#KAYLA
#PART_16
Pagi masih menyisakan tetesan embun di pucuk dedaunan kala aku baru saja sampai di depan rumah Ayah. Setelah membayar taksi, aku pun turun. Membiarkan mesin beroda empat itu berlalu sebelum melangkahkan kaki memasuki pekarangan yang tak begitu luas dengan rumah sederhana menghiasi. Mawar merah yang sedang mekar seakan ikut menyambut riang kepulanganku. Ternyata tanaman indah berduri ini masih setia menunggu kepulanganku.
Tersenyum kecut, lalu kembali melangkah menyeret koper hitam yang berisi beberapa lembar pakaianku. Sejenak terpaku di depan pintu. Ragu untuk mengetuk, meskipun aku tahu penghuni rumah ini sudah bangun.
Menghela napas, mengangkat tangan kanan, dan mengetuk pintu rumah.
‘Tok!Tok!Tok!’
“Assalaamu’alaykum!” ucapku dengan suara sedikit keras.
“Wa’alaykumussalam.” Terdengar sahutan suara ibu dari dalam.
Pintu terkuak. Wajah setengah baya itu pun muncul. Matanya membesar. Aku memaksa bibir untuk tersenyum, mencium tangannya dan menghambur dalam peluk hangat wanita yang telah melahirkanku. Aku tahu, beliau pasti kaget dengan kehadiranku.
“Kayla?” ucapnya setelah melepas pelukan. Ia menelisik wajahku. “Kamu ... sama siapa? Mana suamimu?” Ibu mengedarkan pandangan ke halaman.
“Aku sendiri, Bu,” jawabku berat sambil menunduk.
Ibu tertegun. Tak lagi bertanya. Menatap dalam mataku yang mungkin masih terlihat sembab. Kurasa naluri keibuannya bisa membaca apa yang tengah terjadi dengan putri bungsunya ini.
Ibu tersenyum, membingkai wajahku dengan kedua tangan. Hangat sekali.
“Ayo masuk, kamu pasti belum sarapan kan?”
Aku menggeleng, “belum, Bu.”
Ibu menarik tanganku masuk. Di ruang makan kutemukan Ayah tengah asik dengan kopi hitam dan pisang goreng kesukaannya. Ia tampak sangat terkejut dengan kehadiranku. Spontan ia berdiri dan mendekat.
“Kayla?”
“Ayah, maaf kalau kedatanganku membuat Ayah dan Ibu terkejut.” Kucium punggung tangan lelaki cinta pertamaku itu. Memeluknya sebentar sebelum ia menyuruhku duduk.
“Ada apa kamu datang pagi-pagi begini? Zein mana? Tidak ikut?” Ayah memburu dengan pertanyaan sembari kembali duduk di kursi.
“Uda, biarkan Kayla sarapan dulu, nanti saja wawancaranya!” tegur ibu sambil membawakan segelas teh hangat untukku. Ayah bungkam. Menyesap kopi hitamnya sambil tak henti menatapku.
“Mau makan apa, Nak?” tanya ibu lembut.
“Tidak usah repot-repot, Bu. Aku makan ini saja,” tolakku halus sambil mencomot satu pisang goreng dari piring.
Ibu tersenyum, lalu ikut duduk bergabung bersama kami. Saat sarapan berlangsung ibu hanya bertanya hal-hal biasa hingga suasana menjadi hangat. Tak secuil pun ibu menyinggung masalah kedatanganku seorang diri ke sini.
Selesai sarapan, aku minta izin untuk masuk ke kamar. Menyeret koper hitam sembari mendorong pintu berwarna cream tua itu. Kamar itu terlihat selalu rapi dan bersih, seperti terakhir kali aku ke sini bersama Zein.
Zein?
Tiba-tiba hatiku kembali merasakan perih. Apalagi menatap seprai penutup ranjang berwarna biru muda itu. Seprai yang menjadi saksi, bagaimana untuk pertama kalinya madu asmara itu kunikmati bersama Zein setelah ijab qabul dilangsungkan. Hangat peluk dan dekapannya seakan masih bisa kurasakan. Tapi kini, pelukan itu telah ia bagi dengan wanita lain, wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Katanya ia tak ingin kehilanganku, tapi kenapa ia malah menghadirkan cinta lain di antara kami?
Kutelan saliva yang terasa pahit. Mendekati ranjang. Menarik kasar seprai itu hingga berantakan, lalu melemparnya ke sembarang tempat.
“Aaaaarrrrrrggghhhhh! Kamu jahaaaaat!” Secara tak sadar aku berteriak. Terisak, jatuh tersungkur di pinggir ranjang. Bahuku berguncang. Tangis yang sudah tak dapat kubendung lagi.
“Kayla!” Tergopoh ibu masuk. Mendekat dan langsung memelukku. Mengusap-usap kepalaku sambil mengecupnya berkali-kali. Ia tak bertanya apa-apa. Membiarkanku puas dengan tangis. Sakit sekali rasanya hati ini membayangkan kejadian semalam. Tak menyangka kalau Zein akan setega itu padaku. Apa dia ingin balas dendam denganku? Tapi apakah balasannya harus sesakit ini? Kenapa harus Sarah?
Lelah pun menghampiri, tangisku berhenti. Hanya isak yang tersisa. Tak sadar aku tertidur dalam hangat dekapannya.
***
Kepalaku terasa berat, sakit sekali. Mencoba membuka mata perlahan-lahan. Terkejut menatap sekeliling ruangan. Dimana aku? Ah ya lupa, aku tadi pagi pulang ke rumah Ayah. Melirik alas ranjang yang sepertinya sudah diganti. Ya, bukan berwarna biru lagi, tapi sudah berganti dengan warna cream bermotif bunga-bunga coklat. Aku tercenung. Pasti ibu yang melakukannya.
Kulirik jam dinding, sudah hampir jam sebelas siang. Membawa tubuh lelah ini untuk bangkit, beringsut turun dari ranjang. Sejenak aku termangu. Lalu bangkit mendekat ke jendela. Menatap halaman, dan mataku tertumbuk pada sebuah mobil yang amat kukenal siapa pemiliknya. Hatiku kembali terasa sakit.
Tak lama seseorang masuk ke kamarku tanpa permisi.
“Bukankah sudah kubilang kalau aku ingin menenangkan diri dan tak ingin diganggu? Apa Abang tidak menerima pesanku?” tanyaku dingin sambil melipat tangan di dada, lalu membuang pandangan dari wajah yang jika kutatap terlalu lama akan membuat hatiku luluh.
Pria itu tak menjawab. Ia menutup pintu, mmelangkah mendekatiku.
“Kamu belum mendengar penjelasan Abang, Kay,” ujarnya lirih.
“Aku tak butuh penjelasan apa-apa.” bantahku.
“Tapi kamu harus tahu kenapa Abang melakukan semua ini.”
Aku terdiam. Luka di hatiku berdarah.
“Tidak ada untungnya Abang menjelaskan padaku.” Membuang pandangan ke luar jendela. “Abang ingin membalas perbuatanku dengan Sam, begitu kan?”
“Tidak, bukan begitu. Abang ... Abang hanya .... “ Zein tak melanjutkan ucapannya.
Kutatap pria yang tengah menunduk di hadapanku. “Hanya apa?”
“Abang ... jatuh cinta pada Sarah, sejak ... sejak beberapa kali kami bertemu di luar kota waktu itu. Di sana ... dia begitu memperhatikan Abang, dia tahu apa yang Abang suaki dan apa yang Abang tidak sukai. Abang tidak tahu bagaimana harus menentukan sikap selain menyambut kebaikannya begitu saja tanpa pernah berpikir panjang akan sebab akibatnya. Sampai ... sampai suatu hari ... ada rasa tak biasa yang terasa saat Abang bertemu kembali dengannya. Masih di tempat yang sama, tempat Abang sering mengadakan meeting. Dia bilang juga sedang ada pekerjaan di sana. Abang percaya saja. Entah bagaimana dia bisa tahu jadwal Abang ke luar kota, semua tak pernah terlintas dalam pikiran.”
Penjelasan Zein membuat rongga dadaku sesak. Tapi kubiarkan ia menyelesaikan semuanya.
“Dia yang mendekati Abang Kay, dia yang berusaha membuat suamimu ini terjatuh ke dalam pelukannya sehingga ... sehingga Abang tak sanggup menahan diri untuk tidak membalas cintanya.”
Kembali, ribuan jarum menusuk-nusuk jantungku. Dia menyalahkan Sarah, sementara dirinya sendiri juga salah, dia yang memberi ruang untuk Sarah. Saat seperti ini kenapa Zein terlihat begitu bodoh?
“Lalu ... saat kecelakaan itu, Sarah sering datang mengunjungi. Dia membantu merawat Abang. Abang pikir, dari pada terus berdosa, lebih baik Abang menikahi Sarah. Abang tak memikirkanmu saat memutuskan itu. Abang khilaf. Hanya karena nafsu semata, hanya karena kecantikan Sarah ... Abang telah tega mengkhianatimu. Maafkan Abang Kayla!”
Zein berlutut di depanku. Tangisnya pecah.
Kubiarkan pria itu.
“Apa ... ketika Abang mengetahui perselingkuhanku dengan Sam ... .”
Zein mengangguk sebelum aku meneruskan pertanyaanku. Sepertinya ia paham ke mana arah pertanyaan yang akan kulontarkan.
“Ya, kala itu semua sudah terjadi. Abang sudah mulai ... mengkhianatimu.”
Bagai mendengar suara petir di siang hari mendengar ucapannya. Padahal tadinya aku berharap dugaanku salah. Sudah selama itu dia mengkhianatiku, pantas saja dengan amat mudah ia memaafkanku dan Sam. Ternyata ini alasannya.
“Lalu kenapa tak membiarkanku dengan Sam? Bukankah kita akan impas?” Aku beranjak, duduk di sisi ranjang. Sementara pria itu masih dengan posisi yang sama.
Zein tak menjawab. Ia bangkit. Melangkah perlahan mendekatiku. Kembali berlutut di depan dan mencoba memegang kedua tanganku. Kubiarkan ia melakukan itu.
“Abang tidak rela kamu menjadi milik orang lain. Bukankah sudah Abang katakan? Abang sangat mencintaimu. Abang ....”
“Cinta seperti apa?” potongku sambil menepis tangannya. Mataku mulai berkaca-kaca. “Cinta berbalut pengkhianatan?”
Zein kembali terisak.
“Seandainya Abang mengatakan terus terang jika Abang ingin menikah lagi, mungkin rasanya takkan sesakit ini. Apalagi perempuan itu adalah Sarah, dia sahabatku Bang. Bagaimana mungkin aku bisa membagimu dengannya? Pernahkah Abang pikirkan itu?” cecarku dengan suara tertahan. Sebisa mungkin aku berusaha agar tak terdengar oleh Ayah dan Ibu.
“Aku pikir ... Abang adalah lelaki terbaik dengan cinta yang begitu sempurna, tapi aku salah. Bahkan di saat aku terbaring entah di mana, Abang malah menikah dengan wanita lain. Aku tak menyangka Abang akan setega itu. Lebih baik Abang tinggalkan saja aku, pulangkan aku pada Ayah, sebagaimana Abang memintaku dulu.” Kini air mata benar-benar membasahi pipi.
Zein mengangkat kepala, menatapku nanar dengan matanya yang merah.
“Tidak, Abang tidak akan melepasmu sampai kapan pun.” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sarah lebih baik dariku. Dia mungkin bisa memberimu ... keturunan. Tidak sepertiku yang ....”
“Kayla!” Tiba-tiba Zein memelukku. Erat sekali. Tangisku semakin pecah dalam dekapannya. “Jangan bicara seperti itu, kamu tidak salah. Abang yang salah. Kamu wanita sempurna, Abang yang tidak becus menjadi suami. Abang mengkhianatimu. Abang yang salah, kamu boleh pukul Abang, bahkan kamu boleh membunuh Abang jika kamu mau!”
Tak kutanggapi ucapannya. Hanya bisa terus menangis dalam peluknya.
Tak bisa kupungkiri, pelukan ini masih hangat kurasakan. Tak ada yang berubah. Hanya hati saja yang berubah, hanya rasa percaya saja yang berubah.
Hening.
Aku menepis pelukan Zein, menghapus air mata dengan jemari. Lalu kutatap mata suamiku, yang kini telah duduk tepat di sampingku.
“Pulanglah, Sarah pasti menunggumu. Aku tidak apa-apa. Aku akan pulang jika hatiku merasa tenang.”
“Abang tidak akan pulang tanpamu. Jika kamu tak menginginkan Sarah, Abang akan ....”
“Menceraikannya begitu?” potongku.
Zein terdiam.
“Jangan seenaknya mempermainkan pernikahan. Pertahankan saja apa yang sudah Abang miliki.”
“Termasuk kamu?”
Gantian aku yang terdiam.
“Entahlah, apa aku berhak dipertahankan atau apakah aku penting dipertahankan dalam hidupmu, biarlah Allah yang memberi jawaban!” pungkasku.
Lagi, pria itu terdiam.
Lama kami saling diam. Hingga akhirnya Zein mengalah dan beranjak pulang.
Andai Zein tahu betapa aku mati-matian melupakan cintaku pada Sam demi menjaga cinta halal kami, tentu takkan tega ia menyakitiku sejauh ini.
Menatap mobil yang ia kendarai semakin menjauhi rumah Ayah, membuat hatiku semakin terasa sakit. Sungguh, sangat sukar menerima kenyataan ini. Namun kucoba melihat dari sisi baiknya saja. Bahwa Allah rindu padaku, Allah rindu rintihanku di sepertiga malam dan dalam sujud-sujud panjangku. Allah cemburu karena aku lebih mencintai makhluk-Nya ketimbang Dia sang Maha Pencipta. Ya, Allah tengah memberiku ujian agar aku semakin kuat, dan dosa-dosaku terhapus satu persatu dengan kesabaran ini.
Aku pun beranjak menuju kamar mandi. Ingin membersihkan diri dan bersiap mendengar wejangan Ayah dan Ibu, yang kupastikan akan begitu banyak pertanyaan terlontar dari mereka. Aku berjanji, akan menjawab seadil mungkin, tanpa sepenuhnya menyalahkan Zein.
***
Semilir angin danau buatan yang terletak tak jauh dari rumah Ayah mempermainkan ujung jilbabku. Sementara wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri, dan kini telah menjadi maduku, duduk terpaku di depanku. Ya, tadi dia menelepon hendak menemuiku, setelah beberapa hari aku berada di rumah Ayah. Aku sengaja memintanya bertemu di sini, karena merasa tidak enak dengan Ayah dan Ibu yang belum sepenuhnya menerima kenyataan ini.
“Bicaralah!” titahku saat sepuluh menit berlalu ia tak juga membuka suara. Bagiku, Sarah bagai orang asing saat ini.
“Aku minta maaf, Kayla.” lirihnya.
“Untuk apa?”
“Karena aku telah mengambil Zein darimu.”
“Kamu sengaja melakukannya bukan?” tuduhku. “Kenapa?”
Kulihat ia menghela napas. Lalu mata kami bersitatap. Jengah, kubuang pandanganku.
“Aku jatuh cinta pada Zein, ketika kamu sering menceritakan tentangnya padaku. Kamu menceritakan bagaimana kebaikannya, bagaimana ia mencintaimu, bagaimana ia memaafkan setiap kesalahanmu, sehingga aku penasaran dan mencoba mendekatinya dengan caraku sendiri.” Akunya penuh percaya diri tanpa nada bersalah.
Kembali rongga dadaku sesak, aku tak bisa menghirup oksigen dengan baik.
“Dan ternyata ... Zein juga menyambut rasa yang kumiliki.” Seulas senyum menghias wajahnya kala mengucapkan kalimat itu. Aku ingin sekali menampar wanita ini, tapi kuurungkan saja niatku itu. Mencoba terus beristighfar dalam hati agar aku mampu menahan emosi yang hendak meluap. “Bukankah kita sahabat Kay, tentu kita bisa berbagi kebahagiaan ini bukan?” Sarah menatapku penuh harap.
Aku tak menjawab. Bangkit dari duduk, lalu berkata, “Zein boleh kamu miliki sepenuhnya, tak perlu bersusah payah berbagi denganku!”
Kemudian aku pun berlalu, meninggalkan Sarah seorang diri. Aku tak sanggup berlama-lama berhadapan dengannya. Karena takut lepas kendali dan bertindak di luar batas.
Bergegas kunaiki motor dan melajukannya menuju jalan pulang, membawa luka yang masih mengalirkan darah, hingga tak mampu lagi meneteskan air mata.
Aku sakit.
Bersambung
No comments:
Post a Comment