Friday, July 3, 2020

MIMPI LESTARI 27

LESTARI PUNYA MIMPI  27

(Tien Kumalasari)

"Mas, kok terlambat pulang makannya? Banyak yang harus diselesaikan ya?" tanya Tari ketika Janto pulang untuk makan.

"Ya.." jawab Janto singkat, sambil terus kebelakang untuk mencuci kaki tangan sebersih mungkin, karema ia ingin memeluk anaknya.

Tari yang menunggu dimeja makan tersenyum melihat Janto sudah masuk keruang makan sambil menggendong Haris.

"Mas bangunin ya ?"

"Tidak, begitu aku masuk dia sudah bangun, mengoceh ah eh ah eh... lalu aku gendong deh."

"Ya sudah, sini sama ibu, bapak biar makan dulu.."

"Masak apa isteriku hari ini ?"

"Semur daging, sama perkedel... " jawab Tari sambil mengambil anaknya dari gendongan suaminya.

Janto menyendok nasi dan semurnya.. tapi pikirannya kembali kearah kantor. Ia tak bisa melupakan tangis Desy  yang begitu memilukan. Tak adakah jalan lain? Tadi dia juga belum menyanggupi, ia harus berfikir masak-masak sebelum menerima, cukupkah hanya mengatakan bahwa Desy ada calonnya lalu mereka akan berhenti? Bagaimana kalau nanti dia dipaksa segera menikahi beneran? Aduhai.. bisa kacau nih. Janto juga ingin mengatakan permasalahan itu kepada isterinya, ia tak bisa memutuskannya sendiri, ini bukan masalah sepele.

"Mas, sudah di sendok kok belum segera masuk ke mulut? Nggak enak ya masakanku? Atau tadi sudah ada yang nyiapin rawon di kantor?"

"Waduh, kok masih diulang-ulang lagi... "

"Habisnya.. mas makan kayak nggak niat begitu, atau sambil ngelamun ? Ngelamunin apa? Pekerjaan yang belum usai.. atau apa...?"

"Nanti aku mau cerita, oke.. semurnya enak,, aku habisin dulu ya.."

Tari memperhatikan suaminya makan, tampak lahap, tapi seperti dibuat-buat, barangkali hanya untuk menyenangkan hati isterinya yang telah bersusah payah memasak untuknya.

Begitu selesai makan, Janto mengajak isterinya bicara diruang tengah. 

"Tampaknya ada masalah serius nih, apa sih mas?" tanya Tari yang duduk didepannya sambil memangku Haris.

Lalu dengan perlahan dan hati-hati, Janto menceriterakan perihal masalah Desy. Tari terkejut mendengar bahwa Janto akan berpura-pura menjadi calon suami Desy, untuk mencegah pakdenya menjodohkannya dengan seorang bandot.

"Apa mas? Mas sanggup melakukannya? Ini bukan sebuah permainan mas, ini masalah serius," kata Tari berapi-api.

"Iya aku tau. Itu sebabnya aku bingung."

"Sebenarnya itu bukan masalah kita kan mas?"

"Benar, tapi Desy itu sebenarnya sangat baik, bahkan aku berhutang nyawa sama dia. Bukankah dia yang melarikan aku kerumah sakit ketika aku setengah pingsan di kantor? 

"Karena itu mas akan mengorbankan harga diri mas untuk berpura-pura menjadi calon suaminya?" Tari memandang suaminya dengan gemas.

"Tari, seandainya kamu jadi aku, apa kamu juga akan membiarkan seseorang yang butuh pertolongan sementara kamu sebenarnya bisa menolongnya?"

"Mas, ini bukan masalah mau atau tidak untuk menolong. Ini masalah teka teki akan apa yang selanjutnya terjadi. Ya kalau setelah itu kemudian masalahnya akan selesai. Bagaimana kalau keluarganya menuntut agar mas segera menikahinya? Atau justru sore nanti yang namanya pakde itu sudah membawa penghulu sekalian kemudian mas harus menikahinya sa'at itu juga?"

Janto terdiam. 

"Apa mas sudah mempersiapkan jawaban untuk menolak seandainya itu terjadi? Atau jangan-jangan mas memang suka melakukannya, suka menjadi suaminya beneran.."

"Tari, mengapa kamu berkata begitu? Ini murni untuk menolong dia."

"Ada-ada saja permasalahan yang harus mas hadapi. Oh ya, tidak adakah orang-orang dikantor mas yang masih bujangan dan bisa dimintai tolong ? Kalau bujangan sih, dipaksa menikahpun tak masalah, kan tidak ada yang akan menghalanginya. Lhah kalau mas, aku jelas nggak mau dong kalau mas benar-benar menikahi gadis lain."

Janto memeluk isterinya, membuat Haris yang ada dipangkuannya meronta.

"Iih, mas.. anakmu ini ada disini... main peluk saja. Risih dia... ya kan nak?"

"Habisnya.. kamu menuduh yang tidak-tidak. Suamimu ini hanya ingin menolong seseorang, dan seseorang itu adalah pembantuku dikantor."

"Ya sudah, pikirkan saja baik-baik, apa yang akan mas lakukan."

"Itu sebabnya aku  bingung Tari, waktunya tinggal sore nanti."

"Mengapa Desy baru mengatakannya sekarang?"

"Sudah lama, sejak neneknya meninggal, tapi kan aku sakit, jadi dia tak sampai hati mengatakannya."

"Ya sudah mas, kalau memang mas ingin menolongnya, lakukan saja, tapi mas harus hati-hati dan fikirkan segala kmungkinan yang akan terjadi. Yang penting, kalau dipaksa nikah jangan mau," kata Tari sambil cemberut.
***

Tari masih termangu diruang tengah, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Tari terkejut, nomornya tak dikenal, tapi dia membuka ponsel itu.

"Hallo selamat siang,"

"Tari.. susah sekali menghubungi kamu. Nomor kamu pakai ganti segala."

"Ya ampun, bapak, ma'af bapak, Tari tidak mengenali nomor bapak. Iya bapak, ma'afkan Tari, ponsel Tari hilang dan segan mengambil lagi nomor lama, lalu memilih berganti nomor. Dari  mana bapak tau nomor ini?"

"Aku menghubungi adikmu, Suci, aku terkejut mendengar Janto sakit dirumah sakit. Mengapa kamu tidak memberi tau bapak?"

"Ma'af bapak, sekali lagi mohon ma'af, bukannya Tari tak ingin mengabari bapak, tapi Tari hanya tak ingin membuat bapak khawatir. Baru hari ini mas Janto mulai bekerja. Maksud Tari kalau semuanya sudah baik, Tari baru akan mengabari bapak sama ibu."

"Bagaimanapun orang tua kan ingin tau keadaan anaknya."

"Iya bapak, sekali lagi Tari mohon ma'af."

"Kalau Janto kurang perhatian sama orang tuanya, kamu lah yang harus lebih perhatian."

"Iya bapak, Tari akan lebih memperhatikan."

"Bagaimana kabar cucuku ?"

"Baik dan sehat bapak. Nanti Tari kirimkan video nya kesini. Bagaimana kabarnya ibu sama bapak?"

"Bapak baik-baik saja, ibumu yang sekarang sering sakit. Gula tinggi, kolesterol tinggi..Tapi kami rajin kontrol ke dokter."

"Nanti kalau Haris sudah agak besar, kami akan ke Jakarta, kangen sama keluarga disini."

"Baiklah, tadi bapak menelpon hanya ingin menanyakan nomor kontak kamu, malah mendengar bahwa Janto habis sakit."

"Sekarang sudah sehat bapak, atas restu dari bapak dan ibu juga. Salam hormat saya untuk bapak dan ibu."

"Ya, ya.. hati-hati menjaga cucuku ya nak."

"Iya bapak.."

Tari menghela nafas. Sesungguhnya dia dan Janto tak mengabari keluarga Jakarta hanya karena tak ingin menyusahkan. Tapi namanya orang tua, maunya semua-semua harus tau. 

Tari sedang menidurkan Haris yang tadi dipangkunya, ketika mendengar suara dering bel tamu. Ia menutup pintu kamar pelan dan bergegas keluar. Seorang wanita berdiri didepan pintu dan mengangguk hormat. Usianya mungkin diatas Tari, berpakaian putih dan wajahnya menunjukkan sifat ramah.

"Selamat siang," sapanya.

"Selamat siang, mbak mau ketemu siapa ya, ma'af."

 "Apakah ini rumah bapak Harjanto?"

"Benar, mbak siapa?"

"Saya Mamiek, perawat yang dikirim oleh ibu Zaenal kemari karena pesanan dari bapak Janto."

"Oh, ya ampun.. ayo silahkan duduk," kata Tari mempersilahkan Mamiek duduk di teras. Senang melihat penampilannya, tampak bersih dan rapi.

Beberapa hal yang perlu ditanyakan sudah ditanyakannya. Tentang KTP, tentang pekerjaan sebelumnya, dan keluarganya. 

"Saya merawat bayi sudah hampir sepuluh tahun. Dulu pernah sekolah di pendidikan perawat tapi tidak selesai karena keburu harus mendapat pekerjaan mengingat orang tua yang tidak mampu."

"Sebelum ini bekerja dimana ?"

"Dirumah seorang dokter, dari anaknya masih bayi sampai sekarang sudah bersekolah. Saya berhenti karena dokter itu tidak lagi membutuhkan saya setelah anaknya besar."

"Anak saya baru berumur tiga bulan. Kalau suami bekerja, saya sendirian dirumah. Saya hanya membutuhkan yang bisa membantu merawat anak saya, tapi tidak sepenuhnya. Dia masih meminum ASI penuh, dan tanpa susu formula."

"Itu bagus sekali ibu."

Tari mengajak Mamiek masuk kekamar Haris, dan mengatakan apa yang harus dikerjakannya. So'al gaji sudah dibicarakan dan sudah saling setuju. Tari juga menunjukkan kamar dibelakang untuk Mamiek , dan tampaknya Mamiek juga suka.

"Kalau mbak Mamiek suka,  boleh segera mulai kapan saja."

"Bolehkah saya mulai hari ini?"

"Oh bagus, saya senang."

"Saya akan ke Panti dulu untuk mengambil baju-baju saya, dan segera saya akan kembali kemari."

***

"mBak Tari kemana saja, ditelpon dari tadi nggak diangkat," gerutu Suci ketika menelpon kakaknya.

"Oh, baru ada tamu, berbicara macam-macam, ponselku didalam kamar."

"Tamu siapa sih ?"

"Perawat yang akan membantu dirumah."

"Oh, perawat untuk Haris ya, syukurlah, harusnya sejak kemarin-kemarin mbak cari perawat."

"Itu juga yang pesen mas Janto, nggak bilang dulu sama aku."

"Iya aku tau, kalau bilang pasti mbak akan menolak bukan?"

"Iya sih. Ada apa siang-siang menelpon ?"

"Ini, aku mau bilang, mertua mbak marah-marah."

"Iya, tadi juga mbak sudah kena marah."

"Dia menelpon mbak nggak pernah berhasil, lalu menelpon Suci, aku kasih tau kalau nomor kontaknya ganti. Terus aku juga bilang kalau mas Janto habis sakit."

"Iya, nggak apa-apa, mbak memang nggak kasih tau, supaya mereka tidak kepikiran, apalagi ibunya mas Janto kan juga sakit-sakitan."

"Ya sudah kalau sudah menelpon kemari. Gimana mas Janto? Sudah mulai masuk kerja?"

"Hari ini baru masuk, tampaknya sudah sehat."

"Hati-hati, jangan lupa pesan Suci lho mbak."

"Pesan apaan sih?"

"Itu, tentang sekretarisnya mas Janto yang cantik."

Tari hampir mengatakan apa yang baru saja dibicarakan dengan suaminya tentang Desy, tapi diurungkannya,mengingat Suci yang terkadang suka keceplosan bicara, nanti malah bapak ibunya mendengar lalu khawatir pula.

"Bener lho mbak."

"Iya, aku tau, jangan khawatir. Ya sudah, mbak mau menata kamar yang mau mbak suruh pakai untuk perawat itu, sebentar lagi dia balik, ini lagi mengambil baju-bajunya."

"Iya baiklah."

"Bapak sama ibu baik-baik saja kan?"

"Baik, ibu nih lagi sibuk, banyak orang bikin baju baru, so'alnya lagi musim orang punya kerja."

"Nah, tapi kamu harus mengingatkan supaya ibu jangan terlalu capek."

"Iya, Suci juga membantu kok."

"Syukurlah, anak baik."
***

Tari sudah selesai menata kamar yang mau dipakai Mamiek, ketika dia datang dengan membawa sebuah tas yang agak besar.

"Ini kamarmu mbak."

"Ibu, mengapa ibu yang menyiapkannya untuk saya, kan saya bisa menatanya sendiri?"

"Nggak apa-apa, kan baru pertama kali. Di almari itu ada ganti seprei dan sarung bantal kalau mbak ingin menggantikannya nanti."

"Ya ibu."

"Dan almari itu juga untuk tempat pakaian mbak."

"Baik ibu, nanti saya akan menatanya."

Tari kemudian mengajaknya kekamar Haris dan menunjukkan semua keperluan Haris dan perlengkapannya. 

"Tapi kalau sa'atnya dia lapar, aku yang akan memberinya ASI, kecuali kalau aku pergi, ada persediaan ASI di freezer. Aku ingin mbak selalu menjaga kebersihan."

"Pasti ibu, saya selalu memperhatikan itu.

*** 
Mamiek sedang membawa baju-baju kecil punya Haris yang ada dikeranjang kotoran, bermaksud ingin mencucinya, ketika Tari tiba-tiba memanggilnya.

"mBak, itu mencucinya nanti saja, sekalian sama kotoran Haris setelah mandi."

"Oh, iya bu."

"Di freezer ada persediaan ASI apabila nanti Haris menangis, aku mau pergi sebentar."

"Oh, baiklah bu, kalau begitu saya disini saja supaya mendengar kalau Haris bangun."

"Ya, sambil menonton teve juga nggak apa-apa mbak, saya hanya mau belanja."

"Baiklah bu."

Tari keluar dari rumah dan meminta agar Mamiek menguncinya dari dalam, lalu ia memanggil taksi.

***

Janto masik berkutat dengan laptopnya, ketika dilihatnya Desy menerima tilpon. Janto berdebar, pasti pakdenya Desy sudah datang. Ia harus segera memutuskan, mau menolongnya atau tidak.

Janto menutup laptopnya. Dilihatnya Desy sudah selesai menelpon, lalu menatapnya. Tampaknya ia ingin memastikan apakah sang bos jadi mau menolongnya atau tidak, so'alnya tadi Janto belum mengatakan apa-apa, karena buru-buru pulang untuk makan dirumah.

Janto menyandarkan tubuhnya. Dilihatnya Desy melangkah kearahnya, lalu duduk didepannya. Janto belum menanyakan apa-apa, dilihatnya mata Desy berkaca-kaca.

"Bapak, " katanya pelan.

Janto menegakkan tubuhnya.

"Apa yang harus saya lakukan? Pakde sudah  berada dirumah kost saya."

"Oh ya?"

"Pakde datang bersama dia."

"Dia itu siapa?"

"Dia.. yang.. tuan tanah itu.. "

"Oh, dia juga ikut datang?"

"Tampaknya dia ingin memastikan, benar tidaknya saya sudah punya calon."

"O, rupanya dia tidak percaya seandainya pakde kamu sendiri yang mengatakannya."

"Tampaknya begitu."

"Lalu..?"

"Pak..." air mata yang semua mengambang itu jatuh bergulir dipipinya yang pucat. Ia gelisah seharian dan tubuhnya terasa lemas.

"Jadi kamu harus benar-benar membawa seorang laki-laki kehadapan mereka yang akan kamu akui sebagai calon suami kamu?"

"Hanya itu satu-satunya jalan untuk melepaskan diri dari mereka."

"Seandainya di kantor ini ada seorang bujangan yang mau menolongmu.. tapi tak satupun ada. Mereka sudah tampak tua, dan hanya aku yang seperti muda," kata Janto sambil mengelus brewoknya. Teringat kata-kata isterinya, bahwa brewoknya tak usah dicukur, supaya jangan kelihatan ganteng.  Janto ingin tersenyum , tapi diurungkannya melihat wajah pucat didepannya.

"Saya mohon ma'af pak.. sekali ini saja. Saya bersedia melakukan apa saja asalkan bapak bisa menolong saya."

"Tidak, kalau aku mau menolong maka aku tak sedikitpun membutuhkan imbalan. Aku hanya ingin menyelamatkan kamu."

"Terimakasih banyak pak," kata Desy sambil mengusap air matanya.

"Tapi ada syaratnya."

"Apa pak?"

"Setelah ini kamu harus melepaskan diri dari keluarga kamu. Untuk apa kamu punya keluarga kalau tidak bisa menjadi pelindung kamu yang sudah tak punya orang tua dan saudara, dan malam membuat kamu sengsara?."

"Desy mengangguk."

"Kamu keberatan kehilangan harta peninggalan nenek kamu seandainya kamu dicoret dari daftar keluarga?"

"Tidak pak, saya akan berusaha untuk hidup tanpa bergantung kepada warisan simbah ataupun orang tua."

"Satu lagi."

Desy menatap Janto.

"Jangan sampai kemudian setelah aku datang, lalu mereka memaksa untuk segera menikahi kamu.Fikirkan alasan yang tepat untuk menolaknya. Aku hanya ber-pura-pura. Mengerti?"

"Saya mengerti pak." 

"Baiklah, sudah sa'atnya pulang, kamu boleh bersiap-siap."

Desy tiba-tiba bangkit, lalu mendekati Janto dan bersimpuh dihadapan Janto sambil kembali menitikkan air mata.

"Sudah, nggak usah begitu, sekarang bersiap-siaplah."

Desy berdiri dan melangkah kemejanya untuk berkemas. 

Ketika keduanya sudah hampir membuka pintu, tiba-tiba seseorang telah membukanya terlebih dulu.

Janto terkejut. Tari sudah berdiri didepannya.

Bersambung

 

 

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER