#PART_15
Ada rasa bahagia dan sedikit kecewa menyelimuti hati. Bahagia karena Sam telah menemukan pendamping hidup, sedikit kecewa karena Sam mengacuhkanku. Kenapa dia bersikap seolah tak mengenalku? Apa dia membenciku? Ah tidak, mungkin dia hanya ingin menjaga rasa agar tak lagi muncul ke permukaan.
Tersadar dari lamunan, kulirik jam dinding, sudah pukul delapan malam tapi Zein belum juga kembali. Kemana suamiku?
Aku pun beranjak turun dari ranjang, mengambil wudhu dan melaksanakan salat Isya. Selepas Isya aku membaca beberapa halaman ayat-ayat Allah sembari menunggu Zein pulang. Namun hingga pukul sembilan tanda-tanda kemunculannya belum tampak. Kucoba menghubungi ponselnya. Aktif tapi tidak diangkat.
Kemana dia? Belum pernah ia melakukan ini sebelumnya, setidaknya jika terlambat pulang ia akan menelepon. Berkali-kali kuhubungi ponselnya namun tetap nihil, tidak diangkat. Perasanku jadi tidak enak, takut terjadi sesuatu padanya.
Kukenakan jilbab, melangkah ke luar dari kamar menuju teras depan. Menatap gerbang yang masih dibiarkan terbuka di sudut sana. Berharap mobil Zein muncul seketika.
Sudah hampir setengah jam aku duduk di teras ini, namun Zein tak juga muncul. Hendak melangkah masuk ketika klakson mobil Zein menghentikan langkah. Aku pun tersenyum lega, akhirnya yang kutunggu datang juga.
Membalikkan badan, menyusul Zein ke garasi.
“Abang lama banget sih, kan besok mau ke luar kota, kenapa pulangnya telat? Mana nggak ngabarin lagi,” omelku saat melihat pria itu turun dari mobil. “Aku telepon nggak diangkat-angkat, Abang dari mana? Nggak biasanya seperti ... .” Ucapanku terhenti saat melihat pintu depan bagian kiri mobil terbuka. Seorang wanita cantik berhijab lebar turun. Aku terperangah, seakan tak percaya menyadari dengan siapa aku berhadapan saat ini.
Wanita itu berdiri di sisi mobil. Menunduk. Tak berani mengangkat wajah.
Kutelan saliva yang terasa tercekat, menatap penuh tanya pada Zein. “Bisa dijelaskan?” tanyaku datar dan dingin. Ada cemburu yang membuncah dan terasa menyakitkan di salah satu sudut hati. Untuk pertama kalinya aku merasakan hal sesakit ini. Apakah ini juga yang pernah Zein rasakan waktu tahu tentangku dan Sam?
“Kita bicara di dalam,” Zein menarik tanganku menuju rumah. Pelan, wanita itu juga mengikuti kami tanpa sepatah kata pun.
***
Suasana di ruang tamu seketika hening. Aku memilih duduk menjauhi Zein, sedangkan wanita itu duduk berseberangan denganku. Masih dalam keadaan menunduk. Debaran di dadaku kian kencang, panas dingin menunggu penjelasan Zein.
“Ada apa ini, Bang?” tanyaku tak sabar.
“Abang ... sudah menikah dengan Sarah.” Bagai suara petir di tengah malam aku mendengar jawaban Zein. Jawaban tanpa basa-basi.
Kucoba menenangkan diri, tak ingin bersikap gegabah dan emosional. Jika ingin jujur, rasanya ingin sekali kumaki-maki perempuan yang begitu akrab denganku ini.
Sejenak kulirik Sarah, ia masih menunduk semakin dalam.
“Sudah berapa lama?” tanyaku lirih, hampir tak terdengar.
“Sejak kecelakaan itu.”
Kuhela napas. Sesak memenuhi rongga dada. Zein mampu menyembunyikan semua ini dariku sekian lama. Rasanya aku tak ingin mendengar alasan apa yang membuat Zein menikahi Sarah. Lebih baik aku diam. Mungkin ini balasan yang harus kudapat setelah pernah mengkhianatinya.
Aku mengangguk-angguk pelan. “Selamat ya, kalian memang pasangan yang serasi. Semoga berbahagia selalu,” ucapku memaksakan diri untuk tersenyum dan berusaha agar air mata tak tumpah di hadapan mereka.
Zein menatapku dengan ekspresi terkejut. Mungkin ia tak menyangka istrinya akan bersikap seperti ini.
“Oh ya maaf, aku ... mau ... ke kamar dulu. Aku akan pindah ke kamar satu lagi, kalian gunakanlah kamar utama. Sebab ....”
“Kayla,” potong Zein.
Kutatap suamiku, mencoba tersenyum meski terlihat getir. “Ada apa, Bang? Bukankah seharusnya begitu?” Kubulatkan mata. Lalu mengarahkan pandangan pada Sarah yang kini telah mengangkat wajahnya. “Sarah wanita baik dan cantik, Abang pantas memilikinya.” lirihku dengan suara serak menahan tangis.
“Kayla.” Sarah angkat suara.
“Hmm, sudahlah. Aku mau berkemas dulu untuk pindah ke kamar satunya.” Tanpa menunggu persetujuan Zein, aku pun bangkit, bergegas masuk ke kamar. Mengemasi semua pakaianku, memindahkan semua barang-barang milikku ke kamar satunya. Aku tidak menangis. Walau pun hati terasa tersayat-sayat sembilu menerima kenyataan ini.
_Tapi kenapa harus Sarah?_ teriakku dalam hati.
Saat membalikkan tubuh hendak membawa barang-barang terakhir, Zein telah berdiri di belakangku. Iris kami beradu. Tatapan Zein nanar. Lalu kubuang pandangan dari tatapannya. Ia mencekal lenganku ketika hendak berlalu. Membawaku ke dalam dekapannya.
Zein menangis. Aku terpaku. Tak berusaha membalas pelukannya.
“Kenapa menangis? Seharusnya Abang bahagia?” bisikku.
Bukannya menjawab, pria itu malah mengeratkan pelukannya, mencium puncak kepalaku berkali-kali.
“Bang ... .”
“Maafkan Abang, Kayla,” lirihnya.
“Maaf untuk apa? Abang tidak salah. Itu hal wajar. Aku sadar diri, aku tidak memiliki kelebihan apa-apa. Hanya seorang istri yang tak tahu diri, yang pernah berkhianat pada suaminya,” ujarku dengan suara pelan.
“Apa bedanya Abang denganmu? Abang juga telah mengkhianatimu.” tangisnya.
“Jelas berbeda, Bang!” Kurenggangkan tubuh dari pelukannya. Menatap mata basah milik Zein. “Jika seorang lelaki beristri jatuh cinta lagi, maka obatnya hanyalah menikah untuk menghindari dosa. Sedangkan jika wanita yang telah bersuami jatuh cinta, obatnya adalah mensyukuri apa yang ia miliki dan mendekatkan diri kepada Allah. Tapi aku salah, aku tidak melakukan itu, malah aku menduakan hatimu dengan Sam.”
Zein menggeleng, ia kembali menarikku ke dalam pelukannya, tapi kutepis dengan lembut. “Sudahlah, Bang. Tidak usah berlebihan. Aku tidak apa-apa kok. Aku mau ke kamar sebelah dulu ya, kalian gunakanlah kamar ini berdua.”
Kutinggalkan Zein yang tak mampu mencegah langkahku.
***
Sudah pukul dua malam. Aku masih di sini, di atas sajadah. Belum bisa memejamkan mata sedikit pun. Membayangkan saat ini Zein sedang tidur dengan wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri, yang kini sudah berstatus istri kedua baginya.
Sakit? Tentu saja, hati wanita mana yang tak sakit? Tapi bukankah Allah punya cara sendiri untuk menegur hamba-Nya? Siapa tahu dengan cara ini Allah mengampuni segala dosa-dosaku.
Mataku terasa perih, entah sudah berapa lama aku menangis di sajadah ini. Terus beristighfar tanpa henti, berharap sesak ini kian berkurang. Tadi Zein sempat mengetuk pintu kamarku beberapa kali, namun tak kuhiraukan. Aku tak ingin dia melihatku menangis. Aku ingin terlihat tegar di matanya.
Aku berharap, kehadiran Sarah membawa kebahagiaan dalam hidup Zein. Siapa tahu Sarah bisa memberinya anak nantinya. Ya, semoga saja. Karena mungkin aku bukan wanita sempurna. Buktinya sampai sekarang belum ada janin dalam rahimku. Bisa jadi itu salah satu alasan Zein menikahi Sarah.
Tak pernah kusesali skenario hidup yang telah dituliskan Allah. Karena apa pun yang sudah Allah tetapkan, itu yang harus kujalani. Pahit manisnya kehidupan, itu sudah lumrah. Tinggal bagaimana cara kita menjalaninya saja.
***
Pagi masih diselimuti kabut tebal kala aku melangkah meninggalkan rumah Zein. Belum seorang pun yang bangun. Mungkin mereka kelelahan. Lagian, azan Subuh belum berkumandang.
Taksi sudah menungguku di depan gerbang. Sebelum pergi, kukirimkan pesan untuk Zein melalui ponsel.
[Bang, maaf jika aku pergi tanpa menunggumu bangun, sebab aku tahu Abang takkan mengizinkan aku pergi. Maaf juga kalau istrimu ini pergi tanpa izin darimu. Aku ke rumah Ayah untuk menenangkan diri, tidak usah menyusulku. Jika aku ingin pulang, aku akan meneleponmu kembali. Sarah sahabatku, dia wanita yang baik, jaga dia baik-baik. Oh ya hari ini Abang mau ke luar kota kan? Maaf kalau aku tidak jadi menemani, bawa saja Sarah. Aku tidak apa-apa kok, jangan khawatir]
Terkirim.
“Jalan, Pak!” titahku pada driver taksi online itu.
“Baik, Bu.” sahutnya seraya melajukan mobil. Tak kusangka ada taksi online yang beroperasi sebelum Subuh begini.
Setetes air mata jatuh membasahi pipi kala rumah Zein perlahan menghilang dari pandangan.
***
Bersambung.....
No comments:
Post a Comment