Thursday, July 2, 2020

MIMPI LESTARI 25

MIMPI  LESTARI 25
(Tien Kumalasari)
 
Ketika dokter datang dan memeriksa, Tari terkulai di sofa. Matanya berlinang. Kecemasan meremas remas  hatinya. Lalu dilihatnya perawat menyuntikkan obat melalui infus yang terpasang.
"Tidak apa-apa bu, jangan cemas, keadaannya memang belum stabil. Nanti juga baik kok," kata dokter mencoba menenangkan.
"Terimakasih dokter,"
 Tari mendekati suaminya, tubuh Janto masih menggigil. Tari menyelimutinya rapat, dan memeluknya, agar berkurang rasa dinginnya. Sungguh, badan Taripun merasakan panas  seperti merengkuh api. 
"Tenang ya mas, sembuh ya mas.." bisiknya didada suaminya.
Janto masih menggigil, mulutnya mengeluarkan suara keluh yang memilukan. Setengah jam lebih Tari merangkul suaminya, barulah gigil itu berkurang. Mulut Janto terkatup rapat, pucat dan kering. Tari melepaskannya, panas itu sudah berangsur turun. Ada keringat didahi Janto, Tari mengusapnya lembut.
Tari menghela nafas lega, walau rasa was-was itu masih ada.
Ia mengambil air wudhu dan melakukan sholat maghrib, sambil menunggu Suci datang menggantikannya, so'alnya dia juga mengingat Haris yang pastinya sudah kehabisan stock ASI.
 
***
 
Ketika memasuki ruang rawat kakak iparnya, wajah Suci langsung masam, karena melihat Desy duduk disampingnya, yang kemudian menoleh kearahnya begitu mendengar langkahnya.
Suci tampak mencari-cari, karena tak melihat Tari kakaknya.
"Dik Suci, bu Janto baru selesai sholat, mungkin di kamar mandi," kata Desy tanpa rasa sakit hati walau Suci selalu tak ramah kepadanya.
"Oh," hanya itu yang dikatakannya, lalu ia menatap kakak iparnya sejenak, kemudian duduk disofa.
Desy sudah berdiri, mempersilahkan Suci mendekat.
"Silahkan dik..," kata Desy sambil menunjuk kearah kursi dimana tadi dia duduk disamping Janto yang masih memejamkan mata.
"Tidak, saya disini saja menunggu mbak Tari."
Lalu Suci mengambil ponsel dan membuka-bukanya.
"Syukurlah Suci, kamu sudah datang," seru Tari yang baru keluar dari kamar mandi.
Suci mengangkat kepalanya.
"Bagaimana mas Janto?"
"Tadi begitu kamu pulang, badan mas Janto panas lagi. Aku panik lalu memanggil dokter."
"Sekarang sudah baik?"
"Tadi sudah mendapat suntikan, lalu agak tenang. Sekarang tidur, jadi nanti kamu kalau menunggu disini jangan berisik, supaya tidur kakakmu tidak terganggu."
"Iya, aku tau."
"Desy, aku mau pulang sekarang, kalau kamu masih mau disini ya tidak apa-apa."
"Tidak bu, saya juga mau pulang saja. Tadi setelah mandi saya memerlukan menjenguk pak Janto, sekarang saya juga mau pamit bu, semoga pak Janto segera pulih."
"Terimakasih Desy."
"Suci, jaga kakakmu dulu ya, kalau capek tiduran saja. Nanti aku kembali."
"Saya juga pamit dulu dik Suci," kata Desy sambil menatap Suci. Yang ditatap tampak hanya mengangguk acuh tak acuh.
Tari menggandeng Desy keluar dari kamar itu.
"Ibu, sebenarnya saya merasa tak enak melihat sikap dik Suci." kata Desy sambil berjalan keluar.
"Oh, jangan diambil hati, dia itu masih kanak-kanak, belum bisa bersikap dewasa."

"Iya bu, saya tau. Saya sedang mencari-cari , apakah saya telah melakukan kesalahan."
"Tidak, kamu tidak salah, jangan difikirkan."
"Oh ya bu, saya sampai lupa, ponsel pak Janto masih ada pada saya," kata Desy sambil mengulurkan ponsel Janto yang dikeluarkannya dari dalam tasnya.
"Iya, aku juga lupa menanyakan. Terimakasih. Kamu mau pulang sama-sama? Aku akan memanggil taksi."
"Tidak bu, saya membawa sepeda motor."
"Ya sudah, hati-hati dijalan."
"Terimakasih bu."
Menatap punggung Desy yang sedang berjalan kearah parkiran, Tari merasa bahwa sebenarnya Desy gadis yang baik. Semoga kecurigaan yang masih ada dihatinya adalah salah belaka. 
 
***
 
"Bagaimana keadaan nak Janto ?" tanya ibunya ketika Tari sedang memompa ASI untuk stock bagi Haris.
"Tadi sempat panas lagi. Tari sudah panik bu, tapi setelah mendapat suntikan obat lalu keadaannya membaik. Artinya tidak lagi menggigil, dan sudah bisa tidur."
"Syukurlah. Tapi aku juga menghawatirkan kamu Tari. Kamu jangan sampai kecapean, kamu punya anak bayi yang harus kamu perhatikan."
"Iya bu, tapi kan Tari juga harus menunggui mas Janto."
"Bagaimana kalau aku dan Suci saja yang bergantian menunggu?"
"Ibu, bagaimana aku membiarkan ibu capek dirumah sakit?"
"Ibu kan tidak apa-apa Tari,  kalau dirumah sakit kan hanya duduk dan bisa istirahat, tidak selalu diburu waktu.  Berbeda dengan kamu, harus mikir yang sakit, mikir anak bayi.. "
"Tapi kalau tidak melihat keadaan mas Janto Tari merasa tidak enak bu."

 
"Iya ibu tau, tapi ingat nduk, anakmu masih sangat lembut, baru dua bulanan... dan kamu itu kan sepulang dari rumah sakit harus mandi dulu sampai benar-benar bersih, ganti pakaian, dan baru bisa memegang anak bayimu. Rumah sakit itu kan tempat yang tidak sehat nduk, anakmu itu yang ibu fikirkan."
"Iya bu, jadi bagaimana bu.."
"Sudah, malam ini biar Suci dirumah sakit, kamu nggak usah kembali dulu. Kalau ada apa-apa pasti Suci ngabari kan?"
Tari menghela nafas. Sungguh fikirannya terbagi dua, separo dirumah, separo lagi dirumah sakit. Dua-duanya berat, tapi tubuh hanya selembar, mau bagaimana lagi. Akhirnya diputuskan untuk menuruti kata ibunya. Dia akan dirumah malam ini, menemani Haris.
"Besok pagi ibu dulu yang kerumah sakit."
"Ibu kan belum tau rumah sakitnya, dimana kamarnya."
"Asalkan sudah sampai disana, kan bisa bertanya dimana menantuku dirawat. Itu bukan masalah, bukankah ibu kemari karena ingin meringankan beban kamu?"
Tari memeluk ibunya penuh haru.
"Terimakasih ibu."
"Sekarang kamu makan dan istirahatlah, tadi ibu memasak asem-asem. Isinya buncis wortel dan irisan daging. Hanya itu tadi yang ibu beli di tukang sayur."
"Iya bu, itu bagus, pasti enak sekali masakan ibu."
 
***
 
Suci mendekat ke arah ranjang dimana Janto berbaring, ketika didengarnya Janto mengeluh.
"Ada apa mas? Mas mau apa?"
"Minum," katanya lemah.
"Iya, mas.. "
Suci mengambil gelas dan sedotan, agar lebih mudah Janto meminumnya. Bibir Janto masih tampak kering.
"Kamu.. sama siapa?"
"Sendiri mas, mbak Tari baru pulang."
"Kasihan Haris. Bilang sama Tari, tidak usah menunggui dirumah sakit."
"Iya nanti aku bilang. Rasanya sekarang gimana mas?"
"Masih lemas, pusing, perut rasanya ngak enak."
"Sabar ya mas.. nanti pasti sembuh."
"Kamu pulang saja.."
"Lho.. mbak Tari nyusuh aku disini kok. Nanti siapa yang njagain... terus... kalau mas butuh apa-apa gimana?"
 "Aku merepotkan.."
"Sudah, jangan banyak ngomong, tidur saja, aku duduk disana tuh.. "
Suci kembali duduk di sofa, 
Tari sudah mengabari bahwa dia tak akan datang kerumah sakit malam ini, karena dilarang oleh ibunya. Suci maklum karena kakaknya kan harus memikirkan Haris juga.
Ia baru saja membaringkan tubuhnya ketika tiba-tiba ponselnya berdering.
"Dari mas Nugroho? " gumamnya pelan.
Suci membuka ponselnya.
"Hallo mas, " sapanya kepada Nugroho yang menelponnya.
"Suci, "
"Ada apa mas?"
"Aku menelpon Tari sejak kemarin, tidak bisa nyambung."
"Iya, mbak Tari mengganti nomor kontaknya."
"Oh, boleh aku minta?"
"Ma'af mas, mbak Tari tidak boleh memberikannya kepada siapapun."
"Biarpun itu aku?"
"Justru mas Nugroho yang paling tidak boleh tau.."
"Ya ampun, aku hanya ingin mengabarkan keadaannya.."
"Ya, mbak Tari baik-baik saja mas, saya mohon jangan mengganggunya lagi, supaya mbak Tari lebih tenang. Kalau mengganggu aku, boleh saja," kata Suci seenaknya.
"Ya, baiklah, kamu lagi dimana?"
"Aku di Pasuruan."
"Pasuruan ? Ngapain?"
"Aku lagi nunguin mas Janto dirumah sakit.."
"Lho, mas Janto sakit apa..?"
"Thypus mas, sudah dua hari ini.."
"Oh, ikut prihatin ya Suci, semoga cepat sembuh. Sampaikan juga salam untuk mas Janto dari keluarga Nugroho."
"Ya, nanti aku sampaikan, sekarang baru bisa tidur."

Suci menutup ponsel dan ingin memejamkan matanya ketika didengarnya Janto memanggil.
"Suci.."
Suci bangkit dan mendekat.
"Ya mas..."
"Siapa yang telpom tadi.. ada namaku disebut.."
"Dari mas Nugroho..."
"Dia lagi?"
"Dia hanya ingin ngobrol sama Suci mas, dulu dia dekat sama Suci, tidak apa-apa.. saya tadi bilang kalau lagi nungguin mas Janto dirumah sakit."
"Dia menanyakan kakak kamu?"
"Nggak, menanyakan sekolah Suci," Suci berbohong.
"Tolong minum lagi..."
Suci kembali mengambilkan gelas dan sedotan, Janto meneguknya sampai setengah gelas.
"Haus ya mas ?"
"Ya.. mulutku kering."
"Tadi mas Nugroho nitip salam untuk mas, dan mendo'akan supaya mas segera sembuh."
Janto hanya mengangguk.
"Suci tiduran lagi ya mas, kalau butuh apa-apa panggil saja. Atau mau Suci kupasin jeruk? Ata apel? Ini dari teman-teman mas kemarin."
"Ya, besok saja, kamu tidurlah."
Suci kembali berbaring, terpikir olehnya mengapa Nugroho masih menanyakan kakaknya. Memang sekedar mengabarkan, tapi Suci merasa hal itu harus dihentikan. Ia sudah menyaksikan sendiri bagaimana keduanya bentrok didepan rumah beberapa hari yang lalu.
 
***
 
Pagi itu selesai mandi Suci terkejut ketika tiba-tiba Desy sudah ada disamping kakak iparnya, dan berbicara sambil tersenyum-senyum. Suci ingin mendampratnya, tapi dilihatnya Janto menanggapi percakapan itu.
"Aku berterimakasih karena kamu telah mengurus semuanya," kata Janto.
"Sekarang pak Janto ingin makan apa? Saya bawakan roti manis.. enak lho pak.."
"Iya.. sedikit saja."
Desy membuka plastik dan menyuapkan roti sepotong untuk pak Janto.
Sugi dengan wajah masam mendekat.
"Jangan sembarangan memberi makan mas Janto, nanti kalau makanan itu dilarang bagaimana?" kata Suci ketus.
"Oh, iya, ma'af."
"Cuma sedikit Suci.." kata Janto lemah sambil mengunyah rotinya.
"Sudah ya pak, saya taruh disini kalau bapak masih mau, nanti biar dik Suci mengambilkan."
"Kamu mau masuk ?"
"Iya pak, ini mau langsung ke kantor."
"Terimakasih Desy.."
"Dik Suci, saya pulang dulu, mau langsung ke kantor."
"Ya," kata Suci tanpa memandang kearahnya. Dia asyik menyisir rambutnya.
"Suci..." panggil Janto
"Ya mas.." Suci mendekat.
"Minum... tolong.."
"Baiklah.." Suci membantunya minum.
"Mau makan buah?"
"Roti yang dari Desy tadi masih ada?"
Suci langsung cemberut.
"Mas jangan makan sembarangan, nanti kalau dimarahi dokter gimana ?"
"Sedikit saja."
Walau kesal  Suci mengambilkan roti itu.
" Huuh, apa enaknya sih, ditawari makan apapun nggak mau, mengapa roti yang dibawakan Desy dia mau? Apa sih enaknya roti, sama saja," batin Suci sambil menyuapi makan kakak iparnya.
Suci tidak tau, karena badannya merasa enak, lalu Janto merasa lapar. Jadi bukan karena rotinya enak dan bukan karena roti itu dari Desy.
 
"Sebentar mas, sepertinya ada telpon masuk," Suci bergegas ke-meja mengambil ponselnya yang berdering.
"Oh, ibu.. bagaimana? Ibu didepan, baiklah, Suci jemput kedepan bu."
Suci bergegas meninggalkan kamar setelah pamit kepada kakak iparnya.
"Ada ibu didepan mas, Suci jemput dulu."
Janto mengangguk. 
Ibu mertuanya datang dan langsung memeluk menantunya.
"Nak Janto, bagaimana keadaanmu ?"
"Saya baik. Sudah doyan makan roti bu. Ibu sama siapa?"
"Sendiri nak, naik taksi, kemudian setelah sampai didepan saya panggil Suci saja, supaya ibu nggak perlu berputar-putar mencari ruangan ini."
"Kasihan ibu.."
"Tidak apa-apa nak, saya melarang Tari terlalu sering meningalkan anaknya. Kasihan, Haris masih terlalu kecil, dan rumah sakit bukan tempat yang sehat bukan?"
"Iya bu, saya juga berfikir demikian. Saya sudah berpesan sama Suci agar Tari tidak usah menunggui saya disini."
"Ini saya bawakan bubur, sama kuah sup ayam. Enak lho.. masih hangat."
"Iya bu, saya mau.. "
"Lha ini yang dari rumah sakit kok masih utuh?"
"Saya mau yang masakan ibu saja."
"Bagus nak. Suci.. tolong yang ibu bawa itu dibuka, ada piringnya juga, ambilkan untuk masmu nduk."
"Ya bu... wah, bener-bener ibu bisa menarik hati mas Janto, biasanya makan susah sekali," gumam Suci sambil mengambilkan beberapa sendok bubur dengan kuah yang aromanya wangi sedap.
"Namanya orang sakit juga kadang-kadang begitu, sini ibu suapin."
"Jangan bu, biar Suci saja,"
"Nggak apa-apa, ibu juga kepengin meladeni anaknya kok."
Pagi itu Janto doyan beberapa sendok. Belum banyak benar, tapi sudah lumayan. 
"Bu, aku boleh nggak makan ini?" tanya Suci yang keburu 'ngiler' mencium aroma masakan ibunya.
"Boleh, kan banyak, buat sarapan kamu juga."
"Asyiiik.."
"Bagaimana keadaan nak Janto, sudah merasa lebih baik?"
"Lumayan bu, masih lemas, dan terkadang panas juga."
"Harus sabar ya nak, ini sudah lebih baik dari kemarin. Besok akan lebih baik lagi."
"Ya bu.."
"Sekarang nak Janto istirahat saja, saya sama Suci menunggu disitu ya."
***
 
Sudah dua minggu Janto berada dirumah sakit. Setiap hari Desy mengunjunginya, tak perduli walau kalau ada Suci maka wajah gadis itu tampak kurang senang. Sesungguhnya sudah lama Desy memendam perasaan yang ingin diungkapkannya pada Janto. Rasa itu menyesak dadanya, dan hanya kepada Janto Desy ingin mengungkapkannya. Tapi setiap hari dilihatnya Janto masih tampak sakit dan lemah. Namun hari itu dilihatnya Janto tampak lebih segar. Ia menyambutnya dengan wajah sumringah. Janto bahkan juga menanyakan pekerjaan di kantor.Kebetulan juga tak ada yang menunggu disitu, bahkan si centil yang selalu tak acuh terhadapnya juga tak tampak.
"Semuanya baik-baik pak, bapak tak usah khawatir."
"Tapi mengapa wajahmu tampak kusut? Ada masalah dengan pekerjaan pastinya?"
"Tidak pak.."
"Benar?"
"Saya tidak berani mengatakannya, nanti saja kalau bapak sudah sehat benar dan kembali bekerja."
"Ini masalah pekerjaan?"
"Bukan, besok saja kalau bapak sudah sehat saya bilang,"
"Desy..."
Tapi kemudian mata Desy tampak berkaca-kaca,  ia ingin menahannya, tapi alangkah susah. Tampaknya ia tak tahan lagi memendamnya, namun ditahannya karena dilihatnya Janto belum sehat benar.
"Kamu kenapa Desy ?"
Desy mengambil tissue dan mengusap matanya. Sa'at itulah tiba-tiba Suci muncul.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER