MIMPI LESTARI 26
(Tien Kumalasari)
Suci meletakkan tas yang dibawanya dengan kasar, kemudian keluar dari kamar. Desy terkejut, ia ingin menyapa tapi Suci sudah lenyap dibalik pintu.
"Desy, sebenarnya ada apa?"
"Tidak pak, nanti saja saya bilang kalau bapak sudah mulai kekantor."
"Tapi bukan masalah pekerjaan kan?"
"Bukan pak, ya sudah, saya mau pamit dulu karena sudah ada dik Suci yang datang untuk menunggu disini."
"Desy..."
"Permisi pak, cepat pulih ya pak.."
Janto ingin menahan, tapi Desy tetap melangkah menjauh.
Desy melongok kekanan dan kekiri, barangkali ia bisa melihat Suci untuk berpamitan, tapi Suci tak tampak batang hidungnya.
Desy menghela nafas. Ia sudah tau kalau Suci tidak suka padanya, apalagi tadi Suci pasti melihatnya sedang menangis.
"Ah, sudahlah, yang penting aku tidak merasa berbuat salah."
Desy terus melangkah keluar, langsung ke parkiran. Wajahnya masih muram, karena ada sesuatu yang masih dipendamnya, dan itu sangat menyesak dadanya.
***
Suci berendap memasuki lagi ruang inap kakak iparnya, lalu ketika dilihatnya tak ada siapapun dia langsung masuk.
"Suci.." tiba-tiba Janto memanggilnya.
"Ya mas..."
"Kamu tadi sudah masuk, mengapa keluar lagi ?"
"Oh.. itu mas... lupa mau beli makanan..." jawab Suci seenaknya.
"Makanan apa?"
"Pengin camilan.. tapi ternyata tidak ketemu yang Suci cari."
"Memangnya kamu mau mencari makanan apa?"
"Belum tau juga, tadi melihat-lihat di kantin.. tapi tidak ada yang menarik."
"Itu dimeja banyak makanan. Kemarin orang-orang kantor membawa macam-macam."
"Mas mau? Barangkali buahnya segar, saya akan kupaskan. Kata dokter makan yang manis boleh, tapi yang asem nggak boleh." Suci justru menawarinya makan buah.
"Ya, terserah kamu saja."
"Apel ya?"
"Ya.."
Suci mengupas apel dan memotongnya kecil-kecil, Dalam menyuapkan sepotong demi sepotong apel itu, Suci merasa bahwa sangat penting bertanya tentang Desy kepada kakak iparnya. Ia selalu mencurigai Desy yang dengan setia setiap hari datang, bahkan yang terakhir dilihatnya Desy menitikkan air mata. Apa.sih yang sebenarnya ada dalam benak gadis itu? Mulutnya hampir terbuka untuk menanyakannya ketika tiba-tiba Janto minta agar Suci berhenti menyuapinya.
"Sudah ?"
"Cukup, nanti lagi."
Suci meletakkan cawan berisi beberapa potong apel yang tersisa.
"Aku kasihan sama dia.." gumam Janto.
"Apa mas ?"
"Kasihan Desy.."
Suci membatalkan niatnya berdiri.
"Ada apa sebenarnya? Sebel saja Suci melihatnya setiap hari datang membezoek mas, kadang membawa makanan, lalu tadi itu pakai nangis-nangis segala," kata Suci tanpa basa basi.
"Apa yang kamu pikirkan tentang dia?"
"Mas suka sama dia?"
"Kamu itu mikirnya selalu negatif. Apa karena dia datang setiap hari lalu kamu pikir dia suka sama masmu ini?"
"Lalu kenapa?"
"Dia itu sebatang kara, tidak punya siapa-siapa. Orang terdekat yang dia kenal adalah aku."
"Lalu...?"
"Dia seperti sedang memikirkan sesuatu, dan ingin berkeluh kepadaku, tapi mungkin tidak pernah bisa diucapkannya karena melihat aku sedang sakit."
"Bagaimana kalau yang ingin dikatakannya itu adalah 'cinta'?"
"Apa?"
"Mungkin juga dia suka sama mas."
Janto tertawa.
"Suci, kamu ini seperti anak kecil saja. Tapi kan kamu memang masih kecil ya." lalu Janto tertawa lagi.
"Aku sudah mau lulus SMA .. "
"Tapi kamu mikirnya seperti anak kecil."
Suci semberut, membuat Janto melebarkan senyumnya, sambil mengacak rambut adik iparnya.
"Suci sudah sering mendengar, sekretaris menggoda atasannya. Dan sekretaris itu kan pasti cantik, menawan. Jarang sekali bos yang tidak tergoda."
"Kalau aku termasuk atasan yang seperti apa?"
"Kayaknya siih... mudah tergoda, habisnya mas kan baik hati, murah senyum. Suci cuma bisa bilang, mas Harus hati-hati sama dia. Bukankah dia cantik dan menawan?"
"Kamu bisa saja.."
Keduanya tertawa renyah, tapi Suci senang kakak iparnya sudah bisa bercanda dan tertawa-tawa.
"Berarti mas sudah sembuh, semoga bisa segera pulang ya mas."
"Iya, mas juga sudah kangen sama Haris. Sudah bisa apa dia sekarang?"
"Sudah lucu mas, kalau diajak ngompng dia tertawa-tawa dan bisa berteriak keras.. pokoknya nggemesin.
"Semakin ingin pulang."
"Sabar mas, nanti kalau dokter sudah menyatakan bahwa mas benar-benar sehat pasti bisa pulang."
Tapi ketika pulang pagi harinya setelah ibunya menggantikannya, Suci mengatakan kepada Tari tentang kecurigaannya.
"mBak harus hati-hati menjaga mas Janto."
"Memangnya kenapa?"
"Suci curiga sama mbak Desy, jangan-jangan dia mau merayu mas Jano."
Tari tertawa. Bukan hanya sekali Suci mengatakan itu.
***
Sudah tiga hari Janto boleh pulang. Suci dan ibunya juga sudah pulang ke Kartosuro, karena Suci harus kembali masuk sekolah.
"Besok aku harus mulai bekerja lagi," kata Janto sambil memangku Haris yang tertidur pulas.
"Apa mas sudah benar-benar sehat?"
"Sudah, lihat aku sudah segar, tapi aku brewokan kembali ya, lama ngga potong sambut juga."
"Biar saja begitu."
"Nanti aku nggak ganteng dong kalau wajahku nggak kelimis."
"Biarin saja, kalau ganteng malah banyak yang naksir lhoh."
"Memangnya kenapa kalau banyak yang naksir? Berarti kamu hebat dong, punya suami banyak yang naksir.."
"Iih, baru sembuh sebentar saja sudah genit nih."
Janto tertawa sambil mencium Haris berkali-kali, membuat si kecil terbangun dan merengek, lalu Janto bangkit dan mengayunkan tubuh anaknya perlahan.
"Tuh mas, brewoknya mas itu membuat Haris geli, tau..."
"Lah katamu brewoknya nggak boleh dipangkas.."
"Nggak boleh, tapi nyium anaknya juga harus pelan-pelan saja dong."
"Kalau nyium ibunya nggak harus pelan dong."
"Sssst.... ada anak kecil nggak boleh ngomong mesum."
"Masa sih, cuma begitu saja mesum?"
Tari mencibir, lalu melangkah kebelakang. Dia harus menyiapkan makan siang. Peringatan dokter untuk kesehatan suaminya sangat diperhatikan. Bukan masakan bersantan, bukan yang banyak lemak, bukan yang berasa asam.. Yang penting ada buah dan sayur. Makanan sehat untuk dirinya yang sedang menyusui juga.
***
Ini hari pertama Janto masuk ke kantornya, setelah hampir sebulan absen karena sakit. Desy tampak gembira menyambut kedatangan atasannya.
"Selamat datang kembali, bapak."
"Apa kabar Desy?"
"Baik pak..."
"Akan saya siapkan minum untuk bapak," kata Desy sambil keluar dari ruang kerjanya, menuju pantry.
Tiba-tiba Janto teringat bahwa Desy akan mengungkapkan sesuatu, yang akan dikatakannya setelah dia masuk ke kantor. Begitu Desy meletakkan segelas teh panas dimeja Janto, Janto menyuruhnya duduk.
"Desy,"
"Ya pak.."
"Dulu kamu pernah bilang akan mengatakan sesuatu."
"Ah.. iya.. nanti saja, sekarang kan bapak harus memeriksa surat-surat."
"Tidak bisa sekaramg?"
Sesungguhnya setelah kesempatan mengatakan itu ada, Desy menjadi ragu. Ia takut mengganggu, atau dianggap keterlaluan. Tapi kebimbangan Desy itu membuat Janto penasaran.
"Katakan saja sekarang, supaya tidak mengganjal."
Tiba-tiba wajah Desy muram, air mata kembali merebak.
"Katakan Desy."
"Saya sedang bingung, tak tau harus berkeluh kepada siapa."
Janto teringat ketika sedang menemani Tari, dan Tari berada dalam kesedihan karena kehilangan cintanya, lalu ia menyenandungkang sebuah lahu, I'm strong if I'm on your soulders..
"Berkeluhlah padaku, " katanya tanpa menyenandungkan lagu.
"Ini sangat berat, dan tak mungkin.."
"Apa maksudmu ? Ceritakan semuanya dengan jelas, aku akan membantu kamu kalau memang aku bisa melakukannya."
Tiba-tiba ponsel Janto berdering. Dari isterinya.
"Hallo, Tari,"
"Mas, apa mas sedang sibuk ?"
"Tidak, ada apa?"
"Mas menelpon ke Yayasan Perawat Anak ?"
"Oh, iya, kemarin, tapi belum ada jawaban, katanya masih menunggu yang mau ikut kita."
"Kenapa mas nggak bilang sama aku?"
"Kalau aku bilang pasti kamu menolak. Biarlah saja, kasihan kalau kamu melakukan semuanya sendiri. Bukankah Harus sudah bertambah besar?"
"Iya sih.."
"Lalu dari Yayasan tadi bilang apa? Sudah ada?"
"Sudah ada, tapi tidak hari ini. Mungkin besok."
"Syukurlah, semoga kamu cocog."
"Jadi aku harus bilang apa kalau dia menelpon lagi?"
"Bilang saja oke, kita mau mencobanya."
"Ya udah mas, nanti dia mau menelpon lagi."
"Kalau nggak ya kamu saja yang menelpon. Nomornya aja dimeja tulisku."
"Baiklah. Semoga cocog."
Ketika Janto selesai menerima telpon isterinya, dilihatnya Desy sudah kembali ke mejanya dan asyik menekuni pekerjaannya. Janto urung menanyakan permasalahan yang dihadapi sekretarisnya.
***
Tapi ketika sa'at istirahat tiba, dan Janto ingin memanggil Desy lagi, dilihatnya Desy sedang menerima telpon entah dari siapa. Wajah Desy kelihatan tegang, ia menjawab pelan sehingga Janto tak bisa mendengar apa yang dibicarakan.
Sebenarnya Janto ingin pulang saja karena merasa bahwa itu bukan urusannya, lagipula isterinya pasti sudah menunggunya untuk makan dirumah, tapi ketika Janto sudah berdiri dan bersiap pergi, dilihatnya Desy menutup ponselnya sambil menangis. Dia tampak panik, memandangi Janto seperti ingin mengatakan sesuatu.
Janto tak jadi keluar ruangan, lalu duduk disofa yang ada diruang itu.
"Desy, ada apa?"
Tiba-tiba Desy mendekat dan bersimpuh dibawah kaki Janto sambil menangis, membuat Janto kebingungan.
"Desy, ada apa ini, berdirilah.. jangan begini.. duduk dan ceritakan apa yang terjadi," kata Janto sambil menarik tangan Desy, dan menyuruhnya berdiri.
Desy masih sesenggukan, duduk dihadapan Janto sambil menutup wajahnya.
Janto menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, tangannya bersedakap.
"Baiklah, menangislah sepuas hati kamu, setelah itu kamu ceritakanlah semuanya."
Desy mencoba menenangkan perasaannya dan menghentikan tangisnya. Janto mengulurkan tissue.
"Ma'af pak.. ini yang sebenarnya sudah lama ingin saya katakan pada bapak."
"So'al apa itu?"
"Ketika nenek meninggal, ada pakde yang kemudian menggantikan kedudukan simbah atas diri saya. Artinya, kemudian dia merasa harus mengatur hidup saya. Pakde adalah kakaknya bapak saya, anak simbah yang lebih tua."
"Baguslah, jadi kamu kan tidak berarti tak punya siapa-siapa."
"Tapi pakde itu seorang yang ambisius, gila harta. Sebenarnya itu bukan apa-apa bagi saya, asalkan tidak mengganggu hidup saya. Tapi ketika saya pulang setelah seminggu simbah meningal, pakde memaksa saya menikah dengan seorang yang kaya raya. Dia tuan tanah di kampung saya."
"Kamu tidak suka?"
"Mana bisa saya suka pak, saya akan dijadikan isteri ke tiga."
"Wauuww... enak dong, banyak temannya," kata Janto mengoda, maksudnya agar kerisauan hati Desy agak mencair. Tapi Desy justru kembali menitikkan air mata.
"Bapak jangan begitu," isak Desy.
"Nggak, aku hanya bercanda, supaya kamu bisa tertawa."
"Saya tak boleh menolak, karena pakde sudah menyanggupi permintaan tuan tanah itu."
"Mana bisa begitu, kamu berhak menolak dong."
"Saya sudah menolak, tapi pakde memaksa, kalau saya menolak, ada syaratnya yaitu saya sudah punya calon suami. Begitu perjanjiannya dengan orang itu."
"Kamu sangat takut pada pakdemu itu?"
"Takut sekali pak."
"Lalu apa yang bisa aku bantu untuk kamu?"
"Sore ini pakde datang ke tempat kost saya, dia ingin melihat siapa calon saya. Kalau benar, maka pakde tak akan memaksa."
"Lalu ?"
"Maukah bapak menolong saya? Datang ke tempat kost saya dan mengatakan bahwa... bahwa.. bapak adalah.. calon suami saya?"
Janto terkejut bukan alang kepalang. Mana mungkin dia bisa melakukannya?
"Tolonglah pak, sekali ini saja, agar kemarahan pakde mereda. Setelah pernikahan dengan bandot itu batal, saya akan memikirkan hidup saya sendiri dan tak akan perduli pada keluarga saya."
"Mengapa tidak sekarang saja kamu kabur dari keluarga kamu?"
"Saya masih memikirkan pakde, yang barangkali ada perjanjian dengan orang itu. Lagipula pakde itu sangat kejam. Yang penting perjanjian dengan orang itu harus terputus, kalau tidak maka dia akan terus mengejar saya."
"Bagaimana bisa ada orang seperti itu?"
Desy menghela nafas.
"Saya terlanjur menyanggupi, hanya untuk memutuskan perjodohan itu. nanti ketika pakde datang, saya akan menunjukkan bahwa saya sudah punya calon."
"Kamu yakin setelah kamu membawa 'calon' kamu lalu pakdemu akan berhenti?"
"Saya yakin, karena orang itu tidak mau mengambil saya isteri kalau saya sudah punya calon suami."
"Bagaimana kalau pakde kamu kemudian memaksa saya benar-benar menikahi kamu?"
"Nanti akan saya fikirkan pak, yang penting nanti sore pakde sudah melihat seseorang yang akan saya akui sebagai calon suami."
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment