MIMPI LESTARI 24
(Tien Kumalasari)
Tari mendekat, melihat Janto memejamkan mata, dan mulutnya bergerak gerak.
Desy melepaskan tangannya yang semula memegangi tangan Janto, kemudian berdiri dan mundur kebelakang.
Ada rasa tidak suka dihati Tari ketika melihat Desy menggenggam tangan suaminya. Tapi bagaimanapun ia tak bisa marah. Desy telah membantunya membawa Janto kerumah sakit dan membuatnya segera mendapat pertolongan.
"Ma'af bu, pak Janto mengigau terus memanggil-manggil nama ibu, dan tangannya seperti meraih sesuatu, bergerak-gerak terus, jadi saya memeganginya.
Tari mengangguk. Ia mendekat, memgangi tangan suaminya. Terdengar bisikan lemah dari bibirnya yang pucat kering..
"Tari... Tari..."
Tari mendekap tangan suaminya, meletakkannya didada.
"Ini aku mas, aku sudah ada disini. Mas tenang ya," katanya sambil berlinangan air mata.
Janto masih memejamkan mata, tapi kemudian menggenggam erat tangan Tari yang memegangnya. Barangkali ada getaran cinta merayapi jemari yang menggenggamnya, dan membuatnya lebih tenang.
"Desy, kamu pasti lelah, istirahatlah di sofa itu, kalau ingin pulang rasanya tidak pantas untuk kamu, ini sudah larut," katanya sambil menoleh kearah Desy.
"Tidak bu, kalau ibu sudah ada disini, saya lebih baik pulang saja."
"Tapi ini sudah larut. Hampir jam duabelas malam."
"Tidak apa-apa bu, rumah kost saya tidak jauh dari sini, saya bisa naik taksi," kata Desy sambil berdiri.
"Sungguh tidak apa-apa?"
Tari membuka tasnya dan mengambil selembar uang lalu diberikan kepada Desy.
"Untuk ongkos taksi, tapi kamu harus berhati-hati. "
"Terimakasih bu, tapi tidak usah, ini sudah ada bu. Sungguh."
Desy menyalami Tari, kemudian keluar dari ruangan.
Tari masih menggengam jemari suaminya. Terasa masih panas. Rasa iba merayapi hatinya. Ia merasa pasti suaminya sangat lelah, ditambah pekerjaan kantor yang melimpah.
"Mas, cepat sembuh, aku ada didekatmu mas.." bisiknya berkali-kali.
Tiba-tiba Tari teringat bahwa sudah sa'atnya Haris diberi ASI. Tari bingung..
Dipegangnya lengan suaminya, sudah tak sepanas tadi. Tapi matanya masih terpejam. Semoga ini pertanda baik. Tari berdiri dan mencari suster jaga. Menitipkan suaminya karena ia harus menyusukan anak bayinya. Suster itu maklum dan bisa mengerti.
"Baiklah bu, tidak apa-apa, kami akan terus mengontrol perkembangan kesehatannya, ibu tidak perlu khawatir."
"Terimakasih suster."
Tari mendekati suaminya sekali lagi, memegang tangannya dan menempelkannya dipipinya.
"Mas, aku melihat Haris dulu, dia juga pasti lapar. Nanti aku kembali ya."
Tari meninggalkan rumah sakit dengan perasaan kacau. Hari menjelang pagi ketika itu. Benar-benar kacau. Sendiri tanpa teman, sementara ia juga harus menyusui bayinya yang belum genap dua bulan. Karena itu dia terpaksa mendatangkan ibunya serta adiknya dari jauh agar bisa membantu meringankan bebannya,
***
Dan benar saja, begitu Tari sampai dirumah, Suci sedang sibuk menghentikan tangis Haris yang kelaparan.
Tari berlari kebelakang, membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian meraih anaknya dari gendongan Suci.
"O, sayang, kamu lapar? Ma'af ya nak, ibu harus meninggalkan kamu."
Haris terdiam begitu puting ibunya memasuki mulutnya. Dia menyedotnya dengan lahap. Tari terharu, benar-benar anaknya kelaparan.
"Tari, besok belilah botol botol untuk menyimpan ASI kamu. Sebelum pergi kamu bisa menyimpannya dibotol-botol, biar Suci memasukkannya ke freezer. Jadi setiap Haris lapar dan kamu belum ada dirumah, dia tak akan rewel."
"Baiklah bu, nanti Tari akan mempersiapkan semuanya, supaya mas Janto ada yang menunggui, dan Haris juga tidak kelaparan."
"Bagaimana keadaan nak Janto?"
"Ketika Tari datang tubuhnya masih sangat panas. Dia mengigau tak henti-hentinya, memanggil nama Tari. Tapi ketika Tari mau pulang ini tadi, panasnya sudah turun, semoga keadaannya segera membaik."
"Ya nduk, semoga begitu. Nanti kalau kamu kembali ke rumah sakit, ajaklah Suci, biar dia bisa bergantian menjaga nak Janto."
"Tidak apa-apa ibu sendirian dirumah?"
"Tidak apa-apa nduk, ibu juga pasti bisa menjaga Haris, asal jangan lupa kamu meninggalkan beberapa botol ASI untuk persediaan."
"Ya bu. Sekarang ibu istirahat saja dulu, pasti semalaman ikut tidak tidur."
"Tadi ibu tidur sebentar, baru bangun ketika mendengar Haris menangis."
"Sekarang tidur lagi saja bu, nanti pas subuh bisa bangun lagi. Di kulkas ada ikan dan sayuran, barangkali ibu ingin memasak. Ibu tak usah memikirkan Tari karena disana banyak orang jualan makanan."
"Tapi kalau bisa pulang kan lebih baik nduk, makanan olahan rumah lebih sehat daripada jajan diluar."
"Iya bu. Bagaimana nanti saja."
***
Hari itu Tari datang kerumah sakit sambil membawa baju-baju ganti untuk Janto. Ia datang bersama Suci, perasaannya lebih lega. Urusan ASI untuk Haris, makan untuk ibunya bisa diselesaikannya dengan baik. Ia harus menunggui suaminya dan melihat perkembangan sakitnya.
Ketika dia datang, dilihatnya mata Janto masih terpejam, tapi menurut suster dia tak lagi mengigau seperti semalam.
Tari memegang tangannya, dan Suci berdiri disampingnya.
"Mas.. ini aku.."
Janto membuka matanya. Wajahnya masih pucat. Ia tampak heran melihat Tari disampingnya, disebuah ruangan yang menurutnya aneh.
"Aku... dimana ?"
"Mas, kamu sakit, dirawat dirumah sakit."
"Aku ?"
Janto memejamkan matanya, mencoba mengingat-ingat. Terakhir kali yang diingatnya ialah bahwa dia berada dikantor, lalu ingin pulang, lalu tak ingat apa-apa lagi sampai ketika dia membuka matanya isterinya mengatakan bahwa dia ada dirumah sakit.
"Kamu disini sejak kemarin siang, Desy yang membawamu kerumah sakit."
"Mengapa kamu ada disini? Bagaimana kamu bisa meningalkan Haris?" Walau lemah bicaranya, Janto masih teringat akan anaknya.
"Begitu mas harus opname dirumah sakit, Suci dan ibu langsung aku minta untuk datang."
"Ini aku mas..Suci.." kata Suci sambil mendekat.
"Oh, ada Suci juga?"
"Suci aku ajak kemari, Haris bersama ibu."
"Bagaimana kalau dia haus Tari, pulang saja, aku tak usah ditungguin."
"Jangan khawatir mas, aku sudah punya stock ASI beberapa botol, cukup untuk sehari."
"Bagaimana bisa?"
"Sudah, kamu nggak usah memikirkan Haris, dia tak akan kelaparan dan kehausan. Sekarang bagaimana rasanya mas?"
"Aku merasa lemas, dan perutku sakit.."
"Mas sabar ya, dokter sudah menangani mas dengan baik"
"Terimakasih Suci. Kita merepotkan ibu juga.."
"Sudah mas, Suci sama ibu malah senang tuh, tiab hari bisa gendong-gendong Haris."
"Iya mas, Suci senang kok. Mas Janto bobuk aja sekarang, kebanyakan ngomong nanti nggak sembuh-sembuh," celoteh Suci.
"Iya, mas pengin makan apa? Ini bubur sumsum belum dimakan, aku suapin ya?"
"Sedikit saja, perutku nggak enak rasanya."
"Nggak apa-apa, sedikit saja<' kata Tari sambil mengambil piring berisi bubur sumsum, jatah dari rumah sakit yang belum dijamah.
"Suci, kamu istirahat saja dulu di sofa itu, kamu juga pasti capek."
"mBak juga capek kan? mBak juga harus istirahat. Tadi dirumah aku sudah sempat tidur beberapa jam disamping Haris."
"Iya, nanti setelah menyuapi mas Janto aku istirahat."
Dan sesungguhnya sejak semalam Tari juga belum sempat memejamkan matanya. Kekhawatiran akan keadaan suaminya mengalahkan rasa capek itu.
Baru ketika tampak Janto terlelap, Tari membaringkan tubuhnya begitu saja karena rasa letih yang menggayutnya.
***
Tari terbangun ketika tiba-tiba terdengar Suci berteriak.
"Eeeh, tangannya nggak usah pegang-pegang begitu kenapa sih?"
Tari bangkit dan menatap Suci sedang menuding-nuding Desy.
"Ma'af.. ma'af, saya hanya ingin melihat, pak Janto masih panas atau tidak. Semalam masih panas sekali," kata Desy sambil menjauh dari tempat Janto terbaring.
"Bu Janto, ma'af saya mengganggu, kata Desy sambil mengulurkan tangan kearah Tari.
"Tidak kok, aku sudah cukup istirahat."
"Oh, syukurlah. Itu.. adiknya pak Janto?"
"Itu adikku, dari Solo.. baru datang semalam."
"Oh."
"Baru pulang kantor ?"
"Iya, tadi rekan-rekan kantor pada datang kemari, tapi hanya sebentar. Kata mereka pak Janto tidur, ibu juga sedang tidur, jadi mereka cepat-cepat pulang.
"Oh, pantesan ada parcel buah-buahan diatas meja, pasti dari rekan-rekan kantor itu tadi ya."
"Iya bu.."
"Oh, ma'af, sampaikan ma'af ku ya, aku lelah sekali.. semalam tidak tidur."
"Iya, mereka maklum."
"Suci, kenalkan dulu, ini namanya Desy, sekretarisnya mas Janto."
Suci mendekat tapi wajahnya masam, bagaimanapun dia pernah mendengar tentang Desy. Walau sebenarnya tak ada apa-apa diantara Desy dan kakak iparnya, tapi dia kurang senang pada sang sekretaris itu. Mungkin karena tadi melihat begitu datang dia memegang-megang tangan Janto.
"Oh, iya, saya Suci," kata Suci sambil menjauh, dan kembali mendekati Janto yang masih tampak memejamkan matanya.
"Ibu, saya tidak akan lama, syukurlah keadaan pak Janto sudah lebih baik. "
"Terimakasih Desy, dan sampaikan juga termakasih dari pak Janto atas perhatian rekan-rekan kantornya."
"Baik bu, nanti saya sampaikan."
Ketika Desy pergi, Tari menegur Suci karena terlihat jutek ketika menghadapi Desy.
"Suci, bagaimanapun dia sudah membantu mbak. Dialah yang mengantarkan mas Janto kerumah sakit."
"Suci sebel melihat dia memegang-megang tangan mas Janto."
"Tidak apa-apa, kan dia sudah bilang bahwa hanya ingin melihat apakah mas Janto masih panas atau tidak."
Suci mencibir, lalu menyelonjorkan kakinya disofa.
Tari hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa kamu ingin pulang dulu, Suci?"
"mBak sendiri disini ?"
"Nggak apa-apa, kamu pulang, mandi lalu kembali kesini, baru aku gantian pulang, bagaimana?"
"Baiklah kalau begitu, nanti mbak mau dibawakan apa?"
"Nggak usah, kan aku juga mau pulang nanti, siapa tau stock ASI untuk Haris sudah menipis."
"Iya juga ya, baiklah, aku pulang saja sekarang."
"Ayo aku antar kedepan sambil aku carikan taksi," kata Tari sambil menggandeng tangan Suci keluar dari kamar, setelah Suci menyambar sebuah jeruk dari parsel yang terletak diatas meja.
***
Ketika sampai dirumah Janto, Suci mendapati ibunya sedang bicara dengan ayahnya di telpon.
"Tidak pak, bapak tidak usah khawatir, katanya keadaannya sudah membaik. Semalam kata Tari, memang masih panas dan terus mengigau, tapi sekarang sudah lebih baik, sudah sadar dan bisa berbicara biarpun masih lemah."
"Syukurlah bu, aku semalam juga tidak bisa tidur memikirkan kalian."
"Bapak tidak lupa memintakan ijin ke sekolah Suci bukan?"
"Sudah, pagi-pagi sekali aku sudah kesekolah Suci."
"Bapak tadi makan pakai apa?"
"Aku memasak nasi saja, lauknya anak-anak yang beli. Kamu tidak usah memikirkan aku dan anak-anakmu, mereka juga sudah besar dan bisa mengerti, jadi tidak rewel masalah makan."
"Syukurlah, ini Suci baru kembali dari rumah sakit pak."
"Bapak .." kata Suci setelah mengambil ponsel dari ibunya.
"Bagaimana masmu ?"
"Tidak panas lagi, tapi masih mengeluh pusing dan perutnya nggak enak. Makan juga nggak begitu doyan."
"Nanti perlahan pasti akan sembuh, jangan lupa bapak diberi kabar setiap hari ya?"
"Iya pak."
"Nanti dulu, lha Tari mana?"
"Masih dirumah sakit pak, ini Suci mau pulang mandi, lalu kembali kerumah sakit lagi, baru mbak Tari pulang."
"Haris tidak rewel ?"
"Tidak, mbak Tari meninggalkan stock ASI di kulkas."
"Syukurlah. Ya sudah, bapak juga mau mandi, bilang sama ibu, hati-hati menjaga cucu."
"Ya sudah, sana mandi.." kata ibunya begitu pembicaraan itu selesai.
"Iya bu, susu untuk Haris masih cukup?"
"Tinggal satu botol lagi, bukankah nanti mbakmu juga akan pulang ?"
"Setelah Suci kembali, mbak Tari akan pulang."
"Ya sudah sana, ibu juga sudah memandikan Haris, susu yang tinggal sebotol akan ibu minumkan sebentar lagi."
***
Perawat itu datang, memeriksa suhu badan dan tensi Janto. Tari memperhatikan dengan seksama.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Tari kepada perawat itu.
"Suhu badannya naik lagi, tapi tidak seberapa, tensinya sedikit rendah," kata perawat itu yang kemudian pergi.
Tari duduk dikursi ditepi pembaringan suaminya. Agak khawatir karena perawat mengatakan suhu tubuhnya agak tinggi.
Janto terus saja memejamkan matanya.
"Mas..."
Janto membuka matanya.
"Hm... " hanya itu yang diucapkannya.
"Mas merasakan apa?"
Janto menggoyang-goyangkan tangannya.
"Bagaimana mas?"
"Pusing..."
Tari berdiri, dan memijit-mijit kepala Janto. Ketika meraba keningnya, memang terasa agak panas. Tapi kata perawat tidak apa-apa.
"Sabar ya mas. Makanya mas harus makan yang banyak, supaya segera sembuh."
"Haris bagaimana?"
"Dia baik-baik saja mas, jangan khawatir."
Lalu Janto kembali memejamkan matanya.
Tari masih memijit-mijit kepalanya, dan tiba-tiba Tari merasa bahwa suhu badan suaminya semakin panas. Janto tampak menggigil.
Tari berteriak memangil perawat.
Bersambung
No comments:
Post a Comment