LESTARI PUNYA MIMPI 22
(Tien Kumalasari)
Nugroho mematikan mesin mobilnya, menatap seseorang yang turun dari dalam mobil didepannya. Laki-laki berperawakan kecil tapi bertubuh tinggi itu dikenalnya. Matanya menatap tajam kearahnya. Nugroho juga turun dari mobil, berjalan saling mendekat dan saling menatap. Dua mata tajam bertemu, seperti menyemburkan api. Memiliki amarah yang berbeda arah. Yang satu karena cemburu, yang satu karena merasa perempuan yang dikasihinya disakiti. Janto dan Nugroho, masing-masing meiliki keyakinan akan kebenaran yang erat dipegangnya, yang harus dipertahankannya,
"Tarii!! Turun ! " Janto menghardik sambil menuding kearah Tari yang masih duduk didalam mobil.
Tari menggelengkan kepalanya. Bayangan Desy melintas, dan membuat dadanya sesak.
"Ada apa mas?" tanya Nugroho dingin.
"Dia isteriku !!"
"Ya, aku tau... Lalu apa?"
"Suruh dia turun !!"
"Silahkan saja kalau dia mau."
"Kamu jangan ikut campur, kamu bukan siapa-siapa!!"
"Mana yang lebih baik, bukan siapa-siapa tapi bisa menjaganya, atau ... disebut suaminya tapi menyakitinya?"
"Bangsat kamu!! gertak Janto sambil melayangkan pukulan kearah Nugroho. Nugroho menghindar, tapi sebelah tangannya berhasil menonjok pelipis Janto, dan membuat Janto sempoyongan, kemudian terpelanting. Pelipis itu luka terkena batu. Janto bangkit dengan geram. Ketika dia merangsek maju, didengarnya jeritan Tari.
"Hentikaaaann!!" teriak Tari yang kemudian turun dari dalam mobil.
Nugroho menoleh kearah Tari, dan kesempatan itu dipergunakan Janto untuk balas menghantam rahangnya. Nugroho hampir terjengkang kalau tak ada badan mobil dibelakangnya.
"Hentikan mas... hentikaaan.."
Tari sambil menggendong Haris berdiri diantara kedua lelaki yang siap saling terjang.
"Aku mohon, hentikan."
Janto mengusap pelipisnya yang berdarah, Nugroho mengelus rahangnya yang membiru,
"Kamu minggir Tari, laki-laki ini bilang tak akan merebut kamu dariku, tapi apa yang dia lakukan? Buahh!! Kelakukannya memuakkan. Mau kamu bawa kemana isteriku ?"
"Dan buka sekali lagi kuping kamu, bahwa aku tidak akan merebut isteri kamu. Aku hanya ingin... agar..."
"Diaaam!!" teriak Janto memotong kata-kata Nugroho.
Tari terisak. Ia tak tau harus berbuat apa. sebelah tangannya merangkul Haris, dan sebelah lagi direntangkan diantara kedua lelaki yang sedang bertaruh kebenaran ini.
"Kamu yang diaamm! Dia ini sudah menjadi sahabat aku, derita yang dirasakannya adalah sakitku !!"
"Omong kosong!!"
"Tolong berhentilah. Kita sudah menjadi tontonan." kata Tari ketika melihat beberapa orang mulai mendekat.
"Mas Nugroho, kamu pulang saja dulu, bilang sama Asty aku akan datang lain kali."
"Tapi dia..."
"Biarlah aku bicara sama dia mas, mas pulang dan ma'afkan aku ya. Jangan lupa bilang sama Asty ya mas.." kata Tari sambil terisak.
"Baiklah Tari, tapi kalau dia menyakiti kamu, bilang sama aku, aku yang akan menghajarnya."
Janto melotot kearah Nugroho yang sudah membalikkan tubuh dan masuk kedalam mobilnya.
Lestari merasa lega, ia menghela nafas lalu mengusap air mata dengan ujung bajunya. Kemudian dia melangkah masuk kedalam rumah. Janto mengikutinya dari belakang.
Suci menyandarkan tubuhnya dipintu. Ia melihat keributan itu dan merasa ketakutan. Beruntung adik-adiknya yang lain ada dibelakang dan tak melihat apa yang terjadi. Dan bapak ibunyapun sedang kondangan di tetangga kampung sebelah.
"Suci, tolong jangan bilang apa-apa sama bapak dan ibu tentang keributan ini," pesan Tari sambil melangkah kedalam, langsung masuk kekamarnya.
Suci mengangguk. Kemudian ia mengambil kapas dan obat merah ketika dilihatnya pelipis Janto berdarah.
"Biar aku bersihkan mas," kata Suci sambil menarik tangan Janto dan diajaknya duduk.
Suci membersihkan darah pada luka dipelipis Janto, kemudian menutup luka itu dengan perban dan plester. Untung tak begitu parah.
"Jangan sampai bapak sama ibu tau bahwa ada keributan ya mas, kasihan mereka."
Janto tak menjawab, wajahnya muram, menampakkan wajah yang masih geram.
"Saya ambilkan minum ya mas."
Suci bergegas kebelakang dan keluar dengan membawa segelas teh hangat. Janto menerimanya dan meneguknya perlahan.
"Mas.. istirahat dikamar dulu.."
"Suci, kakakmu cerita apa saja?"
"Tidak cerita apa-apa, mbak Tari tak ingin bapak dan ibu tau apapun. Dia hanya mengatakan bahwa mas Janto sedang sibuk makanya mbak Tari pulang kemari."
"Dia salah sangka. Tak ada apa-apa antara aku sama sekretarisku."
Suci hanya mengangguk. Ia merasa tak pantas mengomentari apapun.
"Temui dulu mbak Tari mas, dia ada dikamar."
Janto mengangguk. Ia kebelakang dan masuk kekamar mandi. Salah seorang adik Tari berteriak.
"Ada mas Jantooo!!"
Suci menutup mulutnya dengan jari, sebagai isyarat agar mereka tak berisik.
"Kenapa?"
"Jangan ganggu, mas Janto lagi sakit," katanya agar adik-adiknya tak banyak bertanya.
***
Janto selesai membersihkan diri dikamar mandi, duduk di kursi yang ada dikamar itu, sambil menatap Tari yang masih menyusukan anaknya.
Tak saling bersapa, hanya kebisuan yang merayapi kamar itu. Sesekali terdengar suara Haris mengecap nikmatnya ASI ibunya.
"Kamu salah sangka Tari," akhirnya Janto membuka suara.
Tari tak menjawab, membenarkan letak anaknya dipangkuan, setelah memindahkannya kesebelah kanan. Tampak nikmat menyedot ASI, Haris sama sekali tak tau apa yang sebenarnya terjadi pada ayah ibunya.
"Tak ada apa-apa antara aku dan Desy."
Tari mendongakkan kepalanya.
Terbayang olehnya ketika Janto mengelus pundak Desy dan mengulurkan tissue pengusap air matanya.
"Harusnya kamu masuk dan kamu akan mengetahui semuanya.
Tari membelalakkan matanya. Masuk dan melihat suaminya bermesraan?
"Kamu salah sangka. Baru saja Desy mendapat tilpun dari kampung, yang mengabarkan neneknya meninggal."
Tari menatap Janto, mencoba bisa menerima perkataan suaminya.
"Dia tak punya siapa-siapa.."
Kata-kata itu seperti memaksa agar Tari menurunkan sedikit belas kasihan.
"Sejak kecil dia ikut neneknya, dibesarkan dan disekolahkan, hingga bisa bekerja di kantorku."
Tari menatap tak berkedip. Sebuah cerita yang mengharukan. Dibesarkan dididik disekolahkan hingga sekarang bisa menghidupi dirinya sendiri, kemudian tiba-tiba ia ditinggalkannya.
"Ia menangis waktu itu dan aku berusaha menghiburnya. Percayalah Tari, aku tak punya perasaan apa-apa. Aku hanya mencintai kamu Tari."
Tari membayangkan kembali bagaimana tangan suaminya mengelus pundak Desy. Dicobanya mengerti, dicobanya agar amarah yang membara menjadi padam. Dicobanya agar cinta yang dikatakan suaminya bisa benar-benar menyatu dihatinya.
"Kamu harus percaya Tari, kalau tidak karena cinta, mana mungkin aku bersusah payah menyusul kamu kemari, sementara pekerjaan dikantor menumpuk, dan semuanya adalah tanggung jawabku
Tari menatap Haris yang sudah melepaskan putingnya, dan tampak sudah pulas. Ia berdiri, meletakkan Haris di boxnya, menata agar berbaring dengan nyaman, lalu menyelimutinya.
Tari membenahi pakaiannya, dan kembali duduk ditepi pembaringan.
Janto terdiam, menunggu reaksi Tari setelah dia bicara panjang lebar.
Tiba-tiba Tari berdiri, mendekat kearah meja disamping box anaknya, dan mengambil sepotong kapas. Ia melihat pelipis suaminya kembali berdarah. Janto terkejut ketika Tari tiba-tiba memegang kepalanya dan melepas plester dari pelipisnya. Tari membersihkan darah itu dengan alkohol yang tersedia disitu.
Janto meringis karena pelipisnya terasa perih. Tapi perih dihatinya seperti tersiram guyuran air dari sorga, terasa sejuk dan membuatnya terhanyut. Ini pelampiasan sebuah cinta, tak usah diucapkan dengan kata-kata, dan Janto merasakannya. Janto memeluk pinggang isterinya, dan merengkuhnya. Tari sudah selesai menutup kembali luka di pelipis suaminya dan juga luka dihatinya.
"Aku akan mencoba percaya, dan akan membuktikan bahwa cinta itu ada." kata Tari. Belum ada senyuman yang melegakan, tapi Janto mengerti, perhatian ketika melihat luka dikeningnya adalah sebuah ungkapan cinta.
***
"Ya ampun mas, sampai sebegitunya pak Janto membenci mas?" kata Asty sambil menggosok rahang suaminya dengan salep anti lebam.
"Sakitkah mas ?"
"Tidak, sudah.. ini cukup Asty."
"Mengapa bisa terjadi baku hamtam mas, seperti anak kecil saja."
"Ini tentang mempertahankan kebenaran."
"Apa maksudnya?"
"Janto berselingkuh.."
"Apa? Tari mengatakannya?"
"Tidak, Tari tak mengatakan apa-apa. Suci yang bilang. Aku kesal terhadap perlakuan itu. Tari begitu baik, bagaimana Janto bisa melakukan sesuatu yang menyakitinya?"
Asty menatap suaminya. Ia melihat sinar mata berkilat disana, sinar mata penuh kemarahan. Asty selalu bisa mengerti, masih ada cinta dihati suaminya terhadap Tari. Suaminya tak rela Tari disakiti. Asty menghela nafas, mencoba menghilangkan cemburu yang mengirisnya. Tidak, ia harus menerimanya. Tari adalah sahabatnya, dan cinta itu ada bukan karena salah siapa-siapa.
"Mengapa ya pak Janto tega melakukannya?"
"Dasar laki-laki kurangajar dia !!!!" katanya geram.
Asty menyesal telah mengucapkan kata-kata yang kembali menyulut amarah Nugroho.
"Ya sudahlah, mas jangan terlalu memikirkannya. Semoga Tari dan pak Janto bisa segera menyelesaikan permasalahannya."
"Coba kamu menelpon dia Asty, tanyakan bagaimana keadaannya," pinta Nugroho kepada isterinya.
"Nanti saja mas, barangkali sa'at ini mereka sedang berbincang untuk menyelesaikan masalah mereka."
"Aku tak sabar mendengar bagaimana keadaan mereka."
Asty diam.
"Ma'af Asty, aku menganggap Tari sebagai sahabat, sebagai saudara, jadi kamu jangan salah sangka."
"Iya aku tau. Apalagi aku percaya pada Tari, dia tak akan menyakiti aku.."
"Apa aku menyakiti kamu ?"
"Tidak .. kamu suami yang baik..."
Nugroho tersenyum. Senang hubungan mereka tak pernah menjadi hubungan yang menyesakkan rasa. Dan itu karena Asty memiliki hati yang baik dan perangai yang santun. Barangkali dia menyembunyikan sesuatu yang membuatnya sakit, tapi dia selalu bersikap manis. Justru Nugroho merasa berdosa karena masih sulit menghilangkan rasa cintanya pada Tari.
"Dan kamu isteri yang sangat baik," balas Nugroho sambil memeluk isterinya.
***
Tari masih berada dikamarnya. Tapi Janto merasa sedikit lega karena Tari tampak sudah tenang. Sinar matanya tampak lembut.
"Apakah besok kamu mau pulang bersama aku?"
"Ada yang aku inginkan sebelum kita pulang."
"Katakan saja."
"Kita menemui mas Nugroho dan mas harus meminta ma'af."
Janto membelalakkan matanya. Ia harus ketemu Nugroho dan meminta ma'af? Janto tak merasa bersalah.
"Mengapa? Aku salah apa? Dia yang selalu berusaha mendekati kamu." katanya kesal.
"Bukan. dia tidak seperti itu. Bahwa hubungan kami dekat, itu adalah seperti saudara. Asty itu sahabatku. Dia sangat baik dan tak pernah berprasangka buruk terhadapku. Mas Nugroho juga sangat menyayangi dia."
"Kamu bilang sama dia bahwa aku berhubungan dengan sekretarisku?"
"Tidak. Seburuk-buruknya aku, tak mau aku menjelekkan suami sendiri kepada orang lain. Kepada keluargakupun tidak. Hanya kepada Suci aku mengadu, sesak dadaku kalau harus menyimpan derita seorang diri. "
"Tapi kan itu tidak benar?"
Tari menghela nafas. Sesungguhnya dia belum sepernuhnya mempercayai suaminya,walau kemarahannya sudah sirna.
"Dan tampaknya Nugroho menuduhku melakukan itu. Darimana dia tau?"
"Bukan aku. "
Tiba-tiba teringat olehnya Suci yang berbincang dengan Nugroho ketika ia masih mandi.
"Jangan-jangan Suci."
"Haa.. Suci.."
"Anak itu sungguh tak pernah bisa menjaga mulutnya Ma'af ya mas." keluh Tari.
Janto terdiam, teringat olehnya kemarahan Nugroho tadi. Dia menuduhnya menyakiti Tari.
"Maukah kita kesana ? Agar semua kesalah fahaman ini tuntas. Aku tidak suka mas Janto selalu berprasangka buruk sama mas Nugroho, dan itu mas lampiaskan kepadaku setiap sa'at."
"Apa kamu akan ikut pulang besok bersamaku?"
"Ya, kalau sebelumnya mas mau menemui mas Nugroho dulu."
Mau tak mau Janto menyetujuinya. Mungkin benar, semuanya harus segera diselesaikan, agar permasalahan tak semakin berlarut dan dia tak selalu merasa curiga.
***
Tari mengatakan kepada keluarganya bahwa Janto terantuk pintu sehingga pelipisnya luka. Orang tua tak boleh merasakan derita anaknya. Dan mereka juga lega, karena Janto bersikap biasa saja.
"Kata Tari nak Janto sedang sibuk, mengapa sudah sampai disini ?"
"Iya pak, saya pikir Tari ingin segera kembali, lalu saya menjemputnya."
"Jadi nanti nak Janto mau mengajak Tari pulang ke Pasuruan?"
"Ya pak, kalau Tari bersedia."
"Sebaiknya memang begitu. Aku sudah memarahi Tari, ketika suaminya sibuk mengapa justru dia meninggalkannya."
"Mudah-mudahan Tari sudah tidak capek untuk melakukan perjalanan besok, so'alnya baru kemarin dia sampai."kata Janto.
***
Sementara itu dikamar Tari menjewer kuping Suci keras sekali.
"Auuw.. sakit dong mbak."
"Suci, lain kali kamu harus hati-hati kalau bicara. mBak ajak kamu bicara, karena mbak anggap kamu sudah dewasa. Mengapa kamu masih suka ceplas ceplos begitu? Hayo, tadi kamu ngomong apa sama mas Nugroho?"
Suci segera teringat, benar tadi keceplosan ngomong sama Nugroho bahwa Janto selingkuh. Suci langsung memeluk kakaknya.
"Ma'af ya mbak, iya Suci keceplosan."
"Itu membuat mas Nugroho sangat marah pada mas Janto. Kamu tadi melihat bagaimana serunya pertikaian mereka. Dasarnya mas Janto tidak suka sama mas Nugroho.. jadi deh..!!"
"Iya, ma'af mbak.."
"Lain kali kamu harus bisa mengatur bibirmu ini, supaya tidak sembarangan bicara," kata Tari sambil mencubit lirih bibir adiknya.
"Iya, aku akan berusaha lebih hati-hati. Apa mas Nugroho masih marah?"
"Aku akan mengajak mas Janto kesana malam ini. Jaga Haris sebentar ya."
"Asyyiiik.... iya.. lama juga nggak apa-apa." teriaknya riang.
***
Dan malam itu juga Janto dan Tari sudah sampai dirumah Nugroho.
Nugroho yang semula terkejut, kemudian menerima mereka dengan baik. Begitu bertemu pandang, Tari mencubit pinggang Janto, mengingatkan bahwa Janto harus meminta ma'af.
"Selamat malam, mas Nugroho.."
"Selamat malam, mas Harjanto.." jawab Nugroho yang keheranan melihat Janto dan isterinya datang berdua, dan tampak sudah berdamai.
Mereka bersalaman akrab, Tari dan Asty saling pandang dan menyimpan senyum melihat kedua laki-laki yang sebelumnya bertikai kemudian bisa bersalaman dengan manis.
"Saya minta ma'af," lanjut Janto.
"Sayalah yang harus minta ma'af."
"Banyak hal sudah terjadi, dan saya merasa dengan tidak adanya komunikasi diantara kita, maka kesalah fahaman akan terus berlarut-larut."
"Itu benar. Saya katakan sekali lagi disini, bahwa saya tidak akan merebut Tari dari sisi mas Janto. Tapi saya tidak ingin dia menderita. Berita bahwa telah terjadi suatu hubungan yang tidak baik antara mas Janto dan...."
"Itu tidak benar," kata Janto memotongnya.
"Saya sudah menjelaskannya pada Tari bahwa tak ada hubungan apa-apa diantara saya dan sekretaris saya. Dia itu sangat menghormati saya. Saya hanya mencintai isteri saya."
"Alhamdulillah.." Nugroho bernafas lega.
"Semoga dengan pertemuan kita ini, kita akan tetap menjadi saudara."
"Pasti mas Janto, dan setelah ini semoga tak ada lagi yang akan saling menyakiti."
Ketika kemudian Nugroho dan Janto berbincang akrab, Asty menyuruh pembantu untuk menyuguhkan minuman, lalu Asty menarik Tari kedalam kamar.
"Anakmu lucu sekali, dan ganteng ya Asty."
"Sayang kamu tidak jadi membawa anakmu kemari."
"So'alnya sudah malam, nanti lain kali pasti ada waktu untuk bertemu."
"Tari, apa kamu mempercayai apa yang dikatakan suami kamu bahwa tak ada hubungan apa-apa antara dia dan sekretarisnya?"
"Aku mencoba mempercayainya Asty."
"Dengar Tari, apapun yang terjadi kamu harus menjaga suamimu. Sekretaris itu juga setiap hari ada disamping suami kamu, dan setiap sa'at setan bisa saja menyemburkan bisa nikmat yang setiap sa'at orang bisa mereguknya."
"Ya Tuhan..."
"Aku tidak menakuti kamu Tari, tapi kamu wajib ber-hati-hati. Hanya saja pesanku, kalau hal itu terjadi, jangan lagi kamu kabur dari rumah. Rebut kembali cinta suami kamu !!" kata Asty sambil menarik tangan Tari kembali kedepan, untuk berbincang bersama Janto dan Nugroho.
Ketika itulah ponsel Janto berdering.
"Tari, tolong, ponselku tadi aku masukkan kedalam tasmu."
Tari membuka tasnya, dan mengambil ponsel suaminya. Matanya menatap tajam kearah ponsel itu.
"Dari Desy," kata Tari singkat.
Bersambung
No comments:
Post a Comment