mas, kalau begitu kita berangkat. Ayo Haris sama ibu ya."
"Bapak sama ibu mana?" tanya Nugroho.
"Lagi ke kondangan dikampung sebelah," jawab Tari.
"Suci baik-baik dirumah ya," kata Nugroho yang lagi-lagi mengacak rambut Suci.
 Suci tersenyum lalu melambaikan tangannya.
Nugroho bersama Tari berjalan melangkah menuju mobil yang diparkir ditepi jalan,
Tari sudah naik keatas mobil, dan  Nugroho sudah siap menstarter mobilnya, ketika tiba-tiba sebuah mobil lain berhenti tepat didepan mobil Nugroho.
Tari terkejut bukan alang kepalang. Itu mobil suaminya.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER