Tuesday, June 16, 2020

KAYLA 17

#PART_17 

Dua bulan berlalu. Aku telah melalui hari-hari sulit seumur hidup. Istikharah pun sudah kujalani untuk meminta petunjuk pada sang Maha Pencipta. Ayah dan ibu ingin aku melepaskan Zein, tapi hati kecilku berkata jika aku masih mencintainya. Zein pun sering datang ke rumah untuk memintaku kembali dan memperbaiki segalanya. Akan tetapi, bagaimana mengembalikan kepercayaan ini padanya meskipun ia berjanji akan meninggalkan Sarah? Ya, kepercayaan itulah yang sama sekali telah ia renggut dariku.

Akhirnya, dengan meneguhkan keyakinan, bahwa semua adalah takdir Allah, aku melepas Zein. Menggugatnya ke pengadilan agama. Zein sempat menolak, namun pada akhirnya ia pun tak dapat berbuat apa-apa ketika pengadilan menerima gugatanku. Apalagi dengan ketidak hadiran Zein selama beberapa kali sidang mempermudah jalanku.

Kini, aku telah resmi menjadi seorang janda. 

Pahit memang. Cinta yang berusaha kujaga untuknya, harus kandas begitu saja karena pengkhianatan. Pengkhianatan yang dilakukan oleh suami dan sahabatku. Mereka telah menoreh luka teramat dalam di hatiku. Meninggalkan sisa-sisa kebencian yang membuat jantung bagai di remas-remas kala mengingatnya. 

“Kay,” panggil Ibu yang datang tergopoh dari arah kamarnya. Melewati masa iddah ini, aku memilih berdiam diri di rumah sembari mendekatkan diri kepada sang Pencipta. Aku kembali fokus menambah hapalan Qur’an yang sempat tertinggal beberapa waktu belakangan.

“Ya, Bu?” sahutku sambil menutup mushaf kecil di tangan. Ibu tersenyum sumringah sembari duduk di sampingku.

“Uda-mu besok pulang.” 

“Uda? Uda Rizal atau Uda Salman, Bu?” Mataku membulat berbinar mendengar berita kepulangan salah satu kakakku itu. 

“Uda Rizal-lah, Nak. Uda Salman-mu itu mana bisa pulang sembarangan. Dia terikat kontrak dan hanya diizinkan pulang sekali setahun saja kecuali darurat.” jelasnya.

“Asiiiiik!” Aku begitu girang membayangkan akan segera bertemu dengan kakak tertuaku itu. “Tapi, Bu. Uda Rizal tahu tentang ... .”

Ibu tersenyum, mengangguk dan membelai wajahku. “Tenang saja, ibu sudah pastikan dia takkan berbuat anarkis pada mantan suamimu itu.” Wanita itu tertawa kecil. Aku pun ikut tertawa mendengar ucapan ibu. Rizal memang sedikit temperamen, dia takkan membiarkan adik perempuan satu-satunya ini terusik atau tersakiti. 

Rizal tinggal di pulau Jawa. Dia sudah menikah dan memiliki tiga orang anak. Di pulau Jawa Rizal berdagang di sebuah kios kecil-kecilan untuk menafkahi keluarganya. Tak jarang ia juga mengirimkan uang untuk ayah dan ibu meski hidupnya juga pas-pasan. 

***

Baru saja aku selesai menyapu teras siang itu, saat melihat sebuah mobil merayap memasuki halaman. Aku memperhatikan mobil itu dengan seksama. Rasanya mobil itu tak asing, tapi aku lupa di mana pernah melihatnya. 

Tak lama, terlihat seorang lelaki turun, dan kupastikan itu adalah Rizal. Senyum sumringah langsung menghias wajahku. Kutinggalkan sapu begitu saja dan langsung berlari menghampiri pria yang tengah tersenyum padaku. 

“Uda Rizal?” seruku tak percaya. Kucium tangannya dan memeluknya sejenak. 

“Kayla, apa kabar, Dik?” Rizal menyelidiki wajahku.

“Aku baik, Uda. Uda apa kabar? Aku rindu sekali.”

“Alhamdulillaah, Uda baik. Ada yang menyakitimu? Apa perlu si Zein itu Uda habisi?” geramnya tiba-tiba.

Belum sempat aku menjawab, seorang pria turun dari kursi kemudi. Aku menoleh, dan jantungku seakan berhenti berdetak demi melihat siapa yang datang bersama Rizal ini. Pria itu hanya melirikku sebentar, seperti berpura-pura tidak kenal.

“Oh iya, maaf Uda lupa. Ini ... kenalkan teman Uda, tepatnya teman baru Uda. Kami baru saja berkenalan tadi di jalan, gara-gara Uda menolongnya memperbaiki mobilnya yang mogok. Namanya Sameer.” Rizal begitu antusias memperkenalkan pria yang sebenarnya sudah kukenal. “Katanya beliau mencari seseorang ke kampung kita ini, tapi beliau tidak tahu alamat pastinya hingga ... Uda mengajaknya ke rumah kita. Ya, siapa tahu kita kenal dengan orang yang dia cari.”

Sameer menganggukkan kepala sambil tersenyum, kedua tangan ia tangkupkan di dada. “Sameer,” ucapnya.

Aku pun melakukan hal yang sama seraya menyahut, “Kayla.”

Lalu secara tak sadar iris kami beradu. Ada rasa yang kembali bergejolak di ujung sana, jauh di sudut hati. 

*** 
"Dulu, waktu aku berusaha merebutmu dari Zein, kamu mati-matian mempertahankan cintamu. Kamu mengabaikan kata-kataku. Tapi sekarang kamu membiarkan sahabat karibmu merebut Zein begitu saja. Bodoh! Apa kamu tidak ingin mempertahankan Zein seperti dulu yang pernah kamu lakukan Kayla?" 

Aku terkejut saat tiba-tiba saja Sam menghampiriku yang tengah duduk sendiri di teras. Kami baru saja selesai makan siang.

Sam mengambil duduk berseberangan denganku.

“Apa gunanya mempertahankan pengkhianat?” sahutku dingin.

Sam tertawa kecil. Ia memperhatikan wajahku dengan seksama.

“Kamu terlihat kurus Kay. Jarang makan ya? Apa perlu kubuatkan beef steak special untukmu Nona Kayla?” godanya. Aku balas menatapnya, lalu secara tak sengaja tawaku pecah demi melihat mimiknya yang begitu lucu di mataku. Kata-katanya mengingatkanku pada beberapa tahun lalu, saat aku dan dia bertemu di restoran itu. Sam ikut tertawa.

“Jangan menggombaliku lagi, nanti istrimu marah!” celetukku begitu tawa kami reda.

Sam terdiam. Raut wajahnya kembali berubah. 

“Istrimu cantik sekali, Sam. Kamu beruntung ... ah bukan, dia beruntung mendapatkan lelaki baik sepertimu.” ujarku tulus.

Sam tersenyum kecil. “Dan kamu ... hanya lelaki bodoh yang mau melepasmu begitu saja.” 

Gantian aku yang terdiam. Kembali ada torehan luka mendengar ucapan Sam.

“Maaf, jika kata-kataku membuatmu tersinggung,” sesalnya.

Aku menggeleng. “It’s oke.”

Sejenak hening meliputi.

“Oh ya, kamu ... mencari siapa ke daerah sini? Punya alamatnya?” tanyaku memecah keheningan. 

Sam menggelng pelan. “Tidak.”

“Namanya ... atau ... fotonya sekalian?” 

“Ada.” sahutnya.

“Siapa namanya? Bisa kulihat fotonya?”

Sam menghela napas sebelum menjawab, “namanya ada di sini,” Sam meletakkan tangannya di dada, “dan fotonya ... ada di sini.” Ia menunjuk kepalanya.

Aku terperangah, apa maksud pria bule ini? Dia mulai konyol lagi.

“Sam, aku serius!”

“Aku mencarimu.”

Terdiam. Menelan saliva yang tersekat tiba-tiba ketika mata abu-abunya menatapku tajam.

“S-Sam?” lirihku.

“Ya, aku mencarimu, Kay. Aku ....”

“Kamu mau jadi pengkhianat seperti Zein? Kamu mau mengkhianati istrimu?” Emosiku tiba-tiba memuncak. “Maaf, di sini tidak ada tempat untuk pengkhianat!” ucapku ketus seraya bangkit dan berlalu begitu saja dari hadapannya. Tak kuhiraukan Rizal yang berpapasan denganku di ambang pintu.

Aku masuk ke kamar, menutup pintu dan menguncinya. Napasku sesak, sulit sekali menghirup oksigen. Sam, kenapa dia datang lagi? Kenapa dia harus hadir lagi? Kenapa harus ada pengkhianat lagi di hidupku?

Berusaha sekuat tenaga mengatur detakan jantung yang kembali tak beraturan kala mengingat si mata abu-abu itu. Jujur, masih ada secuil rindu yang terselip padanya meskipun sudah kukubur dalam sejak melihat foto pernikahannya.

 Sudahlah! Tak guna memikirkan hal tak penting itu!

*** 

[Kayla, maaf kalau kamu jadi salah paham. Yang menikah itu adikku, bukan aku. Kamu tidak mau mendengar penjelasanku tadi siang. Apa kamu tidak membaca komen-komen yang ada di foto itu? Mereka mengucapkan selamat untuk adikku, bukan aku. Kamu tahu, Kay? Rindu ini tak pernah pudar untukmu meskipun aku telah mati-matian mencoba melupakanmu. Namun semakin aku berusaha melupakanmu, aku semakin sadar jika cintaku semakin besar untukmu]

Aku terperanjat saat malam ini sebuah pesan masuk melalui aplikasi berwarna hijau dengan logo telepon itu. Dari mana dia tahu nomor ponselku? Hmm, pasti dari Rizal!

Tapi isi pesannya membuatku hampir saja tak sanggup menahan masa tubuh. Aku terhuyung, memilih duduk di sisi ranjang, kembali membaca kelanjutan isi pesan itu.

[Kay, aku sering berdoa pada Allah, agar kamu selalu diberi kebahagiaan. Tapi di samping itu aku juga berdoa, jika kamu tak bahagia, aku minta izin pada Allah untuk membahagiakanmu.Jadi ... selepas masa iddah-mu berakhir, aku akan datang melamarmu. Will you marry me, Kayla?] 

Tersentak, tak sadar ponsel itu terlepas dari tangan. Tubuhku gemetar. Seakan tak percaya dengan semua yang baru saja kualami. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, lalu air mataku mengalir deras. Apa yang membuatku sedih? Aku pun tidak tahu. Hanya merasa, Sam datang di waktu yang tidak tepat.

Bukan sangsi dengan ketulusan Sameer, tapi ... aku belum siap untuk kembali membina sebuah hubungan yang disebut dengan pernikahan. Lagian aku dan Zein baru saja bercerai. Apa semudah itu bagiku menggantikan posisinya?

[Aku takkan memaksamu. Tapi aku akan mnunggu hingga kamu siap. Aku juga tidak akan menemuimu selagi kamu belum membalas pesan ini]

Sebaris pesan kembali masuk saat aku hendak memejamkan mata. Menghela napas dan memejamkan mata. Aku ingin tidur lelap malam ini. Melupakan semua yang telah terjadi.

*** 

Dua belas purnama hampir berlalu. Aku benar-benar telah melupakan Zein. Bahagia karena berhasil lepas dari bayang-bayang pria itu.

Sam, sudah lama ia tak menghubungiku. Ya ampun! Tentu saja, bukankah dia takkan menemuiku jika aku belum membalas pesannya waktu itu? Dan itu hampir setahun yang lalu. Bodoh! Aku hampir melupakannya! 

Entah kenapa dan dorongan apa yang membuatku bergegas mengambil ponsel. Aku mencoba menghubungi Sam. Ah tidak, bukan menelepon, tapi menulis sebaris pesan.

 Kuketik dan kukirimkan. Aku tersenyum sendiri. Bahagia. Meskipun keputusan ini mendadak, namun aku yakin ini yang terbaik. 

*** 

“Mau makan apa?” tanya Sam saat dilihatnya aku masih meringkuk di atas tempat tidur pagi itu. Entah kenapa, perutku tiba-tiba terasa diaduk-aduk. 

Aku menggeleng sembari menahan sesuatu yang hendak ke luar dari mulutku.

“Kay, kamu kenapa?” Wajah Sam tiba-tiba panik saat melihat wajahku pucat.

Kembali aku menggeleng, dan di saat yang sama aku segera berlari ke kamar mandi karena desakan dari mulutku semakin kuat. 

“Hueeeek!” Aku mencoba memuntahkan apa yang rasanya ingin ke luar sejak tadi. Sam mengusap-usap tengkukku. 

“Kamu kenapa, Kay?” Kembali ia terlihat panik melihatku muntah-muntah pagi ini.

Aku tak menjawab, terus saja mengeluarkan seluruh isi perutku hingga aku lemas, dan akhirnya tak sadarkan diri.

*** 

Membuka mata secara perlahan, dan aku menemukan diriku di sebuah ruangan serba putih. Ada sepasang mata abu-abu tengah menatapku sambil tersenyum. Ya, dia pria yang telah menikahiku tiga bulan yang lalu. 

“Sam?”

“Sssstt, sudah kubilang belajarlah memanggilku dengan sebutan Uda!” tegurnya. Ingin tertawa, tapi lemas sekali rasanya. Ngilu di pergelangan tangan akibat tusukan jarum infus masih terasa. Sam selalu memaksaku belajar memanggilnya Uda. Sudah kubilang itu tidak cocok dengan wajahnya, tapi dia tetap memaksa. 

“Ada apa denganku?” tanyaku setengah berbisik. Seluruh tenagaku terasa terkuras.

Sam kembali sumringah, ia bangkit dan mencium keningku, lama sekali. 

“Sebentar lagi kita akan punya anak, Sayang.” bisiknya. Aku terbelalak tak percaya.

“Aku hamil, Sam?”

“Sam lagi? Uda Kay, Uda!”

Ah, dia konyol sekali, dalam keadaan seperti ini masih sempat juga mengajakku berdebat.

“Baiklah, Uda Sam ... apakah aku hamil?”

“Iya, kamu hamil, pastinya itu anakku, bukan anak Zein.” tegasnya.

Aku tercenung menatapnya.

“Bercanda Sayang.” Sam mengusap kepalaku, lalu tertawa.

“Aku hamil? Aku bisa hamil?” tanyaku tak percaya. Ada sebuah kekuatan yang mengalir tiba-tiba saat tahu jika rahimku diisi oleh sebuah kehidupan.

Sam mengangguk yakin. 

Aku berusaha bangkit lalu memeluk pria bule itu dengan erat.

“Terima kasih, Sam. Kamu sudah membuatku sempurna.” Aku menangis bahagia.

“Uda,” celetuknya.

Kulepas pelukannya, menatap mata halal itu. “Uda, terima kasih.”

“Berterima kasihlah pada Allah. Sebab semua ini skenarionya. Kita pernah melakukan kesalahan, dan dengan kesalahan itu kita harus belajar menjadi pribadi yang lebih baik.”

 Ia kembali membawaku ke dalam pelukannya. Pelukan yang begitu nyaman dan menenangkan, sebab ia kini adalah lelaki halal untukku. 

Ya Allah, terima kasih atas semua hadiah ini.  Aku sadar, sesuatu yang baik menurutku belum tentu baik di mata-Mu, sebaliknya sesuatu yang buruk menurutku, belum tentu buruk di mata-Mu.

Sam, terima kasih atas cinta yang tulus ini. Meski cinta kita salah di awalnya, namun mungkin dengan jalan itulah cara Allah menyatukan kita hingga halal seperti sekarang. Jodoh, memang sebuah misteri.

I love you, Sameer. My handsome chef. 

                            *** THE END ***

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER