MIMPI LESTARI 23
(Tien Kumalasari)
Wajah Janto berubah, Nugroho menatapnya curiga. Tari diam menunggu. Benar kata Asty, kalau Desy mengganggu, ia tak harus lari. Rebut kembali cintamu !!
Janto berdiri, menjawab telpon Desy.
"Ada apa ?" tanya Janto.
"Ma'af pak, hanya mau bilang, bahwa besok saya belum bisa masuk kerja, karena ada pembicaraan dengan keluarga."
"Jadi sampai kapan kamu bisa masuk ?"
"Besoknya lagi pak, ma'af."
"Ya sudah tidak apa-apa."
Janto menutup ponselnya dan menyerahkannya kembali kepada Tari.
"Desy belum bisa masuk besok pagi, hanya itu yang dikatakannya," kata Janto sambil menatap Tari, ada rasa khawatir isterinya akan curiga.
Tak ada yang mencurigakan, pembicaraan berlangsung akrab, sampai kemudian Tari mengajak pulang.
"Mengapa tergesa Tari, aku masih kangen," kata Asty.
"Ma'af Asty, sa'atnya Haris minum ASI, nanti dia rewel."
"Oh iya, lain kali ajak dia kesini."
"Iya, pasti.. "
***
Dalam perjalanan kembali ke Pasuruan, Tari masih memikirkan kata-kata Asty. Rupanya memang harus hati-hati menjaga suami, karena sang sekretaris akan ada didekatnya setiap hari. Dan apapun bisa terjadi.
"Mengapa dari tadi diam saja?" tanya Janto
"Nggak apa-apa, aku ngantuk."
"Tidur saja, aku tau kamu capek. Melakukan perjalanan jauh dan belum sempat istirahat."
"Tidak, aku biasa saja. Mas yang tentunya capek, nyetir tanpa berhenti."
"Nggak apa-apa, aku kuat kok. Sebenarnya kemarin mau ngajak sopir kantor, tapi nggak jadi. Susah kalau harus mengajak dia menginap, kan dirumah nggak ada tempatnya."
"Iya sih."
"Dijalan Haris nggak rewel ya?"
"Paling kalau dia pipis, atau haus.."
"Apa kamu mau dicarikan pembantu?"
"Nggak usah mas, kan dari dulu aku sudah bilang kalau aku masih bisa. Nanti kalau aku merasa repot baru aku bilang."
"Sekarang Haris masih bisa ditinggal-tinggal, nanti kalau dia sudah banyak maunya, baru terasa bagaimana repotnya."
"Iya sih.. nanti saja gampang. Mungkin dua atau tiga bulan lagi."
"Nanti aku pesankan suster perawat dari rumah sakit saja, kan dia lebih tau bagaimana merawat anak, sehingga kamu bisa lebih leluasa melakukan aktivitas apa saja."
***
Namun sesampai dirumah Janto tampak kelelahan. Begitu selesai mandi, istirahat sebentar, dia langsung tidur.
"Mas, harusnya mas makan dulu sebelum tidur, kan tadi makannya sudah sejak siang?"
"Iya, nanti saja, biarkan aku tidur dulu," kata Janto sambil memejamkan matanya. Seperti berat membuka kembali matanya ketika kantuk menyerangnya.
Tari membiarkannya. Malam itu dia hanya makan sendiri, karena memang terasa lapar. Kata ibunya, memang begitulah wanita yang sedang menyusui bayinya. Lagian kalau tidak makan maka ASI nya juga tidak bisa banyak.
Tari bersyukur, karena ASI yang dihasilkan cukup, dia tak perlu membeli susu formula untuk tambahan.
Selesai makan dan bersih-bersih dapur, Tari masuk kekamarnya. Dilihatnya Janto benar-benar tidur pulas sampai terdengar dengkurnya. Tari membenarkan selimut suaminya, lalu membongkar tas pakaian yang tadi dibawanya dari rumah.
Tiba-tiba ponsel Janto berdering. Tari mendekat dan mengambil ponsel itu. Dari Desy lagi? Pentingkah jam sembilan malam menelpon bosnya? Tari ingin membangunkan suaminya tapi tak sampai hati. Lalu diangkatnya ponsel itu.
"Hallo pak, selamat malam," sapa Desy sebelum Tari menyapanya.
"Malam," jawab Tari pelan.
"Oh, ma'af, dengan bu Janto ya?"
"Ya, ada apa malam-malam menelpon?"
"Oh, pak Janto sudah tidur ya bu?"
"Sudah tidur atau belum, tapi kalau tidak sangat penting untuk apa menelpon?" kata Tari agak sengit. Kesal sebenarnya.
"Ma'af bu, iya.. saya salah. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya sudah sampai di Pasuruan, besok siap untuk bekerja."
"Cuma itu? Bukankah besok kamu sudah bisa bertemu dan dengan demikian pak Janto juga tau bahwa kamu sudah bisa masuk kerja?"
"Oh.. iya bu, maksud saya..."
"Ya sudah, besok pagi saja kalau mau ngomong, kan sudah ketemu pak Janto." kata Tari yang kemudian menutup ponselnya.
"Hanya bilang kalau sudah sampai dan besok mau masuk kerja saja, pakai nelpon malam-malam begini," gumam Tari sambil melanjutkan menata pakaian anaknya yang baru saja dikeluarkannya dari dalam kopor.
***
Pagi itu dilihatnya suaminya masih malas-malasan bangun. Tari memegang lengan suaminya untuk membengunkannya. Tapi ia merasa tubuh suaminya panas.
"Mas, kamu sakit?"
Janto bangkit dan beranjak turun dari pembaringan.
"Jam berapa ini? Aku kesiangan ya?"
"Baru jam enam pagi, mas sholat dulu saja. Tapi kayaknya mas sakit, tubuh mas panas lho."
"Nggak, aku hanya capek," jawab Janto sambil melangkah kekamar mandi.
Tari menunggu sampai Janto selesai shalat, karena ia tau Janto sedang tidak enak badan.
"Mas, kalau mas sakit, mending tidak usah kekantor dulu."
"Aku nggak apa-apa, kemarin dua hari aku meninggalkan pekerjaan, nanti tidak selesai-selesai."
Tari melihat Janto mengambil handuk dan masuk lagi ke kamar mandi.
Tari menyiapkan pakaian kerja suaminya, kemudian kedapur untuk menyiapkan sarapan.
Ada sisa daging ayam di kulkas, dan beberapa sayuran, jadi Tari sempat masak sup ayam pagi itu. Disengaja bikin sup, supaya Janto merasa lebih segar.
Janto melangkah ke meja makan dengan lunglai. Tari merasa khawatir.
"Mas tidak apa-apa? "
"Tidak apa-apa, sarapan apa pagi ini?"
"Ada sup ayam mas, dimakan yang banyak, nanti kan keringat bisa keluar dan badan tidak panas lagi."
"Janto duduk, menyendok sup ayam yang aromanya sebenarnya sangat harum dan mengundang selera. Tapi Janto makan hanya sedikit. Perutnya terasa tak enak.
Tari mendekat dan menyerahkan obat demam.
"Mas, makan yang banyak, lalu minum dulu obatnya ini."
"Iya, ini sudah," Janto meraih obat dan meminumnya.
"Mas sungguh tetap mau masuk kerja?"
"Iya, nggak apa-apa, nanti aku pulang lebih awal."
"Oh ya mas, aku lupa bilang, semalam Desy menelpon. Mas tidur nyenyak sekali jadi aku tidak membangunkan."
"Bilang apa dia?"
Cuma bilang kalau semalam itu sudah kembali, dan hari ini siap masuk kerja."
"Oh, cuma itu?"
"Iya, cuma begitu saja, pake nilpun tengah malam."
"Tengah malam?"
"Ya jam sembilanan lebih lah.."
"Oh, ya sudah, nanti aku tegur dia.."
***
Ketika Janto pergi kekantor, Tari tetap merasa khawatir. Dia melihat wajah Janto memang agak pucat. Tapi Janto mengatakan kalau itu hanya karena capek. Pasti karena dua hari terus menerus mengendarai mobil sendiri, jarak jauh pula.
Begitu selesai memandikan Haris dan menidurkannya, Tari menerima telpon dari Asty.
Aduh, ada apa lagi ini. Sesungguhnya Tari segan berhubungan lagi dengan Asty maupun Nugoro, takut ada yang salah. Bukankah sebaiknya melupakan semuanya dan tak usah berhubungan apapun lagi? Tapi Asty adalah sahabatnya, tak sampai hati Tari tak menerima telponnya.
"Ya Asty.."
"Kamu lagi sibuk ?"
"Iya lah, mau bersih-bersih rumah lalu belanja dan memasak.."
"Baguslah. Bagaimana keadaan kalian? Tidak capek?"
"Ya, mas Janto yang tampak sedikit kecapekan, tapi tadi nekat masuk kerja, semoga saja tak apa-apa."
"Ya sudahlah, aku hanya ingin memastikan bahwa kalian baik-baik saja."
"Terimakasih Asty."
"Ya sudah, aku tak mau mengganggu, salam buat Haris ya."
Tari meletakkan ponsel dan melanjutkan kegiatannya mengurus rumah.
Tukang sayur yang biasanya lewat belum tampak lewat. Tapi sup ayam yang dimasak pagi tadi seakan belum terjamah. Tadi Janto hanya memakannya beberapa sendok.
"Aku hanya butuh beli ikan, atau tahu saja dan selesai," gumam Tari sambil menunggu si tukang sayur.
***
Desy menekuni pekerjaannya. Sejak datang tadi dilihatnya pak bos sangat sibuk meneliti surat-surat. Ia tak berani menyapanya karena melihat wajah bosnya lain dari biasanya. Ada rasa khawatir karena melihat wajahnya tampak pucat. Sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa semalam menelponnya, tapi diurungkannya. Barangkali nanti ada kesempatan untuk itu. Dia juga ingin mentatakan bahwa tampaknya bu Janto kurang suka ketika malam tadi dirinya menelpon, lalu Desy ingin meminta ma'af.
"Desy.."
Desy terkejut, dan menghentikan kesibukannya. Diangkatnya kepalanya.
"Ya pak.."
"Tolong ambilkan aku minum panas. Teh panas atau apa saja, yang penting panas."
"Baik pak."
Desy berdiri dan melangkah ke pantry.
Janto merasa badannya kembali terasa panas. Tadi bisa bekerja karena obat demam yang diberikan isterinya. Tapi begitu pengaruh obat itu habis, tubuhnya kembali terasa panas.
Ketika Desy membawakan teh panas, Janto langsung meneguknya.
"Tolong obat demam di almari obat, Des."
Desy mengambil obat yang dimaksud, diserahkan kepada Janto.
"Bapak sakit ?"
"Tidak, cuma agak kurang enak badan," katanya lalu menelan obatnya dengan teh panas.
"Kalau sakit, lebih baik bapak pulang saja, atau ke dokter ?"
"Nanti saja, setelah minum obat pasti lebih enakan. Pekerjaanku kurang sedikit."
Desy meninggalkan Janto dengan perasaan khawatir. Dari meja kerjanya sesekali dilihatnya Janto yang menekuni pekerjaannya. Janto sebentar-sebentar meneguk teh panasnya. Tampaknya ia ingin mengusir panas badannya dengan minuman itu.
Dan beberapa sa'at lamanya memang rasa panas itu reda. Tapi kepalanya terasa pusing.
Tepat sa'at istirahat tiba Janto berdiri.
"Semua sudah selesai, coba kamu teliti lagi. Aku mau pulang sekarang," kata Janto.
"Baik pak."
Namun baru saja Janto sampai dipintu keluar, tubuhnya terhuyung.
Desy berdiri dan berlari kearah Janto. Dirangkulnya tubuhnya, dan dipapahnya agar duduk disofa yang ada diruang itu.
Janto terkulai lemas.
Desy bingung harus berbuat apa. Ia memanggil sopir kantor, dan memintanya mengantar kerumah sakit.
***
Tari telah selesai menata makan siang untuk suaminya. Ia yakin Janto akan pulang untuk makan siang dirumah. Tapi ternyata sudah lewat jam makan Janto belum tampak pulang. Wajah Tari langsung muram.
"Apakah Desy telah menyiapkan makan siang untuk suamiku?" desisnya menahan marah.
"Tapi aku tak boleh diam menunggu, aku harus menelponnya," gumamnya sambil mengangkat ponselnya.
"Hallo..."
Tari terkejut dan hampir mendamprat Desy yang mengangkat telpon suaminya, ketika tiba-tiba Desy melanjutkan kata-katanya.
"Ibu, ma'af, pak Janto ada dirumah sakit."
"Dirumah sakit? Siapa yang sakit ?"
"Pak Janto bu, tadi hampir pingsan di kantor, lalu saya menyuruh sopir membawanya kerumah sakit. Saya sedang menunggu bapak diperiksa diruang UGD. Ini ponselnya saya yang bawa."
Tari terduduk lemas setelah menutup ponselnya.
"Gimana to mas, tadi aku sudah peringatkan supaya jangan masuk kerja. Ternyata mas sakit beneran kan?" gumamnya sedih.
Ia ingin menyusul kerumah sakit, tapi bagaimana dengan Haris? Ia tak mungkin meninggalkan Haris sendiri dirumah.
Tari kebingungan. Lalu ia menyesali penolakannya ketika suaminya menawarkan mencari pembantu atau baby sitter untuk anaknya.
Ia terpaksa menelpon Desy lagi.
"Tolong kabari aku bagaimana hasil pemeriksaannya," katanya singkat.
"Baik, ibu," kata Desy penuh hormat.
Dalam bingung ia ingin menelpon kerumah orang tuanya, tapi nanti bapak ibunya ikut bingung.
"Aduh, apa yang harus aku lakukan?"
Tiba-tiba terdengar Haris merengek.
Tari masuk kekamar dan mendapati Haris menangis keras. Mungkin sudah sejaak tadi dia terbangun, tapi Tari tidak mendengar tangisnya karena hatinya sedang bingung.
"Aduh, ma'af ya, ibu tidak mendengarnya .. cup.. diam sayang, ini ibu.. oh, kamu ngompol ya, " kata Tari sambil mengangkat anaknya dan menggantikan popoknya.
"Dengar sayang, bapak sakit dirumah sakit, kamu jangan rewel ya.."
Sambil menyusukan anaknya dengan hati gundah.
Tak lama kemudian Desy menelpon.
"Hallo, bagaimana ?"
"Ibu, menurut dokter bapak terkena Thypus."
"Apa"
"Dan harus dirawat bu."
"Ya Tuhan... tolonglah hambamu ini," desisnya sambil berlinang air mata.
"Tolong urus dulu semuanya, aku akan kerumah sakit." kata Tari tanpa sadar bagaimana dia bisa pergi kerumah sakit.
"Baik ibu, saya akan mengurusnya."
Tari memeluk anaknya erat sambil menangis. Disadarinya bahwa sesungguhnya dia tak bisa mengurus semuanya sendiri, sementara keluarganya ada nun jauh disana.
"Suci.." akhirnya Tari menelpon adiknya..
"Ya mbak, ada apa?"
"Beranikah kamu datang ke Pasuruan sendiri ?"
"Berani lah mbak, ada apa?"
"Mas Janto dirawat dirumah sakit."
"Ya Tuhan, sakit apa?"
"Katanya Thypus, aku juga belum bisa kesana. Aku tak bisa kemana-mana dan bingung."
"Siapa yang sakit?" terdengar suara ibunya menyambung.
"Mas Janto dirumah sakit bu, mbak Tari minta agar Suci kesana."
"Ya Tuhan.. tidak Suci, kamu jangan sendiri, bersama ibu saja."
"Hallo ibu, nanti kalau ibu pergi .. bapak sama adik-adik bagaimana?"
"Tidak apa-apa, nanti ibu minta agar bapak sama adik-adikmu beli makan diwarung," kata ibunya menyambung.
"Ya sudah ibu, suruh Suci pesan taksi saja, nanti dibayar disini."
***
Malam hari setelah Suci dan ibunya sampai, Tari bergegas kerumah sakit. Ia percaya ibunya dan Suci bisa menjaga Haris dengan baik.
Hari sudah malam, jam bezoek sudah lewat, tapi dengan dalih dia isterinya pasien kemudian Tari diijinkan masuk.
Berdebar hatinya karena menghawatirkan keadaan suaminya.
Disebuah kamar yang ditunjukkan Desy ketika dia menelpon, Tari masuk perlahan.
Dilihatnya Janto terbaring dengan selang infus dilengannya, dan Desy terus menerus memegangi lengannya. Terkesiap jantung Tari menyaksikannya.
Desy terkejut ketika tiba-tiba Tari sudah ada didekatnya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment